Assalamu'alaykum ^_^

Teruntuk Siapapun Yang Merindukan Kemuliaan & Kebangkitan ISLAM

Assalamu'alaykum Warahmatullah..

Selamat Datang
Semoga Bermanfaat

6/25/11

Bertakwa dan Berkata Benar

Oleh: Rokhmat S. Labib

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar (TQS al-Ahzab [33]: 71).

Lidah tak bertulang. Ungkapan ini biasa digunakan untuk menggambarkan betapa mudahnya orang untuk berbicara. Padahal, meskipun terasa ringan, setiap kata yang keluar darinya, mendatangkan konsekuensi. Bahkan konsekuensinya kadang tidak ringan. Maka lidah bagaikan pisau bermata dua. Bisa menjadi senjata yang menyelamatkan pemiliknya atau berbalik menikam pemiliknya. Inilah yang banyak tidak sadari orang.

Agar tidak salah mengeluarkan perkataan, ayat ini penting untuk dijadikan sebagai panduan.

Perintah Bertakwa dan Berkata Benar

Allah SWT berfirman: Yâ ayyuhâ al-ladzîna âmanû [i]ttaqûl-Lâh (hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah). Seruan ayat ini ditujukan kepada orang-orang Mukmin. Mereka diperintahkan [i]ttaqûl-Lâh (bertakwa kepada Allah). Secara bahasa, al-taqwâ berarti menjadikan diri dalam perlindungan dari segala yang menakutkan. Oleh karena itu, al-taqwâ terkadang bermakna al-khawf, seperti dalam firman-Nya: Wa [i]ttaqû al-nâr al-latî u’iddat li al-kâfirîn (dan peliharalah dirimu dari api neraka yang disediakan untuk orang-orang yang kafir, TQS Ali Imran [3]: 131).

Secara syar’i, al-taqwâ didefinisikan sebagai penjagaan diri dari perbuatan dosa. Hal itu dilakukan dengan melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan. Di samping itu, menurut al-Raghib al-Asfahani, juga disempurnakan dengan meninggalkan sebagian perkara mubah.

Dalam Alquran, perintah untuk bertakwa amat banyak. Selain ayat ini, juga dalam QS al-Baqarah [2]: 98, 196, 278, Ali Imran [2]: 130, al-Nisa [4]: 9, dan lain-lain. Bahkan dalam awal surat ini, perintah untuk bertakwa juga ditujukan kepada Rasulullah SAW dengan firman-Nya: Hai Nabi, bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu menuruti (keinginan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik (TQS al-Ahzab [33]: 1).

Kemudian diiringi dengan diperintahkan: wa qûlû qawl[an] sadîd[an] (dan katakanlah perkataan yang benar). Kata al-sadîd merupakan bentuk shifah musyabbahah dari kata al-sadâd. Dalam Mukhtâr al-Shihhah dijelaskan bahwa al-sadâd berarti al-shawâb wa al-qashd min al-qawl wa al-‘amal (ucapan dan perbuatan yang benar dan lurus). Al-Raghib mengatakan, pengertian al-sadâd adalah istiqâmah. Sedangkan menurut al-Syaukani, kata al-sadîd diambil dari kata tasdîd al-sahm (membetulkan anak panah) agar tepat sasarannya.

Dalam konteks ayat ini, sadîd[an] bisa berarti shawâb[an] (benar) sebagaimana dijelaskan Ibnu ‘Abbas. Menurut Qatadah bermakna ‘ad-l[an] (adil). Tak jauh berbeda, al-Hasan menafsirkannya sebagai shidq[an] (jujur). Ada pula yang memaknainya mustaqîm[an] (lurus). Sedangkan menurut ‘Ikrimah, sadîd[an] dalam ayat ini bermakna ucapan lâ ilâha illâl-Lâh. Dengan demikian, perkataan yang diperintahkan keluar dari orang Mukmin adalah qawl[an] sadîd[an]. Yani, perkataan yang benar, adil, jujur, dan lurus. Tentu saja, kriteria, batasan, dan koridornya didasarkan pada Islam. Perintah bertakwa yang disebutkan sebelumnya jelas menunjukkan kesimpulan tersebut.

Sebagaimana dijelaskan al-Syaukani, takwa yang diperintahkan itu meliputi seluruh urusan. Itu artinya, ketaatan kepada perintah dan larangan-Nya mencakup semua hal, dalam perbuatan maupun ucapan. Oleh karena itu, frase qûlû qawl[an] sadîd[an] di sini berkedudukan sebagai ‘athf al-khâsh ‘alâ al-‘âmm (menambahkan yang khusus kepada yang umum). Penyebutan secara khusus tersebut menunjukkan pentingnya berkata benar bagi kaum Mukmin.

Menurut zhahir-nya ayat ini, perintah berkata benar tersebut berlaku umum untuk semua perkara. Tidak hanya dikhususkan untuk satu jenis perkara. Oleh karena itu, sebagaimana dijelaskan al-Sa’di, membaca (Quran), dzikir, amar ma’ruf, nahi munkar, belajar dan mengajarkan ilmu, dll termasuk dalam cakupan qawl[an] sadîd[an]. Demikian juga berdakwah, mendamaikan perselisihan antar Mukmin, dan lain-lain.

Dengan demikian, berkata benar, jujur, adil, dan lurus merupakan karakter setiap Mukmin. Sikap tersebut diambil bukan didasarkan pada nilai manfaat yang akan diperoleh, namun didasarkan kepada ketakwaan. Sehingga, apa pun hasilnya, sikap itu harus dilakukan secara konsisten. Rasulullah SAW bersabda: Katakanlah kebenaran walaupun pahit (HR al-Baihaqi dari Anas).

Selain sebagai perintah berkata benar, ayat ini juga bisa dipahami sebagai larangan berlaku sebaliknya. Sebagaimana perkataan benar dapat mengantarkan pelakunya ke surga, perkataan batil juga bisa menjerumuskan pelakunya ke dalam neraka. Sebut saja misalnya syahâdat al-szûr (kesaksian palsu) yang terkategori sebagai dosa besar. Demikian juga dosa besar lainnya, seperti kemusyrikan, menghalangi manusia dari jalan Allah, durhaka kepada orang tua dll, bisa dilakukan oleh lisan. Dari Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW ditanya tentang penyebab terbesar yang membawa masuk surga. Beliau menjawab, “Taqwa kepada Allah dan akhlak yang baik.” Dan ditanya penyebab terbesar yang membawa manusia masuk neraka, maka beliau menjawab, “Dua rongga badan yaitu mulut dan kemaluan.” (HR al-Tirmidzi).

Diperbaiki Amalnya dan Diampuni Dosa-dosanya

Terhadap orang yang menjalankan perkara yang diperintahkan tersebut dijanjikan mendapatkan dua perkara. Pertama: yushlih lakum a’mâlakum (niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu). Ishlâh al-a’mâl bisa berarti taufik dan kemudahan yang diberikan Allah SWT terhadap mereka dalam mengerjakan amal shalih. Ibnu Jarir al-Thabari adalah di antara mufassir menafsirkan demikian. Pengertian ini juga sejalan dengan QS al-Lail [92]: 5-6. Bisa pula berarti memperbaikinya dengan menerima dan memberikan pahala kepada mereka. Demikian al-Nasafi dan al-Baidhawi dalam tafsir mereka.

Kedua: wa yaghfir lakum dzunûbakum (dan mengampuni bagimu dosa-dosamu). Artinya, dosa-dosa dimaafkan, kesalahan-kesalahan mereka ditutup, mereka tidak ditimpakan azab. Hal ini juga ditegaskan dalam TQS al-Thalaq [65]: 5. Dua balasan kebaikan itu tentu merupakan seuatu yang menjadi kebutuhan setiap manusia.

Kemudian ditegaskan lagi: wa man yuthi’il-Lâh wa rasûlahu (dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya). Jika dilihat pengertiannya, frase ini memberikan penegasan terhadap perkara yang telah disebutkan sebelumnya. Sebab, ketaatan terhadap Allah SWT dan rasul-Nya merupakan aplikasi riil bertakwa kepada-Nya.

Mereka diberitakan: faqad fâza fawz[an] azhîm[an] (maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar). Menurut Ibnu Manzhur, kata al-fawz berarti al-najâ` wa al-zhafar bi al-umniyah wa al-khayr (selamat dan berhasil meraih sesuatu yang diharapkan dan kebaikan). Dijelaskan al-Jazairi, kemenangan besar yang dimaksud adalah teraihnya tujuan yang diharapkan. Yakni, selamat dari neraka dan berhasil masuk surga. Tak jauh berbeda, al-Baidhawi mengatakan, di dunia terpuji dan di akhirat berbahagia.

Dalam Alquran, banyak ayat yang menyebut balasan surga dengan berbagai kenikmatan di dalamnya sebagai al-fawz al-‘azhîm. Di antaranya adalah QS al-Nisa’ [4]: 13, al-Maidah [5]: 119, al-Taubah [9]: 72, 89, 100, dll. Juga disebut sebagai al-fawz al-kabîr (lihat al-Buruj [85]: 11).

Inilah kunci sukses bagi setiap manusia yang selamat dan bahagia di dunia dan akhirat: taat terhadap seluruh ketentuan syariah-Nya. Terutama menjaga lisannya agar senantiasa berkata benar! Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb.

Ikhtisar:

1. Kaum Mukmin diperintahkan bertakwa dan berkata benar
2. Balasan yang dijanjikan kepada mereka yang mengerjakan perintah tersebut: diperbaiki amalnya dan diampuni dosa-dosanya
3. Orang yang menaati Allah SWT dan rasul-Nya niscaya memperoleh kemenangan besar.

Islam, Sekulerisme dan Indonesia

Islam adalah agama yang sempurna (kaffah), mengatur seluruh aspek kehidupan. Mulai dari yang dipandang kecil seperti memakai sandal mulai dari kaki kanan terlebih dahulu hingga mengatur urusan politik dan pemerintahan.

Islam mengatur segenap perbuatan manusia dalam hubunganya dengan Khaliq-nya, hal ini tercermin dalam aqidah dan ibadah ritual dan spiritual. Seperti: tauhid, salat, zakat, puasa dan lain-lain. Kedua, mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Yang diwujudkan berupa akhlak, pakaian, dan makanan. Ketiga, mengatur manusia dengan lingkungan sosial. Hal ini diwujudkan dalam bentuk mu’amalah dan uqubat. (sistem ekonomi Islam, sistem pemerintahan Islam, sistem politik Islam, sistem pidana Islam, strategi pendidikan, strategi pertanian, dan lain sebagainya (Taqiyyudin, Nidhomul Islam)

Maka Islam adalah berbeda dengan agama-agama yang lain, sebab Islam tidak sebatas ibadah ritual dan spiritual belaka, namun juga memasuki ranah publik. Maka kaum muslim yang memisahkan agama Islam dengan kehidupan publik (fasluddin \’anil-hayah) berarti ia telah terkena virus sekulerisme.

Sekulerisme sendiri sebagaimana ditulis Shidiq Jawi di majalah Al-Waie mempunyai akar sejarah sangat panjang dalam sejarah peradaban Barat. Pada tiga abad pertama Masehi, agama Kristen mengalami penindasan di bawah Imperium Romawi sejak berkuasanya Kaisar Nero (tahun 65). Kaisar Nero bahkan memproklamirkan agama Kristen sebagai suatu kejahatan. (Idris, 1991:74). Menurut Abdulah Nashih Ulwan (1996:71), pada era awal ini pengamalan agama Kristen sejalan dengan Injil Matius yang menyatakan,”Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar dan berikanlah kepada Tuhan apa yang menjadi milik Tuhan.” (Matius, 22:21).

Sekularisme merupakan akar dari liberalisme yang sejatinya masuk secara paksa ke Indonesia melalui proses penjajahan, khususnya oleh pemerintah Hindia Belanda. Prinsip negara sekuler telah termaktub dalam Undang-Undang Dasar Belanda tahun 1855 ayat 119 yang menyatakan bahwa pemerintah bersikap netral terhadap agama, artinya tidak memihak salah satu agama atau mencampuri urusan agama. (Suminto, 1986:27).

Prinsip sekuler dapat ditelusuri pula dari rekomendasi Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial untuk melakukan Islam Politik, yaitu kebijakan pemerintah kolonial dalam menangani masalah Islam di Indonesia. Kebijakan ini menindas Islam sebagai ekspresi politik. Inti Islam Politik adalah (1) dalam bidang ibadah murni, pemerintah hendaknya memberi kebebasan, sepanjang tidak mengganggu kekuasaan Pemerintah Belanda; (2) dalam bidang kemasyarakatan, pemerintah hendaknya memanfaatkan adat kebiasaan masyarakat agar rakyat mendekati Belanda; (3) dalam bidang politik atau kenegaraan, pemerintah harus mencegah setiap upaya yang akan membawa rakyat pada fanatisme dan ide Pan Islam. (Suminto, 1986:12).

Uniknya sebagian kaum Muslim secara sadar atau tidak justru mengagung-agungkan paham yang satu ini, padahal jika ditelisik lebih dalam ini adalah jelas merupakan produk pemikiran impor dari Barat. Bisa pula disebut ideologi transnasional.

Pemikiran sekulerisme inilah yang menjadi jalan bagi penjajah untuk tetap menjajah Indonesia meski bukan lagi dalam bentuk penjajahan fisik. Baik penjajahan dalam bidang politik, sosial, ekonomi, budaya dan keamanan. Semua ini dibalut dengan ideologi negara yang sudah disepakati bersama. Sayangnya sekulerisme ini terus menerus dikampanyekan oleh para pengagumnya.

Ideologi Islam Mengancam Indonesia?

Sungguh tidak habis pikir jika pihak yang ingin menerapkan sistem Islam di Indonesia disebut ingin merongrong negara. Padahal merekalah yang selama ini dengan lantang menyatakan penolakannya terhadap segala bentuk penjajahan.

Terkurasnya kekayaan alam Indonesia yang begitu melimpah ruah berupa tambang emas, minyak, dan lainnya adalah bukti masih terjajahnya Indonesia. Dan Ideologi Islam menolak tegas terjadinya liberalisme ekonomi.

Alhasil, lepasnya Timtim adalah sebagai bukti bahwa ideologi yang dipakai negara selama ini telah gagal menjaga keutuhan negara. Padahal Ideologi Islam jelas tidak bisa membenarkan hal itu. Itulah kenapa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) salah satu pihak yang gencar mengkampanyekan sistem Islam untuk Indonesia yang lebih baik, di dalam majalah maupun seleberan-selebarannya ketika itu telah memperingatkan Pemerintah tentang skenario asing yang melibatkan PBB melalui UNAMET, yang menghendaki Timtim lepas dari Indonesia. Bahkan ketika akhirnya Timtim lepas, HTI pernah menyampaikan kepada media massa bahwa HTI akan mengambil kembali Timtim dan menggabungkannya dengan Indonesia walaupun butuh waktu 25 tahun! (hizbut-tahrir.or.id)

Mengguritanya kasus korupsi juga akibat diterapkannya sistem sekulerisme yang menjauhkan agama dari kehidupan. Alhasil banyak masyarakat Muslim sendiri yang doyan melakukan korupsi. Dalam hal ini, Islam telah mempunyai solusi jitu untuk pemberantasan korupsi untuk Indonesia yang lebih bersih dari korupsi. Sedangkan strategi Islam dalam pemberantasan korupsi ini pun telah disampaikan diberbagai kesempatan, entah itu melalui tulisan-tulisan di berbagai media maupun kesempatan lain. Tinggal negeri ini mau untuk menerapkan atau tidak.

Menyoal Ideologi Transnasional

Beberapa kalangan dengan mudah mengidentikkan sistem Islam sebagai ideologi transnasional, namun di satu sisi tidak menyebut ideologi lain dengan julukan yang sama. Sebagaimana terjadi, Pancasila di masa orde lama cenderung berkiblat ke ideologi sosialisme meski atas nama pancasila. Ideologi sosialisme lahir di Uni soviet sekitar tahun 1800 M, demikin halnya kapitalisme yang dijadikan pegangan dimasa orde baru sampai sekarang lahir di Eropa pada tahun sekitar 1500 M. Sedang sistem republik adalah buah karya Plato (Yunani, sekitar tahun 400 M), begitu pula sistem demokrasi yang dimulai di Yunani Kuno.

Bukankah semuanya adalah ideologi transnasional? Islam yang telah sempurna memang pertama kali diturunkan di tanah arab, namun Islam adalah rahmat untuk seluruh alam, termasuk untuk Indonesia tentunya.

Maka tek heran bilamana pasca runtuhnya khilafah Islam terakhir di Turki pada tahun 1924 M, anak bangsa Indonesia merespon cepat hal ini dengan mengadakan Komite Khilafah di Surabaya dalam upaya menegakkan kembali khilafah Islam yang telah diruntuhkan Mustafa Kemal Atatturk (Turki), mereka akan menghadiri kongres khilafah di Kairo, Mesir. Mereka terdiri dari para pemuka masyarakat dari kalangan Muhammadiyah, Al Irsyad, Syarikat Islam (diketuai Wondo Soedirdjo, wakilnya KH. Abdul Wahab Hasbullah, yang kemudian jadi organisator NU), Nahdhatul Wathan, Tashwirul Afkar, At Ta’dibiyyah, dan ormas Islam lainnya. (eramuslim.com).

Juga kemudian diadakan Kongres al-Islam Hindia III di Surabaya pada 24-27 Desember 1924. Kongres ini diikuti oleh 68 organisasi Islam yang mewakili Dewan Pimpinan Pusat-nya (hoofd bestuur) maupun Dewan Pimpinan Cabang-nya (afdeling). Keputusan yang dihasilkan kongres adalah mengutus wakil yang harus dianggap sebagai wakil umat Islam di Indonesia ke Kongres Dunia Islam di Kairo. Orang yang terpilih berangkat adalah Soerjopranoto (Sarekat Islam), Haji Fachrudin (Muhammadiyah) dan KH Wahab Hasbullah (wakil dari kaum pesantren). (Taufiq Rahzen, komite khilafah)

Karena itu, kecintaan terhadap negeri ini tidak cukup dengan hanya sebatas kecintaan simbolik, melainkan harus benar-benar diwujudkan berupa perjuangannya untuk membuat Indonesia yang lebih baik dan sejahtera. Undur maa kola wala tandur man kola (Lihatlah olehmu apa yang dikatakan dan jangan melihat siapa yang berbicara). Wallahu a’lam bi ash-shawab.


sumber: detiknews.com (16/6/2011)

Negara Islam : Fakta Normatif dan Empiris

Oleh: Hafidz Abdurrahman

Ada sebagian intelektual yang menyatakan, bahwa Alquran dan Sunnah tidak pernah mewajibkan untuk mendirikan Negara Islam. Bahkan, ada yang menyatakan, bahwa Alquran dan Sunnah juga tidak pernah menyebut Negara Islam.

Pernyataan seperti ini bisa terjadi karena dua kemungkinan. Pertama, karena merasa tertuduh, terutama ketika Negara Islam telah menjadi monster yang menakutkan, sehingga takut. . Kedua, karena tidak tahu atau tidak menemukan, bahwa Negara Islam tersebut memang ada di dalam Alquran dan Sunnah.

Tentu, baik karena kemungkinan yang pertama maupun kedua, sama-sama tidak mewakili Islam. Bahkan, pandangan yang muncul dari keduanya sama-sama tidak mempunyai nilai apapun dalam ajaran Islam. Apalagi, masalah negara ini merupakan masalah ma’lum[un] min ad-din bi ad-dharurah (perkara agama yang sudah diyakini/diketahui kepentingannya). Karena itu, adanya negara ini hukumnya wajib. Kewajibannya pun telah disepakati oleh para ulama, baik Ahlussunnah, Syi’ah, Khawarij maupun Muktazilah (Lihat, al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilafi al-Mushallin, Juz II/149).

Imam an-Nawawi, dalam kitabnya, Raudhatu at-Thalibin wa ‘Umdatu al-Muftin menyatakan, bahwa mendirikan imamah hukumnya Fardhu Kifayah. Jika hanya ada satu orang (yang layak), maka dia wajib diangkat. Jika tidak ada yang mengajukannya, maka imamah itu wajib diusahakan (Lihat, an-Nawawi, Raudhatu at-Thalibin wa ‘Umdatu al-Muftin, Juz VIII/369). Imamah yang dimaksud oleh Imam an-Nawawi di sini tak lain adalah Khilafah, atau Negara Islam.

Karena itu, tidak ada perbedaan di kalangan ulama, bahwa Nabi Muhammad, selain sebagai Nabi dan Rasul, baginda SAW adalah kepala negara. Ini dibuktikan dengan firman Allah SWT yang menitahkan, bahwa tugas Nabi dan Rasul hanya tabligh (menyampaikan risalah): “Dan tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (Q.s. an-Nur [24]: 54)

Tetapi, faktanya banyak nash Alquran memeritahkan kepada Baginda SAW untuk memotong tangan pencuri (QS al-Maidah [05]: 38), mencambuk pezina (QS an-Nur [24]: 3), memerintah berdasarkan hukum Allah (QS al-Maidah [05]: 49), memerangi kaum Kafir (QS at-Taubah [09]: 36), menumpas perusuh (QS al-Maidah [05]: 33). Sedangkan tugas-tugas di atas adalah tugas yang lazimnya dijalankan oleh kepala negara.

Dari dua kategori nash di atas, yaitu nash yang menyatakan Nabi Muhammad SAW sebagaimana Nabi dan Rasul yang lain hanya diberi tugas untuk tabligh, tetapi nash-nash lain memerintahkan Nabi Muhammad untuk melakukan tugas-tugas negara, maka bisa ditarik kesimpulan, bahwa Nabi Muhammad bukan hanya Nabi dan Rasul, tetapi juga kepala negara. Ini berbeda dengan Nabi Musa, Isa, Ibrahim, Nuh -‘alaihim as-salam, yang hanya diberi tugas untuk tabligh. Ini kemudian dipertegas oleh Nabi sendiri: “Dahulu Bani Israil diurus oleh para Nabi. Ketika seorang Nabi telah wafat, maka digantikan oleh Nabi yang lain. Bahwa, tidak akan ada seorang Nabi pun setelahku, dan akan ada para khalifah. Jumlah mereka pun banyak.” (HR Bukhari)

Sabda Nabi yang menyatakan, Wa innahu la nabiyya ba’di, wa sayakunu khulafa’ fa yaktsurun (Bahwa, tidak akan ada seorang Nabi pun setelahku, dan akan ada para khalifah. Jumlah mereka pun banyak) membuktikan, bahwa posisi Baginda SAW sebagai Nabi dan Rasul yang terakhir tidak tergantikan. Tetapi, posisi Baginda yang lain, yaitu kepala negara yang bisa digantikan. Dan pengganti Baginda SAW adalah Khalifah, yang memerintah secara berkesinambungan, sehingga jumlahnya banyak.

Semuanya ini membuktikan, bahwa ajaran tentang negara jelas dinyatakan dalam nash, khususnya Sunnah, dengan istilah Khilafah (HR Ahmad dari Nu’man bin Basyir), dan pemangkunya disebut Khalifah (HR Bukhari dari Abu Hurairah). Karena itu, istilah Khilafah dan Khalifah adalah istilah syariah, yang digunakan oleh nash syariah, sebagaimana Shalat, Zakat, Jihad dan Haji, untuk menyebut negara dengan konteks dan konotasi yang khas. Konteks dan konotasi Khilafah itu tak lain adalah negara kaum Muslim di seluruh dunia yang dibangun berdasarkan akidah Islam, untuk menerapkan hukum-hukum syariah dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Negara kesatuan, bukan federasi maupun persemakmuran; bukan monarki, baik absolut maupun parlementer; bukan pula republik, baik presidensiil maupun parlementer; bukan pula demokrasi, teokrasi, autokrasi maupun diktator. Itulah Khilafah Rasyidah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah.

Tentang penggunaan istilah Negara Islam (ad-Daulah al-Islamiyyah), memang tidak pernah digunakan oleh Alquran dan Sunnah. Karena istilah Daulah adalah istilah baru, yang diambil dari khazanah di luar Islam. Awalnya istilah ini digunakan oleh para filosof Yunani Kuno, seperti Plato dan Aristoteles. Sementara umat Islam baru berinteraksi dengan filsafat Yunani, ketika mereka menaklukkan Mesir dan Syam pada zaman Umar bin al-Khatthab. Namun, istilah Daulah saat itu juga belum digunakan. Baru setelah buku-buku filsafat diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada zaman Khilafah Abbasiyah, mulailah istilah tersebut dikenal oleh kaum Muslim. Kata Daulah digunakan untuk menerjemahkan kata State, yang digunakan oleh Plato maupun Aristoteles dalam buku mereka.

Namun, karena istilah Daulah ini bisa misunderstanding, maka para ulama kaum Muslim ketika menggunakannya untuk menyebut Khilafah, mereka pun menggunakan kata Daulah dengan tambahan sifat Islamiyyah di belakangnya, sehingga mulailah kata ad-Daulah al-Islamiyyah digunakan untuk menyebut Khilafah. Ini bisa dilacak pada tulisan Ibn Qutaibah ad-Dainuri (w. 276 H), dalam kitabnya, al-Imamah wa as-Siyasah, yang ditulis pada pertengahan abad ke-3 Hijriyah. Boleh dikatakan, Ibn Qutaibahlah ulama yang pertama kali menggunakan istilah tersebut sebagai padanan dari istilah Khilafah.

Setelah itu, diikuti oleh Yaqut al-Hamawi (w. 626 H) dalam Mu’jam al-Buldan, Ibn Taimiyyah (w. 726 H) dalam Majmu’ al-Fatawa, Ibn Katsir (w. 774 H) dalam al-Bidayah wa an-Nihayah, dan Ibn Khaldun (w. 808 H) dalam Muqaddimah dan Tarikh Ibn Khaldun. Inilah fakta normatif eksistensi Negara Islam atau Khilafah dalam khazanah klasik. Selain fakta normatif, juga ada fakta empiris yang telah membuktikan eksistensinya, baik dalam bentuk perundang-undangan yang pernah diterapkan pada zamannya, maupun peninggalan fisik yang hingga kini masih berdiri kokoh di negeri-negeri kaum Muslim.

Maka, sangat memalukan jika ada intelektual atau ulama yang menyatakan, bahwa Alquran dan Sunnah tidak pernah mengajarkan tentang Negara Islam. Pernyataan yang sebenarnya tidak akan mengurangi sedikit pun kelengkapan dan keagungan ajaran Islam. Sebaliknya, justru meruntuhkan kredibilitas mereka sebagai intelektual atau ulama. Wajar, jika karena alasan yang sama, Hai’ah Kibar Ulama’ al-Azhar di masa lalu telah mencabut seluruh gelar dan ijazah yang telah diberikan kepada Ali bin Abd ar-Raziq. Wallahu a’lam.

6/23/11

KHILAFAH: Kebutuhan Dunia, Tuntutan Keimanan Dan Janji Agung Allah SWT

Secara obyektif dan faktual, umat manusia sangat membutuhkan hadirnya kembali Khilafah Islam sebagai jawaban atas kehancuran dunia akibat penerapan sistem kapitalis-sekular. Alasannya: Pertama, dunia kini membutuhkan sebuah sistem global yang mampu menciptakan kesejahteraan, keadilan dan persaudaraan global. Pasalnya, sistem global saat ini, yakni sistem dunia yang disangga oleh ideologi Kapitalisme-sekular, telah terbukti berdampak buruk dan merusak bagi umat manusia dalam seluruh dimensi kehidupan.



Dari sisi ekonomi, Kapitalisme telah ‘berprestasi’ dalam menciptakan kesenjangan antara Dunia Ketiga dengan negara-negara maju, penduduk kota dengan desa, serta menumpuknya kekayaan pada segelintir orang. Kapitalisme menghasilkan dominasi si kaya atas si miskin. Kepitalisme telah membuat ekonomi dunia bagai balon yang sewaktu-waktu bisa meletus dan menimbulkan bencana.



Dari sisi politik, sistem pemerintahan demokrasi bukannya mewujudkan kesejahteraan, tapi justru menimbulkan problem sosial yang kompleks. Para pemilik modal berkolusi dengan penguasa/politisi menguasai hajat hidup masyarakat, perpolitikan sangat “beraroma uang”, korupsi, kolusi dan permainan uang menjadi penyakit akut yang mengancam hidup masyarakat. Kebebasan yang dipuja-puja ternyata juga hanya menghasilkan seks bebas, dekadensi moral, penggerusan akidah, keterasingan dan hancurnya keluarga.



Di bidang hukum, hukum positif buatan manusia membuat keadilan menjadi langka. Hukum positif buatan manusia itu juga menjadi wasilah korporasi raksasa untuk menjajah dan mengeruk kekayaan rakyat. Begitu seterusnya.



Berbeda dengan kenyataan dalam Khilafah Islam. Sistem ekonomi Islam yang anti riba, spekulasi, kezaliman dan kecurangan ternyata mampu memakmurkan kehidupan umat manusia. Penetapan syariah atas harta-harta tertentu sebagai milik umum yang harus dikelola oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, dan larangan privatisasi harta milik umum, telah membuka jalan selebar-lebarnya bagi Khilafah Islam untuk menyejahterakan rakyat. Sistem moneter yang berbasis emas dan perak juga terbukti mampu menciptakan kestabilan dalam kurun waktu yang sangat panjang. Pelarangan spekulasi dan riba dalam transaksi ekonomi telah mendorong ekonomi riil berkembang pesat.



Terjadilah mekanisme pasar yang adil, normal dan terkontrol. Kemakmuran dan kesejahteraan benar-benar mewujud secara riil, bukan sekadar hitungan angka-angka yang tak nyata. Begitu pula dalam berbagai bidang lainnya, sistem Islam atau syariah yang diterapkan Khilafah Islam jelas lebih unggul dibandingkan dengan hukum buatan manusia yang tidak pernah sempurna.



Kedua, dunia saat ini membutuhkan sebuah sistem kenegaraan yang mampu menjadikan manusia hidup bersama-sama, saling mendukung, saling melengkapi dan berbagi satu sama lain dalam sebuah negara global. Sebaliknya, nasionalisme dengan nation state (negara bangsa)-nya saat ini jelas-jelas telah gagal menciptakan pola hubungan yang manusiawi.



Nasionalisme menghasilkan negara yang hanya mementingkan dirinya sendiri dengan mengesampingkan bahkan mengorbankan pihak lain. Nasionalisme memunculkan rasialisme yang bersifat masal. Nasionalisme memecahbelah umat manusia, bahkan menutup tren dunia global yang saling menopang dan mendukung. Nasionalisme dengan nation state-nya juga telah memakan biaya ekonomi yang tidak perlu (biaya paspor dan visa, proteksi, dan lain sebagainya). Adanya kesenjangan ekonomi dunia juga diyakini sebagai bagian dari akibat penerapan model negara bangsa. Nasionalisme juga terbukti dijadikan alat oleh orang kafir untuk memecah-belah Dunia Islam -yang dulu pernah bersatu di bawah naungan Khilafah Islam-. Selain itu konsep negara-bangsa juga ditujukan untuk mempermudah proses imperialisasi Barat di Dunia Islam.



Jelaslah, dunia membutuhkan sistem global yang mampu menghimpun bangsa-bangsa untuk hidup bersama-sama, saling mendukung, saling berbagi satu sama lain dan saling membantu sebagai anak manusia yang hidup di dunia, tanpa ada lagi arogansi bangsa maupun teritorial. Cita-cita seperti ini hanya bisa diwujudkan melalui sistem Khilafah Islam, bukan sistem yang lain.



Khilafah : Tuntutan Keimanan





Keimanan kepada Allah mengharuskan keyakinan bahwa tiada yang lebih baik dari pada hukum Allah. Allah berfirman:



أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50)



Maka keimanan mengharuskan orang beriman untuk hanya menghendaki dan mengambil hukum Allah, dan menjadikannya pemutus semua perkara di dalam kehidupan seperti yang diperintahkan oleh Allah (lihat QS al-Maidah : 48; 49). Kongkretnya adalah dengan menerapkan hukum islam, yaitu syariah islam secara formal untuk mengatur semua aspek kehidupan masyarakat, dalam bingkai sistem sya’i yaitu sistem khilafah yang telah dipelihara dan dijaga oleh generasi islam sejak para sahabat hingga khilafah runtuh pada 28 Rajab 1322 H/4 Maret 1924 M.



Khilafah Janji Agung Allah SWT





Allah SWT berjanji memberikan istikhlaf fi al-ardh kepada umat Islam (QS an-Nur: 55). Istikhlaf fi al-ardh tidak memiliki makna lain selain penganugerahan kekuasaan dan tugas pengaturan urusan manusia di seluruh dunia.



Imam Al-Baidhawi menyatakan: … Layastakhlifannahum artinya: menjadikan mereka para khalifah pengatur bumi yang akan mengatur semua kekuasaan di dalam kekuasaan mereka (Imam al-Baidhawi, Tafsir al-Baydhawi, IV/197).

Imam al-Qurthubi menyatakan: “… Allah akan menjadikan di antara mereka para khalifah (penguasa). Para Sahabat pun bersepakat untuk mengangkat Abu Bakar ra. setelah terjadi diskusi antara kaum Muhajirin dan Anshar di Saqifah Bani Sa’idah…” (Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, I/264).



Ibnu Arabi berkata, “Ayat ini merupakan janji umum dalam masalah nubuwwah, khilafah, tegaknya dakwah dan berlakunya syariah secara umum.” (Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, XII/299-202).



Para mufassir lainnya juga memberikan penjelasan senada. Semua ini menunjukkan bahwa Khilafah Islam merupakan janji Allah yang paling agung bagi kaum Mukmin. Dengan tegaknya Khilafah Islam, agama Allah SWT bisa ditegakkan secara sempurna, dan kerahmatan bagi dunia bisa diwujudkan secara nyata.



Nabi saw juga telah memberikan kabar gembira (bisyarah) bahwa kekuasaan umat Islam yang mencakup seluruh muka bumi. Nabi saw juga memberitakan bahwa era kenabian akan diikuti oleh era Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah lalu disusul era mulkan ‘adhan (para penguasa lalim) dan berikutnya era mulkan jabriyyatan (para penguasa diktator). Kemudian Nabi bersabda:



« … ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ » ثُمَّ سَكَتَ

Selanjutnya datanglah masa Khilafah ‘ala Minhaj al-Nubuwwah (Khilafah yang berjalan di atas manhaj kenabian).” Setelah itu beliau diam (HR Ahmad).





Wahai Kaum Muslim





Jelaslah bahwa khilafah adalah kebutuhan dunia dan sekaligus tuntutan keimanan kita. Dan tegaknya kembali Khilafah ala minhaj an-nubuwah adalah janji Agung Allah SWT. Lalu tidakkan kita ingin meraih kemuliaan sebagai bagian dari orang-orang yang mewujudkannya? Kapan lagi kalau tidak sekarang wahai kaum musim. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []



Sumber : http://hizbut-tahrir.or.id/2011/06/15/khilafah-kebutuhan-dunia-tuntutan-keimanan-dan-janji-agung-allah-swt/

GEMPITA KONFERENSI RAJAB 1432 H

Bulan Rajab menjadi momentum penting bagi umat Islam. Per­tama, ada peringatan Isra' Mi'raj. Kedua, ada momentum keruntuhan khilafah Islam pada 28 Rajab 1342 H. Aki­bat tidak ada khilafah inilah umat Islam kehilangan kemuliaannya dan tidak bisa melaksanakan Islam secara kaffah.



Berkaitan dengan itu, Hizbut Tahrir Indonesia menye­lenggarakan Konferensi Rajab 1432 H di 29 kota di Indonesia dari Aceh hingga Papua. Acara ini mengambil tema Hidup Sejahtera di Bawah Naungan Khilafah.



Konferensi Rajab di Daerah



Gempita Konferensi Rajab bermula di Kota Banjarmasin, Ka­limantan Selatan pada Kamis (2/6). Sebanyak 8.000 orang hadir dalam perhelatan yang diadakan di Stadion 17 Mei Banjarmasin. Acara itu dihadiri tidak hanya warga Kota Banjarmasin tapi juga kaum Muslimin dari seluruh dae­rah di Kalsel. Panitia sempat ke­sulitan memenuhi permintaan tiket yang masih terus mengalir hingga hari kedua sebelum acara. Padahal tiket bagi peserta sudah habis.



Sempat muncul rasa was-was di benak panitia karena selama dua hari berturut-turut Kota Banjarmasin diguyur hujan yang sangat deras. Hingga H-1 pun pada saat para panitia melaksanakan gladi kotor, hujan terus mengguyur Kota 1000 Sungai ini. Namun dengan keyakinan tinggi kepada pertolongan Allah, semua panitia memohon doa semoga dimudahkan melaksanakan kegi­atan ini.dan memohon agar cuaca tidak menghalangi pelaksanaan kegiatan seruan yang mulia ini.



Doa pun terkabul. Allah memberikan kemudahan dengan cuaca yang sangat cerah untuk melaksanakan Konferensi Rajab. Para panitia pun ada yang meni­tikkan air mata dengan karunia tersebut.



Beberapa di antara peserta tak kuasa menahan air matanya mendengar orasi para pembicara. Seorang peserta membayangkan betapa indahnya hidup dalam naungan khilafah yang menjalan­kan Islam secara kaffah. "Kon­ferensi ini membuat saya ingin segera hidup dalam indahnya naungan khilafah," ujar salah se­orang peserta. Ulama, peng­usaha, mahasiswa, ibu-ibu majelis taklim hingga pelajar, termasuk sekelompok tuna netra, hanyut dalam gema takbir yang diku­mandangkan di setiap jeda pembicaraan.



Seruan syariah dan khilafah berlanjut ke tujuh kota lainnya pada Ahad (12/6). Konferensi Rajab digelar hampir bersamaan di Jayapura, Kendari, Palu, Sama­rinda, Lampung, Batam, dan Ke­tapang.



"Jayapura siap menjadi titik tegaknya kembali khilafah" ujar Muhammad Jaffar Abdullah. Gaung khilafah pun menggema dari sebuah hotel di Kota Jaya­pura. Sekitar 200 orang dari berbagai tempat di Papua dan Papua Barat datang ke arena konferensi. Terlihat pula sebagian mereka adalah kaum Muslim asli Papua.



Dalam testimoninya, salah satu peserta yang diwakili oleh kalangan pengusaha yaitu Ir Agam Setyo Utomo, menyampai­kan bahwa wujud nyata dari kesadaran dan kepedulian kaum

umat saat ini adalah berjuang menegakkan khilafah, seperti yang dimotori oleh Hizbut Tahrir. Sedangkan Ustadz Amir S Quillo, mengajak seluruh peserta untuk berjuang bersama Hizbut Tahrir dalam menegakkan syariah & Khilafah.



Selang sejam setelah kon­ferensi di Papua, Konferensi seru­pa dimulai di Kendari, ibukota Sulawesi Tenggara. Ar raya dan al liwa (dua bendera hitam dan putih bertuliskan dua kalimat syahadat) berkibar di dua buah tiang menjulang tinggi meng­hiasi birunya langit kota Kendari. Ribuan kaum Muslimin Sulawesi Tenggara berduyun duyun ke Monumen MTQ Kendari sejak pagi. Jumlah mereka sekitar 15.000 orang.



Ketua DPD I HTI Sultra, Rois Ahmad SPd membuka acara ini dengan mengatakan bahwa tu­juan Konferensi Rajab ini adalah mengingatkan kaum Muslim tentang dua hal, peristiwa Isra Mi'raj, dan keruntuhan Khilafah. Melalui momentum Konferensi Rajab di­harapkan kepada seluruh kaum Muslim berjuang menegakkan­nya.



Yusran Abdul Aziz SE, dari DPD Sultra mengajak kaum Mus­lim mempersatukan langkah ber­sama Hizbut Tahrir untuk mene­gakkan syariah dan khilafah. Karena dengan itulah kaum Mus­limin akan menghancurkan kapi­talisme global.



"Kita akan membawa kehi­dupan masyarakat Indonesia khu­susnya Sulawesi Tenggara untuk hidup sejahtera di bawah na­ungan khilafah” teriaknya. Pekikan takbir pun tidak pernah henti digelorakan oleh para peserta. Tidak hanya itu saja para peserta juga membuat gelombang ar roya al liwa. Mere­ka mengibarkan bendera Islam itu sambil meneriakkan takbir. Mere­ka disuguhi aksi teatrikal oleh para pemuda yang menggambar­kan bagaimana negeri-negeri Muslim saat ini dipecah belah dan diduduki secara politik oleh pen­jajah kafir. Dengan tegaknya khilafah, negeri Islam yang terpe­cah disatukan kembali dan kaum kafir bisa dikalahkan.



Dalam waktu hampir ber­samaan, pekik takbir dan seruan syariah dan khilafah bergema berulang kali di Bandar Lampung, ibukota Lampung. Sekitar 2.500 kaum Muslimin memadati ruang indoor Gedung Sumpah Pemuda Pusat Kegiatan Olah Raga (PKOR) Way Halim Bandar Lampung, Ahad (12/6). Accra Konferensi Ra­jab di Lampung ini dibuka dengan Tarian Saman dan Nasyid berirama semangat, menggelora­kan kemenangan Islam. Ketua DPD I HTI Lampung Abu Muham­mad dalam sambutannya me­nyampaikan, sebelum diruntuh­kannya khilafah oleh imperialis Inggris pada 28 Rajab 1342 (3 Maret 1924), umat Islam pernah berjaya dan memimpin peradab­an dunia.



Para orator menyampaikan betapa khilafah mampu menye­jahterakan umat. Konsep khilafah sangat aplikatif dan rasional bila diterapkan di Indonesia di segala bidang. "Hanya Hizbut Tahrir saja yang bisa, diharapkan dalam per­juangan menegakkan Khilafah!" ujar Dra, Hj Rosniawati dalam testimoninya. Sedangkan Kyai Ndang Ahmad Arif yang mewakili para ulama Lampung mengata­kan, hanya orang munafik yang tidak setuju dengan penegakan syariah dan khilafah. "Percuma mendirikan pesantren kalau tidak setuju khilafah!" tegasnya.



Tidak berhenti di Kota Lam­pung gempita Konferensi Rajab pun terdengar di Kota Batam. Sekitar 1.900 kaum Muslim kota industri yang dekat Singapura memenuhi GOR Indoor Tumeng­gung Abdul Jamal. Mereka terdiri atas para pelajar, mahasiswa, mubaligh, dan anggota majelis taklim serta tokoh masyarakat setempat termasuk tokoh dewan wilayah Muhammadiyah.



Di Kalimantan Konferensi Rajab berlangsung di dua kota yakni Samarinda, Kalimantan Timur dan Ketapang, Kalimantan Barat. Di Samarinda Konferensi Rajab berlangsung di GOR Segiri. Sebanyak 4.000 orang memenuhi tempat duduk yang disediakan. Perhelatan ini tergolong cukup besar untuk sekelas acara ke­agamaan di sana. Acara yang dibuka Abim Fathan (Ketua DPD I HTI Kaltim) diisi orasi dan teatrikal. Juru bicara HTI Ismail Yusanto pun menyampaikan orasinya.



Sedangkan di Ketapang 100 kaum Muslimin hadir di Asrama Haji Kabupaten Ketapang. Meski berlangsung di kota kecil, acara di tempat ini tak kalah semangat dibanding kota lainnya.



Seluruh kegiatan konferensi ini disiarkan secara langsung lewat streaming internet, di situs www.hizbut-tahrir.or.id sehingga dapat diakses dan disaksikan oleh semua orang di seluruh dunia. Konferensi Rajab juga diliput dan disiarkan secara langsung mau­pun tunda di beberapa stasiun TV lokal. Tak ketinggalan media mas­sa cetak lokal pun meliputnya.

Kondisi Demografi Khilafah Masa Depan

Pertumbuhan jumlah penduduk Muslim sangat mengkhawatirkan Barat karena berpotensi menghancurkan peradaban mereka.



Majalah National Geographic edisi Januari 2011 mengangkat isu jumlah penduduk dunia di akhir tahun 2011 akan mencapai 7 milyar jiwa. Harian Kompas (10/1) juga mengangkat soal ledakan penduduk Indonesia. Kedua isu itu berupaya meng­gugah masyarakat tentang ancaman ledakan jumlah penduduk.



Ledakan penduduk atau over populasi sebenarnya sebuah isu lama, lebih dari 60 tahun para pengambil ke­bijakan Barat, akademisi dan intelektual membangun sebuah konsensus bahwa dunia tengah menghadapi sebuah persoalan besar, yakni "over populasi". Bahkan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) telah menjadikan tanggal 11 Juli sebagai Hari Populasi Dunia, yang wajib diperingati khususnya di negara-negara dunia ketiga di Asia, Afrika dan Amerika Latin.



Jumlah .penduduk dunia tumbuh begitu cepat. Dahulu, untuk bertambah 1 milyar jiwa, dunia butuh 130 tahun (1800-1930). Kini, dalarn 13 tahun, penduduk bertambah 1 milyar ji­wa—dari 5 milyar jiwa tahun 1987 menjadi 6 milyar jiwa tahun 2000. Menurut lembaga kependudukan PBB (UNFPA), saat ini jumlah penduduk dunia mendekati 7 milyar jiwa hanya dalam l0 tahun.



Para ahli demografi dan ahli lingkungan sering menggunakan istilah ecological suicide (bunuh diri ekologi) untuk mengaitkan masalah penduduk dengan lingkungan. Jumlah penduduk yang tidak terkendali akan berdampak buruk pada kualitas lingkungan.



Penasihat Khusus Sekjen PBB Jeff­rey Sachs mengungkapkan, pertum­buhan penduduk tinggi akan menghan­curkan ekologi dan menghambat pening­katan pendapatan. Di satu sisi, jumlah anak yang banyak akan menurunkan kemampuan investasi sumber daya manusia (SDM) dalam keluarga. Akibat­nya, tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat akan rendah. Dengan kata lain jumlah penduduk besar dengan SDM makin rendah akan kian menghancurkan kualitas sumber daya alam.



Sebaliknya tidak terlalu banyak jurnal akademik yang memberikan dukungan terhadap populasi yang tinggi, meski sekadar mengatakan bahwa per­tumbuhan populasi adalah anugerah bagi perekonomian dan kekuatan suatu negara. Lihatlah apa yang terjadi di Cina, India dan Brazil, menunjukkan bahwa populasi besar yang dimanfaatkan dengan tepat, diiringi dengan dukungan teknologi dan prasarana lainnya dapat menghasilkan sebuah perekonomian yang besar, pasar domestik besar artinya kemudahan mencapai Skala ekonomis produksi dan pada gilirannya sangat bermanfaat bagi dunia bisnis. Selain itu populasi yang besar sangat berguna untuk meningkatkan potensi dan posisi negara dihadapan negara-negara lainnya.



Ketakutan Barat



Pengendalian populasi yang sudah berpuluh tahun diserukan dan diimple­mentasikan di seluruh dunia, ternyata menimbulkan persoalan besar bagi dunia Barat, tempat di mana ide bencana over populasi dunia dilontarkan pertama kali. Peradaban Barat terancam mengalami kepunahan, mengingat banyak negara Eropa yang mengalami persoalan akibat angka pertumbuhan penduduk negatif.



Matt Rosenberg (2010) berdasar­kan data dari Population Reference Bureau mengatakan bahwa saat ini ada 20 negara di dunia yang mempunyai angka pertum­buhan populasi nol bahkan negatif dan hampir semua berasal dari negara be­lahan Barat terutama Uni Eropa. jika angka imigrasi dimasukkan dalam tree populasi di Eropa, maka pada kurun 2006 — 2050, ternyata hanya satu negara yakni Austria yang masih memiliki pertumbuhan populasi positif sedangkan negara­-negara lainnya diperkirakan tetap negatif.



Padahal untuk mempertahankan suatu peradaban dalam kurun waktu 25 tahun atau lebih maka peradaban tersebut harus memiliki angka kelahiran 2,11 persen. Sejarah menunjukan bahwa tidak ada peradaban yang mampu mem­perbaharui dirinya jika hanya memiliki angka kelahiran 1,9 persen, sementara jika angka kelahiran cuma 1,3 persen maka mustahil baginya untuk mengem­balikan kepada keadaan semula, karena membutuhkan waktu 80-100 tahun untuk memperbaharui diri sementara tidak ada satupun model ekonomi dan politik (kecuali sistem ekonomi dan po­litik Islam--red) yang mampu menopang suatu peradaban dalam kurun waktu yang panjang tersebut.



Semakin menyusutnya populasi menyebabkan menyusut pula perada­bannya. Pada tahun 2007, angka kela­hiran di Prancis 1,8 persen, Inggris 1,6 persen, Yunani 1,3 persen, Jerman 1,3 persen, Italia 1,2 persen, sedangkan Spanyol hanya 1,1 persen. Dari ke­seluruhan 31 negara Uni Eropa, rata-rata angka kelahiran pada tahun 2007 hanya 1,38 persen. Sampai saat ini populasi Eropa belum menyusut karena keha­diran imigran, sebagian besar imigran tersebut adalah Muslim. Tak ayal situasi tersebut memunculkan kegelisahan da­lam diri masyarakat Eropa karena dalam waktu yang tidak terlalu lama wajah Ero­pa berubah dan tidak akan sama lagi dengan Eropa saat ini.



Yang menarik adalah pertumbuhan populasi di Eropa sejak tahun 1990, 90 persen di antaranya berasal dari kaum imigran Muslim. Sebagai contoh, jumlah rata-rata anak setiap keluarga di Prancis adalah 1,8, sementara dalam keluarga imigran Muslim di Perancis jumlah rata-rata anak adalah 8,1. Daerah Perancis Selatan selama ini dikenal sebagai kawa­san yang paling banyak gerejanya, tetapi kini jumlah masjid di kawasan tersebut lebih banyak daripada jumlah gerejanya. Anak mudanya yang berusia dibawah 20 tahun, 30 persennya adalah Muslim.



Populasi Muslim di Inggris pun meningkat 30 kali lipat dalam kurun waktu 30 tahun, di Belanda 50 persen bayi yang lahir adalah anak-anak kaum Muslimin, di Rusia 1 dari 5 populasi adalah Muslim. Pemerintah Belgia me­nyatakan bahwa 1 dari 3 kelahiran di sana berasal dari keluarga Muslim. Pemerin­tah Jerman pun menyatakan bahwa kejatuhan populasi Jerman tidak dapat lagi dihentikan dan akibatnya Jerman akan menjadi negara berpenduduk ma­yoritas Muslim pada tahun 2050.



Situasi inilah yang menakutkan Barat sehingga mereka berupaya keras meningkatkan dan mendorong bangsa Eropa untuk membentuk keluarga dengan banyak anak.



Sementara di negeri-negeri Muslim atas arahan mereka pula justru dikampa­nyekan pembatasan kelahiran bahkan didukung oleh penguasa Muslim dengan kebijakan pemerintah seperti program Keluarga Berencana yang tujuannya untuk menurunkan angka kelahiran penduduk negeri Muslim.



Populasi Dunia Islam



Dunia Muslim mendapatkan anu­gerah berupa kenikmatan yang sem­purna dari Allah SWT dan salah satu kenikmatan itu adalah jumlah populasi kaum Muslim yang sangat besar yang

bisa menjadi potensi bagi negara Khila­fah Islamiyah untuk menjadi negara nomor satu di beberapa tahun mendatang.





Sebuah penelitian yang menyelu­ruh di 200 negara menunjukkan bahwa terdapat 1,57 milyar umat Islam dalam berbagai rentang usia, atau sekitar 23 persen dari populasi dunia tahun 2009 yakni 6,8 milyar jiwa. Dua pertiga populasi Muslim tinggal di 10 negara (lihat table 1).





Adapun wilayah dengan populasi Muslim terbesar yakni mencapai 60 persen dari populasi Muslim adalah Asia dan sementara Muslim yang tinggal di Timur Tengah dan Afrika Utara hanya 20 persen. Lebih dari 300 juta Muslim tinggal di negara-negara yang mayoritas penduduknya bukan beragama Islam. Namun demikian minoritas Muslim di negara tersebut jumlahnya bisa sangat besar. India merupakan wilayah dengan populasi Muslim terbesar ketiga di dunia. Cina juga memiliki populasi Muslim yang besar bahkan lebih banyak daripada populasi Muslim Suriah. Sementara itu Rusia menjadi tempat tinggal bagi Muslim dalarn jumlah yang lebih banyak daripada Yordania dan Libya jadi satu.



Sejatinya, besar kecilnya populasi telah dan akan selamanya menjadi salah satu di antara faktor-faktor krusial yang dibutuhkan sebuah negara untuk menunjukkan pengaruhnya terhadap perekonomian dan geopolitik global. Terlebih lagi bagi khilafah yang akan menjadi negara global terkemuka di dunia, populasi Muslim yang besar akan menjadikan khilafah memiliki jumlah penganut yang besar atas ideologi Islam. Penganut inilah yang akan mengikuti, mempraktikan, mengimplementasikan, dan menyebarluaskan sistem ideologi­nya.

PENDIDIKAN ISLAM : Bermutu & Melahirkan Manusia Unggul dan Berkualitas

Oleh : Dr. Ir. M. Kusman Sadik

(Anggota Lajnah Mashlahiyah DPP HTI)





Ideologi yang dianut oleh suatu negara akan menjadi basis kebijakan bagi sistem pendidikannya. Kebijakan tersebut khususnya terkait dengan dua hal pokok: tujuan pendidikan yang diwujudkan dalam format kurikulum dan peran negara dalam pemenuhan kebutuhan pendidikan masyarakatnya. Sistem pendidikan yang diterapkan oleh Khilafah Islam adalah sitem yang secara keseluruhan terpancar dari ideologi atau akidah Islam. Dalam Khilafah Islam, tujuan pendidikan, struktur kurikulum dan peran negara di bidang pendidikian diformulasikan sesuai dengan tuntunan syariah Islam.



Tujuan pendidikan yang diselenggarakaan oleh Khilafah Islam adalah untuk membentuk kepribadian islami (syakhshiyah islamiyah) setiap Muslim serta membekali dirinya dengan berbagai ilmu dan pengetahuan yang berhubungan dengan kehidupan.



Pendidikan dalam Islam merupakan kebutuhan dasar sebagaimana kebutuhan terhadap makan, minum, pakaian, rumah, kesehatan, dan sebagainya. Negara wajib menjamin pendidikan yang bermutu bagi seluruh warga negara secara gratis hingga perguruan tinggi dengan fasilitas sebaik mungkin (An-Nabhani, Ad-Dawlah al ­Islamiyah, him. 283-284).



Secara struktural, kurikulum pendidikan dalam Khilafah Islam dijabarkan ke dalam tiga komponen materi pokok: (1) pembentukan kepribadian Islam: (2) penguasaan tsaqafah Islam, (3) dan penguasaan ilmu kehidupan (iptek, keahlian dan keterampilan). Kurikulum ini diikuti dengan berbagai kebijakan negara yang ditujukan untuk mencapai tujuan yang telah digariskan. Salah satu kebijakan penting dalam hal ini adalah terkait biaya pendidikan yang murah bahkan gratis. Dalam Islam, negara wajib menyediakan pendidikan murah atau bebas biaya kepada warga negaranya, baik Muslim maupun non-Muslim, agar mereka bisa menjalankan kewajibannya atau memenuhi kebutuhan primer mereka, yaitu pendidikan. Rasulullah saw. bersabda:



Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan Ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya (HR al-Bukhari dan Muslim).



Syariah Islam dalam masalah pendidikan ini tentu tidak dapat dipisahkan dari syariah Islam secara keseluruhan, khususnya dalam masalah pengelolaan sumberdaya alam. Dalam pandangan syariah, air (kekayaan sungai, laut), padang rumput (hutan), migas dan barang tambang yang jumlahnya sangat banyak merupakan milik umum atau rakyat. Khalifah bertugas untuk mengkoordinasi pengelolaan sumberdaya alam ini dan mendistribusikannya kepada rakyat untuk pembiayaan pendidikan, pelayanan kesehatan, dan sebagainya.





Sejarah Emas Pendidikan Islam



Kejayaan pendidikan Islam pada masa Khilafah Islam telah ditorehkan dengan tinta emas dalam sejarah. Sejarahwan Barat, Jacques C. Reister, mengakui secara obyektif bahwa selama lima ratus tahun Islam telah menguasai dunia dengan kekuatannya, ilmu pengetahuan dan peradabannya yang tinggi. Menurut Montgomery Watt dalam bukunya, The Influence of Islam on Medieval Europe (1994), peradaban Eropa tidak dibangun oleh proses regenerasi mereka sendiri. Tanya dukungan peradaban Islam yang menjadi motornya, kondisi Barat tidak akan ada artinya.



Kejayaan pendidikan pada masa keemasan Khilafah Islam dapat digambarkan sebagai berikut.



Pertama: penyediaan sarana dan prasarana pendidikan yang bermutu oleh Khilafah hingga memungkinkan ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat. Negara memberikan jaminan pendidikan secara gratis bagi seluruh warganya. Negara juga memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi mereka untuk melanjutkan pendidikan ke tahapan yang lebih tinggi. Semua fasilitas sarana dan prasarana disediakan oleh negara. Pada masa lalu ada Madrasah al-Muntashiriah, misalnya, yang didirikan oleh Khalifah al-Muntashir Billah di Kota Baghdad. Di sekolah ini setiap siswa menerima beasiswa berupa emas seharga satu dinar (4,25 gram emas) perbulan. Kehidupan keseharian mereka juga dijamin sepenuhnya oleh negara. Ada pula Madrasah an-Nuriah di Damaskus yang didirikan pada abad 6 H oleh Khalifah Sultan Nuruddin Muhammad Zanky. Di sekolah ini terdapat fasilitas lain seperti asrama siswa, perumahan staf pengajar, tempat peristirahatan, para pelayan serta ruangan besar untuk ceramah dan diskusi.



Khilafah Islam membangun banyak perpustakaan dengan koleksi buku yang sangat melimpah yang menunjukkan tingginya peradaban Islam saat itu. Dalam catatan sejarah, pada abad ke-10, di Andalusia saja terdapat 20 perpustakaan umum. Di antaranya yang terkenal adalah Perpustakaan Umum Cordova, yang saat itu memiliki tidak kurang dari 400 ribu judul buku. Perpustakaan Darul Hikmah di Kairo mengoleksi tidak kurang dari 2 juta judul buku. Perpustakaan Umum Tripoli di Syam, yang pernah dibakar oleh Pasukan Salib Eropa, mengoleksi lebih dari 3 juta judul buku, termasuk 50 ribu eksemplar al-Quran dan tafsirnya. Jumlah koleksi buku di perpustakaan-­perpustakaan ini termasuk yang terbesar pada zaman itu. Bandingkan dengan Perpustakaan Gereja Canterbury yang berdiri empat abad setelahnya, yang dalam catatan Chatolique Encydopedia, perpustakaan tersebut memiliki tidak lebih dari 2 ribu judul buku saja.



Pada masa Kekhilafahan Islam yang cukup panjang, khususnya masa Kekhalifahan Abbasiyah, perpustakaan-perpustakaan semacam itu tersebar luas di berbagai wilayah Kekhilafahan, antara lain di Baghdad, Ram Hurmuz, Rayy (Raghes), Merv (daerah Khurasan), Bulkh, Bukhara, Ghazni, dan sebagainya. Bahkan suatu hal yang lazim saat itu, di setiap masjid pasti terdapat perpustakaan yang terbuka untuk umum. Karena itu, menurut Bloom dan Blair, rata-rata tingkat kemampuan literasi (membaca dan menulis) di Dunia Islam pada Abad Pertengahan lebih tinggi daripada Byzantium dan Eropa (Jonathan Bloom dan Sheila Blair, Islam : A Thousand Years of Faith and Power, Yale University Press, London, 2002).



Kedua: kurikulum pendidikan dan peran negara Khilafah yang sangat baik dalam penyediaan pendidikan telah melahirkan para cendekiawan Muslim terdepan di dunia. Karya monumental mereka di bidang agama, filsafat, sains dan teknologi tidak hanya diakui secara internasional, namun juga menjadi dasar pengembangan ilmu dan pengetahuan hingga saat ini. Di antaranya adalah Imam Syafii yang menurut al-Marwadi, karyanya mencapai 113 kitab tentang tafsir, fikih, adab, dan lain-lain. Yaqut al-Hamawi bahkan mengatakan jumlahnya mencapai 174 kitab yang judul-­judulnya disebutkan oleh Ibnu an-Nadim dalam Al-Fahrasat. Kitabnya yang paling terkenal adalah Al-Umm yang terdiri dari 4 jilid berisi 128 masalah dan ar-Risalah al-jadidah.



Kemudian ada Imam Ahmad bin Hanbal yang terkenal dengan kitabnya, Al-Musnad. Beliau juga menyusun kitab tentang tafsir, an­nasikh wa al-mansukh, tarikh, dan sebagainya. Imam Ahmad juga menyusun kitab Al-Manasik ash-Shagir dan Al-Kabir, kitab Ash-Shatah, kitab As-Sunnah, kitab al-Wara' wa al-Iman, kitab al-'Ilal wa ar-Rijal, kitab al-Asyribah, satu juz tentang Ushul as-Sittah, dan Fadha'il ash­Shahabah. Kitab-kitab Imam Syafii dan Imam Ahmad bin Hanbal menjadi rujukan ulama hingga saat ini dan menjadi bahan kajian di berbagai perguruan tinggi Islam di dunia.



Kejayaan pendidikan pada masa Khilafah tidak hanya menghasilkan cendekiawan di bidang agama namun juga cendekiawan di bidang sains. Di antaranya adalah Ibnu Sina yang dikenal di kalangan ilmuwan Barat sebagai Avicenna. Karyanya yang sangat terkenal, Al­~Qanun fi ath-Thibb, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris The Canon of Medicine, merupakan rujukan di bidang kedokteran dunia selama berabad-abad. Di dalam kitabnya itu, ia menulis ensiklopedia jutaan item tentang pengobatan dan obat-obatan. Dialah yang mencatat dan menggambarkan anatomi tubuh manusia secara lengkap untuk pertama kalinya. Dari sana ia berkesimpulan bahwa setiap bagian tubuh manusia, dari ujung rambut hingga ujung kuku pada kaki saling berhubungan. Karya lainnya adalah kitab Asy­ Syifa yang terdiri dari 18 jilid dan dikenal di dunia sebagai ensiklopedia filosofi kedokteran.



Kemudian al-Biruni, yang oleh saintis Barat, George Sarton (introduction to the History of Science, 1927), dikategorikan sebagai ilmuwan terhebat sepanjang zaman. John J O'Connor dan Edmund F Robertson dalam bukunya, History of Mathematics, menyebutkan bahwa al-Biruni telah berkonstribusi penting dalam geodesi dan geografi karena dialah yang pertama kali memperkenalkan teknik mengukur jarak di bumi menggunakan metode triangulasi. Dalam kitabnya, Al-Jawahir atau Book of Precious Stones, al-Biruni menjelaskan beragam mineral dan mengklasifikasikannya berdasarkan warna, bau, kekerasan, kepadatan serta beratnya. Al-Biruni merupakan ilmuwan pertama yang mengemukakan bahwa kecepatan cahaya lebih cepat daripada kecepatan suara.



Teori relativitas merupakan revolusi dari ilmu matematika dan fisika. Menurut catatan sejarah, 1000 tahun sebelum Einstein mencetuskan teori relativitas, seorang ilmuwan Muslim pada abad ke-9 M telah meletakkan dasar-dasar teori relativitas tersebut, yaitu al-Kindi. Dalam kitabnya, At-Falsafah al-Ula, al ­Kindi mengemukakan bahwa fisik bumi dan seluruh fenomena fisik (waktu, ruang, gerakan dan benda) semuanya relatif dan tidak absolut. Ia berbeda dengan Galileo, Descartes dan Newton yang menganggap semua fenomena itu sebagai sesuatu yang absolut. Teori Einstein tentang relativitas yang dipublikasikan dalam La Relatiuite disinyalir banyak dipengaruhi oleh pendapat al-Kindi.



Ilmuwan Muslim lainnya adalah al ­Khawarizmi yang terkenal dengan kitab monumentalnya, Al-Maqalah fi Hisab al-jabr wa al-Muqobilah, yang versi terjemahan bahasa Inggrisnya adalah The Compendious Book on Calculation by Completion and Balancing. Melalui kitabnya ini, al-Khawarizmi telah meletakkan dasar cabang matematika modern, yakni Aijabar atau Algebra. Carl B. Boyer (The Arabic Hegemony: A History of Mathematics), mengungkapkan bahwa kitab Al-jabr karya al-Khawarizmi itu telah menguraikan perhitungan yang lengkap dalam memecahkan akar positif polynomial persamaan sampai dengan derajat kedua.



Perkembangan dunia sains juga dipelopori oleh al-Haitham atau Alhazen. Penelitiannya mengenai cahaya telah memberikan dasar penting kepada saintis Barat yaitu Boger, Bacon dan Kepler dalam penciptaan mikroskop serta teleskop. Al-Haitham juga telah menguraikan tentang adanya gaya gravitasi bumi sebelum Issac Newton mengemukakannya. Adapun Jabir Ibnu Hayyan atau di Barat dikenal dengan nama Geber merupakan peletak dasar ilmu kimia modern. Sepuluh abad sebelum ahli kimia Barat John Dalton (1766-1844) mencetuskan teori molekul kimia, Jabir Ibnu Hayyan (721 M - ­815 M) telah menemukannya pada abad ke-8 M. Kitabnya yang berjudul Al-Kimya, atau versi terjemahannya The Book of Composition of Alchemy, telah menjadi rujukan di berbagai universitas Eropa selama ratusan tahun. Berkat jasa Jabir, ilmu pengetahuan modern bisa mengenal asam klorida, asam nitrat, asam sitrat, asam asetat, tehnik distilasi dan tehnik kristalisasi. Tidak hanya itu, masih ada ratusan ilmuwan Muslim lainnya seperti al-Farabi, al ­Battani, ar-Razi, Abu Nasr Mansur, dan sebagainya yang tercatat sebagai saintis dunia yang paling berpengaruh (Lihat: Biography in Dictionary of Scientific Biography, New York 1970-1990).



Keberhasilan umat Islam dalam memimpin dunia melalui kejayaan pendidikan seperti yang dipaparkan di atas tentu tidak dapat dipisahkan dari institusi yang memayunginya saat itu, yakni Khilafah Islam. Tidak mungkin lahir sejarah emas pendidikan dan keilmuan sebagaimana terpapar di atas tanpa adanya dukungan sarana dan prasarana yang disediakan oleh negara Khilafah saat itu. Semua catatan emas kejayaan pendidikan di atas semakin membuktikan bahwa kunci kejayaan umat Islam adalah penerapan syariah secara kaffah di bawah naungan Khilafah Islam. Wallahu a'lam bi ash-shawab.

EKONOMI ISLAM : Mensejahterakan seluruh Rakyat

Oleh : Dr. Arim Nasim, M.Si.,Ak.

(Ketua Lajnah Mashlahiyah DPP HTI)





Salah satu cabang syariah terpenting yang saat ini banyak dilupakan adalah syariah ekonomi, terutama terkait dengan ekonomi makro. syariah Islam memandang perkara ekonomi menjadi 2 bagian. Pertama: ilmu ekonomi; berhubungan dengan soal bagaimana suatu barang atau jasa diproduksi, misalnya teknik industri, manajemen atau pengembangan sumberdaya baru. Islam tidak mengatur secara khusus tentang ilmu ekonomi. Kedua: sistem ekonomi; berhubungan dengan pengurusan soal pemuasan kebutuhan dasar tiap individu di dalam masyarakat serta upaya mewujudkan kemakmurannya. Inilah obyek dari sistem ekonomi Islam.



Pilar sistem Ekonomi Islam (SEI) meliputi: (1) konsep kepemilikan; (2) pengelolaan kepemilikan, (3) distribusi kekayaan di antara individu. Islam mengatur sedemikian rupa kepemilikan yang memungkinkan individu untuk memuaskan kebutuhannya seraya tetap menjaga hak-hak masyarakat. Islam membagi kepemilikan menjadi 3: milik pribadi; milik umum; milik negara.



Kepemilikan umum mencakup:

1. Fasilitas umurn, meliputi semua fasilitas yang dibutuhkan oleh publik yang jika tidak ada akan menyebabkan kesulitan bagi komunitas atau publik dan dapat menimbulkan persengketaan.

2. Barang tambang dalam jumlah sangat besar. Ini haram dimiliki secara pribadi. Contoh: minyak bumi, emas, perak, besi, tembaga, dll.

3. Benda benda yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki oleh pribadi: meliputi jalan, sungai, laut, danau, tanah tanah umum, teluk, selat, dan sebagainya.



Pengelolaan milik umum dilakukan oleh negara sebagai wakil umat. Hasilnya digunakan untuk kemakmuran rakyat. Diusahakan semaksimal mungkin dalam pengelolaannya tidak menimbulkan kerusakan baik lingkungan, ekosistem maupun sosial.



Pengelolaan kepemilikan harus dijalankan sesuai dengan ketentuan syariah. Islam mendorong warga Negara Khilafah, baik lelaki maupun wanita, baik Muslim maupun kafir zhimmi, untuk mengelola kepemilikannya, mengejar keuntungan tanpa hambatan dan memuaskan kebutuhan mereka, tanpa harus mengakibatkan ekploitasi ataupun korupsi yang ditimbulkan dari aktivitas mereka. Islam juga mendorong pemberian sedekah, hibah, pinjaman tanpa riba dsb. Sebaliknya, Islam melarang penumpukan kekayaan, pemborosan atau pembelanjaan untuk mengejar hal-hal yang haram.



Distribusi kekayaan dan kemakmuran di dalam masyarakat adalah faktor kritis dalam menentukan kecukupan sumberdaya bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mereka. Oleh karena itulah Islam menjadikan distribusi barang/jasa sebagai problem utama ekonomi. Bagi mereka yang tidak mampu memenuhi kebutuhannya, negara (Khilafah) mengurusi mereka dengan kekayaan yang terkumpulkan dari harta milik umum, harta milik negara dan zakat yang dibayarkan oleh rakyat. Berdasarkan paradigma ini Islam telah menetapkan politik ekonomi dan mekanisme ekonomi untuk menjamin kesejahteraan umat manusia, sekaligus menjamin kemajuan serta pertumbuhan yang berkeadilan yang disertai dengan pemerataan.



Politik Ekonomi Islam



Menurut Abdurahman al-Maliki di dalam As­Siyaasah at-Iqti'shaadi'yah al-Mutsid (Politik Ekonomi Ideal), Politik Ekonomi Islam (PEI) adalah: (1) menjamin pemenuhan semua kebutuhan pokok (sandang, pangan dan pagan) setiap orang, (2) memberikan peluang kepada setiap orang untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kadar kemampuannya sebagai individu yang hidup di masyarakat tertentu yang memiliki gagasan hidup yang khas. PEI diwujudkan melalui kebijakan­-kebijakan ekonomi, termasuk kebijakan APBN.



Pemenuhan Kebutuhan Pokok



Islam menjamin pemenuhan kebutuhan pokok setiap orang baik pangan, sandang dan papan. Mekanismenya adalah: Pertama, memerintahkan setiap kepala keluarga bekerja (QS 62: 10) demi memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya. Islam telah menjadikan hukum mencari rezeki tersebut adalah fardhu (QS 2: 233). Gabungan kemaslahatan di dunia dan pahala di akhirat itu menjadi dorongan besar untuk bekerja. Kedua, mewajibkan negara untuk menciptakan lapangan kerja bagi rakyatnya. Ketiga, mewajibkan ahli waris dan kerabat yang mampu untuk memberi nafkah yang tidak mampu (QS 2: 233). Keempat, jika ada orang yang tidak mampu, sementara kerabat dan ahli warisnya tidak ada atau tidak mampu menanggung nafkahnya, maka nafkahnya menjadi kewajiban negara (Baitul Mal). Dalam hal ini, negara bisa menggunakan harta milik negara, harta milik umum, juga harta zakat. Bahkan jika masih kurang, negara bisa menetapkan kewajiban pajak bagi orang yang kaya.



Islam juga menetapkan kebutuhan pokok berupa pelayanan yaitu pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Ketiganya juga harus dijamin oleh negara. Pemenuhan atas ketiga pelayanan itu (pendidikan, kesehatan dan keamanan) bagi seluruh masyarakat tanpa kecuali langsung menjadi kewajiban negara.



Memberikan jaminan atas semua itu dan juga semua pelayanan kepala rakyat, tentu membutuhkan dana yang besar. Untuk itu syariah telah mengatur pengelolaan keuangan negara (APBN) secara rinci.



Sumber Pendapatan Negara



Abdul Qadim Zallum ( 1983) dalam bukunya, At-Amwaal fi Dawlah al-Khilaafah (Sistem Keuangan Negara Khilafah), secara panjang lebar telah menjelaskan sumber­-sumber pemasukan negara (Baitul Mal). Secara garis besar, sumber pendapatan negara (Baitul Mal) ada lima. Pertama.- hasil pengelolaan harta milik umum dengan ketiga jenisnya. Potensi pemasukan dari jenis pertama ini sangat besar di Dunia Islam, tentu jika dikelola dengan benar sesuai syariah. Contohnya di Indonesia. Menurut Fahmi Amhar, kalau APBN Indonesia menggunakan prinsip syariah akan didapatkan dana tiap tahunnya sebesar Rp 1. 764 T hanya dari satu sumber saja, yaitu kepemilikan umum yang dikelola oleh negara (http://famhar.multiply.com/journal/item/179).



Tabel 1: Penerimaan APBN Sektor Kepemilikan Umum



Sumber: Amhar (2009)



Kedua, hasil pengelolaan fai, kharaj, ghanimah, jizyah, 'usyur dan harta milik negara lainnya dan BUMN selain yang mengelola harta milik umum. Ketiga, harta zakat. Hanya saja zakat bisa dikatakan bukan mekanisme ekonomi. Zakat adalah ibadah yang ketentuannya bersifat tawqifi balk pengambilan maupun distribusinya. Keempat, sumber pemasukan temporal. Ini sifatnya non-budgeter. Di antaranya, infak, wakaf, sedekah dan hadiah, harta ghulul (haram) penguasa, harta orang murtad; harta warisan yang tidak ada ahli warisnya, dharibah (pajak), dll.



Berdasarkan potensi dan sistem APBN syariah, Khilafah tidak akan mengalami defisit APBN dan tidak akan menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara.



Kesejahteraan Ekonomi Masa Khilafah



Will Durant, dalam The Story of Civilization,vol. X111, p 151, menggambarkan bagaimana sistem Islam yang diterapkan oleh Khalifah mampu memberikan kesejahteraan bagi umat manusia, Muslim maupun non-Muslim.



Para khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang memerlukannya dan memberikan kesejahteraan selama berabad­abad dalam wilayah yang sangat luas. Fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka. Kegigihan dan kerja keras mereka menjadikan pendidikan tersebar luas, hingga berbagai ilmu, sastra, filsafat dan seni mengalami kemajuan luar biasa, yang menjadikan Asia Barat sebagai bagian dunia yang paling maju peradabannya selama lima abad.



Dalam SEI kesejahteraan diukur berdasarkan prinsip pemenuhan kebutuhan setiap individu masyarakat, bukan atas dasar penawaran dan permintaan, pertumbuhan ekonomi, cadangan devisa, nilai mata uang ataupun indeks harga-­harga di pasar non-ril. Inilah SEI yang benar­benar akan menjamin kesejahteraan masyarakat dan bebas dari guncangan krisis ekonomi.

Sistem ini terbukti telah mampu menciptakan kesejahteraan umat manusia ­Muslim dan non-Muslim—tanpa harus selalu berhadapan dengan krisis ekonomi yang secara berkala menimpa, sebagaimana dialami sistem ekonomi Kapitalisme.



Pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab (13-23 H/634-644 M), misalnya, hanya dalam 10 tahun masa pemerintahannya, kesejahteraan merata ke segenap penjuru negeri. Pada masanya, di Yaman, misalnya, Muadz bin Jabal sampai kesulitan menemukan seorang miskin pun yang layak diberi zakat (Abu Ubaid, Al-Amwaal, him. 596). Pada masanya, Khalifah Umar bin al-Khaththab mampu menggaji guru di Madinah masing-­masing 15 dinar (1 dinar = 4,25 gr emas). (Ash­Shinnawi, 2006).



Lalu pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-102 H/818-820 M), meskipun masa Kekhilafahannya cukup singkat (hanya 3 tahun), umat Islam terus mengenangnya sebagai khalifah yang berhasil menyejahterakan rakyat. Yahya bin Said, seorang petugas zakat masa itu, berkata, "Ketika hendak membagikan zakat, saya tidak menjumpai seorang miskin pun. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan setiap individu rakyat pada waktu itu berkecukupan." (Ibnu Abdil Hakam, Sirah 'Umar bin Abdul 'Aziz, him. 59).



Pada masanya, kemakmuran tidak hanya ada di Afrika, tetapi juga merata di seluruh penjuru wilayah Khilafah Islam, seperti Irak dan Bashrah. Begitu makmurnya rakyat, Gubernur Bashrah saat itu pernah mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz, "Semua rakyat hidup seiahtera sampai saya sendiri khawatir mereka akan menjadi takabur dan sombong." (Abu Ubaid, Al-Amwaal, him. 256).



Pada masa keemasan bahkan di akhir kekuasan Kekhilafahan Ustmani kita menemukan surat-surat Khalifah yang menunjukkan kehebatan Khilafah Utsmani dalam menjamin, melindungi dan memakmurkan warganya ataupun orang asing pencari suaka tanpa pandang bulu. Tertua ialah surat sertifikat tanah yang diberikan tahun 1519 kepada para pengungsi Yahudi yang lari dari kejamnya Inkuisisi Spanyol pasca jatuhnya pemerintahan Islam di AI-Andalus. Kemudian surat ucapan terima kasih dari Pemerintah Amerika Serikat atas bantuan pangan yang dikirim Khalifah ke sana yang sedang dilanda kelaparan (pasca perang dengan Inggris) abad ke-18. Lalu surat jaminan perlindungan kepada Raja Swedia yang diusir tentara Rusia dan mencari eksil kepada Khalifah pada 7 Agustus 1709. Ada juga surat tertanggal 13 Rabi'ul Akhir 1282 H (5 September 1865) yang memberikan izin dan ongkos kepada 30 keluarga Yunani yang beremigrasi ke Rusia namun kembali ke wilayah Khilafah, karena di Rusia justru mereka sengsara. Yang termutakhir ialah peraturan bebas cukai barang bawaan orang-orang Rusia yang mencari eksil ke wilayah Khilafah pasca Revolusi Bolshevik tertanggal 25 Desember 1920 M.



Begitulah sejarah emas perekonomian kaum Muslim pada masa lalu. Sejarah emas itu bisa diwujudkan lagi melalui penerapan Sistem Ekonomi Islam dalam institusi Khilafah Rasyidah.



Wallah a'lam bi ash-shawaab.

Kolonialisme Gaya Baru

Oleh : Mujiyanto


VOC zaman Belanda memaksa rakyat menyerahkan kekayaannya, sekarang cukup melalui perusahaan-perusahaan multinasional.

"Salah satu manifestasi globalisasi dalam bidang ekonomi, misalnya, adalah pengalihan kekayaan alam suatu negara ke negara lain, yang setelah diolah dengan nilai tambah yang tinggi, kemudian menjual produk-produk ke negara asal, sedemikian rupa sehingga rakyat harus "membeli jam kerja" bangsa lain. Ini adalah penjajahan dalam bentuk baru, neo-colonialism, atau dalam pengertian sejarah kita, suatu “VOC (Verenigte Oostindische Componie) dengan baju baru."

Itulah cuplikan pidato mantan Presiden Indonesia BJ Habibie di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, mantan Presiden Megawati Soekarnoputri, Ketua MPR Taufik Kiemas dan hadirin lainnya dalam peringatan hari lahir Pancasila 1 Juni 2011 di gedung DPR/MPR Jakarta.

Pernyataan Habibie ini menyentil kondisi Indonesia yang kian liberal dengan membuka kran lebar-lebar bagi masuknya asing menguasai kekayaan alam Indonesia. Rakyat sebagai pemilik sejati sumber daya alam hanya menjadi konsumen terhadap barang milik mereka sendiri di tanah mereka sendiri.

Hasil jejak pendapat pro dan kontra di www.detiknews.com mengamini pernyataan Habibie ini. Sebanyak 87 persen publik setuju, hanya 13 persen yang tak setuju. Mereka merasakan apa yang terjadi itu.

Berdasarkan data yang ada, dominasi asing di sektor-sektor strategis seperti keuangan, energi
dan sumber daya mineral, telekomunikasi, dan perkebunan adalah sebuah fakta yang tak bisa ditolak.

Data penelusuran Kompas menyebut, per Maret 2011 pihak asing telah menguasai 50,6 persen aset perbankan nasional. Dengan demikian, sekitar Rp 1.551 trilyun dari total aset perbankan Rp 3.065 trilyun dikuasai asing. Secara perlahan porsi kepemilikan asing terus bertambah. Per Juni 2008 kepemilikan asing baru mencapai 47,02 persen.

Hanya 15 bank yang menguasai pangsa 85 persen. Dari 15 bank itu, sebagian sudah dimiliki asing. Dari total 121 bank umum, kepemilikan asing ada pada 47 bank dengan porsi bervariasi.

Terkait keuangan, asuransi juga didominasi asing. Dari 45 perusahaan asuransi jiwa yang beroperasi di Indonesia, tak sampai setengahnya yang murni milik Indonesia. Kalau dikelompokkan, dari asuransi jiwa yang ekuitasnya di atas Rp 750 milyar hampir semuanya usaha patungan. Dari sisi perolehan premi, lima besarnya adalah perusahaan asing.

Dominasi itu sangat tampak di pasar modal/bursa efek. Total kepemilikan investor asing 60-70 persen dari semua saham perusahaan yang dicatatkan dan diperdagangkan di bursa efek. Di sana bisa dilihat pula bahwa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang telah diprivatisasi, kepemilikan asing sudah mencapai 60 persen.

Yang lebih tragis lagi adalah di sektor sektor minyak dan gas. Porsi operator migas nasional hanya sekitar 25 persen, selebihnya 75 persen dikuasai pihak asing. Dari total 225 blok migas yang dikelola kontraktor kontrak kerja sama non Pertamina, 120 blok dioperasikan perusahaan asing, hanya 28 blok yang dioperasikan perusahaan nasional, serta sekitar 77 blok dioperasikan perusahaan gabungan asing dan lokal. Di perusahaan patungan itu porsi asing pun cukup besar.

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada 2009, dari total produksi minyak di Indonesia, Pertamina hanya memproduksi 13,8 persen. Sisanya dikuasai swasta asing seperti Chevron (41 persen), Total E&P Indonesia (10 persen), Conoco Philips (3,6 persen) dan CNOOC (4,6 persen).

Data lain mengungkap lebih rinci penguasaan ladang minyak dan gas di Indonesia oleh asing tersebut. Tercatat dari 60 kontraktor, lima di antaranya dalam kategori super major, yakni Exxon Mobil, Shell Penzoil, Total Fina Elf, BP Amoco Arco, dan Chevron Texaco. Lima perusahaan ini menguasai cadangan minyak 70 persen dan gas 80 persen. Selebihnya masuk kategori major, seperti Conoco, Repsol, Unocal, Santa Fe, Gulf, Premier, Lasmo, Inpex, Japex. Perusahaan ini menguasai cadangan minyak 18 persen dan gas 15 persen. Perusahaan independen hanya menguasai cadangan minyak 12 persen dan gas 5 persen. Diperkirakan hasil dari mengeruk kekayaan alam Indonesia menca¬pai l.655 milyar dolar AS atau l4,3 ribu trilyun/tahun. Ini jauh lebih besar dibandingkan total utang pemerintah Indonesia hingga April 2011 yang mencapai Rp 1.697,44 trilyun.

Tidak hanya di hulu, perusahaan migas asing ini pun mulai merambah ke sektor hilir. Beberapa perusahaan asing seperti Shell, Total dan Petronas telah menancapkan kukunya dengan membangun SPBU di lokasi-lokasi strategis. Setidaknya ada 105 perusahaan migas asing yang memperoleh izin mendirikan SPBU. Bahkan pemerintah memberikan kesempatan kepada masing-masing perusahaan untuk membuka sekitar 20 ribu SPBU di seluruh Indonesia.

Di sektor telekomunikasi, perusahaan asing mendominasi perusahaan telekomunikasi. Bahkan perusahaan negara yang sangat vital dalam lalulintas data yakni Indosat, 70,14 persen sahamnya dimiliki asing. Porsi asing di perusahaan telekomunikasi lainnya cukup besar. SmartFren Telecom 23,91 persen, Telkomsel 35 persen, Hutchinson 60 persen, Xl Axiata 80 persen, dan Natrindo 95 persen.

Asing kini pun mulai merambah sektor perkebunan, khu¬susnya kelapa sawit. Guthrie Bhd (Malaysia) 167.908 Ha. Wilmar International Group (Singapura) 85.000 ha, Hindoli - Cargill (AS) 63.455 ha, Kuala Lumpur Kepong Bhd (Malaysia) 45.714 ha, SIPEF Group (Belgia) 30.952 ha, Golden Hope Group (Malaysia) 12.810 ha (Kompas, 23/5).

Di luar itu, produk-produk Cina membanjiri pasar Indonesia. Semua produk Cina dari mulai jarum, peniti, hingga pesawat terbang masuk Indonesia tanpa bisa lagi dikendalikan. Meski data sedemikian gamblang, pemerintah menyatakan secara keseluruhan tidak ada dominasi asing di Indonesia. Lalu apa dong?

Memproteksi Harta Umat

Pangkal persoalan berkuasanya VOC gaya baru di Indonesia adalah regulasi. Mereka bisa leluasa menjalankan aksinya karena didukung oleh legalisasi aturan yang menguntungkan mereka. Apalagi bukan rahasia jika draft aturan perundang-undangan yang kini menjadi UU adalah hasil kerja VOC tersebut.

Suatu yang sulit menghilangkan dominasi asing bila tidak ada perubahan regulasi secara fundamental. Hanya pertanyaannya, mungkinkah regulasi tersebut diubah 'melawan' dominasi sementara para penguasa dan wakil rakyat telah ikut merasakan 'nikmat' adanya regulasi tersebut? Dan ini bagi penguasa adalah sebuah bahaya karena VOC bisa menjatuhkannya seperti yang terjadi pada Soekarno maupun Soeharto.

Solusi Islam

Memang harus ada perubahan regulasi secara mendasar terkait penguasaan itu sendiri. Bolehkah harta/barang yang menguasai hajat hidup orang banyak diserahkan kepada individu atau perusahaan swasta? Dalam hal seperti ini, Islam memiliki jawaban yang sangat jelas. Islam mengatur persoalan kepemilikan secara tegas.

Islam membedakan kepemilikan menjadi tiga yakni milik pribadi; milik umum; dan milik negara. Pribadi/swasta tidak boleh memiliki milik umum atau milik negara.
Kepemilikan umum mencakup: pertama, fasilitas umum; meliputi semua fasilitas yang dibutuhkan oleh publik yang jika tidak ada akan menyebabkan kesulitan bagi komunitas atau publik dan dapat menimbulkan persengketaan; Kedua, barang tambang dalam jumlah sangat besar. Ini haram dimiliki secara pribadi. Contoh: minyak bumi, emas, perak, besi, tembaga, dll. Ketiga, benda-benda yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki oleh pribadi; meliputi jalan, sungai, laut, danau, tanah tanah umum, teluk, selat, dan sebagainya.

Pengelolaan milik umum sepenuhnya dilakukan oleh negara sebagai wakil umat. Hasilnya digunakan untuk kemakmuran rakyat. Ada prasyarat dalam pengelolaan harta/barang milik umum ini yakni semaksimal mungkin tidak menimbulkan kerusakan baik lingkungan, ekosistem maupun sosial.

Rasulullah SAW pernah mengambil kebijakan untuk memberikan tambang garam kepada Abyadh bin Hammal Al Mazini. Namun, kebijakan tersebut kemudian ditarik kembali oleh Rasulullah setelah mengetahui tambang yang diberikan kepada Abyadh bin Hammal laksana air yang mengalir.

Berdasarkan hadits tersebut, diperbolehkan individu menguasai area tambang jika luas dan depositnya sedikit. Hasil eksploitasi barang tambang yang diperoleh individu tersebut dikenakan khumus atau seperlimanya untuk dimasukkan ke dalam Baitul Mal (kas negara) sebagai bagian dari harta fai.

Sebaliknya, barang tambang yang jumlahnya tidak terbatas tidak boleh dikuasai individu karena termasuk harta milik umum dan hasilnya masuk dalam kas Baitul Mal. Rasulullah bersabda, "Kaum Muslim bersekutu dalam tiga hal: air, padang dan api" (HR Abu Dawud). Hadits ini juga menegaskan, yang termasuk harta milik umum adalah sumber daya alam yang sifat pembentukannya menghalangi individu untuk memilikinya.

Dengan demikian, penguasaan sumber daya alam di tangan negara tidak hanya akan berkontribusi pada kemananan penyediaan komoditas primer untuk keperluan pertahanan dan perekonomian negara, tetapi juga menjadi sumber pemasukan negara yang melimpah pada pos harta milik umum.

Kalau negara membatasi demikian rupa kepemilikan, maka tidak akan ada perusahaan multinasional yang akan seenaknya masuk layaknya VOC. Jika negara membutuhkan mereka dalam hal tertentu seperti eksploitasi misalnya, mereka hanyalah sebagai operator yang dikontrak.

Itu pun masih dibatasi oleh hubungan diplomatik antarnegara. Islam memandang tidak boleh ada hubungan sama sekali dengan negara yang memusuhi umat Islam. Haram mengadakan hubungan dengan mereka termasuk dengan perusahaan-perusahaannya.

Pengaturan seperti itu tidak ada dalam sistem ekonomi liberal yang berlaku sekarang. Batas kepemilikan tidak jelas. Pembatasan kepemilikan terhadap suatu barang hanya ditentukan oleh kemampuan individu. Walhasil, siapa yang kuat dialah yang bisa menguasai barang apapun. Sedangkan yang lemah tersingkir. Inilah yang menyebabkan munculnya eksploitasi manusia atas manusia lainnya.

Walhasil, kehancuran ekonomi yang terjadi sekarang sebenarnya sangat jelas sumbernya yakni sistem kapitalisme-sekuler itu sendiri yang meliberalkan sektor ekonomi. Islam tidak ada andil sedikitpun dalam kerusakan ekonomi tersebut. Justru Islam menawarkan solusi bagi penyelesaian masalah itu.

Hanya saja, sistem ekonominya Islam akan mampu menyejahterakan umat—baik Muslim maupun non Muslim—di bawah naungan khilafah yakni negara yang menerapkan Islam secara kaffah.

6/16/11

Sosok Wanita Shalihah Dambaan Umat

“Dunia itu perhiasan, sebaik-baik perhiasan adalah wanita sholehah.” (HR. Muslim)


Anas Ra juga menuturkan, Rasulullah Saw, pernah bersabda: “Siapa saja yang telah dikaruniai Allah wanita salehah berarti dia telah menolongnya dalam satu bagian agamanya. Oleh karena itu, hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam bagian yang kedua”. (HR al-Hakim)


BERDASARKAN hadits di atas maka wanita salehah adalah sebaik-baik perhiasan dunia. Dan keinginan untuk menjadi sosok wanita shalehah haruslah terpatri dalam diri setiap muslimah. Wanita mana sih yang tidak ingin menjadi sebaik-baik perhiasan didunia ini? Lantas bagaimanakah karakter wanita shalehah menurut Islam?


Allah Swt berfirman:

“Laki-laki adalah pemimpin wanita karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan karena mereka telah menafkahkan sebagian harta mereka. Oleh karena itu, wanita yang salehah adalah yang menaati Allah dan memelihara diri ketika suami tidak ada karena Allah telah memelihara mereka” (QS.An-Nisa( 4):3)


Dalam ayat tersebut di atas Allah Swt menetapkan bahwa salah satu karakter wanita salehah adalah menaati Allah swt. Artinya wanita salehah hanya akan berpikir dan bertindak berdasarkan rambu-rambu dari Allah Swt. Ia akan berupaya dengan serius dan sungguh-sungguh untuk melaksanakan Islam secara kaffah (keseluruhan) .


Islam sebagai dien yang sempurna telah menetapkan rambu-rambu baik berupa hak dan kewajiban bagi wanita terkait dengan posisinya sebagai anak, sebagai isteri dan sebagai ibu .


Dalam pandangan Islam sebagai seorang anak, wanita berhak untuk mendapatkan nafkah yang halal, perlindungan, pengasuhan dan pendidikan yang terbaik dari orang tuanya. Pada saat yang bersamaan anak juga berkewajiban berbakti kepada orang tuanya dengan cara bergaul dengan makruf kepada mereka, tidak berkata kasar kepada mereka, memenuhi perintah mereka sepanjang tidak terkategori maksiyat.


Terkait posisi wanita sebagai isteri, dalam Islam isteri berhak untuk mendapatkan nafkah, perlindungan dan pergaulan yang baik dari suaminya, berhak untuk didengarkan pendapatnya. Di saat yang bersamaan Islam mewajibkan isteri untuk berbakti dan taat kepada suami sepanjang tidak maksiyat, wajib menggauli suaminya dengan baik dan penuh kasih sayang, memelihara rumah, diri dan harta suaminya.


Sebagai seorang ibu maka islam menjadikan peran sebagai ibu dan Robbatul bait adalah yang paling utama bagi wanita. Sabda Rasulullah saw: “Seorang wanita adalah pengurus rumah tangga suaminya dan anak-anaknya, dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas kepengurusannya” (HR.Muslim)


Memang tidak dapat kita pungkiri, ibu berperan penting dalam mencetak generasi yang berkualitas. Islam menjadikan memelihara anak sejak dalam kandungan, menyusui, memelihara, merawat, mendidik anak menjadi tanggung jawab ibu.


Islam juga mengatur peran publik wanita. Seorang wanita adalah bagian dari masyarakat dan bertanggungjawab bersama kaum laki-laki dalam mewujudkan masyarakat yang baik, yang mendapatkan ridho dari Allah Swt yaitu masyarakat yang menerapkan syariat Islam yang akan menebarkan rahmat bagi seluruh alam. Seorang muslimah berkewajiban untuk berdakwah, menyeru kepada Islam, mengingatkan kepada kebajikan. Dia juga tidak boleh menjadi sosok yang individualis dan egois, hanya mementingkan diri sendiri, minim empati dan tidak mau melihat persoalan orang lain. Sabda Rasulullah Saw: ”Siapa saja yang bangun pagi-pagi tetapi tidak memperhatikan urusan kaum muslimin, maka ia bukanlah golongan mereka” (HR Ath-Thabari)


Islam telah menetapkan, seorang muslimah memiliki hak untuk menyampaikan pendapat, kritik dan saran terhadap kebijkan pemerintah yang menyimpang dari syariat Islam. Oleh karena itu muslimah juga harus cerdas politik Ia harus mengetahui mana kebijakan yang keliru dan bagaimana yang seharusnya, khususnya kebijakan atau aturan yang terkait dengan peran utamanya yaitu sebagai pencetak generasi dan pengatur rumah tangga. Islam membolehkan wanita terjun ke sektor publik untuk mengembangkan potensi ataupun mengaktualisasikan dirinya sepanjang tidak melaksanakan hal-hal yang diharamkan Allah misalnya membuka aurat, berkhalwat, apalagi sampai mengabaikan kewajiban utamanya yaitu sebagai ibu dan pengatur rumah tangga.


Dengan demikian sosok wanita shalehah adalah sosok anak, isteri dan ibu yang taat kepada Allah, menjaga kehormatan diri dan keluarganya. Ia selalu bercermin pada sosok muslimah hasil pendidikan Rasulullah Saw. Ia mendedikasikan dirinya bagi Allah dan rasul-Nya sehingga tidak mudah terprovokasi dengan ide-ide yang justru akan menjauhkannya dari Allah bahkan menyesatkan manusia. Ia akan berdaya guna bagi dirinya, keluarganya, lingkungan sekitarnya dan bagi ummat. Ia adalah sosok daiyah yang menyeru dirinya, kelluarga dan masyarakatnya untuk berada dijalan Allah. Dia akan teguh dan istiqomah di jalan Allah walau apaun yang terjadi, baginya keridhaan Alah diatas segalanya.


Memang menjadi wanita salehah tidaklah mudah, apalagi di tengah serbuan nilai dan sistem jahiliyah modern (baca Kapitalis, materialis) saat ini. Namun menjadi sosok wanita salehah bukanlah hal yang mustahil, tinggal bagaimana kita berupaya sungguh-sungguh untuk dapat mewujudkannya. Mengupayakan proses pembinaan untuk menempa diri menjadi sosok wanita salehah adalah hal yang tidak boleh ditunda-tunda untuk dilaksanakan.


Pada dasarnya pembinaan kepribadian harus memperhatikan dua aspek. Pertama aspek aqliyah (pola pikir), yang kedua aspek nafsiyah (pola sikap) Beberapa cara yang dapat kita lakukan untuk meningkatkan kualitas aqliyah kita diantaranya:

1. Mengikuti kajian-kajian ke-Islaman yang menuntun kita untuk dapat menambah pengetahuan kita tentang Islam baik tentang aqidah, hukum-hukum Islam terkait persoalan individu hingga persoalan masyarakat.

2. Rajin mengasah pemikiran kita dengan mengikuti forum diskusi, seminar kajian workshop dan lain-lain, maupun dengan memperbanyak bacaan yang dapat menambah pengetahuan Islam kita ataupun pengetahuan lain yang tidak bertentangan dengan aqidah Islam.

3. Senantiasa berlatih untuk menganalisa setiap masalah dan menyelesaikannya dalam sudut pandang Islam.

Adapun cara untuk meningkatkan kualitas Nafsiyyah kita diantaranya:

1. Meningkatkan frekuensi dan kualitas ibadah dalam rangka ketaatan terhadpap perintah Allah Swt, seperti memperbanyak sholat dan shaum sunnah disamping tetap mengerjakan shalat wajib, membaca Alquran , dan banyak bersedekah.

2. Memupuk rasa tawakkal kepada Allah.

3. Memupuk kesabaran dan rela terhadap qadha

4. Memperbanyak dzikir dan istighfar kepada Allah

5. Senantiasa tekun berlatih untuk ikhlas karena Allah Swt.

6. Istiqomah untuk menyeru di jalan Allah.

Dengan meningkatnya kualitas aqliyah dan nafsiyyah pada diri muslimah kita berharap dapat menjadi sosok wanita shalehah yang menjadi dambaan umat, yang akan menjadi pencetak generasi yang berkualitas serta menghantarkan umat kepada kejayaan dan kemuliaan didunia dan akhirat Insyaallah. Wahai para muslimah, mari kita segera bersama-sama untuk meraih ridho Allah dan bersama-sama menapaki jalan menuju surga-Nya! Pasti tidak ada yang lebih indah ditelinga para kita kecuali mendengar berita gembira bahwa dirinya,keluarganya , suaminya dan anak-anaknya maupun keluarga berada disurga-Nya. Wallahu a’lam.***

6/13/11

CINTA

Bruk! Untuk ke sekian kali, kepala ustadz muda itu terbentur. Kali ini kepalanya membentur kusen pintu masjid saat ia hendak keluar seusai menunaikan shalat ashar berjamaah. Saat itu, setelah shalat, ia memang agak buru-buru karena harus segera menemui seseorang untuk kepentingan dakwah.

‘Peristiwa biasa’ yang saya saksikan dari jarak kira-kira lima meter itu, entah mengapa, membuat hati saya trenyuh. Saya pun menangis dalam hati. Tidak lain karena ustadz muda yang saya ceritakan kali ini adalah seorang yang buta. Namun, kondisinya yang buta itu tidak pernah menyurutkan langkahnya untuk senantiasa menunaikan shalat berjamaah di masjid lima kali sehari. Hal itu sudah bertahun-tahun ia jalani, terutama sejak ia mengalami kebutaan permanen sekitar tiga-empat tahun lalu. Saya pun teringat Sahabat Nabi saw. Abdullah bin Ummi Maktum yang juga buta. Ia pun senantiasa shalat berjamaah di masjid karena memang Nabi saw. tidak memperkenankan dirinya shalat di rumah selama ia mendengar azan di masjid.

Sebetulnya, bukan pemandangan itu benar yang membuat hati saya trenyuh. Bukan pula semata-mata karena ustadz muda yang baru beberapa bulan lalu saya kenal itu matanya buta yang membuat saya menangis dalam hati. Lagi pula saya tidak sedang menangisi dia. Sebab, toh dari kata-kata dan sikapnya selama ini, saya tahu ia pun tidak pernah menampakkan kesedihan dan meratapi diri karena kondisinya yang buta itu. Padahal sudah tak terhitung kepalanya terbentur tembok, terantuk batu, terpeleset, terserempet kendaraan di jalanan, bahkan terperosok ke selokan. Itu sudah sering ia alami. Namun, ia selalu menyikapi semua itu dengan kesabaran, bahkan senyuman. Yang membuat saya takjub, semua penderitaan itu justru sering ia alami dalam menjalankan aktivitas dakwahnya; berceramah ke berbagai tempat, mengisi ta’lim, melakukan kontak-kontak dakwah, dll. Sering semua itu ia lakukan dengan berjalan kaki sendirian, tanpa teman yang membantu menuntun dirinya. Semua itu ia lakukan dengan selalu bersemangat, tak kenal lelah, meski ia harus sering-sering meninggalkan anak-istrinya.

Selain berceramah atau mengisi ta’lim, ia mengaku menyisihkan waktu minimal dua jam setiap hari untuk melakukan kontak-kontak dakwah. Itu pun sudah lama ia lakukan. Inilah yang sebetulnya membuat hati ini menangis. Saya menangis karena dalam kondisi tubuh saya yang sempurna, tidak kekurangan apapun, saya tampaknya belum bisa menyamai apalagi melebihi apa yang sehari-hari dilakukan sang ustadz itu. Jangankan menyisihkan waktu dua jam sehari untuk khusus melakukan kontak-kontak dakwah, bahkan untuk sekadar istiqamah shalat berjamaah lima waktu di masjid pun sulit, terutama zuhur dan ashar, karena boleh jadi masih di perjalanan, di tempat kerjaan ataupun karena hal lain.

Saat saya bertanya, mengapa dalam kondisi semacam itu ia selalu bersemangat berdakwah dan sepertinya tak pernah kenal lelah, ia hanya menjawab dengan satu kata, “Cinta.”

“Maksudnya?” tanya saya lagi.

“Ana melakukan semua ini karena Ana mencintai Islam, mencintai dakwah ini dan mencintai saudara sesama Muslim, terutama mereka yang belum tersentuh hidayah Islam,” jawabnya tegas.

“Kalau bukan karena cinta, Tadz,” lanjutnya kepada saya, “Ana, juga Antum, tak mungkin kan harus capek-capek berdakwah, apalagi dengan kondisi Ana yang cacat seperti ini.”

Cukup rasanya kata-katanya itu menyentakkan kembali kesadaran saya. Saya pun teringat kembali dengan kisah Sahabat Rasululullah saw. yang mulia, Mushab bin Umair ra. Sebelum masuk Islam Mushab ra. adalah seorang pemuda yang biasa hidup dalam kesenangan dan kemewahan. Ia memang berasal dari keluarga kaya-raya di Makkah. Semua itu didukung oleh sosoknya yang memang tegap dan tampan. Pernah orangtuanya membelikan sehelai pakaian seharga 200 dirham. Jika dikonversikan dengan harga sekarang, itu setara dengan Rp 14.075.800,- (Empat belas juta tujuh puluh lima ribu delapan ratus rupiah)! (Catatan: 1 dirham=2.975 gr perak murni=Rp 70.379,-. Sumber: Geraidinar.com, 19/5/2011, pk. 06.30).

Mushab bin Umair ra. kemudian masuk Islam diam-diam tanpa sepengetahuan orangtuanya. Saat kedua orangtuanya mengetahui keislamannya, mereka mengurung dan mengikat dirinya di rumah agar tidak bisa kemana-mana. Namun akhirnya, ia bisa melarikan diri ke Abesinia, tentu dengan meninggalkan segala kesenangan dan kemewahan hidup yang selama ini ia reguk. Tak lama kemudian ia kembali ke Makkah. Ia lalu diutus oleh Baginda Rasulullah saw. ke Madinah sebagai duta dakwah Islam. Atas perannyalah sebagian pemuka Arab Madinah diislamkan. Bahkan akhirnya mereka mau menyerahkan kekuasaan mereka kepada Rasulullah saw. hingga beliau sukses mendirikan Daulah Islam di Madinah.

Suatu saat, ketika Baginda Rasulullah saw. duduk-duduk, lewatlah ke hadapan beliau Mushab ra. dengan pakaian yang sudah kumal dan bertambal-tambal. Rasul saw. tampak bersedih dan berlinang airmata menyaksikan pemandangan itu. Sebab, beliau tahu persis bagaimana keadaan Mushab ra. yang hidup serba gemerlap sebelum masuk Islam. Kini, ia meninggalkan semua kemewahan itu karena satu hal: cinta. Begitu besar cintanya pada Islam, dakwah dan kepada sesama Muslim. Demi cinta itu pula ia rela mengorbankan apa saja. Bahkan karena cinta pula ia rela terbunuh di medan perang dengan cara yang amat mengiris hati.

Saat itu, dalam Perang Uhud, saat tentara Islam mengalami kekalahan, dan sebagian dari mereka lari tunggang-langgang, Mushab ra. tetap berdiri dengan gagah di medang perang sambil memegang Bendera Islam. Tiba-tiba musuh menebas salah satu tangannya hingga putus. Bendera itu pun terjatuh. Cepat-cepat ia meraih kembali bendera itu dengan tangannya yang lain. Musuh itu kembali menebas tangannya yang tersisa itu hingga putus. Buru-buru pula ia mendekap bendera itu di dadanya dengan kedua lengannya yang masih berlumuran darah. Namun, sebuah anak panah tiba-tiba menghujam dadanya hingga akhirnya ia tersungkur ke tanah, dan bendera itu pun terjatuh. Akhirnya, ia pun gugur sebagai syuhada.

Saat jenazahnya hendak dikuburkan, ia hanya memiliki selembar kain yang terlalu kecil. Jika kain itu ditarik untuk menutupi wajahnya, kakinya terbuka. Sebaliknya, jika kain itu ditarik untuk menutupi kakinya, wajahnya yang terbuka (Al-Kandahlawi, Fadha’il A’mal, 626-627).

Begitulah Mushab bin Umair ra. Begitulah sosok para pecinta Islam, dakwah dan kaum Muslim. Bagaimana dengan kita?!

Wa mâ tawfîqî illâ bilLâh wa ’alayhi tawakkaltu wa ilayhi unîb. [Arief B. Iskandar]

Hidup ini Pilihan Atau Takdir??

Ya sudahlah.. percuma aku berusaha lebih keras lagi, ini sudah takdirku…

Untuk apa mendakwahkan Islam untuk memperbaiki umat?! kenyataan bahwa kaum muslim kini terpuruk sudah takdir yang diberikan Allah…

Semua penderitaan kita sudah tertulis di Lauh al-Mahfudz, jadi walaupun kita terus berjuang mengubah kemunkaran, tidak akan ada yang berubah!

Sudah garis tangannya Si Fulan untuk menjadi ustadz yang paham agama, sedangkan aku garis tangannya menjadi pengusaha. Oleh karena itu bukan urusanku untuk menyampaikan agama Islam.

Rizki itu di tangan Allah, semua sudah ditentukan sebelum kita dilahirkan di dunia, jadi jangan kuatir dengan rizki, kalau memang rizki itu milik kita, ia akan datang walaupun kita tidak mengusahakannya…

Kegagalan saya bukanlah kesalahan saya, melainkan sudah takdir dari yang Maha Kuasa…



Kata-kata takdir sering kali membatasi manusia dari melakukan yang terbaik dari dirinya, menjadi yang terbaik, dan mengubah sesuatu yang berada di depannya. Kata ini seolah-olah menjadi legitimasi bagi seseorang untuk melakukan aktivitasnya secara minimalis dan menjadi alasan khususnya bagi kaum muslim untuk menghindar dan mengelak dari seruan Tuhan mereka.


Kesalahan pandangan terhadap konsep takdir biasanya dimulai dari tidak tepatnya seseorang mengartikan ketiga hal yang berkaitan dengan Allah, yaitu Ilmu Allah, Kehendak Allah dan Lauh al-Mahfudz. Mereka yang berpandangan salah tentang konsep takdir merasa bahwa apa yang mereka lakukan dan yang terjadi di dunia sudah diketahui oleh Allah sebagai yang Maha Tahu, sudah dikehendaki Allah sebagai yang Maha Berkehendak serta sudah tertulis di dalam Lauh al-Mahfudz.



Sebagai manusia, makhluk yang terbatas, mereka merasa terpaksa berada dalam kondisi yang memang sudah ditentukan oleh yang Maha Kuasa. Padahal ketiga hal tersebut, yaitu Ilmu Allah, Kehendak Allah dan Lauh al-Mahfudz tidak boleh sekali-kali dicampuradukan dengan pembahasan takdir, karena tidak seorang pun yang mengetahui ilmu Allah, seperti apa Allah berkehendak atas dirinya, dan juga tidak mengetahui apa yang tertulis di dalam Lauh al-Mahfudz.

Ada sebuah ilustrasi yang sangat masyhur. Adalah seorang pencuri yang tertangkap dimasa pemerintahan Islam sedang jaya-jayanya. Sang pencuri ini tengah diproses oleh seorang Hakim. Lalu si pencuri berkata membela diri ”Wahai tuan hakim, sungguh tidak pantas tuan menghukum saya”. Dia melanjutkan, ”karena apa yang saya lakukan ini sesungguhnya sudah diketahui oleh Allah dan Allah membiarkannya (mengizinkannya), dan sesungguhnya Allah-lah yang berkehendak atas terjadinya pencurian ini, dan kita semua tahu, di Lauh al-Mahfudz sesungguhnya telah tertulis semua aktivitas kita dari mulai dilahirkan sampai kita menemui ajal, termasuk pencurian ini sesungguhnya telah tertulis di kitab tersebut, sehingga tidak pantas tuan hakim menjatuhkan hukuman kepada saya, karena perbuatan ini bukan karena kehendak saya”.



Hakim tersebut lalu berpikir tentang hal tersebut, setelah lama berpikir akhirnya ia mengeluarkan keputusan untuk menghukum si pencuri itu. ”Baik, masukkan dia ke dalam sel penjara!”, ujarnya. Si pencuri protes kepada tuan hakim dengan penjelasannya yang panjang lebar tadi, yang intinya adalah pencurian itu bukan kehendaknya tetapi kehendak Allah, atau sudah nasibnya. Sang hakim pun berkata dengan tenang ”Sebenarnya saya tidak mau menjatuhkan hukuman kepadamu, tetapi bagaimana lagi, ini juga kehendak Allah, dan di Lauh al-Mahfudz juga sudah tertulis pada hari ini dan waktu ini saya mengeluarkan hukuman penjara bagimu!”



Punya Pilihan

Ilustrasi di atas memberikan kita kejelasan bahwa si pencuri mencoba mencampuradukkan Ilmu Allah, Kehendak Allah dan Lauh al-Mahfudz dalam pembahasan takdir, sehingga pembahasan takdir menjadi kacau. Dan sampai sekarang pun masih banyak kelompok atau individu yang salah memahami konsep takdir, sehingga termasuklah mereka kedalam kaum fatalis, yaitu kaum yang menganggap bahwa manusia seperti daun yang terombang ambing di permukaan air.


Dengan kata lain, manusia tidak mempunyai pilihan untuk mengarahkan hidupnya. Kaum fatalis ini menganggap masuknya manusia ke dalam surga ataupun kedalam neraka sesungguhnya telah ditentukan sejak awal, dan manusia tidak memiliki kekuatan untuk mengubahnya.

Jika kita menginginkan untuk berfikir efektif dan produktif, hendaknya kita tidak boleh mencampuradukkan pembahasan takdir dengan Ilmu Allah, Kehendak Allah dan Lauh al-Mahfudz. Tidak kita sangsikan bahwa Allah pasti mengetahui segala sesuatu yang terjadi pada dunia yang diciptakan-Nya. Ia juga mengetahui semua perbuatan hamba-Nya, baik yang telah kita perbuat, yang sedang kita buat maupun yang akan kita perbuat. Dan kita pun tahu bahwa apa pun yang menjadi kehendak Allah pastilah terjadi di atas muka bumi ini.


Kita pun yakin bahwa semua perbuatan kita dari lahir hingga mati sesungguhnya telah tertulis di Lauh al-Mahfudz. Tetapi, semua itu tidak berarti kita tidak bisa memilih apa yang kita perbuat. Sebagai contoh, Allah sudah mengetahui dan berkehendak Anda membaca artikel ini di Lauh al-Mahfudz pun sudah tertulis, pada tanggal ini jam sekian Anda membaca sampai pada pembahasan takdir ini. Tetapi Anda juga ingat bahwa ketika berada di website ini Anda bisa memilih dengan bebas apakah artikel ini ataukah artikel lain yang Anda baca.


Dengan kata lain, Anda memiliki pilihan untuk melakukan sesuatu, memilih sesuatu dan menjadi sesuatu. Kehendak bebas atau kesempatan memilih yang diberikan Allah kepada manusia inilah yang akhirnya melahirkan konsekuensi logis, yaitu pertanggungjawaban manusia atas perbuatan-perbuatan yang dipilih olehnya. Pertanggungjawaban ini di akhirat kita sebut dengan prosesi hisab. Di dunia pun, sudah sewajarnya bila kita dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipilihnya.



Pada seorang individu, selain perbuatan-perbuatan atau kejadian-kejadian yang bisa dipilih dan berada di dalam kendali manusia untuk memilihnya, ada juga kejadian-kejadian di mana manusia tidak mempunyai pilihan atasnya, dan dipaksakan terjadi atas manusia itu, serta sudah ditetapkan atas manusia, baik dia suka maupun tidak. Misalnya, manusia pasti akan mati, wanita memiliki kemampuan melahirkan, pria memiliki kecenderungan kepada wanita, matahari terbit dari timur dan terbenam di barat, bencana alam yang terjadi dan lain-lain.


Dalam hal ini, Allah tidak memberikan ruang kepada manusia untuk memilih, sehingga apa pun yang terjadi, manusia tidak perlu atau tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang terjadi, karena hal itu tidak dapat dipilihnya. Di dunia pun, Anda tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas hal yang tidak bisa anda pilih. Misalnya, tidak seorang pun bertanya kepada Anda, kenapa anda adalah seorang pria? atau bertanya kepada Anda, mengapa matahari terbit dari timur? Mengapa manusia akan mati?. Sekali lagi, dalam hal yang tidak bisa kita pilih, kita tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang terjadi pada diri kita maupun orang lain.


Tidak dapat dipilih

Sederhananya adalah, kejadian-kejadian yang terjadi pada manusia bisa dikelompokkan dalam dua bagian. Bagian pertama adalah kejadian yang terjadi pada diri manusia yang dapat dipilih. Bagian kedua adalah kejadian yang terjadi pada diri manusia yang tidak dapat dipilih, atau dipaksa terjadi atasnya. Pada bagian pertama, kita bisa memilih perbuatan atau kejadian sesuai keinginan kita, karena itulah kejadian itu akan dimintai pertanggungjawaban. Hal ini berarti, menjadi rajin ataupun menjadi malas, menjadi orang yang amanah atau yang khianat, menjadi seorang pemarah atau penyabar, menaati perintah Allah atau membangkangnya adalah sesuatu yang dapat kita pilih.



Sedangkan pada bagian kedua, kita dipaksa menerima kejadian itu dan tidak diberikan pilihan, inilah yang kita sebut takdir. Dan terhadap takdir atau ketetapan yang diberikan kepada kita, baik atau burauknya itu menurut kita, maka kita wajib mengimaninya, dan yakin bahwa itu yang terbaik untuk kita yang berasal dari Allah swt.


Prakteknya dalam kehidupan sehari-hari, jika sesuatu terjadi atas kita ataupun terhadap orang lain, dan itu tidak dapat dipilihnya, maka kita tidak boleh protes atau mengeluh secara berlebihan, serta tidak boleh menyalahkan diri sendiri atas kejadian itu. Karena itu semua berasal dari Allah, dzat yang maha memberi ketetapan, dan apa yang diberikan oleh-Nya pasti baik.


Setelah pembahasan ini, kita menyadari bahwa tidak sepatutnya kita menyalahkan takdir atas kejadian-kejadian yang sebenarnya bisa kita pilih. Apa yang terjadi di masa yang lalu mungkin beberapa diantaranya termasuk dalam hal yang bisa kita pilih. Masa depan pun sesungguhnya bisa kita pilih, ingin menjadi apakah Anda?