Assalamu'alaykum ^_^

Teruntuk Siapapun Yang Merindukan Kemuliaan & Kebangkitan ISLAM

Assalamu'alaykum Warahmatullah..

Selamat Datang
Semoga Bermanfaat

10/24/12

Ibadah Haji : Persatuan, Ketaatan,dan Pengorbanan


Subhanallah! Jutaan umat Islam dari seluruh dunia berkumpul dalam pertemuan akbar tanpa memandang ras, warna kulit, kebangsaan, jabatan, atau kekayaan. Mereka berkumpul untuk melaksanakan ibadah haji sebagai wujud ketaatan dan kecintaan kepada Allah SWT dan Rosulullah saw.

Ibadah haji merupakan cerminan persatuan umat Islam. Keimanan kepada Allah SWT dan ketundukan pada aturan-Nya, inilah yang membuat kaum Muslim bersatu ketika melaksanakan ibadah haji. Ketaatan kepada Allah SWT dalam ibadah haji membuat kaum Muslim memakai pakaian ihram yang sama, tawaf di tempat yang sama mengelilingi Baitullah dengan arah yang sama, wukuf pada tanggal 9 Dzhulhijjah di tempat yang sama, yaitu Padang Arafah.

Sayang, persatuan umat itu hanya saat melakukan ibadah haji. Setelah itu umat Islam kembali ke negara masing-masing dengan memikirkan urusan masing-masing. Nasionalisme dengan sistem politik negara bangsa-nya (nation state) dengan gemilang memecah-belah umat Islam seluruh dunia. Masing-masing kemudian hanya melihat kepentingan nasionalnya. Rezim negara-bangsa ini menjadikan nasionalisme sebagai legitimasi ketidakpedulian mereka.

Tidak aneh, meskipun saat ini kaum Muslim di Suriah dalam keadaan yang sangat menyedihkan, dizalimi oleh rezim kufur Ba’ats—tak kurang dari 30 ribu orang terbunuh dan lebih dari 28 ribu yang hilang—rezim-rezim sekitarnya tidak melakukan pembelaan yang nyata. Mereka sibuk beretorika daripada secara nyata mengirim pasukan tentara untuk membebaskan dan menyelamatkan kaum Muslim Suriah.

Saat ibadah haji, umat Islam bisa bersatu, karena keimanan dan ketaatan kepada Allah SWT. Demikian juga seharusnya di luar ibadah haji. Keimanan kepada Allah SWT dan ketaatan secara total pada syariah Islam akan menyatukan kaum Muslim bukan hanya dalam ibadah, tetapi juga dalam seluruh aspek kehidupan. Pasalnya, mereka diatur oleh aturan yang satu, yaitu syariah Islam.

Di sinilah letak penting keberadaan Khilafah sebagai sistem kenegaraan yang akan menerapkan syariah Islam secara menyeluruh. Khilafah dipimpin oleh seorang khalifah bagi seluruh kaum Muslim di dunia jelas akan menjamin persatuan mereka. Sebab, tidak mungkin umat bisa bersatu di level negara kecuali kaum Muslim memiliki pemimpin negara yang satu. Karena itu, syariah Islam sangat menekankan kesatuan kepemimpinan (Khalifah).

Abdullah bin Amr bin Ash ra. pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang telah membaiat seorang imam (khalifah), lalu memberikan uluran tangan dan buah hatinya, maka hendaklah ia menaati imam itu sekuat kemampuannya. Kemudian, jika ada orang lain yang hendak merebutnya, maka penggallah leher orang tersebut!” (HR Muslim).

Berkaitan dengan kesatuan kepemimpinan ini Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menegaskan, “Para ulama telah sepakat bahwa tidak boleh dilakukan akad kepada dua orang khalifah pada masa yang sama, baik wilayah Darul Islam itu luas atau tidak.”

Hal senada ditegaskan Imam al-Mawardi dalam Al-Ahkâm as-Sulthâniyah wa al-Wilâyât ad-Diniyyah, menegaskan, jika dilakukan akad penyerahan Imamah kepada dua orang imam di dua negeri yang berbeda, maka akad Imamah keduanya tidak sah. Alasannya, umat tidak boleh memiliki dua orang imam dalam satu waktu, meskipun ada segolongan orang nyleneh yang membolehkan hal itu.

Bersamaan dengan bergeraknya jutaan jamaah haji bergerak dari Muzdalifah menuju Mina untuk melontar jumrah sebagai bagian ibadah haji pada tanggal 10 Dzulhijjah, kaum Muslim di tempat lain melaksanakan salat Idul Adha dan menyembelih hewan kurban untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Ibadah kurban ini tidak bisa dilepaskan dari kisah keteladaan Nabi Ibrahim as.; keteladan dalam pengorbanan. Ketika Allah SWT memerintahkan menyembelih anaknya sendiri Ismail as. Kita bisa bayangkan begitu beratnya hati Nabi as. Ibrahim as. harus menyembelih putranya sendiri yang merupakan belahan hati yang tentu sangat dia cintai.

Namun, keimanannya kepada perintah Allah SWT membuat Nabi Ibrahim as. membulatkan hati melaksankan perintah-Nya, menyampingkan perasaan beratnya. Subhanallah! Ketika perintah ini ditanyakan kepada putranya, Nabi Ismail as., ia justru mendorong bapaknya untuk melaksanakan perintah Allah SWT tanpa ragu. Allah SWT berfirman (yang artinya): “Ayah, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepada engkau. Insya Allah engkau akan mendapati diriku termasuk orang-orang yang sabar.”(TQS ash-Shaffat []: 102).

Keimanan menuntut ketaatan. Ketaatan membutuhkan pengorbanan. Teladan inilah yang harus kita pegang dalam perjuangan menegakkan agama Allah SWT, memperjuangkan Khilafah Islam yang akan menerapkan syariah-Nya secara total. Dasar dari perjuangan ini adalah iman dan ketaatan kepada Allah SWT. Untuk itu kita harus mengorbankan apa saja yang terbaik dari diri kita untuk dakwah ini; mengorbankan harta, jabatan bahkan mengorbankan jiwa.

Rasulullah saw. pun telah memberikan teladan bagaimana beliau tetap istiqamah saat menghadapi berbagai ujian. Rasulullah saw. tidak tergoda saat ditawari harta, kekuasaan dan wanita karena semua tawaran itu membuat dakwahnya dibelengu dan disandera. Saat cobaan siksaan, propaganda busuk hingga isolasi dilakukan Rasulullah saw. tetap konsisten. Tidak sedikitpun semua itu melemahkan apalagi menghentikan dakwahnya. Tidak pula semua itu membuat beliau berkompromi, baik secara pemikiran maupun amal.

Pengorbanan pada jalan kebenaran selalu berbuah kebaikan dan kebahagian. Kesabaran Nabi Ibrahim saw. dan anaknya Ismail as. diganjar dengan tebusan domba dan pujian Allah SWT. Kesabaran Rasulullah saw. dan umat Islam berbuah manis dengan tegaknya Daulah Islam di Madinah. Sejak itu umat Islam mendapatkan kebaikan dan kesejahteraan. Demikian juga pengorbanan yang dilakukan kita umat Islam saat ini untuk menegakkan Khilafah pasti berbuah kemenangan dengan tegaknya Khilafah dan tercapainya ridha Allah SWT. [Farid Wadjdi]

Marah yang Terpuji dan yang Tercela

Saat ini, sangat mudah orang mengumbar amarah. Sering karena hal sepele orang bisa marah. Tak jarang, rasa marah itu berujung pada pertikaian. Hanya karena senggolan motor, orang bisa marah. Hanya karena rebutan jalur saat mengendara, orang bisa melontarkan sumpah serapah. Hanya karena rebutan penumpang, antar kernet angkutan kota bisa saling caci-maki. Hanya karena sepakbola, antara pendukung masing-masing klub bisa saling tawuran. Saat jagonya dikalahkan dalam Pilkada, para pendukungnya tak sedikit yang kemudian melakukan kasi anarkis dan perusakan. Saat foto presidennya diinjak-injak, para pemujanya mengutuk habis-habisan.

Di sisi lain, saat Baginda Rasulullah SAW dihina, banyak Muslim diam seribu bahasa. Jangankan marah, tergetar hatinya pun tidak. Saat Alquran diinjak-injak oleh orang-orang kafir, tak sedikit Muslim yang adem-ayem saja. Jangankan marah, sedikit peduli pun tidak. Saat rutusan bahkan ribuan umat Islam di negeri lain dibantai, kebanyakan kita pun hanya mengelus dada. Saat tempat-tempat suci seperti masjid diledakkan, saat hijab Muslimah dilecehkan, kebanyakan kita pun tak tergerak untuk sakadar menunjukkan amarah. Bahkan pada saat sebagian umat marah dengan melakukan demonstrasi mengutuk berbagai penodaan dan penghinaan simbol-simbol kesucian Islam dan kaum Muslim, ramai-ramai para penguasa atau pejabat negara berusaha meredam amarah umat tersebut, bahkan tak segan menghalangi dengan kekerasan para demonstran itu.

Islam sebagai agama yang sempurna tentu mempunyai aturan tentang marah. Marah bukan hanya boleh, bahkan harus, saat kehormatan Allah SWT dan Rasul-Nya dilanggar. Sebaliknya, marah justru dilarang jika didorong oleh sentimen etnis, kelompok, golongan atau kebangsaan (’ashabiyah) karena semua itu hanya bersumber dari hawa nafsu dan setan.

Kita harus meneladani Baginda Rasulullah SAW, kapan dan bagaimana beliau marah. Rasulullah SAW adalah manusia yang paling mampu mengendalikan dirinya dan paling bagus akhlaknya. Beliau adalah orang yang paling penyayang dan lembut. Sesungguhnya Nabi SAW adalah orang yang lebih pemalu dari para gadis pingitan, jika melihat sesuatu yang beliau benci, akan diketahui dari wajahnya (HR al-Bukhari). Beliau pun menyatakan: Orang yang kuat bukanlah dengan bergulat, namun orang yang kuat itu adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah (HR al-Bukhari).

Abu Darda ra pernah menuturkan bahwa pernah ada seorang berkata kepada Nabi SAW, “Nasihatilah saya.” Rasulullah bersabda “Jangan marah1”. Orang itu mengulangi permintaannya, Rasul SAW pun mengulang sabdanya, “Jangan marah!” (HR al-Bukhari).

Sikap marah mengantarkan seseorang untuk melakukan banyak keburukan, cacian, umpatan dan kata-kata kotor; bahkan pemukulan, perusakan fasilitas umum hingga melakukan tindak pembunuhan. Karena itu, menghindari marah sebagaimana diajarkan Rasulullah SAW, hidup pemaaf dan berkasih-sayang terhadap sesama, akan menghindarkan seseorang dari banyak keburukan dan kejahatan.

Namun dalam kondisi tertentu, Baginda Rasulullah SAW pun bisa marah, tentu semata-mata karena Allah SWT. Ada riwayat yang menyatakan: Sesungguhnya Nabi SAW tidak pernah marah terhadap sesuatu. Namun, jika larangan-larangan Allah dilanggar, ketika itu tidak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi rasa marahnya (HR al-Bukhari dan Muslim).

Dalam hadits lain dinyatakan: Tidaklah Rasulullah SAW dihadapkan pada dua pilihan melainkan beliau memilih yang paling mudah di antara keduanya selama tidak merupakan suatu dosa. Namun, bila sesuatu itu dosa, beliau adalah orang yang paling menjauh darinya. Tidaklah beliau membalas karena dirinya kecuali kehormatan Allah SWT dilanggar maka beliau pun marah (HR al-Bukhari).

Jabir ra menuturkan, “Rasulullah SAW, bila marah, dua matanya berwarna merah, suaranya meninggi dan kemarahannya mengeras hingga seperti seorang komandan memperingatkan pasukannya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Karena itu, dalam banyak hal kita pun harus marah, misal: saat kehormatan Islam dilecehkan, saat orang-orang kafir mengolok-olok Islam, saat orang-orang liberal mengacak-acak Alquran, saat para penguasa membuat UU yang bertentangan dengan Islam dan melakukan berbagai kezaliman, saat saudara-saudara sesama Muslim dihinakan bahkan dibantai tanpa belas kasihan, dsb. Dalam hal seperti ini kita bukan hanya boleh marah, bahkan harus marah. Jika mampu kita wajib mengubahnya dengan tangan (kekuasaan), atau dengan lisan (dakwah) atau dengan hati—meski itu menandakan iman yang paling lemah (HR Muslim). Jika dengan hati pun tidak bisa—adem-ayem dan acuh-tak acuh—maka bisa jadi tidak ada lagi keimanan yang tersisa. Na’udzu bilLah min dzalik.

1/12/12

Anak ASET PERADABAN



oleh : Nanik Wijayati

“Zaman sekarang punya anak banyak itu berat. Lebih baik punya anak dua tapi berkualitas, dari pada punya anak empat atau enam tapi kita tidak mampu membiayai pendidikannya secara layak!” Ungkapan senada kerap kita dengar di tengah masyarakat. Sebuah indikasi bahwa umumnya masyarakat hanya berani berinvestasi dengan dua anak dari pada empat, lima, apalagi sepuluh anak! Kenapa?

Banyak Anak Merepotkan?


Saat ini, banyak pasangan keluarga muda di Indonesia memiliki pandangan bahwa punya anak itu cukup dua saja. Anak tiga saja sudah kebanyakan. Ada berbagai faktor mereka berpandangan demikian. Diantaranya karena merasa repot mengurusnya, berat membiayai hidupnya, takut tak bisa menyekolahkannya, khawatir tidak bisa mendidiknya, kesibukan ibu kerja, atau pertimbangan umur karena nikah telat.

Yati (30 tahun), ibu dua anak yang masih balita mengungkapkan keluhannya: “Udah ah, nggak mau nambah anak lagi, ngurus dua anak saja repot banget, berantem melulu, nggak kebayang kalau tambah lagi, bisa stress!”.

Lain lagi dengan Ibu Kris (35 tahun), dua anaknya sudah beranjak dewasa. Merasa kesepian ketika ditinggal sekolah anak-anaknya, Ibu Kris masih berharap punya bayi lagi. “Bisa untuk hiburan”, demikian tuturnya. Namun, suami Ibu Kris tak sepakat. Tak jelas kenapa, tetapi Ibu Kris menduga suaminya yang PNS mungkin mempertimbangkan gaji yang hanya cukup untuk membesarkan dua anaknya. “Suami saya ingin kalau nanti sudah pensiun, dua anak kami sudah selesai kuliah semua, dan ingin lebih banyak ibadah saja”, demikian bu Kris mengaminkan harapan suaminya.

Kenyataan ini berbeda dengan orang tua di era tahun 60/ 70-an. Mereka memegang pesan yang diwariskan orang tuanya dulu. “Banyak anak banyak rejeki!” begitu kata orang tua dulu. Itu sebab mereka tak pernah takut punya anak banyak, tak khawatir tidak dapat memberi makan, dan tak mengeluh direpotkan oleh anak-anaknya yang nakal. Bahkan, keikhlasannya menerima anugerah anak banyak, menyebabkan tangannya tak pernah berhenti bertengadah, mendo’akan anak-anaknya kelak menjadi manusia yang berguna bagi agama, bangsa dan negaranya.

Perbedaan presepsi, ketrampilan mengurus dan mendidik anak, serta keyakinan terhadap jaminan rejeki Allah kepada setiap anak, menjadi kunci bagi orang tua memandang bahwa punya anak banyak akan merepotkan atau tidak. Dari ketiga faktor ini ada orang tua yang secara sadar atau tidak memandang bahwa punya anak itu adalah harapan sekaligus ancaman. Namun, dengan pemahaman agama yang benar, akan membimbing kita untuk memandang bahwa anak adalah anugerah, amanah dan aset masa depan Islam.

Kepunahan Generasi

Terlalu sempit bila orang berpikir bahwa anak hanyalah aset bagi masa depan keluarganya saja. Seolah anak hanya dijadikan sebagai simbol pewaris kekayaan, martabat, kehormatan dan tahta sebuah keluarga atau marga. Bila demikian, maka spirit untuk memiliki keturunan didasarkan pada keinginan individu disesuaikan dengan kondisi keluarganya saja. Sehingga, eksistensi anak dipandang sekedar sebagai penerus tradisi keluarga. Di zaman arus globalisasi tanpa batas dan sikap individualisme yang semakin nyata di masyarakat, tentu spirit ini sangat rentan dan bisa berdampak terhadap punahnya sebuah generasi.

Terbukti di beberapa negara maju kini tengah menghadapi krisis populasi. Austria, Swedia, dan beberapa Negara Eropa Barat mengalami apa yang dinamakan The Ageing of Europe. Jumlah penduduknya akan didominasi orang-orang usia lanjut. Rendahnya angka kelahiran di Negara-negara tersebut menimbulkan persoalan kurangnya generasi muda dan tenaga kerja usia produktif. Austria misalnya, pada tahun 2030 membutuhkan tenaga kerja imigran sebesar 100.000 di bidang sosial dan kesehatan.

Sebuah lembaga riset di Jepang menyatakan bahwa populasi di Jepang akan berkurang sepertiga pada tahun 2050. Dan pada tahun 2105 jumlah orang Jepang di dunia tinggal 44 juta. Total rasio kelahiran yang terus merosot (1,37 di tahun 2008), jauh dari rasio pertumbuhan penduduk yang dapat mendukung kestabilan populasi berkesinambungan (2,1). Jepang bisa dikategorikan sebagai decaying country, atau Negara yang menuju pada kepunahan. Karena itu pemerintah Jepang membuat berbagai program, salah satunya tunjangan sebesar 26.000 yen (sekitar 2,6 juta) per bulan per anak agar perempuan Jepang mau punya anak.

Anak, Aset Kejayaan Islam


Spirit memiliki anak sebagai aset masa depan sebuah peradaban telah diisyaratkan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya: “Menikahlah dan perbanyaklah keturunan! Sebab aku akan membanggakan kalian di hadapan umat-umat lain kelak di hari kiamat.” Spirit itulah yang menyebabkan dari generasi ke generasi umat Islam mempunyai kebanggaan untuk memiliki keturunan yang banyak. Anak banyak bukan untuk kebanggaan diri atau keluarga, tapi untuk diinvestasikan bagi kejayaan peradaban Islam, sebagaimana harapan Rasulullah saw. Pun pasangan suami isteri yang tak dianugerhi anak, mereka tetap memiliki spirit untuk membina anak-anak kaum muslimin lainnya dengan berbagai cara.

Dengan kehendak Allah SWT, jumlah kaum muslimin yang mewarisi peradaban Islam tak pernah berkurang, bahkan terus bertambah. Berdasarkan studi Pew Forum on Religion & Public Life dalam laporannya yang berjudul “Mapping the Global Muslim Population” penduduk muslim telah mencapai 1,57 milyar (23 % dari penduduk dunia yang diperkirakan sebesar 6,8 milyar). Pemetaan ini cukup mengejutkan, karena hanya di Eropa Barat saja jumlah umat muslim berasal dari imigran, sementara separoh lebih muslim Eropa adalah penduduk asli di Eropa Timur.

Kini, dunia Barat sangat mengkhawatirkan ledakan populasi umat Islam yang diprediksi akan mendominasi penduduk dunia. Lalu apa yang harus kita lakukan untuk mempersembahkan kebanggaan pada Rasulullah saw? Jawabannya adalah, jangan pernah takut memiliki keturunan banyak, sebab kebangkitan dan kejayaan Islam membutuhkan generasi Islam yang banyak dan tangguh, menggentarkan musuh-musuh Allah yang menghalangi kebenaran Islam. Mari kita persiapkan pembinaan sebaik-baiknya untuk anak-anak agar menjadi asset peradaban yang gemilang.

Model Kehidupan Terbaik



Oleh: Yusriana

Beberapa waktu lalu sejumlah politisi dan pengamat di negeri-negeri Arab menegaskan Turki sebagal model sistem politik masa depan untuk Mesir dan dunia Arab yang baru. Hal itu didasarkan pada asumsi adanya keharmonisan hidup bagi kebanyakan muslimah dengan sistem sekular demokratis liberal. Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erclogan mengatakan bahwa Turki telah berhasil membuktikan, Islam dan demokrasi dapat hidup berdampingan dan hal ini bisa menjadi inspirasi bagi orang-orang Arab. Banyak pula analis politik yang menyebutkan bahwa republik sekular Turki bisa menjadi model atau acuan bagi pemberontakan rakyat di dunia Arab dari Tunisia ke Mesir, Libya hingga ke Bahrain (Eramuslim, 24/2/2011).

Cengiz Aktar, profesor European Studies di Universitas Bahcesehir, Istanbul menyatakan bahwa Turki adalah negara teladan baru bagi jutaan Muslim yang sekarang sedang memperjuangkan kebebasan mereka. Menurut Aktar, apa yang bisa dilakukan Turki juga bisa kita lakukan. Begitulah pemikiran negara-negara Arab.

Politikus perempuan termuda Turki, Pinar Akyasan, juga mengatakan, "Jutaan Muslim muda di Mahgreb (Maroko, Aljazair dan Tunisia) dan Timur Tengah sedang sibuk membangun demokrasi. Mereka ingin belajar bagaimana kami mengatur negara Turki, baik di jalan maupun di universitas." (Website Radio Netherland Worldwide, 29/3/2011).

Bahkan upaya menjadikan Turki sebagai model kehidupan ini telah merambah ke kehidupan keluarga di dunia Arab. Jutaan orang Arab mengagung-agungkan kehidupan Muslim modern seperti yang digambarkan sinetron-sinetron populer Turki. Sinetron humus, misalnya, menarik 85 juta penonton warga Arab. "Sinetron-sinetron ini membangkitkan emansipasi Muslimah jadi menyadari, "Eh, ada jalan lain," kata Profesor Ayhan Kaya, Direktur Institut Eropa di Universitas Bilgi.

Benarkah sistem yang ada Turki saat ini layak menjadi sistem masa depan yang positif bagi perempuan di Turki dan dunia Arab?

Ironis Modernisasi


Sebagian orang mengklaim bahwa pembatasan Islam terhadap peran laki-laki dan perempuan di dalam keluarga, serta pemberian kepemimpinan kepada laki-laki sebagai kepala rumah tangga adalah sebab meningkatnya kekerasan terhadap perempuan. Mereka menyatakan, tidak adanya persamaan dalam peran antara kedua jenis kelamin akan melahirkan tidak adanya penghormatan kepada perempuan. Klaim inilah yang membuat banyak orang yang tidak ingin kehidupan mereka dibatasi oleh hukum-hukum Islam. Orang-orang Arab yang saat ini sudah jauh dari pemahaman Islam yang murni, mereka melihat Turki sebagai kehidupan yang perlu dijadikan model karena Turki membuktikan bahwa demokrasi dan modernisasi bisa berjalan beriringan dengan Islam. Selain Tunisia dan Israel, Turki adalah satu-satunya negara di Timur Tengah yang telah menghapuskan praktik poligami yang dianggap mendatangkan kekerasan pada perempuan. Poligami di Turki secara resmi dianggap sebagai tindakan kriminal sejak tahun 1926 setelah Khilafah Turki Utsmani runtuh.

Ironisnya, fakta kekerasan terhadap perempuan di masyarakat Turki dan umumnya masyarakat Barat sekular demokratis liberal terus meningkat. Padahal di sana tidak terdapat perundang-undangan Islam. Yang ada justru perundang-undangan yang menurut klaim mereka— menjamin persamaan antara laki-laki dan perempuan. sebagai contoh, di Inggris satu dari empat wanita menghadapi kekerasan rumah tangga dan dua orang perempuan setiap minggu mati di tangan suami atau teman mereka. Menurut data statistik Kementerian Dalam Negeri, kepolisian mendapat telepon setiap detik dari korban yang mendapatkan serangan fisik. Di Amerika Serikat, menurut data statistik Biro Investigasl Federal (FBI), setiap 15 menit ada satu orang perempuan yang mendapat pukulan dari partnernya.

Data statistik yang baru dilansir oleh Kementerian Kehakiman Turki pun menyebutkan tentang meningkatnya angka kejahatan terhadap perempuan di Turki sampai 1,4% selama tujuh tahun dari tahun 2002¬-2009. Sebanyak 950 orang perempuan dibunuh selama tujuh bulan pertama tahun 2009. Berdasarkan kajian pemerintah dengan tema "Kajian Kekerasan Rumah Tangga Terhadap Perempuan di Turki", sebanyak 42% perempuan telah mengalami kekerasan di negeri tersebut.

Terkait hal ini, Dr. Nasreen Nawaz, perwakilan kantor penerangan pusat Hizbut Tahrir, mengomentari, "Di balik potret kemilau pertumbuhan ekonomi di Turki tersimpan pengaruh sosial yang jahat dari sekresi liberalisme sekular yang menampilkan keamanan dan kehormatan perempuan sebagai korban pertamanya."

"Di bawah sistem semacam ini, baik di Barat atau di Turki, langkah-langkah reformasi atau amandemen undang-undang untuk kesetaraan gender merupakan ungkapan atau kata-kata kosong yang tidak memiliki makna. Sebab, kegagalannya terbukti dalam konteks keselamatan dan kehormatan perempuan. Karena itu, perempuan Turki menderita akibat tekanan sistem zalim ini dan nilai-nilainya."

Fakta pun berbicara, saat jutaan orang Arab mengagung-agungkan kehidupan Muslim modern Turki seperti yang digambarkan sinetron populer Turki, jumlah perceraian di Arab Saudi pun sejalan dengan popularitas sinetron Turki.

Model Kehidupan Sejati Perempuan dan Umat Manusia


Banyaknya fakta kekerasan dan penindasan perempuan dalam sistem sekular-demokratis-liberal seharusnya membuka mata kaum perempuan dunia di mana pun, bahwa sistem tersebut tidak mampu mengangkat kemuliaan kaum perempuan. Jika dibandingkan dengan Islam, meskipun Islam membatasi peran laki-laki dan perempuan di dalam keluarga, Islam melarang eksploitasi yang merendahkan perempuan. Islam juga menolak keras pandangan laki-laki kepada perempuan dari sudut pandang kebebasannya dalam memperlakukan perempuan sesuka hatinya. Dua hal itulah yang berperan dalam kekerasan domestik di bawah sistem sekular liberal.

Dalam Islam, tidak diperhatikan kesetaraan atau ketidaksetaraan (jender) dalam peran laki-laki dan perempuan. Islam memandang komunitas masyarakat, baik pria atau wanita, sebagai komunitas manusia. Ketika Islam menetapkan hak dan kewajiban bagi kaum laki-laki dan perempuan, tidak lain dalam rangka kemaslahatan keduanya sekaligus sebagai solusi atas permasalahan yang dihadapi kedua jenis manusia ini di dunia. Adakalanya hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan itu sama jika hal itu berkaitan dengan sifat manuasiawi/insaniah (seperti dalam masalah ibadah, akhlak, muamalah [jual-beli, belajar-mengajar, perburuhan dll]). Adakalanya memang terdapat perbedaan hak dan kewajiban jika terkait karakter laki-laki dan perempuan dengan predikatnya masing-masing dan terkait posisinya di dalam suatu komunitas di masyarakat (seperti kepemimpinan dan nafkah pada laki-laki, menyusui dan mengasuh anak pada perempuan, hak waris perempuan setengah pria, dll). Namun, sepanjang sejarah pelaksanaan seluruh hukum-hukum Islam tersebut, justru perempuan nyata-nyata mendapatkan kemuliaan hidupnya. Bahkan jaminan kemuliaan ini bukan hanya didapatkan di dunia, namun menembus dimensi akhirat melalui janji Allah SWT (Lihat: QS an-Nisa' [4]: 124).

Oleh karena itu, sistem sekular demokratis liberal yang telah terbukti kegagalannya di semua tempat, mulai dari Bangladesh ke Asia Tengah, Pakistan dan Indonesia, tidak boleh menjadi contoh (model). Perubahan hakiki di Dunia Islam hanya akan terealisasi dengan tegaknya Daulah Khilafah yang berdiri di atas perundang-undangan Islam. Negara Khilafahlah yang menjaga dan menghormati hak-hak perempuan selama beberapa abad. Khalifah bahkan pernah mengerahkan pasukan hanya untuk membela kehormatan seorang wanita. Khilafahlah yang memahami pentingnya peran serta perempuan di dalam kehidupan politik, dan mendorong perempuan untuk menempuh pendidikan serta telah mengeluarkan ribuan wanita terpelajar.

Khilafahlah yang ketika berdiri kembali atas izin Allah akan menggunakan sistem politik, pendidikan dan informasi untuk memperkuat penghormatan atas perempuan di masyarakat, baik perempuan Muslimah atau non-Muslimah. Hal itu akan dilakukan sesuai ajaran-ajaran Islam yang menjamin hak-hak perempuan. Negara akan menghukum siapa saja yang mencederai kehormatan atau tubuh perempuan, menyerang perempuan apapun bentuk serangan itu.

Karena itu, sudah saatnya dunia menjadikan Khilafah Islamiyah sebagai satu-satunya model kehidupan yang harus diperjuangkan dan diterapkan untuk kemuliaan perempuan dan umat manusia secara keseluruhan. WalLahu a'lam bi ash-shawab.

Peran Muslimah Membangun Masyarakat




Oleh: Noor Afeefa

Allah SWT menciptakan wanita dengan kodrat kewanitaannya. Ia diberikan karunia sifat kelembutan dan kasih sayang agar bisa melaksanakan tugas utamanya. Karena itulah, Islam mengatur peni kehidupan wanita dengan aturan yang begitu rapi agar pelaksanaannya menjamin keberlangsungan masyarakat secara baik.

Islam telah memuliakan wanita dengan memberi tugas utama sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Peran tersebut tentu tidak bisa dikatakan remeh. Betapa strategisnya wanita bila ia bertanggung jawab atas keberlangsungan generasi suatu bangsa. Hal ini sangat mudah dipahami karena wanita (ibu) adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya, sosok yang sangat dekat, yang pertama kali berinteraksi dengan anak bahkan mungkin paling sering berinteraksi hingga akhir hayatnya.

Allah SWT tidak memberikan peran strategis tersebut kepada laki-laki. Karenanya, secara penciptaan pun laki-laki tidak diberi karunia untuk melahir¬kan, menyusui dan sifat kelemah lembutan. Allah SWT telah menempatkan laki-laki pada posisi yang membutuhkan tenaga atau fisik lebih kuat. Oleh karena itulah, laki-laki dibebani tanggung jawab mencari nafkah bagi keluarganya. Inilah konsep umum pembagian tugas antara laki-laki dan wanita dalam Islam.

Keadaan yang begitu indah tertata antara laki-laki dan wanita dalam Islam kini tengah dirusak oleh idiologi kapitalisme. Posisi wanita bergeser.

Sungguh, menjadi ibu bukanlah sebuah pilihan. Menjadi ibu adalah hal yang wajib diterima keberadaannya berjenis sebagai makhluk Allah SWT yang berjenis kelamin perempuan. Tentu, ini adalah sebuah kemuliaan bagi kaum wanita, bukan kehinaan sebagaimana yang dituduhkan kaum Barat sekuler. Barat memang telah mengesankan perempuan yang hanya bisa memfungsikan dirinya sebagal ibu dan pengatur rumah tangga saja (berperan di sektor domestik) sebagai perempuan yang tidak berdaya atau tidak berkualitas bahkan tidak punya prestasi.

Pandangan sekuler tersebut tentu sangat jauh dari kebenaran, bahkan bertentangan dengan fakta dan pengalaman kehidupan manusia. Bahwa peradaban yang malu tidak dapat ditentukan oleh besarnya peran perempuan di sektor publik. Bahkan penelaahan yang lebih mendalam menunjukkan bahwa optimalisasi peran perempuan di sektor do¬mestik merupakan investasi masa depan yang sangat berharga, khususnya dalam pengelolaan rumah tangga dan dalam mewujudkan generasi yang bermutu.

Sungguh ironi, jika Muslimah di negeri ini tega meninggalkan amanah Sang Pencipta tersebut, hanya karena silau dengan kemewahan semu yang dipropagandakan negara-negara Barat. Tak selayaknya para wanita berbondong¬bondong terjun aktif di sektor publik, sedang tugas utama mereka di sektor domestik terbengkalai. Jika mereka pergi, adakah yang lebih baik dari wanita (sang ibu) untuk menggantikan posisinya?

Tiang Negara Pencetak Generasi

Wanita yang sukses mengelola tugas utamanya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga hakikatnya telah menciptakan sebuah pondasi bagi bangunan masyarakat. Keluarga yang hamonis dan kokoh serta lahirnya generasi yang bermutu adalah syarat utama kekokohan bangunan sebuah bangsa. Dan semua itu terwujud melalui peran yang dilakukan secara mumpuni oleh wanita.

Di belakang seorang pemimpin handal pastilah berdiri seorang wanita yang telah menemaninya sejak dari dalam kandungan hingga ia memimpin urusan masyarakat. Wanita itu tentu telah memberikan corak kepada sang pemimpin sehingga kertas putih yang tadinya bersih kini penuh dengan coretan indah penuh makna dan hikmah atas bimbingan sang ibu.

Sebuah kisah teladan pernah terukir di masa kejayaan Islam dulu. Lahirnya seorang khalifah yang mulia, Urnar bin Abdul Aziz adalah buah dari kemuliaan seorang ibu Ummu Ashim.
Sebagaimaina kita ketahui, Umar bin Abdul Aziz yang berjuluk Khalifah Kelima adalah pemimpin yang bersahaja. Tingkat keimanannya tidak perlu diragukan lagi. Beliau hafal Alquran sejak kecil. Matanya selalu banjir air mata karena rasa takutnya kepada Allah SWT. Ummu Ashim (Laila) sendiri adalah wanita mulia yang dilahirkan oleh ibu mulia —Ummu Ammarah binti Sufyan bin Abdullah bin Rabi'ah Ats-Tsaqafi, gadis yang dulu pernah dipergoki Khalifah Uttar Bin Khaththab tengah menasihati ibunya yang mau mencampurkan susu dengan air di tengah malam sunyi.

Betapa seorang wanita memiliki nilai strategis dalam melahirkan pemimpin dan generasi masa depan yang menentukan maju dan mundurnya sebuah bangsa. Maka layaklah muncul ungkapan masyhur bahwa wanita adalah tiang negara. Wanita menentukan maju dan mundurnya sebuah bangsa. Inilah makna tiang negara.

Harus dipahami bahwa ungkapan tiang negara tidak bisa dimaknai sebagai bentuk tuntutan agar wanita berkiprah dalam urusan politik praktis (misaInya, menjadi penguasa). Peran strategis wanita juga tidak diuktir dari, seberapa besar kontribusinya secara ekonomi bagi bangsa. Sungguh peran-peran tersebut bisa dan telah dilakukan oleh kaum laki-laki.

Adapun perkara melahirkan generasi dan mengokohkan bangunan keluarga, perannya lebih spesifik bagi wanita. Oleh karena itu, wanita menempati posisi sebagai penentu lahirnya generasi berkualitas. Hal ini didukung pula oleh fakta bahwa ibu adalah orang yang paling dekat dengan anak-anak. Sejak awal kehadirannya (dalam rahim ibu hingga besar), ibulah yang paling memahami kondisi anak. Ibu pun memiliki ikatan batin yang paling kuat terhadap anak. Melihat hubungan tersebut, maka fungsi ibu sangat sulit digantikan pihak lain.

Sedemikian eratnya hubungan ibu dengan anak, maka apabila ibu mampu mendidiknya dengan benar, maka ibu telah mengantarkan menuju terwujudnya generasi dan pemimpin berkualitas.

Pendidikan yang dilakukan ibu akan membentuk pola pikir dan pola sikap yang dituntunkan syariat. Dengan interaksi yang dialami antara ibu dan anak, pendidikan di rumah oleh ibu cukup berperan menorehkan sikap-sikap dan karakter kepemimpinan yang tidak bisa dilakukan oleh lembaga pendidikan dan lingkungannya.

Suksesnya sang anak pun sering tak lepas dari dorongan dan doa yang dipanjatkan sang ibu. Sungguh, Allah SWT mendengar doa ibu yang dipanjatkati untuk putra-putrinya. Semua ini menunjukkan bahwa wanita memiliki peran yang sangat strategis mencetak calon pemimpin masa depan.

Itulah bentuk amal shalih yang dikehendaki Allah SWT bagi wanita sebagaimana Allah pun telah menetap¬kan jenis amal shalih bagi laki-laki. Keduanya akan mendapat balasan kebaikan dari Allah SWT.

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. "(TQS. An Nahl [16]:97)

Pernah Maju

Tak ada salahnya kita memperhatikan bagaimana Islam telah mengagungkan beberapa Muslimah membangun peradaban yang namanya senantiasa abadi sepanjang zaman. Keberadaan mereka telah ada sejak dahulu, jauh sebelum hiruk pikuk kemodernan mengancam umat manusia.

Suatu ketika Rasulullah SAW membuat empat garis seraya berkata: "Tahukah kalian apakah ini? " Para sahabat berkata: 'Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui. "Nabi SAW lalu bersabda: "Sesungguhnya wanita ahli surga yang paling utama adalah Khadijah binti Khuwailid, Fathimah binti Muhammad SAW, Maryam binti Imran, dan Aisyah binti Mazahi" (Mustadrak Ash Shahihain 2:497).

Keempat wanita agung itu, bukanlah mereka yang larut dalam kemodernan zaman. Mereka adalah ibu dan atau istri tulen. Namun, ketegarannya menetapi profesi mulia yang diberikan Allah SWT itu telah membuat mereka tercatat seba¬gai wanita-wanita pembangun masyarakat. Dari merekalah cahaya Allah SWT semakin meluas merasuk ke seluruh pelosok negeri.

Kiprah wanita-wanita mulia ini pun bahkan menjadi inspirasi Muslimah pembangun masyarakat di era sesudahnya. Lahirnya mujahid Islam, panglima Islam, hingga mujtahid dan ulama penyebar dakwah Islam tentu tak lepas dari ketelatenan para ibu mulia yang tak semua tercatat dalam sejarah.

Satu hal yang sangat memengaruhi kesuksesan para wanita mulia ini dalam mengemban amanah membangun masyarakat, yaitu adanya sistem kehidupan Islam (Daulah Khilafah Islamiyyah). Sistem kehidupan Islam memang terbukti me¬mudahkan pelaksanaan tugas wanita. Tak hanya itu, tantangan yang dihadapi wanita pun menjadi sangat minimal. Sehingga hasilnya bisa dirasakan hingga kini.

Kini, sudah saatnya kaum Muslimah menyadari untuk tidak terjebak pada arus liberal yang diciptakan musuh musuh Islam di balik baju kemodernan. Harga diri sebagai Muslimah terlalu tinggi jika digadaikan dengan dunia dan seisinya karena wanita memiliki nilai strategis untuk membangun masyarakat. Dan, di tengah kesulitan yang dihadapi masyarakat modern saat ini, maka kem¬balinya wanita kepada tugas pokoknya tentu menjadi perkara yang sangat urgen. Semoga kita semakin sadar, hanya dengan kembali kepada syariat Islam, kemuliaan wanita diraih, keberkahan bagi masyarakat pun akan terwujud. Aamiin ya Rabbal 'alamiin.

Bebaskan Perempuan Terpelajar Dari Belenggu Kapitalisme !



oleh : Faizatul Rosyidah

Pengantar

Memandang potret nasib perempuan saat ini kita akan menjumpai betapa perempuan di berbagai belahan dunia saat ini masih jauh dari kemuliaan dan kesejahteraan. Tak sedikit fakta perempuan hari ini yang masih berada di kubangan keterpurukan. Kemiskinan, kebodohan, kekurangan pangan-sandang-papan, derajat kesehatan buruk masih menghiasi wajah perempuan dunia. Belum lagi soal ancaman keamanan dan kehormatan seperti pelecehan, kekerasan, eksploitasi dan sebagainya.

Potret buram nasib perempuan di abad 21 ini tak bisa dilepaskan di era globalisasi yang didrive oleh sistem demokrasi-kapitalisme. Gelombang globalisasi saat ini harus dibayar mahal dengan kenyataan bahwa 2/3 angka buta huruf dunia serta 3/5 angka penduduk dunia termiskin masih diwakili oleh kaum perempuan. Inilah paradoks globalisasi yang dipimpin oleh ideologi Kapitalisme.

Tuntutan global untuk kemajuan bagi perempuan disikapi oleh pemerintah di berbagai negara, termasuk Indonesia dengan upaya pemberdayaan perempuan dan pengarusutamaan gender. Akses pendidikan dibuka selebar-lebarnya untuk perempuan, begitupun akses ekonomi. Perempuan dipersilahkan untuk bertarung mengakses ekonomi demi “kemajuan dan kesejahteraan” yang didambanya. Yang terjadi kemudian, kaum perempuan lalu menerjuni hiruk pikuk dunia kerja. Terjadilah gelombang besar-besaran kaum perempuan menempati ruang-ruang industri dan meninggalkan peran keibuannya, bertarung meraup remah-remah kue ekonomi.

Di Indonesia, data Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyebut jumlah perempuan bekerja mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Jumlah perempuan bekerja 38,6 juta orang pada tahun 2006 dan meningkat menjadi 42,8 juta pada tahun 2008.

Potret Perempuan Terpelajar

Salah satu gerbang utama agar perempuan mencapai prestasi puncak dalam keberhasilan ekonomi adalah pendidikan tinggi. Dengan pendidikan yang tinggi, maka jaminan akan kesejahteraan hidup perempuan akan semakin tinggi pula, karena perempuan yang berpendidikan rendah akan terbatas kemampuannya untuk bertahan hidup apalagi mencapai kesejahteraan. Untuk itulah UNESCO mendeklarasikan misi peningkatan peran perempuan di level pendidikan tinggi (promoting role of women in higher education) yang berlangsung sejak 1998, sebagai bagian dari visinya dalam World Conference on Higher Education dalam menghadapi abad ke-21.[1] Bahkan UNESCO sendiri secara massif meluncurkan strategi pengarusutamaan gender (Gender Mainstreaming) sebagai strategi jangka menengah UNESCO dari 2002-2007 hingga 2008-2013.[2] Rangkaian program dari UNESCO ini tidak hanya bicara bagaimana meningkatkan akses perempuan terhadap pendidikan tinggi, tetapi juga bagaimana melibatkan perempuan dalam manajemen pendidikan tinggi sampai pada level pembuat kebijakan.

Perempuan terpelajar adalah perempuan dengan tingkat pendidikan mencapai perguruan tinggi. Atau secara demografi, perempuan terpelajar adalah populasi perempuan dengan usia 19 tahun ke atas yang memperoleh kesempatan menempuh pendidikan tinggi dari jenjang D-3 sampai dengan S-3. Namun disayangkan, Angka partisipasi kasar (APK) perempuan ke pendidikan tinggi tahun 2003 masih 10,14 persen dan pada tahun 2008 baru mancapai sekitar 14,58 persen. [3] Kenaikan yang belum signifikan, karena pembandingnya adalah puluhan juta jiwa perempuan Indonesia dengan range usia masuk perguruan tinggi.

Padahal di abad informasi ini, kalangan perempuan terpelajar dianggap mewakili komunitas yang paling signifikan perannya dalam perubahan sosial. Komunitas yang disebut oleh Hermawan Kartajaya sebagai Youth-Women-Netizen yaitu mereka yang muda (Youth), kaum perempuan (Women), dan pengguna internet (Netizen). Mereka ini mewakili era new wave culture, yaitu era interaksi horizontal akibat globalisasi teknologi informasi yang kian massif. [4]

Muda, cerdas, dinamis dan berwawasan luas itulah kira-kira karakter perempuan terpelajar saat ini. Mereka adalah segmen yang diklaim paling ideal oleh banyak kalangan, apalagi di mata kaum feminis. Seruan kemajuan dan profesionalisme yang seolah bisa dipenuhi oleh kalangan perempuan terpelajar ini akhirnya membuat mereka sering dianggap mewakili simbol emansipasi, modernitas dan produktivitas kaum perempuan. Namun betulkah demikian? Betulkah realitas perempuan terpelajar adalah mereka yang paling mampu meraih kesuksesan? Betulkan mereka dinilai paling bisa berkontribusi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara?

Perempuan Terpelajar dalam Dua Bahaya


Ukuran-ukuran kemajuan seperti besarnya keterwakilan politik perempuan di lembaga legislatif, besarnya partisipasinya di ranah publik, besarnya partisipasi perempuan-perempuan dalam pendidikan tinggi (perempuan terpelajar), besarnya keterlibatan perempuan di ranah decision making / pengambilan kebijakan, atau perempuan yang sukses berkarir/berbisnis, adalah ukuran-ukuran yang akhirnya dijadikan standar keberhasilan perjuangan dalam memajukan dan menyejahterakan perempuan. Serangkaian kebijakan pun lalu dibuat dengan harapan memajukan dan menyejahterakan perempuan, meski tanpa disadari serangkaian kebijakan lainnya berkebalikan dan justru membawa kepada ketidakmuliaan perempuan.

Ironisnya, rangkaian kebijakan ini bukan hanya gagal dalam memajukan perempuan juga membawa perempuan pada setidaknya dua bahaya besar; yaitu (1) disorientasi perannya sebagai ibu dan pilar utama keluarga, (2) eksploitasi ilmu dan keahliannya untuk kepentingan industri kapitalistik.

Untuk bahaya yang pertama, bisa kita lihat dari kemajuan semu yang diklaim oleh gerakan perempuan dalam memperjuangkan kesetaraan gender (gender equality). Alih-alih maju, justru malah membawa perempuan semakin terpuruk dalam kubangan persoalan. Runtuhnya struktur keluarga, meningkatnya angka perceraian, merebaknya free seks, meningkatnya kasus-kasus aborsi, dilema perempuan kariri, eksploitasi perempuan, pelecehan seksual, anak-anak bermasalah dan lain-lain ditengarai kuat menjadi efek langsung dari gagasan kebebasan perempuan. Hal ini terjadi karena kesalahan cara pandang terhadap perempuan serta kesalahan dalam menarik akar masalah perempuan sehingga mengakibatkan kian rancunya relasi dan pembagian peran diantara laki-laki dan perempuan.

Pengarusutamaan gender (gender mainstreaming) misalnya, boleh jadi menjadi jalan keluar persoalan ekonomi dan kesejahteraan perempuan, namun di saat yang sama akan memberi dampak yang lebih membuat perempuan, keluarga dan masyarakat di ambang keruntuhan akibat ancaman keamanan dan kehormatan seperti pelecehan, kekerasan, eksploitasi, dan dampak-dampak lain seperti terlalaikannya peran keibuannya (sebagai pendidik generasi), ketidakharmonisan relasi suami-istri, hingga perceraian akibat perempuan terlalu disibukkan oleh aktivitas mengais kue-kue ekonomi. Apalah artinya kesuksesan kaum perempuan di ranah ekonomi jika di saat yang sama anak-anaknya di rumah dibiarkan terbengkalai karena absen dari kasih sayang dan perhatian ibunya. Lebih jauh lagi, apalah untungnya kaum perempuan banyak berkiprah di luar rumah jika pada akhirnya harus berujung pada retaknya bangunan keluarga?

Bahaya yang kedua juga tidak kalah destruktifnya, bahkan menimbulkan multiplier effect. Bahaya ini datang dari penerapan sistem pendidikan yang kapitalistik. Sistem pendidikan seperti ini cuma menjadikan pendidikan layaknya barang dagangan atau komoditas, karena sangat beraroma kepentingan pasar. Kebijakan otonomi kampus, misalnya, sejatinya hanya penegasan belaka atas kenyataan bahwa pendidikan tinggi di Indonesia telah berkembang menjadi industri. Di negara-negara kapitalis besar, seperti AS, Kanada, Inggris, atau Australia, pendidikan tinggi memang merupakan lahan industri strategis yang menjadi bagian dari dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi negara bersangkutan.

Di negara-negara itu, industri pendidikan tinggi tumbuh pesat seperti industri jasa dan perdagangan yang lain. Lihat sentra-sentra industri pendidikan tinggi dunia yang sungguh memikat, seperti Boston, New York, California; Toronto, British Columbia; London, Manchester, Cambridge; atau Sydney, Melbourne, Canberra. Perkembangan industri pendidikan tinggi menuju komersialisasi pun tak terbendung, ditandai proses kapitalisasi ilmu pengetahuan terutama ketika pertumbuhan ekonomi digerakkan iptek—knowledge-and technology-driven economic growth. Sehingga wajar, lembaga perdagangan dunia yakni WTO pun kemudian menetapkan pendidikan sebagai salah satu industri sektor tersier [5].

Komersialisasi pendidikan tinggi umumnya didorong tiga motif utama. Pertama, hasrat mencari uang dan dukungan finansial serta keinginan menggali sumber-sumber pembiayaan alternatif, yang ditempuh melalui apa yang di kalangan universitas Amerika/ Eropa disebut an offer of generous research funding in exchange for exclusive patent licensing rights. Kedua, peluang mengembangkan (baca: menjual) program pendidikan jarak jauh untuk memperoleh keuntungan finansial sebagaimana yang sudah lazim dilakukan di perguruan tinggi di Indonesia. Ketiga, mendapatkan aneka kontrak yang menguntungkan dengan perusahaan/industri melalui pemberian dana, fasilitas, dan peralatan.

Akibatnya yang terjadi adalah berkembangnya pragmatisme dalam dunia pendidikan, yang tercermin dari tujuan pendidikan yang terlampau mengedepankan materi. Jauh dari tujuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan memperbaiki kualitas kepribadian. Bahkan banyak perguruan tinggi besar tidak malu-malu lagi menyatakan dirinya sebagai entrepreneurial university. Fenomena industrialisasi pendidikan tinggi yang mengarah ke komersialisasi ini mengandung bahaya bagi perguruan tinggi bersangkutan. Derek Bok dalam Universities in the Marketplace: The Commercialization of Higher Education (2005) mencatat sejumlah bahaya yang patut diwaspadai dari komersialisasi pendidikan tinggi;

1. perguruan tinggi akan tergiring melupakan misi suci (sacred mission) yang harus diemban, yakni melahirkan insan-insan terdidik dan berkeahlian, yang menjadi basis bagi ikhtiar membangun masyarakat beradab dan pilar utama upaya pencapaian kemajuan bangsa;

2. perguruan tinggi juga akan cenderung mengabaikan fungsi utama sebagai lembaga produsen ilmu pengetahuan, pelopor inovasi teknologi, serta pusat eksperimentasi dan observatorium bagi penemuan-penemuan baru yang penting dalam membangun peradaban umat manusia;

3. perguruan tinggi berpotensi mengorbankan core academic values karena perguruan tinggi cenderung berkompromi antara pilihan menjaga standar mutu program akademik dan tuntutan mendapatkan dukungan finansial dari perusahaan/industri.

Pada tingkat lanjut, dampaknya adalah kehancuran peran intelektual terpelajar dan jatuhnya kedudukan mereka sekedar sebagai agen ekonomi dan buruh murah yang memperkuat bercokolnya para kapitalis. Kapitalisme telah menjatuhkan ilmu pengetahuan dan para pemilik ilmu pengetahuan pada derajat budak-budak mereka. Ilmu dan profesionalitas mereka dibajak untuk melegitimasi sepak terjang para kapitalis dalam merampok kekayaan alam negeri ini. Undang-undang (UU) Penanaman Modal, UU migas, UU ketenagalistrikan, UU sumber daya air, semua itu adalah hasil karya para intelektual pesanan para kapitalis yang sangat menyengsarakan rakyat. Kalangan Intelektual dalam sistem kapitalistik juga ditelikung untuk menjadi pemadam kebakaran dari masalah yang terus menerus diproduksi para kapitalis. Mereka diminta untuk mereklamasi lahan bekas tambang, menemukan tanaman yang tahan terhadap pencemaran, menemukan teknik bioenergi terbaik dan berbagai teknologi yang semua itu dalam rangka menghapus dosa-dosa para kapitalis dari berbagai kerusakan yang mereka perbuat.

Semua peran ini banyak dijalankan oleh kalangan terpelajar tanpa sebuah kesadaran. Karena dikemas cantik dengan slogan dan iming-iming kesuksesan, kesejahteraan dan modernitas. Hal ini pun melanda perempuan terpelajar, apalagi dalam paradigma kapitalistik, perempuan juga dianggap sebagai aset ekonomi sehingga selaras dengan kebijakan liberalisasi pendidikan tinggi. Maka tak heran jika UNESCO secara intensif menggalakkan program pelibatan perempuan dalam jajaran struktural institusi perguruan tinggi, agar bisa menjadi pelaku langsung di dunia industri tersier. Program gender mainstreaming UNESCO di pendidikan tinggi ini meliputi :

a) Akses yang lebih besar bagi perempuan dalam berbagai bidang melalui tindakan afirmatif (kursi lebih dicadangkan untuk perempuan) atau melalui lembaga / universitas khusus perempuan dan;
b) Partisipasi perempuan yang lebih besar dalam pendidikan sains dan teknologi;
c) Pemeliharaan dan pengembangan studi tentang perempuan; dan
d) Perwakilan perempuan di posisi manajerial dalam pendidikan tinggi. [6]

Walhasil, dua bahaya ini akan selalu membayangi kehidupan perempuan terpelajar. Mereka akan terus menerus berada di bawah dilema antara tekanan profesionalitasnya dengan dedikasi keilmuan yang dimilikinya, demikian juga dilema antara tuntutan kesejahteraan dan peran kodratinya sebagai perempuan.

Resolusi bagi Perempuan Terpelajar


Andai kita semua sadar bahwa akar beragam persoalan perempuan adalah terletak pada sistem kapitalis yang watak genialnya memang rusak dan merusak, maka mestinya penolakan terhadap sistem ini yang mestinya dijadikan sebagai landasan berbagai perjuangan pemberdayaan perempuan. Betapa tidak, sistem kapitalis adalah sistem yang meminimkan peran negara dalam melindungi masyarakat, bahkan cenderung eksploitatif termasuk dalam hal ini terhadap perempuan.

Salah satu dari kekeliruan mendasar Kapitalisme adalah lepas tangannya negara dalam mengelola institusi pendidikan dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Ini sungguh bertentangan dengan sabda Rasulullah Saw : ”Imam adalah ibarat pengembala dan dialah yang akan bertanggung jawab terhadap gambalaannya” (HR Muslim). Dan juga hadits yang artinya : ”Pemimpin manusia adalah pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang diurusnya” (HR Muslim).

Selain itu watak “imperialistik” dari kapitalisme juga telah menjadikan perempuan sebagai objek penjajahan dengan pengarusutamaan gender sebagai pintu masuknya, termasuk di dunia pendidikan tinggi. Targetnya antara lain menciptakan buruh murah, menjadikan perempuan sebagai kapstok berjalan dan sebagai pasar produk beragam industry, termasuk menjadikan perempuan terdidik dan terpelajar sebagai agen-agen pengemban kapitalisme. Arus liberalisasi yang demikian kuat ditiupkan kapitalisme telah membuat perempuan-perempuan terseret hingga jauh meninggalkan ajaran agamanya dan membebek pada kapitalisme. Target utama pengemban ideologi ini jelas untuk melanggengkan hegemoni ekonomi, politik, sekaligus memenangkan perang peradaban.

Oleh karena itu, upaya penyelesaian persoalan perempuan semestinya kita tarik dari akar masalahnya. Sudah saatnya kita tinggalkan kapitalisme dan kembali kepada peradaban Islam sebagai sistem yang telah diturunkan oleh Allah SWT untuk dijadikan pedoman bagi manusia di muka bumi ini.

Di dalam peradaban Islam, perempuan diposisikan sebagai sosok yang dapat memberikan kontribusi besar dalam membangun sebuah peradaban, tanpa mengalami disorientasi peran dan dilema keilmuannya. Karena peradaban Islam tegak di atas aturan-aturan Sang Pencipta, Allah Swt yang telah menciptakan laki-laki dan perempuan dan mengatur kehidupan manusia secara adil dan seimbang.

Kontribusi pertama, adalah secara tidak langsung, yakni dalam peran mereka sebagai ibu ataupun istri. Di balik diri seorang ulama atau ilmuwan besar, ada seorang ibu yang luar biasa dan atau seorang istri yang luar biasa. Andaikata Imam Syafii tidak memiliki ibu yang tangguh, barangkali si anak yatim ini akan tumbuh di jalanan, jadi pengemis atau pengamen, dan tidak menjadi seorang pembelajar yang memenuhi setiap rongga tubuhnya dengan ilmu, sekalipun mereka didera oleh kemiskinan. Demikian juga andaikata istri-istri Al-Bukhari, al-Biruni atau Ibnu Khaldun tidak sigap mengambil peran dan tanggung jawab rumah tangga, tentu para ulama atau ilmuwan besar itu akan cukup sering direpotkan oleh anak-anak mereka, apalagi ketika mereka sering harus mengembara menghadiri majelis-majelis ilmu.

Kontribusi kedua, adalah peran para wanita secara langsung, yaitu tatkala mereka sendiri adalah aktor peradaban. Tidak ada yang meragukan kontribusi istri-istri Nabi Muhammad SAW maupun para shahabiyah bagaimana para wanita agung itu demikian tekun dan cerdas dalam mengikuti pendidikan Rasulullah SAW hingga tak sedikit diantara mereka yang menjadi ahli hadits. Para shahabiyah juga dikenal sebagai sosok wanita yang berani memberikan kritik kepada para penguasa. Sejarah juga mencatat kisah-kisah para wanita hebat yang di antaranya sampai harus bepergian ribuan mil hanya untuk mendengarkan hadits dari para narator yang merangkai sanad sampai ke Nabi SAW. Mereka juga duduk dalam suatu majelis ilmu bersama dengan para ulama atau ilmuwan untuk berdiskusi, berargumentasi, menguji, atau bahkan membantah, sampai mereka mendapatkan apa yang diyakini memang berasal dari Rasulullah SAW.

Sementara itu, di bidang sains dan teknologi, meski diyakini ada juga banyak wanita muslimah yang terlibat, namun biografi mereka agak lebih sulit dikumpulkan. Hal ini agak berbeda dengan bidang ilmu hadits, di mana setiap mata rantai hadits harus dilengkapi dengan biografi yang rinci. Namun cukuplah untuk menyebut nama Maryam Ijliya al-Asturlabi, seorang wanita astronom yang dijuluki “al-Asturlabi” karena memiliki kontribusi luar biasa dalam pengembangan Astrolab (sebuah alat penting dalam navigasi astronomis).

Sistem Khilafah : Solusi Komprehensif


Jika sistem kapitalisme sekuler terbukti gagal mengangkat harkat martabat perempuan, sekarang saatnya menguji kemampuan sistem Islam sebagai sistem pengganti kapitalisme. Sistem Islam yang diimplementasikan secara riil oleh institusi negara yaitu Khilafah Islamiyah.

Khilafah adalah sebuah keniscayaan dalam menjawab persoalan perempuan, termasuk perempuan terpelajar. Khilafah-lah yang akan mewujudkan muslimah berkepribadian Islam, pendidik generasi pemimpin, yang berkualitas mujahid dan mujtahid. Khilafah jualah yang akan mewujudkan muslimah berkepribadian Islam, yang mampu mengoptimalkan potensi intelektual, keahlian dan kepakarannya dalam bingkai sistem kehidupan Islam.

Langkah-langkah sistematis dan komprehensif akan ditempuh oleh Khalifah untuk memberikan pengaturan terbaik bagi perempuan, diantaranya adalah dua langkah strategis berikut ini :

1. Penerapan sistem sosial politik, baik secara struktural maupun kultural oleh Khalifah yang menjamin wanita mampu dan leluasa menjalankan fungsinya sebagai ibu dan pendidik generasi, tanpa adanya bayang-bayang ketidakadilan gender seperti di alam Kapitalisme-Sekuler. Dimana sistem sosial ini mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut :

a. Islam memandang bahwa perempuan dan laki-laki adalah sama, yang membedakannya adalah taqwa. Allah Swt telah menempatkan peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan secara adil agar keduanya bisa hidup berdampingan secara harmonis.

b. Islam memuliakan perempuan dengan hukum-hukum Syariat yang luhur, bukan dengan perhiasan materi dan slogan-slogan semu yang justru kian menjadikan perempuan tereksploitasi. Islam sangat melindungi dan menjaga kehormatan perempuan. Misalnya adalah ayat Alqur’an mengenai aturan memakai kerudung (An-Nur 24 : 31) dan jilbab (al-ahzab 33 : 59). Dan banyak hukum-hukum lain yang sangat menjaga kehormatan dan kemuliaan perempuan.

c. Islam memberikan tanggung jawab khusus kepada perempuan sebagai ummun wa robbah al bayt yaitu sebagai ibu dan manajer rumahtangga. Perempuan adalah pilar penting dalam kokohnya keluarga-keluarga muslim yang mampu menghasilkan generasi berkualitas di masa depan, generasi berkepribadian Islam dan berjiwa pemimpin.

d. Islam mencerdaskan perempuan dengan tsaqofah Islam dan ilmu yang bermanfaat. Bahkan mendorong seluruh perempuan untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya. Dimana tidak ada perbedaan sedikitpun dalam hal kewajiban menuntut ilmu antara laki-laki maupun perempuan. Allah Swt berfirman yang artinya : “Allah mengangkat orang ­orang yang beriman dari pada kamu dan orang­orang yang diberi ilmu dengan beberapa derajat” (QS. Al-Mujadalah : 11).

e. Tanggungjawab kesejahteraan bukan berada di pundak perempuan. Tapi berada pada pundak laki-laki dan negara. Islam tidak mewajibkan perempuan untuk bekerja, tetapi Islam mewajibkan pemberian nafkah kepada mereka, sehingga perempuan di dalam peradaban Islam tidak akan terbebani untuk mengejar kesejahteraan. Sebagaimana firman Allah:

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ

…Dan kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada pada ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya, dan seorang ayah karena anaknya. Dan warispun berkewajiban demikian… (TQS. al-Baqarah [2]: 233).



2. Penerapan sistem pendidikan Islam oleh Khalifah yang mengoptimalkan potensi keilmuan serta kepakaran wanita semata-mata untuk mewujudkan negara khilafah sebagai negara adidaya/negara pertama, bukan untuk mengabdi pada kepentingan pasar dan hegemoni asing. Prinsip-prinsip sistem pendidikan Islam adalah :

a. Asasnya adalah Aqidah Islam bukan sekulerisme, karena menuntut ilmu adalah perintah hukum syari’at. Ilmu bukanlah komoditas yang bisa diperdagangkan untuk kepentingan materi. Di dalam Islam posisi ilmu pengetahuan itu sangatlah mulia. Islam memuliakan ilmu pengetahuan sebagai saudara kembarnya iman, bukan dengan memberinya “bandroll” harga seperti Kapitalisme.[7]

b. Tujuan sistem pendidikan islam membentuk manusia berkualitas yang berintegritas, bukan sekedar untuk memproduksi buruh-buruh murah. Tujuan pendidikan dalam Islam adalah mengembangkan manusia yang : berkepribadian Islam, menguasai tsaqafah Islam, dan menguasai ilmu kehidupan (sains, teknologi, dan seni). Sehingga yang terbentuk adalah manusia-manusia yang dapat mengatasi permasalahan kehidupannya dalam koridor syariah Islam. Manusia yang demikian akan mengalami kebangkitan, tangguh, dan maju.

c. Pendidikan adalah tanggung jawab negara seutuhnya, tidak boleh diserahkan ke pasar bebas, apalagi ke tangan-tangan asing. Pemerintahan Khilafah adalah penentu kebijakan pendidikan, termasuk kurikulum yang berasaskan dan metode pendidikan yang berasaskan akidah Islam. Institusi pendidikan di dalam Khilafah tidaklah berstatus otonom seperti sekarang, yang mengakibatkan masuknya intervensi asing pada kurikulum dan metode pendidikan kian deras.

d. Pendidikan bagi siapapun. Dalam Islam tidak ada pembedaan jenis kelamin, baik laki-laki maupun perempuan kedudukannya sama di mata Islam yaitu dibebankan kewajiban menuntut ilmu. Begitupun pendidikan dalam Islam tidak mengenal batasan usia pendidikan. Yang ditegaskan hanyalah bahwa pendidikan di sekolah dimulai sejak usia tujuh tahun, sesuai perintah untuk mengajarkan shalat pada anak-anak pada usia itu (HR Hakim dan Abu Dawud).

e. Pendidikan adalah sepenuhnya jaminan negara, biaya pendidikan tidak akan dibebankan pada rakyat. Karena pendidikan adalah pelayanan umum dan kemaslahatan hidup terpenting. Negara merupakan pihak yang berkewajiban mewujudkan pemenuhan hal ini untuk seluruh rakyatnya. Islam telah menetapkan bahwa yang akan menjamin pendidikan adalah Negara. Pengadaan dan jaminan terhadap kedua kebutuhan mendasar ini akan ditanggung sepenuhnya oleh Negara, baik untuk orang miskin maupun kaya, laki-laki maupun perempuan,muslim maupun non muslim. Baitul maal akan menanggung pembiayaannya.

Khilafah akan membuat strategi kebijakan terpadu yang menjamin terwujudnya mentalitas perempuan sebagai pendidik generasi, untuk melahirkan mujahid dan mujtahid, serta membuat strategi kebijakan terpadu yang meng-update potensi kemampuan kepakaran perempuan terpelajar dalam bingkai Ideologi Islam.

Wallahu a’lam


[1] WORLD CONFERENCE ON HIGHER EDUCATION, Higher Education in the Twenty-first Century ; Vision and Action, UNESCO, Paris, 5-9 October 1998
[2] UNESCO Medium Term Strategy, 2008-2013, Paris UNESCO, 2008
[3] Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI http://www.menegpp.go.id/aplikasidata/index.php?option=com_docman&Itemid=115
[4] The Anatomy of New Wave Culture http://www.markplusinc.com/index.php?page=markplus_articles_View&pid=204&id=6
[5] Dalam tipologi yang digunakan oleh ilmu ekonomi, kegiatan usaha dalam masyarakat dibagi dalam 3 sektor; sektor primer, sekunder dan tersier. Sektor primer mencakup semua industri ekstraksi hasil pertambangan dan pertanian. Sektor sekunder mencakup industri untuk mengolah bahan dasar menjadi barang, bangunan, produk manufaktur dan utilities. Sektor tersier mencakup industri-industri untuk mengubah wujud benda fisik (physical services), keadaan manusia (human services) dan benda simbolik (information and communication services).
[6] Gender Issues in Higher Education, UNESCO Asia and Pacific Regional Bureau for Education, 2010
[7] Imam Al-Ghazali, dalam muqoddimah kitabnya Bidayah Wa Nihayah menegaskan; jika seseorang mencari ilmu dengan maksud untuk sekedar hebat-hebatan, mencari pujian, atau untuk mengumpulkan harta benda, maka dia telah berjalan untuk menghancurkan agamanya, merusak dirinya sendiri, dan telah menjual akhirat dengan dunia. (Fa-anta saa’in ilaa hadmi diinika wa ihlaaki nafsika, wa bay’i aakhiratika bi dunyaaka).

NEGARA KHILAFAH MAMPU MENGENTASKAN KEMISKINAN


Kemiskinan adalah fenomena yang begitu mudah dijumpai di mana-mana. Tak hanya di desa-desa, tapi juga di kota-kota. Di balik kemegahan gedung-gedung pencakar langit di Jakarta, misalnya, tidak terlalu sulit kita jumpai rumah-rumah kumuh berderet di bantaran sungai, atau para pengemis yang berkeliaran di perempatan-perempatan jalan. Menurut Badan Pusat Statistik (2010), angka kcmiskinan masih sangat tinggi mencapai 32,03 juta orang, walaupun pemerintah Indonesia mengklaim berhasil mengurangi angka kemiskinan menjadi 31,02 juta jiwa, akan tetapi kalau menggunakan data penerima raskin (beras untuk rakyat miskin) tahun 2010 mencapai 70 juta jiwa dan penerima layanan jamkesmas mencapai 76,4 juta jiwa.

Sementara dalam Skala internasional, kegagalan dan kerusakan yang disebabkan oleh sistem ekonomi kapitalis semakin nyata dan jelas, menurut Laporan Global Hunger Index (GHI) yang dibuat oleh International Food Policy Research Institute, menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2010 terdapat 1 milyar penduduk dunia yang mengalami kelaparan.

Kapitalisme: Akar Masalah Penyebab Kemiskinan

Banyak faktor yang membuat seseorang menjadi miskin, namun secara garis besar kemiskinan dapat disebabkan oleh tiga faktor utama. Pertama, kemiskinan alamiah, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh kondisi alami seseorang; misalnya cacat mental atau fisik, usia lanjut dan lain-lain. Kedua, kemiskinan kultural, kemiskinan yang disebabkan oleh rendahnva kualitas SDM akibat kultur masyarakat; misalnya rasa malas, tidak produktif, bergantung pada harta warisan, dan lain-lain. Ketiga, kemiskinan stuktural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh kesalahan sistem yang digunakan negara dalam mengatur urusan rakyat.

Dari tiga sebab utama tersebut, yang paling besar pengaruhnya adalah kemiskinan stuktural. Sebab, dampak kemiskinan yang ditimbulkan bisa sangat luas dalam masyarakat. Kemiskinan jenis inilah yang menggejala di berbagai negara dewasa ini. Tidak hanya di negara-negara scdang berkembang, tetapi juga di negara-negara maju. Kemiskinan struktural tcrsebut merupakan konsekuensi logis penerapan sistem ekonomi Kapitalisme yang rusak baik secara paradigma maupun konsep derivatif atau turunan dalam kebijakannya.

Secara paradigma kesalahan mendasar sistem ekonomi kapitalis adalah ketika menjadikan kelangkaan (scarcity) barang dan jasa sebagai problem ekonomi dan menyerahkan produksi, konsumsi dan distribusi kepada mekanisme pasar dengan peran negara yang minimalis. Sementara dalam konsep derivatifnya ekonomi kapitalis memunculkan adanya sektor non riil dalam perekonomian seperti perbankan ribawi, pasar modal, bursa saham, valas [pasar uang], dll) atas sektor riil (perdagangan dan jasa yang bersifat nyata). Sektor ekonomi non rill ini menjadi sumber utama pemicu krisis ekonomi dan moneter serta ketimpangan ekonomi di tengah-tengah masyarakat karena menyebabkan sektor rill tidak bergerak dan kekayaan hanya bertumpu pada kelompok kecil manusia.

Dalam satu hari, dana yang beredar dalam transaksi semu di pasar modal dan pasar uang dunia diperkirakan rata-rata sekitar 2-3 trilyun dolar AS, atau dalam satu tahun sekitar 700 trilyun dolar AS. Sebaliknva, arus perdagangan barang sccara internasional dalam satu tahunnya hanya berkisar 7 trilyun dolar AS. Jadi, arus uang 100 kali lebih cepat dibandingkan dengan arus barang (Republika, 18/8/2000).

Sistem Ekonomi Islam: Solusi untuk pengentasan kemiskinan

Salah satu cabang syariat terpenting yang saat ini banyak dilupakan adalah syariat tentang ekonomi. Syariat Islam memandang perkara ekonomi menjadi dua bagian yaitu ilmu ekonomi yang berhubungan dengan soal bagaimana suatu barang atau jasa diproduksi, misalnya teknik industri, manajemen atau pengembangan sumber daya baru. Islam tidak mengatur secara khusus tentang ilmu ekonomi; dan sistem ekonomi yang berhubungan dengan pengurusan soal pemuasan kebutuhan dasar tiap individu di dalam masyarakat serta upaya mewujudkan kemakmurannya. Dan ini adalah subyek dari sistem ekonomi Islam dan mewajibkan bagi setiap Muslim termasuk negara untuk terikat dengannya.

Sistem ekonomi Islam meliputi: konsep kepemilikan; penggunaan hak milik; dan distribusi kekayaan di antara individu. Dalam konsep kepemilikan, Islam membagi kepemilikan menjadi tiga, yaitu : milik pribadi, milik umum atau milik negara. Kepemilikan umum mencakup sumber alam seperti minyak bumi, tambang emas, perak, tembaga, dan lain-lain; benda-benda yang pembentukannya tidak mungkin dimiliki individu seperti masjid, jalan raya; juga benda-benda vital yang dibutuhkan dan dicari-cari oleh manusia dan memiliki jumlah kandungan (deposit) yang amat besar, misalnya sumber mata air. Dalam kasus Indonesia, seandainya Kepemilikan Umum ini dikelola oleh negara menurut Fahmi Amhar, negara akan mendapatkan dana sekitar 1.764 trilyun tiap tahun (Sumber http://famhar.multiply.com/journal/item/179).

Berdasarkan paradigma tersebut, maka Islam telah menetapkan politik ekonomi dan mekanisme ekonomi untuk mengentaskan kemiskinan dan menjamin kesejahteraan umat manusia.

Politik Ekonomi Islam

Politik ekonomi Islam seperti yang dijelaskan oleh Abdurahman al-Maliki (2001) dalam bukunya, As-Siyaasah al-Iqtishaadiyah al-Mutslaa (Politik Ekonomi Ideal) adalah jaminan pemenuhan atas pemuasan semua kebutuhan primer (sandang, pangan, dan papan) setiap orang serta pemenuhan kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kadar kemampuannya sebagai individu yang hidup dalam masyarakat tertentu yang memiliki
gaya hidup yang khas. Politik ekonomi Islam diterapkan oleh negara melalui mekanisme dan kebijakan APBN untuk menjamin kesejahteraan umat manusia baik untuk pemenuhan kebutuhan pokok individu maupun kebutuhan pokok masyarakat.

Pemenuhan kebutuhan pokok individu

Islam telah menjamin pemenuhan kebutuhan pokok pangan, sandang, dan papan, dengan mekanisme yang telah ditetapkan oleh syariat dengan strategi sebagai berikut :

1. Memerintahkan setiap kepala keluarga untuk bekerja.
Barang-barang kebutuhan pokok tidak mungkin diperoleh, kecuali manusia berusaha mencarinya. Islam mendorong manusia agar bekerja, mencari rezeki, dan berusaha. Bahkan, Islam telah menjadikan hukum mencari rezeki tersebut adalah fardhu. Banyak ayat dan hadits yang telah memberikan dorongan dalam mencari nafkah, diantaranya :
Di dalam ayat Alquran surat Al jumu'ah ayat 10, Allah SWT berfirman:
"...Maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung" (QS al-jumu'ah:10).
Banyak sekali hadits yang memotivasi seorang Muslim untuk bekerja diantaranya :
"Barang siapa pada malam hari merasakan kelelahan dari upaya ketrampilan kedua tangannya pada siang hari maka pada malam itu ia diampuni. " (HR Ahmad)

2. Negara wajib menciptakan lapangan kerja bagi rakyatnya, agar rakyat bisa bekerja dan berusaha.
Rasulullah SAW pernah memberi dua dirham kepada seseorang dan bersabda:
"Makanlah dengan satu dirham, dan sisanya, belikanlah kapak, lalu gunakanlah ia untuk bekerja.”

3. Islam Mewajibkan kepada kerabat dan mahram yang mampu untuk memberi nafkah yang tidak mampu.
(lihat QS 2:233) "Kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. 'Seorang tidak dibebani selain menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan ahli waris pun berkewajiban demikian... " (QS a]- Baqarah: 233).

4. Kewajiban negara (Baitul Maal) untuk memenuhi jika tidak mampu bekerja dan tidak ada ahli waris yang mampu menafkahinya.
Negara wajib memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya bagi yang tidak mampu bekerja dan tidak memiliki ahli waris baik dananya berasal dari harta zakat yang merupakan kewajiban syar'i, maupun harta lain yang ada di Baitul Maal.

Pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat

Pendidikan, kesehatan, dan keamanan adalah kebutuhan asasi dan harus dipenuhi oleh manusia dalam hidupnya. Dalam sistem Islam, kebutuhan jasa pendidikan, kesehatan, dan keamanan mewajibkan negara secara langsung memenuhi kepada setiap individu rakyat.

Dalil yang menunjukkan adalah tindakan Rasulullah SAW yang bertindak sebagai kepala negara, dalam bidang keamanan Rasululloh SAW memberikan keamanan kepada setiap warga negara (Muslim dan non Muslim/kafir dzimmi) sebagaimana sabdanya:
"Sesungguhnya aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan Laa ilaha illallahu Muhammadur Rasulullah. Apabila mereka telah melakukannya (masuk Islam atau tunduk pada aturan Islam), maka terpelihara olehku darah-darah mereka, harta-harta mereka, kecuali dengan jalan yang hak. Adapun hisabnya terserah kepada Allah" (HR Bukhari, Muslim, dan pemilik sunan yang empat).

Dalam masalah pendidikan Rasulullah SAW pernah menetapkan kebijakan terhadap tawanan perang Badar, apabila seorang tawanan telah mengajar 10 orang penduduk Madinah dalam hal baca dan tulis akan dibebaskan sebagai tawanan.

Sementara dalam masalah kesehatan Rasulullah SAW pernah membangun tempat pengobatan untuk orang-orang sakit dan membiayainya dengan harta dari Baitul Mal.

Keberhasilan negara khilafah dalam mengatasi kemiskinan

Solusi yang ditawarkan Islam dalam mengatasi kemiskinan, sebagaimana yang telah diuraikan di atas, bukan hanya pada tataran konsep semata. Perjalanan panjang sejarah kaum Muslim, membuktikan bahwa Solusi tersebut benar-benar dapat realisasikan. Yaitu ketika kaum Muslim hidup di bawah naungan Negara Khilafah yang menerapkan Islam secara kaffah.

Dalam kitab al-Amwaal karangan Abu Ubaidah, diceritakan bahwa Khalifah Umar bin Khathab pernah berkata kepada pegawainya yang bertugas membagikan shadaqah, “jika kamu memberikan, maka cukupkanlah," selanjutnya beliau berkata lagi, “Berilah mereka itu sedekah berulangkali sekalipun salah seorang di antara mereka memiliki seratus unta." Beliau menerapkan politik ekonomi yang memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan primer rakyat. Beliau mengawinkan kaum Muslim yang tidak mampu; membayar utang-utang mereka, dan memberikan biaya kepada para petani agar mereka menanami tanahnya.

Kondisi politik seperti ini terus berlangsung hingga masa Daulah Umayah di bawah pemerintahan Khahfah Umar bin Abdul Aziz. Pada saat itu, rakyat sudah sampai pada taraf hidup ketika mereka tidak memerlukan bantuan harta lagi. Pada tahun kedua masa kepemimpinannya, Umar bin Abdul Aziz menerima kelebihan uang Baitul Mal secara berlimpah dari gubernur Irak. Beliau lalu mengirim Surat kepada gubernur tersebut, 'Telitilah, barang siapa berutang, tidak berlebih-lebihan dan foya-foya, maka bayarlah utangnya". Dalam kesempatan lain, Umar bin Abdul Aziz memerintahkan pegawainya untuk berseru setiap hari di keru¬munan khalayak ramai, untuk mencukupi kebutuhannya masing-masing. “Wahai manusia! Adakah di antara kalian orang-orang yang miskin? Siapakah yang ingin kawin? Ke manakah anak-anak yatim?" Ternyata, tidak seorang pun datang memenuhi seruan tersebut.

Jaminan pemenuhan kebutuhan hidup ini, tidak hanya diberikan kepada kaum Muslim, tetapi juga kepada orang non Muslim yang menjadi warga Negara Khilafah. Orang-orang non Muslim mempunyai hak yang sama dengan orang Muslim, tanpa ada perbedaan. Sebagai contoh, dalam akad dzimmah yang ditulis oleh Khalid bin Walid untuk menduduk Hirah di Irak yang beragama Nasrani, disebutkan: "Saya tetapkan bagi mereka, orang yang lanjut usia yang sudah tidak mampu bekerja atau ditimpa suatu penyakit, atau tadinya kaya, kemudian jatuh miskin, sehingga teman-temannya dan para penganut agamanya memberi sedekah; maka saya membebeaskannya dari kewajiban membayar jizyah. Untuk selanjutnya dia beserta keluarga yang menjadi tanggungannya, menjadi tanggungan Baitul Mal kaum Muslim."

Bahkan Amerika Serikat yang saat ini banyak melakukan kejahatan terhadap kaum Muslimin, negara dan rakyatnya pernah dibantu oleh Kekhilafahan Ustmani, hal ini dapat dilihat Surat ucapan terima kasih dari pemerintah Amerika Serikat atas bantuan pangan yang dikirim khalifah ke sana yang sedang dilanda kelaparan (pasca perang dengan Inggris) abad ke-18.

Penutup

Demikianlah beberapa gambaran sejarah kaum Muslim, yang menunjukkan betapa Islam yang mereka terapkan ketika itu benar-benar membawa keberkahan dan kesejahteraan hidup. Bukan hanya bagi umat Muslim tapi juga bagi umat non Muslim yang hidup di bawah naungan Islam. Jika demikian halnya, masihkah umat ini tetap rela hidup tanpa Khilafah Islamiyyah?

[Arim Nasim]