Assalamu'alaykum ^_^

Teruntuk Siapapun Yang Merindukan Kemuliaan & Kebangkitan ISLAM

Assalamu'alaykum Warahmatullah..

Selamat Datang
Semoga Bermanfaat

10/13/11

Siapakah ULIL AMRI ???


Siapa sebenarnya ulil amri yang keputusannya layak ditaati? Dalam hal apa ulil amri wajib ditaati? Dalam hal apa pula ulil amri tidak boleh ditaati?

Secara harfiah, frasa ulil amri (uli al-amr) dan wali al-amr mempunyai konotasi yang sama, yaitu al-hakim (penguasa). Jika wali adalah bentuk mufrad (tunggal) maka uli adalah jamak (plural). Namun demikian, kata uli bukan jamak dari kata wali. Al-Quran menggunakan frasa ulil amri dengan konotasi dzawi al-amr, yaitu orang-orang yang mempunyai (memegang) urusan.[1]

Ini berbeda dengan frasa wali al-amr, yang hanya mempunyai satu makna harfiah, yaitu al-hakim (penguasa).[2] Karena itu, frasa ulil amri bisa disebut musytarak (mempunyai banyak konotasi). Imam al-Bukhari memaknai frasa tersebut dengan dzawi al-amr (orang-orang yang mempunyai dan memegang urusan). Ini juga merupakan pendapat Abu Ubaidah. Adapun Abu Hurairah ra. memaknai frasa tersebut dengan al-umara’ (para penguasa); Maimun bin Mahran dan Jabir bin Abdillah memaknainya dengan ahl al-’ilm wa al-khayr (ahli ilmu dan orang baik); Mujahid, ‘Atha’, Abi al-Hasan dan Abi al-’Aliyah memaknainya dengan al-’ulama’ (ulama’). Dalam riwayat lain, Mujahid menyatakan bahwa mereka adalah Sahabat. Bahkan Ikrimah menyebutkan lebih spesifik, mereka adalah Abu Bakar dan Umar.[3]

Imam ar-Razi telah mengumpulkan pendapat para mufassir dalam kitabnya tentang makna frasa ini. Beliau menyatakan, bahwa ulil amri mempunyai banyak konotasi. Pertama: Khulafaur Rasyidin. Kedua: Komandan detasemen. Ketiga: para ulama’ yang mengeluarkan fatwa hukum syariah serta mengajarkan agama kepada masyarakat. Keempat: pendapat Syiah Rawafidh, bahwa mereka adalah imam yang maksum.[4]

Terkait ulil amri, Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah, taatilah Rasul serta ulil amri di antara kalian. Jika kalian berselisih dalam suatu urusan, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul jika kalian memang mengimani Allah dan Hari Akhir. Itu lebih baik dan merupakan sebaik-baik penjelasan (QS an-Nisa’ [4]: 59).

Konotasi kata ulil amri di sini, menurut Ibn Abbas, adalah al-umara’ wa al-wullat (para penguasa). Konteks ayat ini juga turun berkaitan dengan kewajiban untuk menaati penguasa.[5] Karena itu, ulil amri dengan konotasi penguasa dalam konteks ini jelas lebih tepat ketimbang konotasi ulama atau yang lain. Dengan demikian, ayat ini jelas memerintahkan agar menaati penguasa. Namun, penguasa seperti apa?

Sayyidina Ali bin Abi Thalib-karrama-Llahu wajhah-menjelaskan, bahwa seorang imam/kepala negara wajib memerintah berdasarkan hukum yang diturunkan oleh Allah, serta menunaikan amanah. Jika dia melakukan itu maka rakyat wajib untuk mendengarkan dan menaatinya.[6] Karena itu, konteks menaati ulil amri dalam surat an-Nisa’ [4]: 59 di atas tidak berlaku mutlak, sebagaimana menaati Allah dan Rasul-Nya yang maksum; tetapi terikat dengan ketaatan ulil amri tersebut kepada perintah dan larangan Allah dan Rasul-Nya. Sebab, dengan tegas Nabi saw. bersabda:

لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِيْ مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ

Tidak boleh ada sedikit pun ketaatan kepada makhluk dalam melakukan maksiat kepada Khaliq (Allah SWT) (HR Ahmad).

Hukum dan perundang-undangan yang diterapkan penguasa bisa diklasifikasikan menjadi dua. Pertama: hukum dan perundang-undangan yang bersifat syar’i (al-ahkam wa al-qawanin al-ijra’iyyah). Kedua: hukum dan perundang-undangan yang bersifat administratif (al-ahkam wa al-qawanin al-ijra’iyyah). Hukum dan perundang-undangan yang pertama seperti sistem pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, politik luar negeri, atau hukum-hukum syariah yang lain, seperti penentuan awal/akhir Ramadhan. Dalam hal ini, tidak boleh seorang pun penguasa atau seorang Muslim mengkaji atau mengambil dari sumber lain, selain syariah Islam. Adapun hukum dan perundang-undangan kedua seperti peraturan lalu lintas, KTP, SIM, Paspor dan sejenisnya. Dalam hal ini, penguasa atau seorang Muslim bisa mempelajari atau mengambil dari sumber manapun, selama tidak bertentangan dengan syariah Islam.[7]

Karena itu, konteks perintah ketaatan di dalam surat an-Nisa’ [04]: 59 di atas berlaku untuk: Pertama, penguasa Muslim yang menerapkan syariah Islam secara kaffah. Kedua, penguasa Muslim yang menerapkan syariah Islam secara parsial; dia wajib ditaati dalam konteks syariah yang dia terapkan, seperti peradilan agama Islam (mahkamah syariah) yang mengatur kawin, cerai dan sebagainya, termasuk ketika seorang penguasa menyerukan jihad untuk melawan pendudukan negara kafir penjajah. Ketiga, penguasa Muslim yang tidak menerapkan syariah Islam, baik secara kaffah maupun parsial. Dalam hal ini, dia hanya ditaati dalam konteks hukum dan perundang-undangan yang bersifat ijra’i saja. Lebih dari itu, hukum menaati penguasa tersebut bukan saja tidak wajib, tetapi justru tidak dibolehkan.

Menarik untuk disebut di sini, bahwa keputusan pemerintah dalam menentukan awal/akhir Ramadhan adalah keputusan yang berkaitan dengan hukum syariah, bukan masalah yang terkait dengan ijra’i. Karena ini merupakan masalah hukum syariah, maka prosedur istidlal dan istinbat yang benar harus ditempuh sehingga hukum yang dijadikan sebagai keputusan benar-benar merupakan hukum syariah. Dari aspek dalil, rukyat harus didahulukan ketimbang hisab. Sebab, hisab hanyalah saranan untuk melakukan rukyat. Bukan sebaliknya, jika rukyat bertentangan dengan hisab, maka rukyat harus ditolak, karena dianggap mustahil. Sikap yang terakhir ini jelas keliru, karena tidak dibangun berdasarkan satu dalil syariah pun.

Memang, ada dalil yang digunakan, seperti frasa faqduru lahu (perkirakanlah) yang terdapat dalam hadis Nabi saw.:

فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْا لَهُ

Jika kalian terhalang mendung maka perkirakanlah (hitung) bulan itu.

Dalil sebenarnya sangat jauh dari konotasi hisab. Sebab, dalam hadis lain dinyatakan, fa akmilu ‘iddata Sya’bana tsalatsina yawm[an] (maka sempurnakanlah hitungan Sya’ban menjadi tiga puluh hari).

Dengan demikian, jika prosedur istidlal dan istinbat ini ditempuh dengan benar, maka perbedaan antara hisab dan rukyat tersebut bisa diselesaikan. Sebab, masing-masing bisa didudukkan secara proporsional tanpa menegasikan satu dengan yang lain. Ini jika perbedaan tersebut terjadi karena faktor fikih maupun astronomi. Namun, jika masalahnya adalah masalah politik, maka solusinya haruslah solusi politik. Di sinilah fungsi imam/kepala negara yang merupakan institusi dengan otoritas untuk menghilangkan perselisihan, sebagaimana dalam kaidah syariah:

أَمْرُ الإمَامِ يَرْفَعُ الْخِلاَفَ

Perintah imam/kepala negara bisa menghilangkan perselihan pendapat.

Namun, kaidah ini hanya berlaku efektif jika imam/kepala negara tersebut memang wajib ditaati. Sebaliknya, jika dia tidak wajib ditaati, maka perintahnya tidak akan pernah bisa menghilangkan perselisihan. Sebagai contoh, pemerintah memutuskan awal/akhir Ramadhan berdasarkan hisab, dengan menolak rukyat, padahal syariah menetapkan harus tunduk pada hasil rukyat, maka keputusan seperti ini tidak akan pernah bisa menghilanghkan perselisihan di tengah-tengah umat. Sebab, keputusan itu sendiri merupakan keputusan yang batil, dan tidak boleh ditaati. WalLahu a’lam. []


Catatan kaki:
________________________________________
[1] Abu al-’Ala’ al-Mubarakfuri, Tuhfadzu al-Ahwadzi: Syarah Sunan at-Tirmidzi, Dar al-Fikr, Beirut, III/207.
[2] Al-’Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, As-Syakhshiyyah al-Islamiyyah al-Juz’ as-Tsani, Dar al-Ummah, Beirut, cet. Muktamadah.
[3] Abu al-’Ala’ al-Mubarakfuri, Ibid, III/207.
[4] Al-Fakhr ar-Razi, Tafsir ar-Razi, Dar Ihya’ at-Turats al-’Arabi, Beirut, X/107.
[5] As-Syaukani, Naylu al-Awthar fi Syarh Muntaqa al-Akhbar, Dar al-Fikr, Beirut, 1994, VIII/46.
[6] Al-Baghawi, Tafsir al-Qur’an, Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, Beirut, t.t, surat an-Nisa’ [04]: 59.
[7] Dr. Muhammad Ahmad Mufti dan Dr. Sami Shalih al-Wakil, Legislasi Hukum Islam vs Legislasi Hukum Sekuler, Pustaka Thariqul Izzah, Bogor, cet. I, 2006, 32.

Memuliakan Sesama Muslim


Oleh : Arief B. Iskandar

Allah SWT sesungguhnya telah memuliakan manusia dalam kedudukan yang amat tinggi. Betapa tinggi kemuliaan manusia di mata Allah SWT hingga jika seorang manusia membunuh manusia lain tanpa alasan yang dibenarkan, maka di mata Allah SWT, sama saja ia dengan membunuh seluruh manusia. Allah SWT berfirman (yang artinya):
Siapa saja yang membunuh suatu jiwa bukan karena orang itu membunuh atau membuat kerusakan di muka bumi, maka dia seperti membunuh seluruh manusia (TQS al-Maidah [5]: 32).

Apalagi jika itu menyangkut jiwa seorang Muslim. Baginda Rasulullah SAW bersabda,
“Mencela seorang Muslim adalah kefasikan, sementara membunuhnya adalah kekufuran.”
(HR al-Bukhari dan Muslim).

Sebaliknya, Allah SWT dan Rasul-Nya, telah memerintahkan untuk memuliakan sesama Muslim. Tentu karena sesama Muslim adalah saudara. Ibn Umar ra menuturkan bahwa Rasulullah pernah bersabda,
“Muslim itu saudara bagi Muslim yang lain. Ia tidak saling menzalimi dan saling membiarkan. Siapa saja yang menghilangkan suatu kesulitan dari seorang Muslim, maka Allah SWT akan menghilangkan kesulitan bagi dirinya di antara berbagai kesulitan pada Hari Kiamat kelak. Siapa saja yang menutupi aib seorang Muslim, Allah pasti akan menutupi aibnya pada Hari Kiamat nanti.” (Muttafaq a’laih).
Abu Hurairah pun berkata bahwa Baginda Rasulullah SAW pernah bersabda,
“Muslim itu saudara bagi Muslim yang lain. Ia tidak saling mengkhianati, saling mendustakan dan saling menghinakan. Setiap Muslim adalah haram bagi Muslim yang lain menyangkut kehormatan, harta dan darahnya.” (HR at-Tirmidzi).
Bahkan terhadap Muslim yang zalim pun, Rasulullah tetap menyuruh kita menyayangi dia dengan cara menolongnya. Beliau pernah bersabda, “Tolonglah saudaramu, baik pelaku kezaliman maupun korban yang dizalimi.” Seorang sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, saya menolongnya jika ia dizalimi. Lalu bagaimana saya harus menolong orang yang melakukan kezaliman?” Rasul menjawab, “Cegahlah dia dari berlaku zalim. Itulah bentuk pertolongan kamu kepadanya.” (HR al-Bukhari).

Begitu indahnya sikap memuliakan sesama Muslim juga ditunjukkan oleh sabda Rasulullah sebagaimana dituturkan oleh Abu Hurairah, “Hak Muslim atas Muslim yang lain ada lima: menjawab salam, mengunjungi yang sakit, mengiringi jenazah, memenuhi undangan dan mendoakan yang bersin.” (Muttafaq ‘alaih).
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah bersabda,
“Hak Muslim atas Muslim yang lain ada enam: jika bertemu, ucapkanlah salam; jika mengundang, penuhilah; jika meminta nasihat, berilah nasihat; jika bersin, ucapkanlah hamdallah dan doakanlah; jika sakit, jenguklah; jika meninggal, iringilah jenazahnya.” (HR Muslim).

Selain itu, sudah sepantasnya sesama Muslim saling menguatkan, sebagaimana sabda Baginda Rasulullah, “Mukmin dengan Mukmin yang lain itu seperti satu bangunan; satu sama lain saling menguatkan.” (Muttafaq ‘alaih). Beliau pun bersabda sebagaimana dituturkan oleh Nu’man bin Busyair, “Perumpamaan kaum Mukmin itu dalam kasih-sayang dan sikap lemah-lembut mereka adalah seperti satu tubuh; jika salah satu anggota tubuh itu merasakan sakit, maka seluruh bagian tubuh yang lain akan panas dan demam.” (Muttafaq ‘alaih).
Lebih dari sekadar saling menguatkan, sikap memuliakan sesama Muslim juga sejatinya tercermin dalam hal saling menyayangi sepenuh hati. Apalagi Baginda Rasulullah pernah bersabda, sebagaimana dituturkan oleh Jarir bin Abdillah. “Siapa saja yang tidak menyayangi manusia, Allah tidak akan menyayangi dirinya.” (Muttafq ‘alaih). Aisah ra pun menuturkan bahwa suatu ketika datang sekelompok Arab pedalaman kepada Baginda Rasulillah. Mereka lalu berkata, “Apakah kalian bisa menciumi anak-anak kalian?”
Beliau menjawab, “Betul.” Mereka berkata, “Akan tetapi, kami, demi Allah, tidak melakukannya.” Beliau kembali bersabda, “Apakah kalian ingin Allah mencabut sikap welas-asih dari kalbu-kalbu kalian?” (Muttafaq ‘alaih).

Bagaimana pula gambaran sikap memuliakan sesama Muslim tercermin dalam sabda Rasulullah sebagaimana dituturkan oleh Abu Hurairah, “Jika salah seorang di antara kalian mengimami orang-orang, hendaklah dia meringankan shalatnya karena sesungguhnya di antara mereka ada orang yang lemah, sakit dan tua. Jika salah seorang di antara kalian shalat sendirian, maka silakan dia memanjangkan shalatnya sesuka hatinya.” (Muttafaq ‘alaih). Abu Qatadah pun menuturkan bahwa Baginda Rasulullah pernah bersabda, “Sesungguhnya aku pernah mengimami shalat dan ingin memanjangkannya. Tiba-tiba aku mendengar tangisan bayi. Aku pun mempercepat shalatku karena khawatir tangisan bayi itu membebani ibunya.” (HR al-Bukhari). Sungguh, betapa indahnya jika sikap memuliakan sesama Muslim ini benar-benar selalu kita wujudkan dalam keseharian kita. Wama tawfiqi illa bilLah.