Assalamu'alaykum ^_^

Teruntuk Siapapun Yang Merindukan Kemuliaan & Kebangkitan ISLAM

Assalamu'alaykum Warahmatullah..

Selamat Datang
Semoga Bermanfaat

3/31/11

Mencintai Allah dan Rasul-Nya

Katakanlah, "Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah, "Taatilah Allah dan Rasul-Nya. Jika kalian berpaling maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir."
Qs. Ali-Imran [3]: 31-32).

Sabab Nuzul
Hasan bin Abi al-Hasan dan Ibnu al-Juraij menuturkan, ada beberapa kaum berkata kepada Nabi Saw, "Wahai Muhammad, sungguh kami mencintai Tuhan kami." Kemudian turun ayat ini memerintahkan mereka untuk mengikuti Muhammad Saw sebagai bukti kecintaan mereka kepada Allah.*1)
Menurut Muhammad bin Ja'far bin az-Zubair, ayat ini turun terkait dengan delegasi Nasrani Najran. Mereka datang kepada Nabi Saw dan menyatakan bahwa klaim mereka tentang Isa adalah karena kecintaan mereka kepada Allah.*2)
Menurut sebagian lain, ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani yang mengaku mencintai dan dicintai Allah, seperti yang diberitakan Allah SWT: Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan, "Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya." (Qs. al-Mâ'idah [5]: 18).*3)

Tafsir Ayat
Al-Mahabbah (cinta) berarti kecenderungan jiwa pada sesuatu.*4) Cinta itu muncul pada diri manusia karena ia meyakini kesempurnaan sesuatu yang dia cintai. Kesempurnaan hakiki hanya milik Allah SWT dan semua kesempurnaan yang ada pada makhluk juga berasal dari Allah. Ketika seorang hamba meyakini hal itu, maka tiada rasa cinta pada dirinya kecuali kepada Allah dan karena Allah. Keyakinan itu akan menuntunnya untuk menaati-Nya dan senang melakukan apa saja yang dapat mendekatkan diri kepada-Nya.*5) Karena itu, para ulama menafsirkan al-mahabbah li Allâh (cinta kepada Allah) sebagai kesediaan untuk menaati-Nya.*6)

Ungkapan ayat ini bersifat umum mencakup siapa saja yang mengaku cinta kepada Allah.*7)Siapa yang mengaku mencintai Allah harus membuktikannya dengan mengikuti Rasul-Nya, Muhammad Saw. Tugas beliau adalah menyampaikan risalah-Nya kepada seluruh manusia. Melalui beliau, manusia dapat beribadah kepada Allah SWT secara benar, membedakan yang haq dan yang batil, yang diridhai dan yang dimurkai Allah, yang diperintahkan dan yang dilarang-Nya. Semua yang beliau sampaikan adalah wahyu (Qs. an-Najm [53]: 4-5). Jadi, menaati Rasulullah Saw pada hakikatnya adalah menaati Allah SWT (Qs. an-Nisâ' [4]: 80).

Ayat ini menegaskan wajibnya seluruh manusia mengikuti agama yang beliau bawa, Islam. Beliau diutus mengemban risalah untuk seluruh manusia. Sejak beliau diutus, semua agama selain Islam dinyatakan tidak sah dan tidak boleh diikuti dan harus ditinggalkan. Umar ra. menuturkan, Rasulullah Saw pernah bersabda:
Demi Zat yang jiwaku di tangan-Nya, seandainya Musa as. berada di tengah-tengah kalian, kamudian kalian mengikutinya dan meninggalkan aku, maka sungguh kalian telah tersesat. Sesungguhnya kalian adalah bagianku dari umat-umat (yang ada) dan aku adalah bagianmu dari nabi-nabi (yang ada). [HR. Ahmad].

Ibnu Katsir menjelaskan, "Ayat ini menegaskan, setiap orang yang mengaku cinta kepada Allah, namun tidak berada di atas tharîqah (jalan atau sunnah) Mahammad Saw, sungguh dia telah berdusta dalam pengakuaannya itu, hingga dia mau mengikuti syariah dan agama Muhammad Saw dalam ucapan dan tindakannya."
Siapa saja yang melakukan suatu amal di luar syariah kami, maka amalnya tertolak. [HR. Bukhari, Muslim, dan Ibnu Majah].*8)
Perintah untuk mengikuti Rasulullah Saw tersebut juga menjadi dalil wajibnya mengambil as-Sunnah sebagai sumber hukum.
Selanjutnya Allah SWT berfirman: yuhbibkumullâh wa yaghfirlakum dzunûbakum (niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu). Frasa ini merupakan jawaban atas perintah sebelumnya, sekaligus menunjukkan keadilan dan kemurahan Allah SWT. Mereka yang dapat membuktikan cintanya kepada Allah, Allah akan membalas dengan mencintai mereka dan memberikan ampunan atas dosa-dosa mereka. Bagi orang yang berakal, janji itu sangat menggiurkan.

Mahabbatullah (kecintaan Allah) adalah ridha dan pujian Allah terhadap perbuatan mereka,*9) dan pemberian pahala kepada mereka.*10) Manusia juga amat membutuhkan ampunan Allah WT. Sebab, hanya nabi dan rasul saja yang bebas dari dosa dan kesalahan. Keridhaan, rahmat, pahala, dan ampunan dari Allah SWT akan mengantarkan seseorang ke surga yang penuh kenikmatan. Siapapun harus bersemangat dan sungguh-sungguh membuktikan cinta kepada Allah karena Wallâh Ghafûr Rahîm (Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang).

Allah kembali menegaskan kewajiban taat kepada Allah dan Rasul Saw, Qul athî'ûllâh wa al-rasûl (Katakanlah, "Taatilah Allah dan Rasul."). Ini membantah anggapan bahwa yang wajib diikuti hanya al-Qur'an saja.
Ayat ini hanya menyatakan perintah untuk taat tanpa menjelaskan apa yang harus ditaati. Artinya, ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya itu bersifat umum, meliputi semua perintah dan larangan.*11)
Selanjutnya Allah SWT mengingatkan, Fa in tawallaw (jika kalian berpaling), yakni jika kalian menolak dan mengingkari kewajiban taat itu, fa inna Allâh lâ yuhibb al-kafirîn. Hal menunjukkan, tindakan berpaling dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya merupakan kekufuran.*12) Mereka tidak dicintai Allah, tidak diridhai dan tidak diampuni dosa-dosanya.*13)Malah mereka layak mendapat celaan, laknat dan azab.*14)

Beberapa Faedah Dari Ayat Ini

Pertama, cinta kepada Allah dan Rasul Saw adalah wajib; bukan sekadar cinta, namun kecintaan tertinggi. Allah dan Rasul Saw wajib dicintai melebihi segala yang ada, termasuk diri sendiri. Allah mengancam siapa saja yang lebih mencintai yang lain dibanding Allah. Rasul dan jihad di jalan-Nya. (Qs. at-Taubah [9]: 24).
Anas juga menuturkan, Rasulullah Saw pernah bersabda:
Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga aku lebih dicintai daripada bapaknya, anaknya, dan seluruh manusia. [HR. Bukhari].

Abdullah bin Hisyam bercerita:
Suatu ketika Umar berkata, "Wahai Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai daripada segala sesuatu kecuali diriku sendiri."
Nabi Saw berkata, "Tidak bisa. Demi Zat yang jiwaku ada di tangan-Nya, hingga aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri."
Umar berkata, "Sesungguhnya mulai saat ini, demi Allah, engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri."
Nabi Saw bersabda, "Sekarang (baru benar), wahai Umar." [HR. Bukhari].

Kecintaan itu tampak nyata ketika terjadi benturan antara ketetapan Allah dan Rasul-Nya, yakni ketetapan syariat, dengan hawa nafsu, kepentingan pribadi, keluarga, kerabat, dan segenap manusia. Jika ia benar-benar meletakkan cinta kepada Allah dan Rasulullah Saw di atas segalanya, ia akan mengikuti ketetapan syariat.

Kedua, kecintaan kepada Allah dan Rasul Saw itu harus dibuktikan dalam sikap dan perbuatan. Seorang hamba akan mencintai semua yang dicintai Allah dan Rasul-Nya dan membenci semua yang dibenci oleh keduanya. Sebaliknya, jika ia menyukai apa yang dibenci dan membenci apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya, itu adalah bukti kedustaan klaim cintanya. Bukti cinta seorang hamba adalah menaati syariat Islam secara total. Atas dasar cinta itu, ketaatan akan terasa ringan dan menyenangkan.

Ketiga, mengikuti Rasul Saw adalah wajib. Itulah satu bukti cinta kepada Allah. Orang yang melakukannya akan dicintai Allah dan mendapat ampunannya. Ini adalah qarînah (indikasi) yang menunjukkan perintah itu bersifat tegas.
Mengikuti Rasul adalah mengambil semua yang diperintahkannya dan menjauhi semua yang dilarangnya (Qs. al-Hasyr [59]: 7) serta meneladani beliau (Qs. al-Ahzab [33]: 21).

Keempat, Allah SWT pasti membalas hamba yang benar-benar mencintai-Nya yang dia buktikan dengan menaati syariat-Nya yang dibawa oleh Rasulullah Saw. Allah akan membalas dengan mencintai hamba-Nya itu dan memberikan ampunan atas dosa-dosanya.
Kiat mendapat kecintaan Allah adalah dengan menunaikan semua yang diwajibkan dan menjauhi semua yang diharamkan. Agar lebih utama, ditambah dengan senantiasa menunaikan yang sunnah, meninggalkan yang makruh, dan mempersedikit yang mubah.

Dalam hadis qudsi, Rasulullah Saw bersabda bahwa Allah SWT berfirman:
Tidaklah hamba-Ku mendekati-Ku dengan sesuatu yang lebih Kucintai daripada apa yang telah Aku wajibkan. Tak henti-hentinya hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Apabila Aku telah mencintai-Nya maka Aku menjadi pendengarannya yang dengannya dia mendengar; menjadi matanya yang dengannya dia melihat; menjadi tangannya yang dengannya dia memegang; dan menjadi kakinya yang dengannya dia berjalan. Jika dia meminta kepada-Ku, Aku akan memberinya; jika meminta perlindungan-Ku, niscaya Aku beri perlindungan. [HR. Bukhari].

Kelima, kecintaan kepada Allah SWT dan Rasulullah Saw itu hanya akan dimiliki oleh orang yang beriman. Memang begitulah, karena mereka telah benar-benar beriman, yakni membenarkan secara pasti, sesuai dengan fakta dan berdasarkan dalil. Allah SWT berfirman:
Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. (Qs. al-Baqarah [2]: 165).
Sudahkah kita termasuk di dalamnya?
Wallâh a'lam bi ash-shawâb.

Catatan Kaki:
1. As-Suyuthi, al-Durr al-Mantsûr fî Tafsîr al-Ma'tsûr, ii/30, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1997; ath-Thabari, Jamî' al-Bayân fî Ta'wîl al-Qur'ân,iii, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut.1992
2. al-Qurthubi, al-Jâmi' li Ahkâm al-Qur'ân, ii/40, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut.1993
3. al-Khazin, Lubâ al-Ta'wîl fî Ma'ânî al-Tanzîl, i/238, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1995; Abd al-Haq al-Andalusi, al-Muharrar al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-'Azîz, i/422, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1993
4. asy-Syawkani, Fath al-Qadîr, i/333, Dar al-Fikr, Beirut. tt
5. al-Baydhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta'wîl, i/155-156, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1993
6. asy-Syawkani, Fath al-Qadîr, 1/333
7. Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, ii/448, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1993
8. Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîim, i/326, Dar al-Fikr, Beirut. 2000. Pernyataan yang dikemukakan oleh Burhanuddin al-Baqa'i, Nadzm al-Durar fî Tanâsub al-Ayât wa as-Suwar, ii/63, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1995
9. al-Zamahsyari, al-Kasyâf, i/519, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut
10. Fakhruddin al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr Aw Mafâtîh al-Ghayb, iv/17, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1990; Abu Ali al-Fadhl, Majmû' al-Bayân fî Tafsîr al-Qur'ân, i/347, Dar al-Ma'rifah, Beirut
11. Abu Thayyib al-Qinuji, Fath al-Bayân fî Maqâshid al-Qur'ân, ii/219, Idarat Ihya' al-Turats al-Islami, Qathar. 1989
12. al-Baydhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta'wîl,1/156
13. Abu Thayyib al-Qinuji, Fath al-Bayân, v/154; al-Qurthubi, al-Jâmi' li Ahkâ al-Qur'ân, ii/40
14. Nizham ad-Din al-Naysaburi, Tafsî Ghârâ'ib al-Qur'ân, ii/142, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut


Hidup MULIA atau Mati SYAHID

Bismillah ar-Rahman, ar-Rahim

Isy Kariman aw Mut Syahidan. Hidup Mulia Atau Mati Syahid. Slogan ini oleh aktivis Islam Liberal dianggap sebagai Slogan Pembangkit Militansi, ‘Teologi Maut’ yang negatif dan menghancurkan dan tidak sesuai dengan Islam. Jawa Pos, sebuah harian yang rajin mengekspos ide-ide sekuler dan liberal menurunkan tulisan sejak tanggal 26 September 2009 secara berseri untuk membahasnya. Tercatat ada 8 orang penulis, mulai dari Syafi’i Anwar hingga Kamaruddin Hidayat, termasuk Musdah Mulia ikut ambil bagian membuat tulisan pesanan tersebut.
Ironisnya, dalam membicarakan hidup mulia dan mati syahid tersebut tidak ada seorang pun penulisnya yang merupakan representasi seorang mujahid, atau ulama mujahid. Bahkan mengutip dari para mujahid atau ulama mujahid saja juga tidak, kecuali untuk ‘dipelintir’ maksudnya. Karena hampir seluruh penulisnya aktivis Islam liberal, maka arah dan kecenderungan tulisannya pun sudah bisa ditebak, yakni membela mati-matian ide liberalisme dan pluralisme serta menolak ide syariat Islam dan jihad. Lantas, apakah makna dari slogan Isy Kariman aw Mut Syahidan yang sebenarnya?

Isy Kariman aw mut Syahidan, Haditskah ?

Isy Kariman aw Mut Syahidan berarti Hidup Mulia atau Mati Syahid, atau bisa juga berarti hiduplah dengan mulia dan matilah secara syahid alias menjadi seorang syuhada. Isy Kariman aw Mut Syahidan bukanlah sebuah  hadits, melainkan semacam moto atau slogan dalam khazanah perjuangan Islam.
Ungkapan ini pertama kali dikemukakan oleh ibunda Abdullah bin Zubair, yakni Asma Binti Abu Bakar kepada puteranya, Abdullah bin Zubair. Konteks ungkapan itu juga kontekstual dan sangat heroik, karena disampaikan oleh Ibunda Asma kepada putranya Abdullah bin Zubair agar tetap semangat berperang membela kebenaran sampai titik darah penghabisan melawan kekuasaan tiran saat itu pimpinan Yazid bin Muawiyah.
Ungkapan ini menjadi istimewa karena diucapkan oleh seorang Shahabat atau Shahabiat, yang di dalam Islam memiliki kedudukan yang istimewa. Sebagian ulama bahkan berpendapat bahwa ucapan Shahabat termasuk dalil syar’i yang bisa dijadikan rujukan untuk melakukan amal perbuatan.
Asma Binti Abu Bakar dalam Islam dikenal dengan julukan “Dzatu An Nithaqayn” yakni Wanita Dengan Dua Ikat Pinggang. Beliau mendapat julukan ini karena membawakan makanan untuk Rasulullah SAW dan Abu Bakar ketika hijrah dan memutuskan untuk membagi ikat pinggangnya menjadi dua untuk mengikat makanan dan air sehingga mereka dapat membawanya.

Sementara itu, Abdullah bin Zubair, dikenal dalam Islam sebagai seorang pemuda dan pejuang yang berani dan selalu siap berjuang untuk Islam. Dalam kehidupan sehari-hari beliau juga dikenal sangat tekun beribadah, dan sebagaimana pesan ibundanya, beliau juga mengakhiri hidupnya sebagai orang yang syahid dalam memperjuangkan Islam.
Syekh Umar Bakri Muhammad dalam bukunya “Hal Qowl as-Sahabah Hujjah fid Deen?” mendefinisikan ucapan Shahabat sebagai :

“Apa saja yang terkait dengan rantai periwayatan yang shahih dan tidak terdapat kontradiksi di dalamnya dengan dalil-dali syar’i (Al Qur’an dan Hadits), baik itu berupa perbuatan, perkataan, persetujuan (terhadap sesuatu) maupun pendapat.”

Dalam buku tersebut dijelaskan posisi Shahabat Rasulullah SAW yang begitu tinggi dan mulia dalam Islam, dikarenakan mereka adalah orang-orang yang mendapatkan pengajaran langsung tentang Islam dari Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, merekalah, alias para Shahabat yang paling tahu dan mengerti makna Islam dan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari.

Banyak dalil Al Qur’an maupun hadits yang menjelaskan posisi para Shahabat dalam Islam yang begitu tinggi dan kewajiban kaum Muslimin untuk mengikuti mereka. Beberapa ayat menjelaskan masalah tersebut, di antaranya:
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar. (QS. At Taubah (9) : 100)
“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mu’min ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon , maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya). (QS. Al Fath (48) : 18)

Dalam hadits Nabi SAW., terdapat banyak kemuliaan dan perintah untuk selalu berpedoman kepada para Shahabat, di antaranya :
“Sebaik-baik ummatku adalah generasiku (Shahabat), kemudian generasi sesudahnya (tabi’in), dan kemudian yang sesudahnya (tabi’ut tabi’in).” (HR. Bukhari dan Muslim)

“Muliakanlah para Shahabatku, karena mereka adalah yang terbaik di antara kalian.” (HR. Ahmad, An Nasa’iy dan Al Hakim)

“Kalian akan senantiasa dalam kebaikan selama di antara kalian masih ada orang yang pernah melihatku dan bersahabat denganku. Demi Allah, kalian akan senantiasa dalam kebaikan selama diantara kalian ada orang yang pernah melihatku dan bersahabat denganku.” (HR. Ibnu Abi Syaybah, Ibnu Abi’ ‘Ashim, Ath Thabraniy, dan Abu Nu’aym)

“Bintang-bintang adalah penjaga langit, apabila bintang-bintang itu hilang, maka akan datang bagi penduduk langit tersebut apa yang dijanjikan. Aku adalah penjaga para Shahabatku, apabila aku meninggal maka akan datang bagi para Shahabatku apa yang dijanjikan. Dan para Shahabatku adalah para penjaga ummatku, apabila para Shahabatku meninggal, maka akan datang bagi ummatku apa yang dijanjikan.” (HR. Muslim)

Dikarenakan ucapan atau qaul Shahabat juga merupakan dalil syar’i yang bisa dijadikan hujjah (argumen) dalam agama dan hasilnya dapat dipergunakan oleh ummat Islam dalam kehidupan mereka sehari-hari, maka moto atau slogan Isy Kariman aw Mut Syahidan yang diucapkan oleh ibunda Abdullah bin Zubair patut menjadi perhatian dan kajian bagi kaum Muslimin.
Makna Hidup Mulia Dalam Islam

Secara fitrah, setiap manusia pasti mendambakan kehidupan mulia. Bagi setiap Muslim, setiap harinya mereka selalu berdoa kepada Allah SWT., agar diberikan kehidupan mulia di dunia, dan begitu pula di akhirat, Robbana atina fi dunya hasanah wa fil akhiroti hasanah. Hanya saja perlu diperjelas, kehidupan seperti apa yang dianggap mulia dalam pandangan syariat Islam.
Hidup mulia dalam Islam hanya bisa tercapai jika fungsi dan esensi manusia diciptakan oleh Allah SWT bisa diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Fungsi dan esensi tersebut adalah menjadi abdullah (hamba Allah) dan khalifatullah (khalifah Allah) di muka bumi. Kedua tugas suci tersebut telah disampaikan secara tegas sebagaimana firman Allah SWT :
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS Adz Dzaariyat (51) : 56)

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi…”. (QS Al Baqarah (2) : 30)

Dua fungsi dan esensi hidup mulia dalam pandangan Islam tersebut hanya bisa terealisir dalam kehidupan sehari-hari dalam bingkai syariat Islam yang menaungi. Bahkan kehidupan mulia di bawah naungan syariat Islam inilah yang mampu memberikan rahmat tidak hanya kepada orang Muslim, melainkan kepada seluruh alam, sebagaimana firmanNya :
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS Al Anbiyaa’ (21) : 107)

Imam Ibnu Katsir di dalam tafsirnya menjelaskan:
Allah ta’ala mengabarkan bahwa Dia telah menjadikan Muhammad SAW., sebagai rahmat bagi semesta alam. Yaitu, Dia mengutusnya sebagai rahmat bagi kalian semua. Barangsiapa yang menerima dan mensyukuri nikmat ini, niscaya dia akan berbahagia di dunia dan di akhirat. Sedangkan barangsiapa yang menolak dan menentangnya, niscara dia akan merugi dunia dan akhirat.

Maka dapat difahami bahwa hidup mulia dalam pandangan Islam hanya dapat dicapai jika Risalah Islam beserta syariat Islam diterima, diyakini dan diamalkan oleh manusia sebagai pedoman hidupnya dalam seluruh aspek kehidupan. Kehidupan mulia tidak hanya akan tercapai di dunia bahkan juga di akhirat, bahkan rahmat atau kemuliaan juga akan melingkupi seluruh alam semesta. Untuk tujuan inilah, kehidupan dan perjuangan seorang Muslim diarahkan, sehingga kalaupun dia belum berhasil mencapainya, namun dia telah mengupayakannya dan tetap yakin bahwa Allah SWT suatu saat pasti akan memberikan hal tersebut kepada hamba-hambaNya. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT :
“Dan Allah Telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana dia Telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik.” (QS An Nuur (24) : 55)
Mengapa Mati Syahid Menjadi Dambaan?

Dalam Islam dan bagi kaum Muslimin telah maklum bahwa hidup di dunia tidak selamanya dan kehidupan di akhiratlah yang abadi dan harus menjadi prioritas dan diusahakan semaksimal mungkin pencapaiannya.
Tidak berguna jika hidup di dunia mulia, kaya raya, berumur panjang, namun akhirnya menemui kematian dengan buruk (su’ul khatimah). Karena yang menjadi perhitungan dan menentukan bagi kehidupan seseorang adalah bagian akhirnya, apakah berakhiran atau menemui kematian dengan buruk (su’ul khatimah) atau berakhiran dengan baik (khusnul khatimah).
Nabi SAW bersabda :
“Sesungguhnya seorang hamba benar-benar telah beramal dengan amalan ahli neraka padahal sesungguhnya ia termasuk ahli surga, dan beramal dengan amalan ahli surga padahal ia termasuk ahli nereka. Dan sesungguhnya amal-amal itu tergantung penutupannya.” (HR. Bukhari)

Syekh Abdul Baqi Ramdhun dalam bukunya “Al Jihaadu Sabiluna” mengatakan :

‘Islam mendorong kaum Muslimin untuk berjihad di jalan Allah dan menggesa mereka untuk terjun ke kancah kancah peperangan dan pertempuran dalam rangka meninggikan kalimat Allah, memberanikan mereka untuk menerjang bahaya dan kesulitan demi memperoleh ridha Allah, serta memotivasi mereka agar senang menyongsong maut dengan lapang dada, hati tegar, dan jiwa yang tenang lantaran menginginkan apa yang ada pada sisi Allah. Dan Allah telah membesarkan ganjaran dan pahala atas amal tersebut serta melimpahkan keutamaan dan anugerah di dalamnya.’

Beliau di dalam bukunya juga menjelaskan bahwa Allah SWT telah menyiapkan bagi mujahidin dan orang-orang yang mati syahid di jalanNya berbagai karomah, anugerah, ketinggian maqom, dan ketinggian kedudukan yang tidak dapat dicapai melalui ibadah-ibadah yang lain bahkan lewat shalat, zakat, puasa, haji, serta seluruh bentuk ibadah dan qurobah (pendekatan diri kepada Allah yang lain). Dengan penjelasan ini, tidak heran mengapa mati syahid menjadi kematian yang begitu tinggi kedudukan dan keistimewaannya dalam pandangan Islam dan menjadi dambaan setiap Muslim yang mengerti serta memahami permasalahan tersebut.
Syekh Usamah bin Ladin dalam video The Caravan of Syuhada mengatakan :
“Penutup para nabi dan rasul, Muhammad SAW., mengharapkan kedudukan ini. Perhatikan dan renungkan kedudukan seperti apakah yang diharapkan oleh sebaik-baiknya manusia ini. Beliau berharap menjadi seorang syahid.

Demi jiwa Muhammad yang ada di tangan-Nya. Sungguh aku berharap bisa berperang lalu aku terbunuh, kemudian (hidup lagi) untuk berperang lalu aku terbunuh, kemudian (hidup lagi) untuk berperang lalu aku terbunuh. (Al Hadits)

Hidup yang lama dan panjang ini diringkas oleh Nabi SAW dengan petunjuk Allah SWT., dalam sabda Beliau di atas. Beliau sangat menginginkan kedudukan ini Orang yang bahagia adalah orang yang telah dipilih oleh Allah SWT sebagai seorang syahid.”
Syekh Jabir bin Abdul Qoyyum As Sa’idi Asy Syami dalam bukunya “Al Ishobah Fii Tholabisy Syahaadah” menjelaskan mengapa mati syahid atau menjadi syuhada itu begitu memiliki kedudukan yang tinggi di dalam Islam.
Diriwayatkan dari Sahal bin Hanif, ia dari bapaknya, bapaknya dari kakeknya, bahwasanya Nabi SAW., bersabda:
Barangsiapa memohon mati syahid kepada Allah dengan tulus, niscaya Allah akan menyampaikannya ke derajat para syuhada’ meskipun ia mati di atas kasurnya. (HR Muslim, Tirmidzi, Nasai, dan Abu Daud)

Diriwayatkan dari Abu Is-haq, dari Al Barro’, ia berkata: Seseorang dari Bani An Nabit dari kalangan anshar datang lalu berkata: Aku bersaksi bahwasanya tidak ada ilah (sesembahan yang benar) kecuali Allah dan bahwasanya engkau adalah hamba dan utusan-Nya. Kemudian ia maju dan berperang sampai terbunuh. Maka Nabi SAW., bersabda :
Orang ini beramal sedikit namun diberi pahala banyak. (HR Bukhari, Muslim, dan Ahmad)
Dengan demikian, dalam pandangan Islam sesungguhnya keberhasilan yang paling utama dan anugrah yang paling baik yang didapatkan oleh seseorang itu adalah jika Allah memilihnya untuk mati syahid.

Nabi SAW bersabda kepada seorang sahabat yang berdo’a kepada Allah dengan mengucapkan:
Ya Allah berikanlah kepadaku apa yang paling baik yang telah Engkau berikan kepada hamba-Mu yang sholih.
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada orang tersebut:
Jika demikian kudamu akan tersembelih dan engkau akan mati syahid di jalan Allah.
Maka Mut Syahidan atau mati syahid atau mati sebagai seorang syuhada (orang yang berjihad di jalan Allah SWT) adalah kedudukan yang sangat besar dan tinggi yang tidak akan diraih kecuali oleh orang yang layak untuk mendapatkannya.
Dalam hadits lain disebutkan :
“Dikatakan, “Wahai Rasulullah, amal apa yang dapat menyamai (pahala) jihad fi sabilillah ? Nabi bersabda, “Kalian tidak mampu melaksanakannya.” Lalu mereka mengulang pertanyaan itu atau tiga kali, dan semua dijawab, “Kalian tidak mampu melaksanakannya.” ! Lalu Nabi bersabda, Perumpamaan mujahid fi sabilillah seperti orang yang shaum (puasa) dan shalat malam dan membaca ayat-ayat Allah dan tidak berhenti melakukan shiyam dan sholat sampai seorang mujahid fi sabilillah kembali.” (HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah)

Diriwayatkan dari Anas bin Malik rodliyallohu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Tidak ada seseorang yang telah mati yang mendapatkan kebaikan di sisi Allah, kemudian dia ingin kembali ke dunia atau ia diberi dunia dan seisinya kecuali orang yang mati syahid. Sesungguhnya orang yang mati syahid itu berharap untuk dapat kembali ke dunia lalu ia terbunuh di dunia lantaran keutamaan mati syahid yang ia lihat. Dan di dalam riwayat lain disebutkan: lantaran kemuliaan yang ia lihat.

Khatimah

Jadi tidak ada yang salah dengan mati syahid. Mati syahid bukanlah sebuah kematian yang sia-sia, terhina, harus ditangisi, dilecehkan dan ditakutkan oleh seorang Muslim. Karena mati syahid, mati ketika memperjuangkan agama Allah SWT atau jihad fi sabilillah, adalah sebuah kematian yang sangat tinggi dan mulia kedudukannya di dalam Islam, yang tidak mungkin dicapai dan diraih kecuali oleh orang-orang yang memang dipilih oleh Allah SWT.
Nabi Muhammad SAW sebagai contoh dan teladan kaum Muslimin memberikan ilustrasi yang begitu indah tentang mati syahid, dimana beliau begitu menginginkannya dan berharap bisa mencapainya. Bukankah ini menjadi sebuah bukti yang tidak terbantahkan?

Adapun kehidupan mulia dalam Islam juga bukan berarti hidup mewah dan berfoya-foya serta lantas lupa kepada Sang Pencitpa, Allah SWT, sebagaimana sangkaan orang kebanyakan yang hidup pada saat ini. Hidup mulia di dunia dalam pandangan Islam adalah sebuah ketundukan total seorang manusia, baik sebagai seorang hambaNya, dan juga sebagai khalifahNya.

Kehidupan mulia di dunia hanya bisa tercapai jikalau seluruh syariat Islam diberlakukan secara kaafah (totalitas) dengan tegaknya Institusi pemersatu umat, suatu Institusi yg dijanjikan Allah & Rosulnya yakni DAULAH KHILAFAH RASYIDAH 'ALA MINHAJJIN NUBUWWAH 

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

"Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih di antara kalian, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa."
(TQS : An-Nur ayat : 55)

تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ

“Di tengah-tengah kalian terdapat zaman kenabian, atas izin Allah ia tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Ia ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan (kerajaan) yang zalim; ia juga ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan (kerajaan) diktator yang menyengsarakan; ia juga ada dan atas izin Alah akan tetap ada. Selanjutnya akan ada kembali Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian.” Beliau kemudian diam."
(HR Ahmad dan al-Bazar)

Sehingga tidak hanya orang Muslim yang akan mendapatkan rahmat, orang non Muslim juga akan mendapatkan rahmat, bahkan alam semesta. Maka sudah merupakan kewajiban bagi setiap Muslim untuk dapat meraih kehidupan mulia di dunia, yakni dengan jalan selalu mengupayakan tegaknya syariat Islam di muka bumi.
Dengan demikian, betapa indah dan bertujuan indah, serta penuh maknanya semboyan dan slogan yang telah diucapkan oleh Shahabat dan kini menjadi populer kembali, yakni Isy Kariman aw Mut Syahidan. Hidup Mulia Atau Mati Syahid. Keduanya adalah kebaikan yang sangat didambakan oleh setiap Muslim. Semoga kita bisa meraih salah satu dari keduanya, Insya Allah…!

Allahu Akbar !
Allahu Akbar !
Allahu Akbar !
Sumber ~>
http://meisusilo.wordpress.com/2010/01/10/hidup-mulia-atau-mati-syahid/

DAKWAH meletakkan Pondasi KHILAFAH ISLAMIYAH

Allah SWT dalam al-Qur’an surah Ali Imran ayat 110 menyebut umat Islam sebagai sebaik-baik umat (khayru al-ummah) di antara sekian banyak kelompok masyarakat yang ada di dunia. “Kalian adalah khayru ummah yang diturunkan di tengah-tengah manusia….”. Akan tetapi, dengan pengamatan sesaat, nyatalah bahwa umat Islam saat ini bukanlah umat yang terbaik. Umat Islam mengalami kemunduran luar biasa di segala lapangan kehidupan baik di bidang pendidikan, sosial, budaya, ekonomi, politik maupun sains dan teknologi. Yang tampak kini hanyalah sisa-sisa kejayaan Islam di masa lalu.

Secara fisik, setelah runtuhnya kekhilafahan Utsmani pada tahun 1924, wilayah Islam yang dulu terbentang sangat luas, mencakup seluruh jazirah Arab, Afrika bagian Utara, sebagian Eropa, Asia Tengah, Asia Timur dan Asia Selatan, kini terpecah-pecah menjadi negara kecil-kecil. Secara intelektual, umat Islam mengalami apa yang disebut oleh Dr. M. Amien Rais (Cakrawala Islam, 1991) sebagai westoxciation (peracunan Barat). Untuk kurun waktu yang cukup lama, umat Islam secara sengaja dipisahkan dari ajaran Islam oleh para penjajah. Dalam proses alienasi umat Islam dari ajaran agamanya, peracunan Barat semakin gencar berlangsung. Secara intelektual umat Islam menjadi sangat lemah, dan karenanya bukan saja tidak mampu mengkanter sesat pikir Barat, tapi juga tidak mampu melakukan dialog intelektual secara seimbang. Impotensi intelektual ini jelas bermuara pada kemunduran total di bidang politik yang terjadi semenjak runtuhnya daulah khilafah Utsmani tadi.

Setelah runtuhnya payung dunia Islam itu, bertubi-bertubi umat Islam didera berbagai persoalan. Di dunia internasional, kita menyaksikan saudara-saudara kita di Palestina masih harus terus hidup dalam penderitaan. Kendati telah berdamai dengan PLO, tapi kekejaman zionis Israel terhadap penduduk Palestina tidaklah berkurang. Mereka tidak segan tetap membantai dan mengusir penduduk di sana untuk meluaskan pemukiman Yahudi. Bukan hanya di Palestina, penderitaan juga dialami oleh kaum muslimin di berbagai belahan dunia lain seperti di Bosnia, Kosovo, Chechnya, Dagestan, Jammu Khasmir, Pattani – Muang Thai dan Moro – Philipina. Sementara di dalam negeri, kondisi umat Islam Indonesia juga tidak kalah memprihatinkan. Akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan, lebih dari 100 juta penduduk jatuh ke jurang kemiskinan, 40 juta-an menganggur, jutaan anak-anak harus putus sekolah, dan jutaan lagi mengalami malnutrisi. Sementara, kriminalitas meningkat di mana-mana. Ditambah dengan kebrengsekan pemerintahan yang ada, membuat hidup terasa sangat menyesakkan. Dan bagian terbesar dari mereka yang saat ini tengah menderita tentu saja adalah juga umat Islam.

Kenyataan di atas makin menegaskan, umat Islam memang dalam keadaan amat mundur. Serta, keadaannya kurang lebih sama dengan sinyalemen Rasulullah 14 abad yang lalu dalam hadits riwayat Imam Ahmad: umat yang jumlahnya lebih dari 1,2 milyar dicabik-cabik bagai makanan oleh orang-orang rakus tanpa rasa takut. Katanya, “Akan datang di satu masa, dimana kalian dikerumuni dari berbagai arah, bagaikan segerombolan orang-orang rakus yang berkerumun berebut di sekitar hidangan. Diantara para sahabat ada yang bertanya keheranan: “Apakah karena di waktu itu kita berjumlah sedikit, ya Rasulallah? Rasul menjawab: “Bukan, bahkan jumlah kalian pada waktu itu banyak. Akan tetapi kalian laksana buih terapung-apung. Pada waktu itu rasa takut di hati lawanmu telah dicabut oleh Allah, dan dalam jiwamu tertanam penyakit al-wahnu” “Apa itu al-wahnu?”, tanya sahabat. Jawab Rasulullah: “Cinta yang berlebih-lebihan terhadap dunia dan takut yang berlebih-lebihan terhadap mati”.

Semua itu berpangkal pada satu hal: tiadanya kehidupan Islam dimana didalamnya diterapkan syariat Islam di semua sendi kehidupan. Karenanya, menegakkan kembali kehidupan Islam melalui Khilafah Islamiyyah inilah yang sesungguhnya merupakan problematika utama umat Islam (qadhiyatu al-muslimin al-mashiriah). Intinya bagaimana memberlakukan kembali hukum-hukum Allah (I’adatu al-hukmi bi ma anzalallah) secara utuh. Diyakini, hanya melalui jalan itu saja segenap problematika kontemporer umat dapat diatasi dengan cara yang jelas, serta kemuliaan Islam dan umatnya (izzu al-Islam wa al-muslimin) dapat diraih kembali.

Umat Mundur, Mengapa?

Mengapa umat Islam, yang dikatakan Allah sebagai sebaik-baik umat, berada dalam keadaan yang demikian menyedihkan? Syekh Amir Syakib Arsalan dalam kitabnya Limadza Ta’akhara al-Muslimun wa Taqaddama Ghayruhum, melihat ada dua faktor utama, yakni faktor eksternal atau yang datang dari luar umat, dan faktor internal atau yang datang dari dalam diri umat Islam.

Pertama, yang dimaksud faktor eksternal penyebab kemunduran umat adalah gencarnya serangan dari luar umat. Musuh-musuh Islam, yakni orang yang tidak menyukai kebenaran Islam tegak di muka bumi, senantiasa mencabik-cabik persatuan umat, dijauhkannya umat Islam dari agamanya, dibuatnya umat Islam lebih terikat kepada suku atau bangsanya sendiri ketimbang terhadap Islam. Langkah ini ditempuh mereka dengan menyebarkan pemikiran (fikrah) sekularisme ke tengah umat Islam secara samar atau terang-terangan, dengan lidah mereka atau lidah tokoh umat Islam. Akibatnya, umat Islam mengalami keterasingan (alienasi) terhadap agamanya sendiri, dan kendati umat Islam dalam berbagai negara kini telah merdeka, lepas dari belenggu penjajahan, tapi pemikirannya tetaplah terjajah.

Penjajahan (isti’mar) atau imperialisme, yakni penguasaan atau pengendalian di bidang politik, ekonomi, militer dan kebudayaan, menurut Syekh Abu Yusuf dalam kitab Mafahim Siyasiyah adalah metode (thariqah) yang ditempuh negara kapitalis untuk menyebarkan ideologinya, yakni sekularisme tadi. Paham semacam inilah yang kini tengah dan hendak terus disebarkan ke seluruh dunia, termasuk ke negeri-negeri muslim. Tujuannya, bila orang telah mengikuti pahamnya tentu dengan mudah dikuasai dan pada akhirnya segala kepentingan negara penguasa dengan mudah pula dapat diujudkan. Inilah hakekat al-ghazwu al-fikriy (perang pemikiran) yang menyebarkan racun sesat pikir Barat melengkapi perang militer (al-ghazwu al-‘askary).

Kedua, faktor internal. Inti dari faktor internal penyebab kemunduran umat, menurut Syaqib Arsalan, adalah kenyataan bahwa banyak umat Islam yang justru telah meninggalkan ajaran Islam. Kemunduran pemahaman umat terhadap agama Islam itu timbul terutama setelah umat tidak lagi dibina keislamannya secara praktis semenjak tidak adanya kehidupan Islam. Akibatnya, tidak sedikit diantara kaum muslimin yang, jangankan mengamalkan dan memperjuangkan, memahami ajaran Islam pun mungkin tidak. Ia muslim, tapi tak ada bedanya dengan orang non muslim, karena kemuslimannya tidak tampak dalam cara hidupnya sehari-hari. Atau banyak pula umat yang melaksanakan ajaran Islam tapi cuma sebagian dan meninggalkan sebagian yang lain. Melaksanakan ibadah dan meninggalkan masalah muamalah. Umat Islam memang banyak telah terpengaruh pemikiran sekular.

Apa itu sekularisme? Menurut Muhammad Qutb (Ancaman Sekularisme, 1986), sekularisme diartikan sebagai iqomatu al-hayati ‘ala asasin ghayru mina al-dini (membangun struktur kehidupan di atas landasan selain al-Islam). Bila Islam tidak lagi dijadikan sebagai landasan penataan kehidupan masyarakat, maka sebagai gantinya muncullah asas-asas lain yang mengatur berbagai bidang kehidupan umat. Yakni kapitalisme di bidang ekonomi, westernisme dengan inti permisivisme di bidang budaya yang memunculkan demoralisasi sebagaimana tampak pada dunia hiburan, fashion dan pergaulan; nasionalisme di bidang politik dan sinkretisme di bidang agama. Tatanan ekonomi yang kapitalistik memang memberikan kemajuan material, tapi tak urung mengundang sejumlah persoalan yang sangat serius, yakni kesenjangan sosial, kehidupan materialistik dan yang utama adalah proses dehumanisasi dimana manusia telah menjadi penghamba materi dengan uang sebagai orientasi utama kehidupannya. Kehidupan semacam ini tentu saja bertentangan dengan visi dan misi utama penciptaan manusia. Sementara paham nasionalisme telah berhasil memecah belah umat yang dulunya satu, menjadi lebih dari 50 negara kecil-kecil dimana masing-masing lebih mengutamakan kepentingan negaranya ketimbang kepentingan umat secara keseluruhan. Walhasil, hilanglah kekuatan umat di pentas percaturan global.

Dakwah Menuju Khilafah !

Jadi, apa yang harus dilakukan? Hanya ada satu cara untuk keluar dari kemelut ini, yakni umat Islam harus bangkit. Tekad itu memang mulai menyebar ke tengah umat semenjak dicanangkannya abad 15 Hijriah sebagai abad kebangkitan Islam. Tapi apa yang disebut bangkit atau kebangkitan, agaknya beragam orang memahaminya. Syekh Taqiyyudin an-Nabhani dalam kitab Nidzamu al-Islam menyatakan bahwa kebangkitan yang hakiki harus dimulai dengan perubahan pemikiran (taghyiru al-afkar) secara mendasar (asasiyan) dan menyeluruh (syamilan) menyangkut pemikiran tentang kehidupan, alam semesta dan manusia, serta hubungan antara kehidupan dunia dengan sebelum dan sesudahnya. Pemikiran yang membentuk pemahaman (mafahim) akan mempengaruhi tingkah laku. Akan terwujud tingkah laku Islamy bila pada diri seorang muslim tertanam pemahaman Islam. Dengan demikian kebangkitan umat Islam adalah kembalinya pemahaman seluruh ajaran Islam ke dalam diri umat dan terselenggaranya pengaturan kehidupan masyarakat dengan cara Islam.

Untuk itu diperlukan dakwah. Dan dakwah di tengah kemunduran umat seperti sekarang ini – akibat tidak adanya kehidupan Islam – menurut Syekh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Manhaj haruslah berupa “dakwah untuk melanjutkan kehidupan Islam” (da’wah li isti’nafi al-hayati al-islamiyyah). Yakni dakwah untuk ‘audatu al-muslimin ila al-‘amal bi jami’I ahkami al-Islam min aqaidin, ibadatin …… bi thariqi iqomati al-khilafah (mendorong umat Islam bagi kembalinya penerapan seluruh hukum-hukum Islam baik menyangkut aqidah, ibadah, makanan minuman, pakaian, akhlaq, uqubat maupun muamalah (sosial, budaya, pendikan, politik dan ekonomi) dengan jalan menegakkan kembali al-khilafah al-islamiyyah.

Dakwah semacam ini harus dilakukan secara berjamaah (jamaiyyan) atau berkelompok. Karena setinggi apapun ilmu dan kapasitas seseorang serta sebanyak apapun aktivitas yang dia lakukan, tidaklah mungkin mampu mencapai tujuan dakwah yang dimaksud bila dakwah dilakukan secara sendirian (fardiyan). Dan jamaah atau kelompok yang dimaksud haruslah bersifat politis (kutlah siyasiy) oleh karena tujuan dakwah, yakni tegaknya kembali kehidupan Islam, adalah tujuan politik. Jamaah atau kelompok yang tidak mengkonsentrasikan dakwahnya di lapangan politik, berarti tidak mengarah pada tujuan dakwah yang dimaksud.

Dari segi individu, dakwah kepada umat bertujuan untuk membentuk seorang muslim yang berkepribadian Islam (syakhsiyyah Islamiyyah). Yakni seorang yang berpikir dan bertindak secara Islamy. Ia tidak berpikiran kecuali sesuai dengan ajaran Islam, dan tidak bertindak kecuali sesuai dengan syariat Islam. Harus ditanamkan kepada umat pemahaman aqidah yang benar dan kuat beserta segenap konsekuensi dari orang yang telah beraqidah Islam, yakni taat pada syariat (al-Nisaa’ 65/al-Ahzab 33/al-Hasyr 7). Juga, ditanamkan pemahaman atas syariat Islam itu sendiri, agar dengannya ia mengerti apa tujuan hidup ini dan bagaimana cara menjalaninya dengan baik. Misalnya ia harus beribadah secara khusyu’, memilih pakaian yang menutup aurat, makanan yang halal, bergaul secara Islamy serta bermuamalah secara syar’iy. Ia bertindak Islamiy di masjid, demikian juga semestinya ketika berada di kantor, di pasar dan di jalan-jalan. Ia Islamiy ketika shalat, begitu semestinya ketika berdagang dan ketika bergaul dengan orang lain. Lebih jauh lagi, dakwah diharapkan menyadarkan umat bahwa seharusnya masyarakat ini diatur hanya dengan Islam.

Sementara secara komunal, dakwah kepada umat bertujuan agar dari muslim yang berkepribadian Islam tadi terbentuk kekuatan dan dorongan untuk melakukan perubahan masyarakat ke arah Islam hingga terbentuk masyarakat Islam yang diindikasikan dengan diterapkannya syariat Islam di bawah naungan Daulah Khilafah Islamiyyah. Harus tumbuh kesadaran umum (al-wa’yu al-Islamy) di tengah masyarakat bahwa hanya di bawah naungan Khilafah Islamiyyah sajalah seluruh hukum Islam dapat ditegakkan dan segenap umat dapat disatukan. Dan hanya dengan syariat saja semua problematika umat dapat diselesaikan dengan cara yang benar, saat mana kerahmatan yang dijanjikan Allah akan terujud bukan hanya kepada orang Islam tapi juga buat umat selain Islam karena Islam memang memberikan rahmat bagi sekalian alam.

Sebaliknya, harus diyakinkan bahwa tanpa daulah khilafah tidak akan mungkin ada persatuan umat yang hakiki dan penerapan syariat yang diingini. Sementara, tanpa syariat bagaimana mungkin problematika umat akan dapat teratasi, dan umat Islam mencapai kemuliaannya kembali?

Wallahu’alam bi al-shawab

ISLAM adalah IDEOLOGI

Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan. Kata ideologi sendiri diciptakan oleh Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18 untuk mendefinisikan "sains tentang ide". Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai cara memandang segala sesuatu (bandingkan Weltanschauung), secara umum (lihat Ideologi dalam kehidupan sehari hari) dan beberapa arah filosofis (lihat Ideologi politis), atau sekelompok ide yang diajukan oleh kelas yang dominan pada seluruh anggota masyarakat. Tujuan untama dibalik ideologi adalah untuk menawarkan perubahan melalui proses pemikiran normatif. Ideologi adalah sistem pemikiran abstrak (tidak hanya sekadar pembentukan ide) yang diterapkan pada masalah publik sehingga membuat konsep ini menjadi inti politik. Secara implisit setiap pemikiran politik mengikuti sebuah ideologi walaupun tidak diletakkan sebagai sistem berpikir yang eksplisit.(definisi ideologi Marxisme).

Definisi Ideologi

Definisi memang penting. Itu sebabnya Ibnu Sina pernah berkomentar: “ Tanpa definisi, kita tidak akan pernah bisa sampai pada konsep. ”

Karena itu menurut beliau, sama pentingnya dengan silogisme (baca : logika berfikir yang benar) bagi setiap proposisi (dalil atau pernyataan) yang kita buat.

Mabda’ secara etimologis adalah mashdar mimi dari kata bada’ayabdau bad’an wa mabda’an yang berarti permulaan. Secara terminologis berarti pemikiran mendasar yang dibangun diatas pemikiran-pemikiran (cabang )[dalam Al-Mausu’ah al-Falsafiyah, entry al-Mabda’]. Al-Mabda’(ideologi) : pemikiran mendasar (fikrah raisiyah) dan patokan asasi (al-qaidah al-asasiyah) tingkah laku. Dari segi logika al-mabda’ adalah pemahaman mendasar dan asas setiap peraturan [lihat catatan tepi kitab Ususun Nahdhah ar-Rasyidah, hal 36]

Selain definisi di atas, berikut ada beberapa definisi lain tentang ideologi:

http://id.wikipedia.org/wiki/Ideologi
* Wikipedia Indonesia:

Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan atau aqidah 'aqliyyah (akidah yang sampai melalui proses berpikir) yang melahirkan aturan-aturan dalam kehidupan.

* Destertt de Tracy:

Ideologi adalah studi terhadap ide – ide/pemikiran tertentu. 2 april 2004

* Descartes:

Ideologi adalah inti dari semua pemikiran manusia. 5 mei 2004

* Machiavelli:

Ideologi adalah sistem perlindungan kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa. 1 agustus 2006

* Thomas H:

Ideologi adalah suatu cara untuk melindungi kekuasaan pemerintah agar dapat bertahan dan mengatur rakyatnya. 23 oktober 2004

* Francis Bacon:

Ideologi adalah sintesa pemikiran mendasar dari suatu konsep hidup. 5 januari 2007

* Karl Marx:

Ideologi merupakan alat untuk mencapai kesetaraan dan kesejahteraan bersama dalam masyarakat. 1 mei 2005

* Napoleon:

Ideologi keseluruhan pemikiran politik dari rival–rivalnya. 22 desember 2003

* Muhammad Muhammad Ismail:

Ideologi (Mabda’) adalah Al-Fikru al-asasi al-ladzi hubna Qablahu Fikrun Akhar, pemikiran mendasar yang sama sekali tidak dibangun (disandarkan) di atas pemikiran pemikiran yang lain. Pemikiran mendasar ini merupakan akumulasi jawaban atas pertanyaan dari mana, untuk apa dan mau kemana alam, manusia dan kehidupan ini yang dihubungkan dengan asal muasal penciptaannya dan kehidupan setelahnya? 24 april 2007

* Dr. Hafidh Shaleh:

Ideologi adalah sebuah pemikiran yang mempunyai ide berupa konsepsi rasional (aqidah aqliyah), yang meliputi akidah dan solusi atas seluruh problem kehidupan manusia. Pemikiran tersebut harus mempunyai metode, yang meliputi metode untuk mengaktualisasikan ide dan solusi tersebut, metode mempertahankannya, serta metode menyebarkannya ke seluruh dunia. 12 november 2008

* Taqiyuddin An-Nabhani:

Mabda’ adalah suatu aqidah aqliyah yang melahirkan peraturan. Yang dimaksud aqidah adalah pemikiran yang menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan hidup, serta tentang apa yang ada sebelum dan setelah kehidupan, di samping hubungannya dengan Zat yang ada sebelum dan sesudah alam kehidupan di dunia ini. Atau Mabda’ adalah suatu ide dasar yang menyeluruh mengenai alam semesta, manusia, dan hidup. Mencakup dua bagian yaitu, fikrah dan thariqah. 17 juli 2005

Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa Ideologi(mabda’) adalah pemikiran yang mencakup konsepsi mendasar tentang kehidupan dan memiliki metode untuk merasionalisasikan pemikiran tersebut berupa fakta, metode menjaga pemikiran tersebut agar tidak menjadi absurd dari pemikiran-pemikiran yang lain dan metode untuk menyebarkannya.

Sehingga dalam Konteks definisi ideologi inilah tanpa memandang sumber dari konsepsi Ideologi, maka Islam adalah agama yang mempunyai kualifikasi sebagai Ideologi dengan padanan dari arti kata Mabda’ dalam konteks bahasa arab.

Apabila kita telusuri seluruh dunia ini, maka yang kita dapati hanya ada tiga ideologi (mabda’). Yaitu Kapitalisme, Sosialisme termasuk Komunisme, dan Islam. Untuk saat ini dua mabda pertama, masing-masing diemban oleh satu atau beberapa negara. Sedangkan mabda yang ketiga yaitu Islam, saat ini tidak diemban oleh satu negarapun, melainkan diemban oleh individu-individu dalam masyarakat. Sekalipun demikian, mabda ini tetap ada di seluruh penjuru dunia.

Sumber konsepsi ideologi kapitalisme dan Sosialisme berasal dari buatan akal manusia, sedangkan Islam berasal dari wahyu Allah SWT (hukum syara’).

Islam adalah sebuah Ideologi

Islam merupakan aqidah aqliyah (yang sampai melalui proses berfikir) yang melahirkan peraturan hidup secara menyeluruh. Peraturan yang lahir dari aqidah ini berfungsi untuk memecahkan dan mengatasi berbagai persoalan hidup manusia. Peraturan ini pun menjelaskan bagaimana cara pelaksanaannya, bagaimana pemeliharaan aqidah serta tatacara mengembannya (mendakwahkannya).

Islam sebagai ideologi dapat tumbuh lestari di benak manusia. Inilah hakikat sebuah ideologi yang benar karena bersumber dari Al Khaliq, Pencipta alam, manusia dan kehidupan.

Ideologi selain yang berasal dari Pencipta manusia, sekalipun terlahir dari akal yang jenius, tetap saja tidak akan mampu menjangkau segala sesuatu secara pasti. Pemahaman manusia terhadap proses lahirnya peraturan selalu memiliki perbedaan, perselisihan dan pertentangan, serta terpengaruh lingkungan dan kondisi dimana manusia hidup di dalamnya. Hal ini berpotensi menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan bagi umat manusia.

Maka inilah Islam. Sebagai sebuah prinsip ideologi yang berasal dari Sang Pencipta manusia, Islam memiliki pola operasional (metodologi) yang menjadi kebutuhan dasar bagi ideologi itu sendiri agar dapat terwujud menjadi sebuah realita. Islam sebagai sebuah asas kehidupan menjadi kaidah berfikir sekaligus kepemimpinan berfikir, dan pada saat inilah Islam akan mampu menjadi arah pamikiran manusia dan pandangan hidupnya. Di atas landaan ini dibangun pemikiran tentang kehidupan dan seluruh solusi problema hidup manusia.

Islam telah menetapkan hukum-hukum tentang pemecahan persoalan kehidupan, pemikiran-pemikiran serta pandangan tentang berbagai pendapat yang baru sebagai sesuatu yang bersumber dari aqidah Islam. Artinya, semua ini digali dari garis-garis hukum yang bersifat global dengan metodologi yang juga telah disahkan oleh Islam. Manusia tidak memiliki kebebasan untuk mengembangkan metodologi ini semaunya.

Dengan demikian Islam adalah pemikiran yang menyeluruh (fikroh) dan pola operasional (thoriqoh), yang akan mengatur kehidupan manusia dengan peraturan yang sempurna, serasi serta harmonis. Tidak ada yang sanggup menciptakan mekanisme pengaturan sempurna ini selain Sang Pencipta manusia, alam semesta dan kehidupan itu sendiri. Metodologi buatan manusia tidak akan mampu mengukur dan menilai kesempurnaan mekanisme ini. Namun manusia dikaruniai akal yang sanggup dan mampu memahaminya (kesempurnaan sistem Islam).

Islam telah memberikan batasan bagi manusia dengan pemikiran-pemikiran tertentu, namun tidak berarti membatasi aktivitas berfikirnya. Islampun telah mengikat perilaku manusia dengan pemikiran-pemikiran dan hukum-hukum tertentu, namun tidak menjeratnya.

Dengan demikian pandangan seorang muslim terhadap kehidupan di dunia ini adalah pandangan yang penuh cita-cita, serius, realistis dan proporsional. Dunia harus diraih, namun tidak dijadikan tujuan. Seorang muslim akan bekerja di penjuru dunia ini dan menikmati perhiasan-perhiasan dan rezeki yang baik (halal), yang telah dianugerahkan Allah kepada hamba-Nya, dengan kesadaran penuh bahwa dunia hanyalah sementara, dan hanya akhiratlah negeri yang kekal dan abadi.

Islam telah memberikan cara menyelesaikan masalah ekonomi, politik, sosial, pemerintahan dan lain-lain, seperti juga Islam telah menerangkan tata cara shalat, puasa, pernikahan dan zakat. Islam telah menjelaskan cara-cara pemilikan harta, transaksi dan muamalah, sebagaimana Islam telah menjelaskan masalah sanksi-sanksi hukum bagi orang-orang yang melanggarnya. Islam pun memberi petunjuk bagaimana mengatur hubungan negara dengan negara, umat dan bangsa lain dan menjelaskan pula cara mengemban dakwah. Syariat Islam telah mengharuskan kaum muslimin memiliki sifat-sifat mulia, dan hal ini harus dianggap sebagai hukum-hukum Allah swt, bukan karena sifat itu terpuji di hadapan manusia.

Seperti inilah, Islam mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan dengan manusia lainnya serta hubungan dengan Allah swt dalam suatu keserasian pemikiran. Maka jadilah manusia sebagai seorang mukallaf (yang dikenai beban hukum), yang senantiasa menjalani kehidupan ini dengan suatu dorongan (motivasi), metode, arah dan tujuan tertentu.

Inilah dia seorang muslim. Ia akan menjalani kehidupan ini dengan suatu pamahaman yang khas. Ia akan hidup dengan corak dan pola kehidupan tertetu, sebagai wujud dari komitmennya terhadap aqidah Islamiyah.

Cara beragama inilah satu-satunya yang kokoh dan mampu mencegah seorang muslim terpaling dalam kesesatan. Cara beragama yang dijelaskan secara gamlang dalam Al Qurán dan sunnah Rasulullah. Cara beragama ini pula yang akan menyelamatkan eksistensi kaum muslimin dan kemudian membangkitkannya dalam era apapun, termasuk diera pasca modernisme.

Islam sebuah ancaman??

Menurut cara pandang ideologi kapitalisme, Islam ideologi jelas merupakan ancaman baginya. Sebab? ideologi kapitalisme bertumpu pada ide dasar sekulerisme, yakni pemisahan agama dari kehidupan (fashl al din an al hayah). Maka bagi ideologi kapitalisme, agama adalah masalah pribadi antara individu dengan tuhannya. Agama tidak dibenarkan turut campur dalam pengaturan kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Karenanya, Islam dalam bentuk ideologi jelas merupakan ancaman terhadap eksistensi sekulerisme, dasar kapitalisme. Sebab Islam dalam bentuk ideologi berarti mengharuskan adanya peran agama (Islam) dalam seluruh tatanan aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara, tanpa kecuali.

Menghadapi ancaman ini, para penganut kapitalisme melakukan berbagai langkah, antara lain, melakukan manipulasi dengan menyebarkan opini bahwa Islam adalah agama, bukanlah ideologi. Islam diilusikan seperti agama Kristen atau Katolik yang harus terlepas dari kekuasaan dan pemerintahan. Memandang Islam sebagai ideologi, kata mereka, adalah suatu apologi yang muncul karena perasaan inferior di bawah dominasi dan imperialisme Barat. Dikatakan pula bahwa konsep kenegaraan dalam Islam itu tidak ada, karena dalam Al Qur`an tidak ada kata daulah? (negara). Jadi dalam persepsi para penganut kapitalisme, Islam ideologi itu mengada-ada dan hanya utopia.

Ancaman Islam ideologi juga dihadapi dengan penyebaran opini Islam substantif? yang menyatakan bahwa Islam itu yang lebih penting adalah aspek substansinya (seperti keadilan, persamaan, persaudaraan, kesejahteraan) dan bukan aspek simbol atau legal-formalnya (penerapan hukum Islam apa adanya termasuk hukum wajibnya negara Islam). Ide Islam substantif? ini adalah pemerkosaan terhadap Islam, yakni menempatkan Islam secara paksa dalam kerangka ide pemisahan agama dari kehidupan (sekulerisme).

Mereka juga menyerang para aktivis harakah Islam yang menyerukan Islam ideologi sebagai teroris?, fundamentalis?, ekstremis?, radikal?, dan sebagainya. Tujuannya adalah untuk menimbulkan kebencian masyarakat kepada para aktivis dakwah, sekaligus sebagai justifikasi atau landasan pengambilan tindakan penumpasan oleh para penguasa sekuler yang kejam. Penguasa Uzbekistan, misalnya, menjatuhkan vonis penjara kepada para aktivis Hizbut Tahrir dengan tuduhan melakukan “terorisme�, sesuai pasal 155 UUD Uzbekistan (Lihat Munazhzhamat Huquq Al Insan Al Uzbakiyah et. al, Islam Karimov Dhid Hizbut Tahrir, Moskow, 1999, hal. 66).

Para penganut kapitalisme juga berusaha berusaha membuktikan ancaman ideologi Islam dengan berbagai data dan bukti sejarah. Mereka sengaja menutupi prinsip bahwa Islam tidaklah bersumber dari peristiwa sejarah, melainkan bersumber dari nash-nash Al Qur`an dan As Sunnah. Maka mereka mengeksploitir penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam sejarah Islam, untuk membuktikan betapa buruk akibat yang terjadi kalau Islam memegang kekuasaan.

Misalnya terbunuhnya tiga khalifah (Umar, Utsman, dan Ali) dari empat Khulafa`ur Rasyidin. Atau perilaku sebagian khalifah yang menyimpang dari Islam, seperti perilaku Sultan Muhammad III (1595-1603 M), pengganti Murad III, seorang khalifah dalam masa Utsmaniyah, yang membunuh semua saudara laki-lakinya berjumlah 9 orang dan menenggalamkan janda-janda ayahnya sejumlah 10 orang demi kepentingan pribadi.? (Lihat Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hal. 155)

Benarkah Islam ideologi adalah sebuah ancaman ? Menurut Islam itu sendiri, jelas tidak. Bahkan ia adalah sebuah harapan, ketika saat ini umat Islam berada dalam ketertindasan akibat kapitalisme. Lebih dari itu, ideologi kapitalisme yang diterapkan kini bukan sekedar ancaman, tapi sudah menjadi bahaya nyata yang menyengsarakan umat Islam.

Islam ideologi adalah sebuah penegasan identitas, dan revitalisasi Islam yang mutlak adanya,? setelah sebelumnya Islam mengalami reduksi hanya sebagai agama? dalam pengertian Barat. Disadari atau tidak, pengertian “agama” yang dipahami masyarakat luas saat ini adalah “agama” dalam pengertian Barat yang sekularistik. Menurut mereka, agama hanya mengatur hubungan privat antara individu dengan Tuhan. Kalaupun mengatur hubungan antar manusia. agama hanya mengatur pada aspek yang terbatas, tidak mengatur seluruh aspek kehidupan secara total dan menyeluruh.

Ketika pemahaman sekularistik ini diterapkan pada Islam, yang terjadi adalah reduksi dan distorsi yang luar biasa menyimpang dari Islam. Padahal tak ada satupun persoalan hidup yang terjadi pada manusia, kecuali Islam telah menjelaskan tata aturannya. Allah Swt berfirman :

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian? agama? kalian…” (QS. Al Maaidah : 3)

Allah juga menyatakan : “Dan telah Kami turunkan kepadamu (Muhainmad) Al Kitab (Al Qur’an) menjelaskan segala sesuatu. “ (QS. An Nahl : 89)

Berdasarkan kenyataan adanya reduksi Islam itu, diperlukanlah upaya untuk mengembalikan Islam pada posisinya yang benar, yaitu sebagai pengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Digunakanlah kemudian istilah “ideologi” yang memiliki makna lebih luas dari pada istilah agama.

Jadi, dengan kata “ideologi islam?, sebenarnya terjadi proses penghancuran (dekonstruksi) terhadap paham sekulerisme (pemisahan agama dan kehidupan) yang telah membelenggu otak umat sekaligus proses purifikasi dan revitalisi terhadap Islam, yang dimaksudkan agar Islam kembali menempati posisinya yang layak yang telah ditetapkan Allah baginya. Yaitu sebagai. penuntun dan pengatur segala urusan hidup manusia secara utuh dan menyeluruh (kaaffah).

Jelaslah, Islam ideologi adalah penegasan identitas yang justru menjadi tuntutan saat ini. Islam ideologi bukan ancaman bagi umat Islam.

Di samping itu, Islam ideologi justru menjadi harapan tatkala keadaan umat manusia menjadi sangat brengsek akibat pengaruh dan penerapan ideologi kapitalisme. Ideologi inilah yang harus bertanggung jawab terhadap berlangsungnya imperialisme dan kolonialisme terhadap dunia, termasuk Dunia Islam. Perancis misalnya menduduki dan menjajah Aljazair (1830), Tunisia (1881), Maroko (1912), dan Syam (1920). Sementara Inggris menjajah India (1857), Mesir (1882), Irak (1914), dan Palestina (1918).

Kapitalisme harus memikul tanggung jawab pula terhadap lahirnya ideologi sosialisme, karena sosialisme adalah by product (efek samping) penerapan kapitalisme yang eksploitatif dan kejam di Eropa pada abad XVIII dan XIX. Kapitalisme pula yang harus bertanggung jawab terhadap korban Perang Dunia I dan II. Perang Dunia I (1914-1918) telah menelan korban jiwa tak kurang dari 21.000.000 orang. Perang Dunia II (1939-1945) menelan korban 35.513.877, di antaranya yang mati terbunuh sebanyak 8.543.515 orang. Pada hari keenam setelah jatuhnya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, korban yang tewas antara 210.000-240.000, belum terhitung yang luka atau cacat seumur hidup. (Lihat Abul Hasan Ali An Nadwi, Ma Dza Khasir Al Alam bi Inhithat Al Muslimin)

Kapitalisme harus bertanggung jawab terhadap munculnya ketimpangan yang sangat parah antara negara-negara industri yang kapitalistik dengan negara-negara lain di dunia. Data menunjukkan bahwa negara-negara industri yang kaya (seperti AS, Inggris, Perancis, Jerman, dan Jepang) yang hanya mempunyai 26 % penduduk dunia, ternyata menguasai lebih dari 78 % produksi barang dan jasa, 81 % penggunaan energi, 70 % pupuk, dan 87 % persenjataan dunia. (Lihat Rudolf H. Strahm, Kemiskinan Dunia Ketiga, h. 8-9)

Ringkas kata, ideologi kapitalisme yang sekuleristik itulah yang justru secara nyata menimbulkan bahaya-bahaya bagi umat manusia, bukan sekedar ancaman.

Jelaslah, tidak relevan menganggap Islam ideologi sebagai ancaman. Sebab Islam ideologi adalah Islam itu sendiri. Bagaimana mungkin kita menganggap kita adalah ancaman bagi kita sendiri ? Yang lebih relevan adalah membicarakan bahaya-bahaya kapitalisme. Karena sifatnya nyata, dan bukan lagi sekedar ancaman.

Maka orang yang menolak Islam sebagai ideologi sesungguhnya telah melakukan dua hal sekaligus, Pertama, menolak Islam itu sendiri, yang berarti juga menipu diri sendiri dan menipu umat Islam. Kedua, memberikan justifikasi? terhadap berlakunya ideologi kapitalisme sekarang, yang berarti juga turut? serta dalam upaya melanggengkan penindasan dan penderitaan umat manusia. 

*Wallahu 'alam bishawwab*

Islam Yang Terasingkan


Ketika ada seorang muslimah yang mengenakan jilbab dengan baik dan benar, sesuai tuntunan syariat Islam, banyak orang merasa heran. Bahkan ada sebagian besar yang menganggapnya aneh. Sebab, di tengah maraknya busana wanita yang mengeksploitasi keindahan tubuh wanita, muslimah yang mengenakan jilbab dengan sempurna tentunya adalah fenomena keanehan. Sebuah keterasingan.

Begitu pula ketika seorang Muslim yang mempertahankan keislamannya di tengah berserakannya ide sekularisme di jual di pasar bebas kehidupan. Ia tetap berpegang teguh meski harus menelan cemoohan dan sindiran begitu banyak orang: “Jangan sok suci!” “Jangan sok alim!”, begitu kira-kira umpatan banyak orang kepadanya ketika ia tidak mau berbuat maksiat. Ya, ternyata berpegang teguh kepada ajaran Islam dalam kondisi seperti saat ini, di tengah kehidupan sekularisme, menjadi sangat terasing dan dianggap aneh.

Tapi jangan khawatir, selama yang kita pegang adalah kebenaran Islam, tak perlu minder apalagi patah semangat. Justru menjadi orang-orang yang dianggap aneh atau terasing dalam komunitas yang menurut ajaran Islam justru dianggap komunitas yang aneh adalah sebuah kenik-matan tersendiri. Bahkan Rasulullah saw. memuji orang-orang yang terasing dalam kehidupan yang rusak. Rasulullah saw. bersabda: “Islam bermula dalam keadaan asing. Dan ia akan kembali menjadi sesuatu yang asing. Maka beruntunglah orang-orang yang terasing itu.” (HR Muslim no. 145)

Dalam hadis lain, Rasulullah saw. memberikan kabar gembira kepada kaum Muslimin yang senantisa bersabar dalam menghadapi godaan dan rayuan kehidupan yang akan memaling-kan dirinya dari Islam. Sabda beliau: “Sesungguhnya di belakang kalian ada hari-hari yang memerlukan kesabaran. Kesabaran pada masa-masa itu bagaikan memegang bara api. Bagi orang yang mengerjakan suatu amalan pada saat itu akan mendapatkan pahala lima puluh orang yang mengerjakan semisal amalan itu. Ada yang berkata,’Hai Rasululah, apakah itu pahala lima puluh di antara mereka?” Rasululah saw. menjawab,”Bahkan lima puluh orang di antara kalian (para shahabat).” (HR. Abu Dawud, dengan sanad hasan)

Subhanallah. Rasulullah saw. memberikan penghargaan yang luar biasa kepada kita yang bisa bertahan dalam kondisi yang rusak ini. Tidak tergoda untuk ikut larut dalam kehidupan yang rusak dan bejat. Tapi sebaliknya bertahan dengan memeluk ajaran Islam sepenuh hati dan sekuat tenaga. Tak akan melepaskannya selama hayat masih dikandung badan. Semoga kita menjadi orang-orang yang senantiasa menjaga diri dan berusaha untuk tetap istiqomah dalam kebenaran bersama Islam. Meski taruhannya adalah dianggap aneh atau bahkan diasingkan. Bukan hanya kita, tapi juga ajaran Islam yang kita peluk erat dianggap asing. Bersabarlah!

Iman harus tetap hidup

Ketika cahaya iman tetap menyala dalam hati dan pikiran kita, insya Allah kita tak akan pernah berada dalam kegelapan. Iman akan hidup dan memberikan tenaga bagi kita untuk memandu ke jalan yang benar. Kita tak akan pernah terpengaruh dengan kerusakan yang melingkari kehidupan kita.
Ibarat ikan yang hidup di air laut yang penuh dengan garam. Air laut yang asin itu, selama ikan masih hidup bisa bergerak ke sana kemari, asinnya air laut tak akan mampu meresap ke dalam tubuhnya. Tapi begitu ikan mati, maka air laut yang asin itu akan dengan mudah menyusup ke dalam tubuhnya. Sehingga tubuh ikan itu menjadi asin.
Seorang Muslim yang keimanannya tetap hidup dalam dirinya, insya Allah tak akan mudah larut dalam kehidupan yang rusak. Dan, harus dipahami bahwa keimanan itu harus kita pelihara terus. Bagaimana cara memelihara agar iman tetap hidup?

“Iman itu kadang bertambah dan kadang berkurang,” begitu sabda Rasulullah saw. Itu memang benar. Tapi Rasulullah saw. melanjutkan dalam hadis tersebut adalah, “iman bertambah dengan taat, dan iman bekurang dengan maksiat.”
Ya, ketika kita berbuat maksiat, maka tentu saja keimanan kita telah turun atau berkurang. Cepatnya pengurangan tergantung jenis kemaksiatan dan banyaknya kemaksiatan yang kita lakukan. Begitu pula bertambahnya keimanan akibat kita taat. Seberapa cepat bertambahnya? Itu bergantung jenis dan banyaknya ketaatan yang kita lakukan.
Itu sebabnya, nyalakan terus cahaya keimanan dalam hidup kita. Bagaimana agar cahaya keimanan tetap menyala? Para sahabat, generasi awal kaum Muslimin yang berhasil dididik Rasulullah saw. mengaitkan aktivitas berpikir dengan keimanan. Mereka menjelaskan bahwa, “Cahaya dan sinar iman adalah banyak berpikir” (Kitab ad-Durrul Mantsur, Jilid II, hlm. 409)

Jadi, agar cahaya iman kita tetap menyala dalam kehidupan kita, banyaklah berpikir. Berpikir adalah proses terakhir setelah kita tahu dan belajar. Sebab, jika kita hanya tahu saja tentang Islam, tapi belum menyempatkan diri untuk belajar, maka besar kemungkinan kita tak akan pernah bisa mencapai derajat berpikir. Jadi, biasakan kita melalui proses KLT (Knowing, Learning, and Thinking: tahu, belajar, dan berpikir).

Jika kita tahu bahwa Islam mengajarkan kebaikan, maka kita akan belajar tentang kebaikan itu, dan berusaha untuk memikirkan bagaimana menyampaikan kebaikan itu kepada orang lain. Inilah yang insya Allah akan menjadikan cahaya iman tetap menyala bagi kita. Kita bukan hanya berusaha menyelamatkan diri sendiri, tapi berupaya juga menyelamatkan orang lain agar bisa menerima cahaya iman. Sehingga akan banyak orang yang berbuat untuk memelihara keimanan ini agar tetap hidup dalam diri mereka. Kita semua sebagai kaum Muslimin.

Penyebab Islam terasingkan

Ada dua faktor yang bisa dianggap sebagai penyebab Islam menjadi terasing.
Pertama, dari faktor internal.
Kedua, dari faktor eksternal.
Apa saja faktor internal yang menyebabkan Islam terasingkan?

Pertama, kaum Muslimin yang malas belajar. Ini akan menyebabkan kaum Muslimin tidak mengenal dan memahami, serta mengamalkan ajaran Islam dengan baik dan benar.

Kedua, tidak terjalin ukhuwah dengan benar dengan kaum Muslimin. Kaum Muslimin tidak bersatu. Padahal bersaudara itu adalah sebuah kenikmatan dari Allah Swt. Jika kita bersama dan bersatu, insya Allah kita akan terlihat sebagai kekuatan yang besar. Firman Allah Ta’ala:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ 
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni’mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni’mat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS Ali Imran [3]: 103)

Ketiga, sedikit atau bahkan hilangnya aktivitas dakwah. Ini akan menjadi faktor pelemah kekuatan Islam karena Islam tidak tersebar dan tidak diketahui banyak oleh kaum Muslimin (dan juga nonMuslim).

Keempat, berhentinya proses ijtihad. Ini menjadi bencana kaum Muslimin karena banyak masalah baru tidak bisa terpecahkan dengan benar dan baik.

Kelima, hancurnya Daulah Khilafah Islamiyyah, yakni tanggal 3 Maret 1924 yang kala itu berpusat di Istambul Turki, sehingga tak ada pelindung bagi kaum Muslimin. Akibatnya kaum Muslimin hidup dalam ketidakpastian dan ketidakjelasan.

Adapun faktor eksternal penyebab Islam menjadi terasing adalah upaya musuh-musuh Islam untuk menghancurkan Islam melalui perang pemikiran dan budaya. Sehingga kaum Muslimin menjadi gamang dalam hidup bahkan sebagian besar merasa minder menyandang predikat Muslim. Mereka takut terasing dan akhirnya larut bersama kehidupan yang rusak.
Itu sebabnya, mari kita bekerjasama untuk segera bangkit dari kondisi ini. Harus segera sadar, tahu, dan mau mengamalkan dan memperjuangkan Islam. Agar Islam tidak asing dan kaum Muslimin tidak merasa terasingkan. Kobarkan semangat dan tetap istiqomah bersama Islam!

Berbahagialah orang yang terasing itu

Asing, aneh, tidak biasa, dan sejumlah kata sejenis terkadang mampir pada diri seorang Muslim yang taat saat ini. Betapa tidak, ketika kondisi yang kian jauh dari Islam mereka terus berusaha untuk selalu sesuai dengan Islam. Ia berbicara tentang Islam. Ia berbuat dengan standar Islam. Ia menilai dengan tolok ukur Islam; halal dan haram. Ia pun berjuang untuk tegaknya Islam. Mereka melakukan yang tidak biasa dilakukan oleh orang kebanyakan. Para Muslimahnya menutup aurat mereka dengan kerudung dan jilbab, menghindari tabarruj (bersolek) serta meninggalkan ikhtilat (campur baur) dan khalwat (berdua-duaan tanpa muhrim). Sedangkan, pada saat yang sama para wanita kebanyakan membuka aurat mereka, bersolek dengan sedimikian rupa, campur baur dalam pergaulannya, serta mudah sekali berdua-duaan ketika berjalan (khalwat). Maka tidak mengherankan apabila mereka (para Muslimah) itu terasa aneh bagi orang kebanyakan.

Tidak cukup sampai di sini. Mereka yang berusaha untuk menegakkan Islam pun mendapat imbasnya. Mereka yang berjuang untuk mengembalikan kehidupan Islam, menegakkan Syariah Islam, melakukan perbaikan kehidupan manusia serta mengajak manusia kepada Islam, juga diberi cap aneh, tidak rasional, ngawur, dan sederet kata-kata semisal lainnya. Hal itu karena apa yang mereka lakukan tidak biasa dari apa yang biasa dilakukan oleh orang kebanyakan.

Mengapa bisa demikian? Ya, karena apa yang mereka lakukan tidak biasa dilakukan oleh orang kebanyakan. Mereka telah menjadi orang yang asing. Namun, berbahagialah mereka karena mereka telah menjadi orang yang terasing. Karena Rasulullah saw pernah bersabda:

“Islam muncul pertama kali dalam keadaan terasing dan akan kembali terasing sebagaimana mulainya, maka berbahagialah orang-orang yang terasing tersebut.” (HR. Muslim)

Ibnu al Atsir dlm ktbnya al Nihayah jl III / 348 menjelaskan ttg hadist ini bahwa:
"... Pada awalnya bagaikan seseorang yg asing, krn tdk ada penganutnya, pada saat itu org yg masuk Islam sgt sedikit jumlahnya, Islam akan kembali mnjd asing seperti semula, yakni kaum muslim (yg 'benar2' muslim) sedikit sekali jumlahnya diakhir zaman, sehingga mereka bagaikan org2 yg terasing." Sedangkan sabda Rosulullah SAW, "Berbahagialah org2 yg terasing." maksudnya adlh Surga adlh balasan (janji Allah SWT) bagi org2 muslim yg ada diawal2 Islam & dimasa2 akhir Islam. Khususnya krn kesabaran mereka atas siksaan org2 kafir, baik dimasa awal maupun akhir Islam. Dan juga krn keteguhan mereka dlm berpegang teguh pd dinullah serta berjuang untuk agama-Nya."

Siapa saja orang-orang yang terasing itu? 

Orang yang terasing ternyata bukan sembarang orang. Orang yang terasing ini ternyata bukan sekedar “beda” dari yang lain. Orang terasing ternyata memiliki cirri-ciri yang khas.

Senantiasa Melakukan Perbaikan ketika Manusia Sudah Rusak Orang-orang terasing yang disampaikan oleh Rasulullah saw dalam hadits di atas adalah orang-orang yang senantiasa melakukan perbaikan. Mereka berusaha untuk mengubah kondisi yang jauh dari Islam menjadi islami. Memperbaiki kondisi kehidupan manusia rusak, jauh dari Islam. Mereka memperbaiki amal-amal manusia yang menyalahi syariah Islam. Mereka berjuang untuk mengembalikan kehidupan Islam di tengah-tengah mereka.

Diriwayatkan oleh Umar bin Auf bin Zaid bin Milhah al-Mazani ra., bahwa Rasulullah saw. bersabda:

"Sesungguhnya agama (ini) akan terhimpun dan berkumpul menuju Hijaz layaknya terhimpun dan terkumpulnya ular menuju liangnya, dan sungguh (demi Allah) agama (ini) akan ditahan (untuk pergi) dari Hijaz sebagaimana (ditahannya) panji (yang merupakan tempat Mungkinkah kita orang-orang yang terasing itu? Semoga! kembali di mana kaum Muslim kembali padanya ) dari puncak gunung. Sesungguhnya agama ini muncul pertama kali dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi asing. Maka berbahagialah orang-orang yang terasing. Yaitu orang-orang yang memperbaiki sunahku yang telah dirusak oleh manusia setelahku."


Dalam riwayat lain Rasulullah saw bersabda:

Islam muncul pertama kali dalam keadaan terasing dan akan kembali terasing sebagaimana mulainya, maka berbahagialah orang-orang yang terasing tersebut. Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, siapa al-ghuraba ini?” Rasulullah saw. bersabda, “Mereka adalah orang-orang yang melakukan perbaikan ketika manusia sudah rusak.” (HR. ath-Thabrâni).

Jumlah Mereka Sedikit

Dengan apa yang mereka lakukan telah menjadikan mereka terasing dari yang lain. Karena kebanyakan manusia bermaksiyat, jauh dari Islam, maka mereka menjadi orang-orang yang sedikit diantara kebanyakn manusia. Bahkan, kebanyakan dari manusia menentang apa yang mereka perjuangkan.

Ahmad dan ath-Thabrâni dari Abdullah bin Amru, ia berkata; “Pada suatu hari saat matahari terbit aku berada di dekat Rasulullah saw., lalu beliau bersabda: Akan datang suatu kaum pada hari kiamat kelak. Cahaya mereka bagaikan cahaya matahari. Abû Bakar berkata, “Apakah mereka itu kami wahai Rasulullah?” Rasulullah bersabda, “Bukan, dan khusus untuk kalian ada kebaikan yang banyak. Mereka adalah orang-orang fakir dan orang-orang yang berhijrah yang berkumpul dari seluruh pelosok bumi.” Kemudian beliau bersabda, “Kebahagian bagi orang-orang yang terasing, kebahagiaan bagi orang-orang yang terasing.” Ditanyakan kepada beliau, “Siapakah orang-orang yang terasing itu?” Beliau saw. bersabda, “Mereka adalah orang-orang shalih di antara kebanyakan manusia yang buruk. Di mana orang yang menentang mereka lebih banyak dari pada yang menaatinya.”

Mereka adalah Kaum yang Beraneka Ragam

Orang-orang yang terasing ternyata bukan dari satu kabilah, bangsa atau negeri saja. Mereka terdiri dari ragam bangsa, kabilah dan negeri. Mereka berkumpul dalam sati visi, satu perjuangan. Mengembalikan sunnah Rasulullah saw yang saat itu banyak ditinggalkan atau dikotorkan dengan amal yang sebenarnya bukan sunnah Rasulullah. Mereka berbeda suku, bangsa, negeri; namun mereka memiliki satu perasaan, satu pemikiran dan satu aturan yaitu Islam yang mulia. Oleh karenanya mereka dimuliakan oleh Allah Swt. Tentu kemuliaan mereka berbeda dengan kemuliaan para Nabi, syuhada dan para sahabat. Orang-orang terasing tentu tidak jauh lebih mulia dari para Nabi, syuhada dan para sahabat. Orang-orang terasing ini memiliki posisi tertentu di hadapan Allah Swt.

Sesunggunya Allah mempunyai hamba-hamba yang bukan para Nabi dan syuhada. Para Nabi dan syuhada pun berharap pada mereka di hari kiamat karena kedekatan mereka dengan Allah dan kedudukan mereka di sisi Allah. Kemudian seorang Arab Badui (yang ada di tempat nabi berbicara) duduk berlutut, seraya berkata, “Wahai Rasulullah, jelaskanlah sifat mereka dan uraikanlah keadaan mereka pada kami!” Rasulullah bersabda, “Mereka adalah sekelompok manusia yang beraneka ragam, yang terasing dari kabilahnya. Mereka berteman di jalan Allah, saling mencintai karena Allah. Allah akan membuat mimbarmimbar dari cahaya bagi mereka di hari kiamat. Orang-orang merasa takut tapi mereka tidak takut. Mereka adalah kekasih Allah yang tidak memiliki rasa takut (pada selain Allah) dan mereka tidak bersedih.” (HR. Hakim)

Mereka Saling Mencintai karena “ruh” Allah

Orang-orang yang terasing memiliki sifat saling mencintai karena Allah, saling mencintai karena “ruh” Allah. Mereka saling mencintai karena syariat Nabi Muhammad. Mereka diikat dengan ikatan mabda (ideologi) Islam. Ideologi Islam menjadi ruh diantara mereka, pengikat kebersamaan mereka, pengikat perasaan dan pemikiran mereka, pengikat aturan diantara mereka. Mereka diikat dengan aqidah yang sama, bukan dengan ikatan keturunan, bangsa, manfaat atau dunia.

Umar bin al-Khathab ra., ia berkata; Rasulullah bersabda:

Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah ada sekelompok manusia. Mereka bukan para nabi dan juga bukan syuhada. Tapi para nabi dan syuhada pun berharap pada mereka di hari kiamat karena kedudukan mereka di sisi Allah Swt. Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepada kami siapa mereka itu?” Rasulullah bersabda, “Mereka adalah suatu kaum yang saling mencintai dengan “ruh” Allah, padahal mereka tidak memiliki hubungan rahim dan tidak memiliki harta yang mereka kelola bersama-sama. Demi Allah, wajah mereka adalah cahaya. Mereka ada di atas cahaya. Mereka tidak takut ketika manusia takut. Mereka tidak bersedih ketika manusia bersedih.” Kemudian Rasulullah membacakan firman Allah, “Ingatlah sesungguhnya para kekasih Allah itu tidak mempunyai rasa takut (oleh selain Allah) dan tidak bersedih”. (HR. Abû Dawud)

Mereka memperoleh kedudukan itu tanpa menjadi syuhada

Orang-orang terasing karena keshalihan dan perjuangannya benar-benar mendapatkan kedudukan mulia di hadapan Allah Swt. Dalam hadits di atas disampaikan bahwa mereka memiliki kedudukan mulia tersebut tanpa menjadi syuhada. Mengapa? Karena para Nabi dan syuhada pun tergiur oleh mereka. Hal ini bukan berarti mereka lebih mulia dan utama dari para Nabi dan syuhada. Tidak sama sekali. Hal ini menunjukkan bahwa kedudukan itu hanyalah semata-mata menunjukkan keistimewaan mereka. Kedudukan yang Allah muliakan di akhirat kelak.

Sungguh, orang-orang terasing berbahagia dengan sifat-sifat di atas. Apakah kita termasuk orang-orang yang terasing itu? Apakah kita termasuk orang-orang yang berbahagia itu? Tentu ketika kita dapat memiliki sifat-sifat di atas, Allah akan menjadikan kita mulia seperti orang-orang terasing dalam hadits Rasulullah Saw, atau bahkan boleh jadi kitalah orang-orang terasing itu. Semoga.

*Sumber: dari berbagai sumber, Wallahu 'alam bishawwab*

Pentingnya Waktu Dalam Pandangan Islam

Al Waqtu Huwa al Hayah


Ada sebuah kata hikmah yang singkat namun sarat terhadap makna hidup yang sangat luas dan mendalam, yang terdiri dari 3 (tiga) suku kata arab, namun sangat representatif untuk menggambarkan arti pentingnya waktu bagi kehidupan manusia, yaitu ungkapan 'al-waqtu huwa al-hayah (waktu adalah kehidupan)'. Sekali lagi, yaitu 'waktu adalah kehidupan.' Yang dimaksud dengan kehidupan adalah, waktu yang dilalui manusia saat ia dilahirkan hingga ia wafat. Dengan definisi kehidupan seperti di atas, maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa, seseorang yang membiarkan waktunya berlalu sia-sia, dan lenyap begitu saja, sama artinya ia dengan sengaja atau tidak sengaja- telah melenyapkan sisa-sisa masa kehidupannya. Al-Hasan al-Bashri berkata,

“Wahai Bani Adam (manusia), sesungguhnya anda hanyalah kumpulan hari-hari, maka jika hari telah berlalu berarti telah berlalu sebagian dirimu.”

Sekali bahwa ketika kita menyia-nyiakan dan membuang waktu kita tanpa hal yang berarti untuk agama dan kemaslahatan umat, maka ketika itu juga sesungguhnya kita telah membunuh diri kita sendiri. Betapa waktu itu sangat berharga dan jangan biarkan ia berlalu begitu saja.

Allah Subhanahu wa Ta'ala Bersumpah dengan Waktu dan Bagiannya

Begitu pentingnya waktu bagi kehidupan manusia, sampai-sampai Allah Subhanahu wa Ta'ala bersumpah di banyak tempat dalam al-Qur`an al-Karim, dengan waktu dan bagian-bagiannya. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala, jika ia bersumpah dengan sesuatu, maka dengan sumpahnya itu, dengan sesuatu tersebut dimaksudkan untuk memalingkan atau mengalihkan pandangan kita kepada arti pentingnya hal tersebut sampai kita bertafakkur (berfikir) di dalam setiap bagian waktu seluruhnya, ketika fajar, ketika dhuha, ketika malam, dan ketika siang dll, seperti Ulil Albab di dalam firman-Nya :

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (QS. 3:190); (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata):"Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." (QS. 3:191)


Instrokpesi Diri

Maka sudah selazimnya menjadi kewajiban bagi seorang muslim terhadap dirinya untuk melakukan muhasabah an-nafsi 'intropeksi diri', yaitu menghitung-hitung dirinya atas tahun dan hari-hari yang telah ia lalui. Apa yang telah ia perbuat semasa itu, dan keuntungan apa yang peroleh, kerugian apa yang ia derita. Seperti apa yang dilakukan oleh seorang bisnisman yang menginginkan kesuksesan dengan modalnya pada setiap tahunnya, ia menghitung-hitung kembali perdagangannya, berapa modal yang telah ia keluarkan, berapa pemasukannya, di mana ia mengalami kerugian dan apa masalahnya, dan di mana keuntungannya, berapa besar keuntungannya dari pada kerugiannya, ketika kerugiannya lebih besar dari pada keuntungannya maka ia menjadi sangat menyesal sekali dan mengalami kesedihan yang luar biasa, dan sebaiknya ketika keuntungannya lebih besar dari pada kerugiannya maka ia merasa senang dan bergembira sekali, untuk selanjutnya ia melakukan kalkulasi bisnisnya kembali, memenag dan membuat schedule untuk tahun berikutnya. Yang demikian itu pada amrun dunyawi (urusan duniawi), begitu ihtimaam (concern)nya dan sangat telitinya ia dalam urusan dunia ini. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertaqwa dan anda tidak akan dianiaya sedikitpun." (QS. An-Nisaa:77).

Nabi Musa berkata di dalam al-Qur`an :

"Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan sementara, sesungguhnya akhirat itulah kesenangan yang kekal." (QS.40 : 39)

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

"Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh," (QS. 4:78)

Karena itu muhasabatunnafsi merupakan suatu keharusan, seandainya tidak sanggup setiap hari untuk instropeksi/menghitungkan dirinya hendaklah dilakukan pada setiap pekan, maka kalaupun setiap pekan ia masih juga tak dapat melakukannya, maka hendaklah setiap bulan, dan kalau tidak bisa juga maka hendaklah ia melakukan instropeksi diri pada setiap tahun.

Ulama dan Waktu

Para salafus soleh meninggalkan banyak pelajaran berharga dalam menghargai waktu.. Imam Ibnu Jarir ath-Thabari (223H-310H) sepanjang hidupnya tercatat telah mengumpulkan 358 ribu halaman dari berbagai karangannya. Jika kita perkirakan masa kanak-kanak beliau sebelum baligh 14 tahun, maka dapat disimpulkan beliau menulis 14 halaman setiap harinya. Begitu perhatiannya beliau dengan waktu, sampai-sampai ketika kurang lebih sejam sebelum kematiannya beliau masih menyempatkan diri menulis suatu do`a yang baru ia dengar dari Ja`far bin Muhammad.

Begitu pula dengan Imam Ibnu al-Qayyim yang tidak rela kehilangan waktunya karena safar (suatu perjalanan), sehingga selama safarnya beliau mengisinya dengan menulis sehingga menghasilkan karya Zaadul Ma`aad.

Imam Nawawi yang tidur dengan bersandarkan sebuah buku yang ditegakkan pada dagunya, begitu buku itu terjatuh maka beliau terjaga dan kembali menggoreskan tintanya.

Majduddin Abu al-Barakat `Abdussalam, kakek dari Imam Ibnu Taimiyah, tiap kali masuk ke kakus, beliau memerintahkan anaknya (orang tua Imam Ibnu Taimiyah) untuk membacakan suatu kitab dengan suara keras, hingga terdengar olehnya. Tak aneh jika sikap sang kakek ini tertular kepada cucunya..

Suatu ketika Imam Ibnu Taimiyah jatuh sakit, dokter menyarankan agar beliau untuk sementara waktu menghentikan dulu kegiatan belajar mengajarnya karena hal itu dikhawatirkan dapat memperparah kondisinya. Berkata Imam Ibnu Taimiyah kepada dokternya, "bukankah jika jiwa yang bahagia dan gembira dapat memperkuat daya tahan tubuh", sang dokter membenarkannya. "Maka sesungguhnya jiwaku merasa tenang jika berinteraksi dengan ilmu, dan tubuhku terasa kuat dan hanya dengan itu saya dapat beristirahat."

Optimalkan Amal

Waktu hidup manusia di dunia adalah umurnya, dan umur manusia merupakan rahasia Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kualitas umur seseorang sangat menentukan posisinya di alam kehidupan berikutnya. Jika dari waktunya diperuntukkan hanya karena Allah (lillah) maka kematiannya adalah baik baginya. Namun sebaliknya jika waktu dan umurnya dihabiskan untuk menuruti kesenangan nafsu dan dan ambisi syahwat hewaninya maka kematiannya merupakan petaka besar baginya. Al-Hasan al-Bashri berkata,

"Wahai Bani Adam (manusia), sesungguhnya anda hanyalah kumpulan hari-hari, maka jika hari telah berlalu berarti telah berlalu sebagian dirimu."

Ibnu Mas`ud Radhiyallahu 'Anhu (salah seorang sahabat besar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa sallam) berkata:

"Tidak ada yang lebih aku sesali, kecuali bila matahari telah terbenam maka berkuranglah masa ajalku, namun tidak bertambah sedikitpun amalanku."

Berkata Khalifah Umar bin Abdul Aziz Rahimahullah,

"Sesungguhnya malam dan siang terus bekerja dalam dirimu, maka bekarjalah di dalam siang dan malammu."

Bekerjalah pada siang dan malammu, janganlah mengakhirkan pekerjaan siang untuk dikerjakan di malam harinya, dan janganlah mengakhirkan pekerjaan malam ke siang harinya. Janganlah pekerjaan hari ini di akhirkankan hingga esok harinya dan janganlah pekerjaan esok karena malas diakhirkan hingga lusanya. Jangan katakan, "Nanti akan kuamalkan, sebentar lagi akan kukerjakan." Karena setiap manusia akan ditanya pada hari kiamat, mengenai umurnya untuk apa ia habiskan, tentang masa mudanya untuk apa ia gunakan, tentang ilmunya sudahkah ia amalkan, dan tentang hartanya, dari mana dia peroleh dan untuk apa ia belanjakan ?. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi wa sallam:

"Tidak akan bergeser kedua kaki manusia pada hari Kimat hingga (ia) ditanya ttentang umurnya, untuk apa ia habiskan, tentang ilmunya, sudahkan ia amalkan ? tentang hartanya, dari mana dia peroleh dan untuk apa ia belanjakan ? tentang jasadnya, untuk apa ia gunakan ? "(HR. At-Tirmidzi)

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

"Demi masa. (QS. 103:1) Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, (QS. 103:2) kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran. (QS. 103:3)"

Sungguh terbukti kebenaran ucapan Imam Syafi`i mengenai firman Allah Subhanahu wa Ta'ala ini, bahwa seandainya (al-Qur`an) tidak diturunkan kecuali (hanya) surat (al-Ashr) ini, maka hal itu sudah cukup memadai bagi manusia sekalian.

Action

Maka wahai sahabat telah 86 tahun qta hidup tanpa adanya pelindung umat yakni sejak keruntuhannya Khilafah Islamiyyah tgl 3 Maret 1924, masihkah qta akan tetap mengulur-ulur waktu utk mengabaikan kewajiban yg agung & mulia ini. Dengan ini marilah kini qta menjadi org2 yg masuk dalam barisan para pejuang dakwah demi tegaknya Syariah & Khilafah, krn hanya dengan menjadi pejuanglah maka kita dapat menghabiskan waktu ini tidak dgn sia-sia. 
So ~>JANGAN HABISKAN WAKTUMU DENGAN SIA-SIA SAHABAT !
~*Wallahu 'Alam Bishawwab*~

Islam vs Kapitalis-Sekuler

Banyaknya persoalan hukum yang tidak selesai di negeri ini seperti kasus BLBI, Skandal Century hingga kasus pajak serta ironisme penegakan hukum yang bagaikan pisau: tajam mengiris ke bawah tetapi tumpul tak berdaya ke atas melahirkan pertanyaan “apa yang salah dengan hukum di negeri ini?”. Pengamatan yang mendalam akan menyimpukan bahwa semua ini merupakan akibat dari penerapan sistem hukum kapitalis – sekular. Sebagian kaum Muslimin telah menyadari hal ini dan menginginkan penerapan hukum Islam sebagai pengganti sistem hukum kapitalis – sekuler. Apa yang membedakan antara hukum Islam dan hukum kapitalis – sekular? Serta apa keunggulan sistem hukum Islam (khususnya sistem persanksian Islam) sehingga diyakini akan mampu menyelesaikan persoalan – persoalan yang tidak mampu diselesaikan oleh sistem hukum kapitalis – sekular?
Perbedaan Mendasar Antara Sistem Hukum Islam vs Hukum Kapitalis – Sekular
Sistem hukum Islam dan sistem hukum Kapitalis – Sekular bukan hanya tidak sama tetapi juga berbeda secara mendasar. Perbedaan itu antara lain dilihat dari aspek:
Aspek Islam Kapitalis – Sekular
Aqidah Islam Kapitalis – Sekuler
Standar Kebenaran Ketetapan ALLAH Akal Manusia
Sumber Hukum Wahyu Pendapat Manusia
Pembuat Hukum ALLAH Manusia (exp. parlemen)

a. Aqidah
Sistem hukum Kapitalismelahir dari aqidah Kapitalisme – Sekularisme yang spiritnya adalah pemisahan agama dari kehidupan untuk menciptakan suatu kebebasan. Sistem hukum ini lahir dari falsafah Barat yang memandang bahwa kebebasan merupakan pokok pangkal tegaknya masyarakat sehingga legislasi hukum hanya bertujuan untuk menata kehidupan yang rukun antara kekuasaan dan kebebasan dalam kerangka Negara – rakyat. Dalam pandangan aqidah Kapitalisme – Sekularisme legislasi hukum dibangun atas konsep pembingkaian dan pengokohan kebebasan individu. Dengan konsep “pemisahan agama dari kehidupan”, dalam sistem hukum ini tidak dikenal prinsip legislasi hukum yang bersifat langgeng dan tetap. Hukum dapat saja berubah kapan pun sesuai dengan kondisi yang ada . Sedangkan Sistem hukum Islam lahir dari aqidah Islam yang spiritnya adalah pengakuan bahwa manusia adalah makhluq sekaligus hamba bagi ALLAH, sang Pencipta serta pengakuan akan keterbatasan manusia. Sehingga, dalam sistem hukum ini hukum disusun (dilegislasikan) untuk “memfasilitasi” ketaatan hamba kepada Tuhannya.

b. Standar Kebenaran
Karena lahir dari aqidah Kapitalisme – Sekulerisme yang spiritnya adalah kebebasan pemisahan agama dari kehidupan, maka yang menjadi standar kebenarannya dikembalikan kepada keinginan dan akal manusia. Apa saja yang dianggap akal sebagai sesuatu yang baik maka akan dianggap baik dalam sistem hukum ini. Demikian juga, apa saja yang diinginkan manusia akan dianggap baik dalam sistem ini. Dan sebaliknya apa saja yang ditolak akal, mengekang kebebasan atau tidak sesuai dengan keinginan manusia dianggap sebagai sesuatu yang buruk. Karena pola piker dan keinginan manusia berbeda – beda, maka standar kebenaran yang mereka terapkan juga berbeda – beda. Sehingga, hukum yang lahir dari standar kebenaran semacam ini hanyalah merupakan hasil kompromi atas berbagai macam keinginan yang ada. Akibatnya, hukum yang dihasilkan masih memiliki banyak celah untuk terjadinya pelanggaran – pelanggaran hukum yang tampak “benar” dan pelakunya bisa dengan leluasa menghindar dari jeratan hukum karena standar kebenaran yang tidak tegas ini. Sebagai contoh misalnya dalam kasus terbitnya majalah Playboy. Meski dalam pasal 282 KUHP telah diesebutkan “Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan, atau barangsiapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, membikin tulisan, gambaran atau benda tersebut, memasukkannya ke dalam negeri, meneruskannya, mengeluarkannya dari negeri, atau memiliki persediaan, ataupun barangsiapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkannya atau menunjukkannya sebagai bisa diperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.” Namun karena standar “kesusilaan” bagi tiap orang itu berbeda, maka ini menjadi celah bagi para pelaku pelanggaran untuk berkelit dari jeratan hukum. Bahkan atas nama kebebasan—yang menjadi spirit—dalam Kapitalisme – Sekularisme, si Pimpinan Redaksi Majalalah Playboy mengklaim dirinya sebagai “Editor in Chief Playboy Indonesia yang sejak 2006 dizhalimi oleh orang – orang yang anti pada kebebasan berfikir dan berekspresi” . Akibatnya, hingga saat ini dia masih terus berkelit mencari pembenaran atas pelanggaran yang dia lakukan, vonis 2 tahun penjara yang telah ditetapkan pun belum berhasil membawanya ke penjara. Demikian juga dengan kasus video porno 3 artis papan nama yang mencuat Juni lalu. Meski UU Pornografi telah disyahkan, toh nyatanya para pelaku video porno seperti mereka tetap banyak dan susah dijerat karena UU ini pun punya banyak celah bagi pelanggaran yang tampak “benar”. Misalnya seperti pada penjelasan pasal 4 UU Pornografi dikatakan bahwa “Yang dimaksud dengan “membuat” adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri.” . Demikian juga dengan undang – undang yang lainnya, tetap saja ada banyak peluang bagi pelanggaran yang tidak bisa dijerat karena seolah – olah tampak benar. Jika demikian, apa gunanya legislasi hukum?
Berkebalikan dengan itu, standar kebenaran dalam Islam adalah ketetapan ALLAH. Yang disebut sebagai perbuatan kriminal atau pelanggaran hukum atau kema’siyatan adalah segala tindakan meninggalkan kewjiban, mengerjakan perbuatan yang haram, atau melanggar ketetapan Negara (dengan catatan Negara tidak mengubah ketetapan ALLAH) . Sedangkan kita ketahui bahwa ketetapan ALLAH tentang segala perbuatan manusia telah dijelaskan lengkap dengan segala batasan dan pengecualiannya dalam Al – Qur’an dan As – Sunnah. Dengan standar yang jelas seperti ini, tidak ada lagi celah bagi pelanggaran hukum yang tampak ”benar” dan segala bentuk pelanggaran hukum akan mudah diketahui dan disepakati sebagai pelanggaran yang harus dihukum. Masih dengan contoh yang sama, tentang ”kesusilaan” dan ”porno”. ALLAH telah menetapkan batasan – batasan yang jelas tentang aurat. Maka, setiap perilaku menampakkan aurat di depan orang yang tidak berhak melihatnya adalah sebuah tindakan kriminal yang harus mendapatkan sanksi. Sehingga orang akan berfikir seribu kali untuk melakukan pelanggaran hokum karena tidak ada lagi celah untuk berkelit dan menghindari hukuman, apalagi penerapan system hukum Islam ini didasari oleh spirit ketundukan pada ALLAH.

c. Sumber Hukum
Hukum Kapitalis – Sekuler bersumber pada akal manusia. Baik itu berupa warisan hukum dari Negara lain (missal beberapa hukum di Indonesia merupakan warisan hukum Penjajah Belanda), kebijakan para filsuf, kehendak penguasa, atau pun kehendak rakyat (melalui parlemen). Padahal akal manusia sangat terbatas. Mungkin dia dapat membuat aturan yang tepat untuk dirinya dan beberapa orang di sekelilingnya untuk saat ini tetapi dia tidak akan pernah bisa membuat aturan untuk orang yang kehidupannya berbeda dengannya, juga dia tidak akan mampu membuat aturan untuk masa depan karena dia tidak mengetahui bagaimana kehidupan orang lain yang jauh berbeda dari kehidupannya dan bagaimana keadaan masa depan. Hukum yang bersumber dari sesuatu yang penuh keterbatasan ini tentu saja tidak mungkin mampu menjadi hukum yang kuat dan tepat untuk mengatur kehidupan manusia.
Hukum Islam hanya bersumber dari Al – Qur’an dan As – Sunnah dan apa – apa yang ditunjuk oleh keduanya, yaitu ijma’ shahabat—yang dinyatakan tidak mungkin bersepakat dalam kebohongan—dan qiyas. Al – Qur’an dan As – Sunnah merupakan ketetapan ALLAH, sedangkan Ijma’ dan Qiyas tetap merujuk pada keduanya. Sehingga, pada dasarnya hukum Islam hanya bersumber pada ALLAH.

d. Pembuat Hukum
Sebagai konsekuensi dari standar kebenaran yang digunakan, pembuat hukum mengikuti pemilik standar tersebut. Dalam sistem hukum Kapitalis – Sekular manusia dianggap sebagai pemilik standar kebenaran dan paling mengerti manusia dan kehidupannya,sehingga selera manusialah yang dijadikan sebagai satu – satunya pembuat hukum. Secara teoritis, dalam sistem hukum Kapitalis – Sekular, rakyatlah sumber hukum tertinggi. Aturan dibuat oleh rakyat untuk dilaksanakan sendiri oleh rakyat. Namun, pada faktanya hukum Kapitalis – Sekular lebih banyak bersumber pada kepentingan para penguasa atau pun pemilik modal. Bisa dipahami bahwa setiap manusia pasti memiliki kepentingan dan keinginan. Ketika dia memiliki kekuasaan untuk membuat hukum, pasti dia akan berusaha semaksimal mungkin agar hukum tersebut tidak merugikan dirinya dan dapat memfasilitasi dia untuk memperoleh kepentingannya. Teori bahwa manusia dapat membuat hukum yang adil bagi seluruh manusia adalah teori yang tidak pernah terbukti kebenarannya, bahkan sudah cacat sejak awal. Bagaimana mungkin dia mampu membuat hukum yang adil bagi seluruh manusia sedangkan dia sendiri memiliki kepentingan di dalamnya? Itulah kenapa begitu banyak peraturan di negeri ini yang tetap disahkan meskipun sangat tidak adil dan menyengsarakan masyarakat. Peraturan tentang TDL, pencabutan “subsidi”, dan perdagangan bebas hanyalah sedikit contoh dalam hal ini.
Berbeda dengan itu, Islam hanya mengakui ALLAH sebagai sumber dan pembuat hukum. Hanya ALLAH – lah sumber dan pembuat hukum paling adil karena DIA – lah yang telah menciptakan manusia dan DIA sama sekali tidak memiliki kepentingan terhadap manusia. Maka, hukum yang dibuat – NYA pun menjadi hukum ynag paling adil dan paling mampu untuk mengatur kehidupan ummat manusia dari masa ke masa tanpa perlu amandemen.
Seputar Ijtihad
Banyak yang menyangsikan kemampuan hukum Islam dalam menyelesaikan permasalahan hidup manusia karena sifatnya yang tetap, tidak mengenal perubahan padahal problematika manusia terus berkembang. Islam menjawab keraguan ini dengan kebolehan ijtihad pada ranah tertentu; yaitu pada ranah yang ALLAH tidak menentukan secara detil batasan – batasannya, hanya menentukan garis besarnya saja. Dengan demikian, Islam tetap akan mampu menyelesaikan berbagai permasalahan manusia yang detilnya terus berkembang.
Namun, dari sana seringkali muncul pertanyaan berikutnya “jika demikian, berarti para mujtahid itu menjadi partner ALLAH dalam membuat hukum?”. Sebenarnya tidak dapat dikatakan demikian karena para mujtahid itu hanya berwenang mendetilkan hukum – hukum yang garis besarnya telah ditetapkan ALLAH jauh berbeda dengan tugas pembuat hukum dalam sistem apitalis – Sekular yang benar – benar memunculkan hukum baru dari hukum yang tidak ada.
Seputar Kategorisasi Jenis Pelanggaran dalam Sistem Hukum Islam

Dalam Islam, jenis – jenis pelanggaran dikategorikan menjadi 4 kategori besar (sebagian ulama mengkategorikannya menjadi 3 kategori saja); yaitu pelanggaran yang berakibat pelakunya akan menerima sanksi hudud, jinayat, ta’zir, dan mukhalafah.

a. Hudud
Hudud adalah sanksi atas kemaksiayatan yang telah ditetapkan kadarnya dan menjadi hak ALLAH. Dalam jenis pelanggaran ini, tidak ada hak bagi siapa pun untuk memberi ampunan bagi pelakunya kecuali ALLAH. Pelanggaran jenis ini kadar sanksinya telah ditetapkan oleh ALLAH secara langsung dan siapa pun tidak berhak menguranginya. Pertimbangan apa pun tidak dapat digunakan untuk meringankan sanksi apalagi membebaskan pelakunya dari hukuman. Yang termasuk kategori hudud misalnya: zina (dengan sanksi rajam sampai mati bagi pezina mukhshon atau dicambuk 100x bagi pezina ghayra mukhshan), homoseksual (dengan hukuman mati), qazhaf atau menuduh perempuan mu’minah berzina tanpa 4 orang saksi (dengan hukuman 80x cambukan), meminum khamr (dengan hukuman 40 atau 80 x cambuk), mencuri bukan karena terpaksa dan mecapai kadar ¼ dinar (dengan hukuman potong tangan), murtad (dengan hukuman mati), dll.

b. Jinayat
Jinayat adalah sanksi yang diberikan atas penganiayaan terhadap manusia (jiwa maupun badan). Untuk pelanggaran jenis ini, ahli waris korban memiliki hak untuk menuntut ditunaikannya jinayat atau mengampuni pelaku dan hakim wajib menerima keputusan ahli waris atas pelaku pelanggaran tersebut. Contohnya adalah pada kasus pembunuhan yang disengaja (dengan sanksi hukuman qishash atau diyat berupa 100 ekor unta dan 40 ekor di antaranya sedang hamil).

c. Ta’zir
Ta’zir merupakan sanksi yang bersifat edukatif yang diberikan atas tindakan pelanggaran yang kadar hukumannya tidak ditetapkan secara pasti oleh ALLAH. Sanksi atas pelanggaran jenis ini ditetapkan oleh Khalifah atau qadhi. Misalnya ta’zir atas Muslim yang dengan sengaja tidak melaksanakan shalat, memalsukan dokumen Negara, pencemaran nama baik, dll. Untuk pelanggaran jenis ini hakim berhak meringankan atau memberatkan hukuman berdasarkan berbagai macam pertimbangan, misalnya perilaku baik pelakunya, keadaan pelakunya, pelanggaran yang pertama atau pelanggaran berulang, dll. Hal ini berdasarkan hadits dari ‘Ausyah r.a. bahwa Nabi bersabda: “Ringankanlah (sanksi) bagi orang yang memiliki perangai terpuji atas pelanggaran mereka, kecuali hudud”.

d. Mukhalafah
Mukhalafah adalah sanksi yang diberikan atas pelanggara terhadap aturan Negara (dengan catatan bahwa Negara tidak boleh mengubah hukum ALLAH). Kadar sanksi untuk pelanggaran jenis ini ditetapkan oleh Khalifah.
Adanya kategorisasi tersebut akan meminimalisasi kemungkinan kesewenang – wenangan aparat penegak hukum dan kemungkinan terjadinya peradilan yang tidak adil. Karena penegak hukum hanya memiliki kewenangan untuk menambah / mengurangi hukuman pada area pelanggaran tertentu saja. Berbeda dengan sistem hukum Kapitalis – Sekular yang keputusan pengadilan dapat dibeli karena semua keputusan ada di tangan manusia dan seolah – olah menjadi hak prerogative aparat penegak hukum sehingga memunculkan ketidakadilan. Bahkan, dari berbagai jajak pendapat 89,8% masyarakat percaya keputusan hukum di Indonesia bisa dibeli dengan uang. (Jajak pendapat Kompas,9/11/09).
Demikianlah telah jelas antara yang benar dan yang sesat. PIlihan ada di tangan kita, akan terus mempertahankan Sistem Hukum Kapitalis – Sekular yang rusak ini atau memperjuangkan tegaknya Sistem Hukum Islam yang menjamin tegaknya keadilan di muka bumi.

link tambahan ~>
Sistem Persanksian Islam (Telaah Kitab Nizhâm al-’Uqûbât fî al-Islâm)
http://pertarungan-ideologi.blogspot.com/2008/09/sistem-persanksian-islam-telaah-kitab.html
Memahami Sistem Sanksi Dalam Islam
http://dakwahkampus.com/artikel/pemikiran/1452-memahami-sistem-sanksi-dalam-islam.html