Assalamu'alaykum ^_^

Teruntuk Siapapun Yang Merindukan Kemuliaan & Kebangkitan ISLAM

Assalamu'alaykum Warahmatullah..

Selamat Datang
Semoga Bermanfaat

1/12/12

NEGARA KHILAFAH MAMPU MENGENTASKAN KEMISKINAN


Kemiskinan adalah fenomena yang begitu mudah dijumpai di mana-mana. Tak hanya di desa-desa, tapi juga di kota-kota. Di balik kemegahan gedung-gedung pencakar langit di Jakarta, misalnya, tidak terlalu sulit kita jumpai rumah-rumah kumuh berderet di bantaran sungai, atau para pengemis yang berkeliaran di perempatan-perempatan jalan. Menurut Badan Pusat Statistik (2010), angka kcmiskinan masih sangat tinggi mencapai 32,03 juta orang, walaupun pemerintah Indonesia mengklaim berhasil mengurangi angka kemiskinan menjadi 31,02 juta jiwa, akan tetapi kalau menggunakan data penerima raskin (beras untuk rakyat miskin) tahun 2010 mencapai 70 juta jiwa dan penerima layanan jamkesmas mencapai 76,4 juta jiwa.

Sementara dalam Skala internasional, kegagalan dan kerusakan yang disebabkan oleh sistem ekonomi kapitalis semakin nyata dan jelas, menurut Laporan Global Hunger Index (GHI) yang dibuat oleh International Food Policy Research Institute, menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2010 terdapat 1 milyar penduduk dunia yang mengalami kelaparan.

Kapitalisme: Akar Masalah Penyebab Kemiskinan

Banyak faktor yang membuat seseorang menjadi miskin, namun secara garis besar kemiskinan dapat disebabkan oleh tiga faktor utama. Pertama, kemiskinan alamiah, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh kondisi alami seseorang; misalnya cacat mental atau fisik, usia lanjut dan lain-lain. Kedua, kemiskinan kultural, kemiskinan yang disebabkan oleh rendahnva kualitas SDM akibat kultur masyarakat; misalnya rasa malas, tidak produktif, bergantung pada harta warisan, dan lain-lain. Ketiga, kemiskinan stuktural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh kesalahan sistem yang digunakan negara dalam mengatur urusan rakyat.

Dari tiga sebab utama tersebut, yang paling besar pengaruhnya adalah kemiskinan stuktural. Sebab, dampak kemiskinan yang ditimbulkan bisa sangat luas dalam masyarakat. Kemiskinan jenis inilah yang menggejala di berbagai negara dewasa ini. Tidak hanya di negara-negara scdang berkembang, tetapi juga di negara-negara maju. Kemiskinan struktural tcrsebut merupakan konsekuensi logis penerapan sistem ekonomi Kapitalisme yang rusak baik secara paradigma maupun konsep derivatif atau turunan dalam kebijakannya.

Secara paradigma kesalahan mendasar sistem ekonomi kapitalis adalah ketika menjadikan kelangkaan (scarcity) barang dan jasa sebagai problem ekonomi dan menyerahkan produksi, konsumsi dan distribusi kepada mekanisme pasar dengan peran negara yang minimalis. Sementara dalam konsep derivatifnya ekonomi kapitalis memunculkan adanya sektor non riil dalam perekonomian seperti perbankan ribawi, pasar modal, bursa saham, valas [pasar uang], dll) atas sektor riil (perdagangan dan jasa yang bersifat nyata). Sektor ekonomi non rill ini menjadi sumber utama pemicu krisis ekonomi dan moneter serta ketimpangan ekonomi di tengah-tengah masyarakat karena menyebabkan sektor rill tidak bergerak dan kekayaan hanya bertumpu pada kelompok kecil manusia.

Dalam satu hari, dana yang beredar dalam transaksi semu di pasar modal dan pasar uang dunia diperkirakan rata-rata sekitar 2-3 trilyun dolar AS, atau dalam satu tahun sekitar 700 trilyun dolar AS. Sebaliknva, arus perdagangan barang sccara internasional dalam satu tahunnya hanya berkisar 7 trilyun dolar AS. Jadi, arus uang 100 kali lebih cepat dibandingkan dengan arus barang (Republika, 18/8/2000).

Sistem Ekonomi Islam: Solusi untuk pengentasan kemiskinan

Salah satu cabang syariat terpenting yang saat ini banyak dilupakan adalah syariat tentang ekonomi. Syariat Islam memandang perkara ekonomi menjadi dua bagian yaitu ilmu ekonomi yang berhubungan dengan soal bagaimana suatu barang atau jasa diproduksi, misalnya teknik industri, manajemen atau pengembangan sumber daya baru. Islam tidak mengatur secara khusus tentang ilmu ekonomi; dan sistem ekonomi yang berhubungan dengan pengurusan soal pemuasan kebutuhan dasar tiap individu di dalam masyarakat serta upaya mewujudkan kemakmurannya. Dan ini adalah subyek dari sistem ekonomi Islam dan mewajibkan bagi setiap Muslim termasuk negara untuk terikat dengannya.

Sistem ekonomi Islam meliputi: konsep kepemilikan; penggunaan hak milik; dan distribusi kekayaan di antara individu. Dalam konsep kepemilikan, Islam membagi kepemilikan menjadi tiga, yaitu : milik pribadi, milik umum atau milik negara. Kepemilikan umum mencakup sumber alam seperti minyak bumi, tambang emas, perak, tembaga, dan lain-lain; benda-benda yang pembentukannya tidak mungkin dimiliki individu seperti masjid, jalan raya; juga benda-benda vital yang dibutuhkan dan dicari-cari oleh manusia dan memiliki jumlah kandungan (deposit) yang amat besar, misalnya sumber mata air. Dalam kasus Indonesia, seandainya Kepemilikan Umum ini dikelola oleh negara menurut Fahmi Amhar, negara akan mendapatkan dana sekitar 1.764 trilyun tiap tahun (Sumber http://famhar.multiply.com/journal/item/179).

Berdasarkan paradigma tersebut, maka Islam telah menetapkan politik ekonomi dan mekanisme ekonomi untuk mengentaskan kemiskinan dan menjamin kesejahteraan umat manusia.

Politik Ekonomi Islam

Politik ekonomi Islam seperti yang dijelaskan oleh Abdurahman al-Maliki (2001) dalam bukunya, As-Siyaasah al-Iqtishaadiyah al-Mutslaa (Politik Ekonomi Ideal) adalah jaminan pemenuhan atas pemuasan semua kebutuhan primer (sandang, pangan, dan papan) setiap orang serta pemenuhan kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kadar kemampuannya sebagai individu yang hidup dalam masyarakat tertentu yang memiliki
gaya hidup yang khas. Politik ekonomi Islam diterapkan oleh negara melalui mekanisme dan kebijakan APBN untuk menjamin kesejahteraan umat manusia baik untuk pemenuhan kebutuhan pokok individu maupun kebutuhan pokok masyarakat.

Pemenuhan kebutuhan pokok individu

Islam telah menjamin pemenuhan kebutuhan pokok pangan, sandang, dan papan, dengan mekanisme yang telah ditetapkan oleh syariat dengan strategi sebagai berikut :

1. Memerintahkan setiap kepala keluarga untuk bekerja.
Barang-barang kebutuhan pokok tidak mungkin diperoleh, kecuali manusia berusaha mencarinya. Islam mendorong manusia agar bekerja, mencari rezeki, dan berusaha. Bahkan, Islam telah menjadikan hukum mencari rezeki tersebut adalah fardhu. Banyak ayat dan hadits yang telah memberikan dorongan dalam mencari nafkah, diantaranya :
Di dalam ayat Alquran surat Al jumu'ah ayat 10, Allah SWT berfirman:
"...Maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung" (QS al-jumu'ah:10).
Banyak sekali hadits yang memotivasi seorang Muslim untuk bekerja diantaranya :
"Barang siapa pada malam hari merasakan kelelahan dari upaya ketrampilan kedua tangannya pada siang hari maka pada malam itu ia diampuni. " (HR Ahmad)

2. Negara wajib menciptakan lapangan kerja bagi rakyatnya, agar rakyat bisa bekerja dan berusaha.
Rasulullah SAW pernah memberi dua dirham kepada seseorang dan bersabda:
"Makanlah dengan satu dirham, dan sisanya, belikanlah kapak, lalu gunakanlah ia untuk bekerja.”

3. Islam Mewajibkan kepada kerabat dan mahram yang mampu untuk memberi nafkah yang tidak mampu.
(lihat QS 2:233) "Kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. 'Seorang tidak dibebani selain menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan ahli waris pun berkewajiban demikian... " (QS a]- Baqarah: 233).

4. Kewajiban negara (Baitul Maal) untuk memenuhi jika tidak mampu bekerja dan tidak ada ahli waris yang mampu menafkahinya.
Negara wajib memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya bagi yang tidak mampu bekerja dan tidak memiliki ahli waris baik dananya berasal dari harta zakat yang merupakan kewajiban syar'i, maupun harta lain yang ada di Baitul Maal.

Pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat

Pendidikan, kesehatan, dan keamanan adalah kebutuhan asasi dan harus dipenuhi oleh manusia dalam hidupnya. Dalam sistem Islam, kebutuhan jasa pendidikan, kesehatan, dan keamanan mewajibkan negara secara langsung memenuhi kepada setiap individu rakyat.

Dalil yang menunjukkan adalah tindakan Rasulullah SAW yang bertindak sebagai kepala negara, dalam bidang keamanan Rasululloh SAW memberikan keamanan kepada setiap warga negara (Muslim dan non Muslim/kafir dzimmi) sebagaimana sabdanya:
"Sesungguhnya aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan Laa ilaha illallahu Muhammadur Rasulullah. Apabila mereka telah melakukannya (masuk Islam atau tunduk pada aturan Islam), maka terpelihara olehku darah-darah mereka, harta-harta mereka, kecuali dengan jalan yang hak. Adapun hisabnya terserah kepada Allah" (HR Bukhari, Muslim, dan pemilik sunan yang empat).

Dalam masalah pendidikan Rasulullah SAW pernah menetapkan kebijakan terhadap tawanan perang Badar, apabila seorang tawanan telah mengajar 10 orang penduduk Madinah dalam hal baca dan tulis akan dibebaskan sebagai tawanan.

Sementara dalam masalah kesehatan Rasulullah SAW pernah membangun tempat pengobatan untuk orang-orang sakit dan membiayainya dengan harta dari Baitul Mal.

Keberhasilan negara khilafah dalam mengatasi kemiskinan

Solusi yang ditawarkan Islam dalam mengatasi kemiskinan, sebagaimana yang telah diuraikan di atas, bukan hanya pada tataran konsep semata. Perjalanan panjang sejarah kaum Muslim, membuktikan bahwa Solusi tersebut benar-benar dapat realisasikan. Yaitu ketika kaum Muslim hidup di bawah naungan Negara Khilafah yang menerapkan Islam secara kaffah.

Dalam kitab al-Amwaal karangan Abu Ubaidah, diceritakan bahwa Khalifah Umar bin Khathab pernah berkata kepada pegawainya yang bertugas membagikan shadaqah, “jika kamu memberikan, maka cukupkanlah," selanjutnya beliau berkata lagi, “Berilah mereka itu sedekah berulangkali sekalipun salah seorang di antara mereka memiliki seratus unta." Beliau menerapkan politik ekonomi yang memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan primer rakyat. Beliau mengawinkan kaum Muslim yang tidak mampu; membayar utang-utang mereka, dan memberikan biaya kepada para petani agar mereka menanami tanahnya.

Kondisi politik seperti ini terus berlangsung hingga masa Daulah Umayah di bawah pemerintahan Khahfah Umar bin Abdul Aziz. Pada saat itu, rakyat sudah sampai pada taraf hidup ketika mereka tidak memerlukan bantuan harta lagi. Pada tahun kedua masa kepemimpinannya, Umar bin Abdul Aziz menerima kelebihan uang Baitul Mal secara berlimpah dari gubernur Irak. Beliau lalu mengirim Surat kepada gubernur tersebut, 'Telitilah, barang siapa berutang, tidak berlebih-lebihan dan foya-foya, maka bayarlah utangnya". Dalam kesempatan lain, Umar bin Abdul Aziz memerintahkan pegawainya untuk berseru setiap hari di keru¬munan khalayak ramai, untuk mencukupi kebutuhannya masing-masing. “Wahai manusia! Adakah di antara kalian orang-orang yang miskin? Siapakah yang ingin kawin? Ke manakah anak-anak yatim?" Ternyata, tidak seorang pun datang memenuhi seruan tersebut.

Jaminan pemenuhan kebutuhan hidup ini, tidak hanya diberikan kepada kaum Muslim, tetapi juga kepada orang non Muslim yang menjadi warga Negara Khilafah. Orang-orang non Muslim mempunyai hak yang sama dengan orang Muslim, tanpa ada perbedaan. Sebagai contoh, dalam akad dzimmah yang ditulis oleh Khalid bin Walid untuk menduduk Hirah di Irak yang beragama Nasrani, disebutkan: "Saya tetapkan bagi mereka, orang yang lanjut usia yang sudah tidak mampu bekerja atau ditimpa suatu penyakit, atau tadinya kaya, kemudian jatuh miskin, sehingga teman-temannya dan para penganut agamanya memberi sedekah; maka saya membebeaskannya dari kewajiban membayar jizyah. Untuk selanjutnya dia beserta keluarga yang menjadi tanggungannya, menjadi tanggungan Baitul Mal kaum Muslim."

Bahkan Amerika Serikat yang saat ini banyak melakukan kejahatan terhadap kaum Muslimin, negara dan rakyatnya pernah dibantu oleh Kekhilafahan Ustmani, hal ini dapat dilihat Surat ucapan terima kasih dari pemerintah Amerika Serikat atas bantuan pangan yang dikirim khalifah ke sana yang sedang dilanda kelaparan (pasca perang dengan Inggris) abad ke-18.

Penutup

Demikianlah beberapa gambaran sejarah kaum Muslim, yang menunjukkan betapa Islam yang mereka terapkan ketika itu benar-benar membawa keberkahan dan kesejahteraan hidup. Bukan hanya bagi umat Muslim tapi juga bagi umat non Muslim yang hidup di bawah naungan Islam. Jika demikian halnya, masihkah umat ini tetap rela hidup tanpa Khilafah Islamiyyah?

[Arim Nasim]

No comments:

Post a Comment