”Saya masih banyak dosa. Rasanya belum pantas untuk berdakwah. Diri sendiri aja belum bener. Makanya saat ini saya ingin fokus memperbaiki diri sendiri saja dulu.”
Ini adalah salah satu paham menyesatkan yang menjadi alasan seseorang biasanya nolak bila diajak dakwah. Kalau saja semua orang berpendapat begitu, maka niscaya ajaran Islam ini hanya sampai kepada segelintir orang seperti Abu Bakar, Khadijah, Ali… karena semua orang akan merasa gak bener. Bukankah hanya para nabi yang terjamin tanpa dosa? Maka orang sekaliber Abu Bakar dan para sahabat terkemuka lainnya pun akan tidak pede untuk menyampaikan Islam, karena merasa mereka belum pantas dan belum sempurna. Justru untuk mencapai derajat kesempurnaan itulah kita mesti memilih dakwah. Karena tanpa dakwah, Islam anda belum lengkap. Dakwah adalah bagian dari Islam. Dakwah wajib, maka belum sempurna islam seseorang sebelum dia melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar.
Berlumur dosa? Itu hal yang biasa dan manusiawi. Mau memperbaiki diri dulu….? Nah, justru dengan dakwah, kita sekaligus berusaha memperbaiki diri. Kan malu ya bilang pacaran haram misalnya sementara kita sedang asyik bergandengan tangan dengan wanita yang bukan muhrim. Dakwah ini…meng-upgrade kita menjadi manusia yang lebih baik.
Islam agama dakwah. Dengan dakwahlah kita saat ini bisa menikmati keindahannya. Berkat dakwah yang dilakukan dengan kerja keras para pendahulu kitalah saat ini kita bisa selamat dari kekafiran dan berada dalam naungan iman.
Bisa dibayangkan, andai mereka melalaikan dakwah bisa jadi saat ini kita masih dalam kehidupan kafir yang primitif. Bisa jadi kita masih pakai koteka, menari tarian hujan, meminta kepada dukun, atau menyembah berhala. Tapi berkat kesadaran dakwah para pendahulu kita… menaiki gunung, menuruni lembah, berpeluh keringat meninggalkan sanak keluarga, bertualang dari satu kampung ke kampung lain, berlayar dari satu samudra ke samudra yang lain… maka kita bisa pula mengecap nikmatnya hidayah ini.
Ajaran ini, dari sebuah daerah padang pasir nun jauh di sana, yang sebagian besar dari kita saja belum pernah melihatnya, dari sebuah kurun waktu yang berabad-abad lamanya… namun uniknya bisa sampai di sini, saat ini…. di bumi kepulauan hijau, di abad digital… semua karena kegigihan dakwah.
Dakwah adalah sebuah proses. Proses untuk merubah diri menjadi lebih baik. Bukan hasil! Artinya anda tidak mesti menjadi sempurna terlebih dahulu untuk berdakwah. Justru sebaliknya, proses menuju kesempurnaan itu dijalani dengan dakwah.
Seorang dai bukan berarti tanpa cela. Ketika anda menyampaikan sebuah kebenaran, itu justru amunisi bagi anda untuk melaksanakan kebenaran tersebut. Ketika anda menegur dari sebuah kemunkaran. Itu adalah cambuk bagi anda untuk meninggalkannya.
Dakwah adalah pembelajaran. Maka bagaimana mungkin anda meraih kesempurnaah tanpa proses pembelajaran itu?
Assalamu'alaykum ^_^
Teruntuk Siapapun Yang Merindukan Kemuliaan & Kebangkitan ISLAM
Assalamu'alaykum Warahmatullah..
Selamat Datang
Semoga Bermanfaat
Assalamu'alaykum Warahmatullah..
Selamat Datang
Semoga Bermanfaat
5/29/11
5/19/11
Adab-Adab Melamar Pinangan
ADAB-ADAB MELAMAR PINANGAN
by Komunitas Rindu Syariah & Khilafah on Wednesday, April 20, 2011 at 5:10pm
Pelamaran adalah semua perbuatan yang dilakukan yang bertujuan untuk melangsungkan pernikahan. Karenanya, sebelum terjun membicarakan tentang adab-adab melamar, maka ada baiknya jika kita menyebutkan beberapa dalil dari Al-Qur`an dan Sunnah yang menunjukkan keutamaan pernikahan yang sekaligus menunjukkan keutamaan melamar, karena tidak mungkin ada pernikahan kecuali didahului oleh proses pelamaran.
Ada beberapa dalil dari Al-Qur`an yang menunjukkan keutamaan pernikahan, di antaranya:
* Surah Ar-Rum ayat 21.
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (QS. Ar-Rum: 21)
Surah Ar-Ra’d ayat 38.
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِّن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجاً وَذُرِّيَّةً وَمَا كَانَ لِرَسُولٍ أَن يَأْتِيَ بِآيَةٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللّهِ لِكُلِّ أَجَلٍ كِتَابٌ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mu`jizat) melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu)”.
(QS. Ar-Ra’d: 38)
* Surah Ali ‘Imran ayat 38.
هُنَالِكَ دَعَا زَكَرِيَّا رَبَّهُ قَالَ رَبِّ هَبْ لِي مِن لَّدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاء
“Di sanalah Zakariya mendo`a kepada Tuhannya seraya berkata: “Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar do`a”. (QS. Ali-‘Imran: 38)
* Surah Al-Furqan ayat 54.
وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ مِنَ الْمَاء بَشَراً فَجَعَلَهُ نَسَباً وَصِهْراً وَكَانَ رَبُّكَ قَدِيراً
“Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa”. (QS. Al-Furqan: 54)
Adapun sabda Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, maka telah datang dari beberapa orang sahabat, di antaranya:
1. Hadits Anas bin Malik -radhiallahu ‘anhu-.
Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda kepada tiga orang sahabat yang mau memfokuskan untuk beribadah dan meninggalkan hal-hal yang dihalalkan, di antaranya adalah pernikahan:
“Barangsiapa yang membenci sunnahku maka bukan termasuk golonganku”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)
2. Hadits ‘Abdullah bin Mas’ud -radhiallahu ‘anhu-. Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
“Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian yang sudah memiliki kemampuan maka hendaknya dia menikah, karena hal tersebut lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu maka hendaknya dia berpuasa karena puasa adalah benteng baginya”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)
Beberapa perkara penting sebelum pelamaran
Sebelum melakukan pelamaran, seorang lelaki hendaknya memperhatikan beberapa perkara berikut sebelum menentukan wanita mana yang hendak dia lamar. Hal ini selain berguna untuk melancarkan proses pelamaran nantinya, juga bisa mencegah terjadinya perkara-perkara yang tidak diinginkan antara kedua belah pihak.
Berikut penyebutan perkara-perkara tersebut:
1. Tidak boleh melamar wanita yang telah lebih dahulu dilamar oleh saudaranya sesama muslim.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-:
“Tidak boleh seorang lelaki melamar di atas lamaran saudaranya”1.
Dalam sebuah riwayat:
“Kecuali jika pelamar pertama meninggalkan lamarannya atau dia (pelamar pertama) mengizinkan dirinya”2.
Batasan dari larangan ini adalah kapan diketahui bahwa pelamar pertama telah meridhoi (baca: setuju dengan) wanita tersebut dan demikian pula sebaliknya maka tidak boleh bagi orang lain untuk melamar wanita tersebut. Jika tidak diketahui hal itu atau bahkan diketahui bahwa salah satu pihak tidak meridhoi pihak lainnya maka boleh ketika itu orang lain untuk melamar wanita tersebut. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada sahabiyah Fathimah bintu Qois, tatkala dia sudah lepas dari ‘iddah thalaqnya, maka Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm bersamaan melamarnya3.
Catatan: Sebagian ulama membolehkan seseorang melamar wanita yang telah dilamar jika pelamar pertama adalah orang fasik atau ahli bid’ah, wallahu A’lam.
2. Hendaknya masing-masing baik pihak pria maupun wanita memperhatikan hal-hal berikut:
(a). Kesholehan. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
“Wanita dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya, maka pilihlah wanita yang bagus agamanya”.
Karenanya, hendaknya dia memilih wanita yang taat kepada Allah dan bisa menjaga dirinya dan harta suaminya baik ketika suaminya hadir maupun tidak. Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda tatkala beliau ditanya tentang wanita yang paling baik:
“Wanita yang taat jika disuruh, menyenangkan jika dilihat, serta yang menjaga dirinya dan harta suaminya”4.
Bahkan Allah -Ta’ala- berfirman:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّهُ وَاللاَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُواْ عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيّاً كَبِيراً
“
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta`at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta`atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”. (QS. An-Nisa`: 34)
Qonitat, Sufyan Ats-Tsaury -rahimahullah- berkata, “Yakni wanita-wanita yang mentaati Allah dan mentaati suami-suami mereka”5.
Dan Imam Qotadah bin Di’amah berkata menafsirkan “hafizhotun …”,
“Wanita-wanita yang menjaga hak-hak Allah yang Allah bebankan atas mereka serta wanita-wanita yang menjaga (dirinya) ketika suaminya tidak ada di sisinya”6.
Karenanya pula dilarang menikah dengan orang yang yang tidak menjaga kehormatannya, yang jika pasangannya tidak ada di sisinya dia tidak bisa menjaga kehormatannya, semacam pezina (lelaki dan wanita) atau wanita yang memiliki PIL (pria idaman lain) dan sebaliknya. Imam Al-Hasan Al-Bashry -rahimahullah- berkata:
“Tidak halal bagi seorang muslim (untuk menikahi) al-musafahah7 dan dzati khadanin 8″9.
‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash -radhiallahu ‘anhuma- berkata:
“Sesungguhnya Abu Martsad Al-Ghanawy -radhiallahu ‘anhu- datang menemui Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- meminta izin kepada beliau untuk menikahi seorang wanita pezina yang dulunya wanita itu adalah temannya saat jahiliyah yang bernama ‘Anaq. Maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- diam lalu turunlah firman Allah – Ta’ala-, ["Pezina wanita, tidak ada yang boleh menikahinya kecuali pezina laki-laki atau musyrik laki-laki"10]. Maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- memanggilnya lalu membacakan ayat itu kepadanya dan beliau bersabda, ["Jangan kamu nikahi dia"]11.
Demikian pula dibenci menikahi orang yang fasik atau ahli bid’ah, berdasarkan keumuman sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dalam hadits Abu Hurairah di atas.
(b). Subur lagi penyayang, karenanya dibenci menikah dengan lelaki atau wanita yang mandul. Dari hadits Ma’qil bin Yasar -radhiallahu ‘anhu-, beliau berkata:
“Pernah datang seorang lelaki kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- lalu berkata,”Saya menyenangi seorang wanita yang memiliki keturunan yang baik lagi cantik hanya saja dia tidak melahirkan (mandul), apakah saya boleh menikahinya?”, beliau menjawab, ["tidak boleh"]. Kemudian orang ini datang untuk kedua kalinya kepada beliau (menanyakan soal yang sama) maka beliau melarangnya. Kemudian dia datang untuk ketiga kalinya, maka beliau bersabda: ["Nikahilah wanita-wanita yang penyayang lagi subur, karena sesungguhnya saya berbangga dengan banyaknya jumlah kalian pada Hari Kiamat"]12.
An-Nasa`iy -rahimahullah- memberikan judul bab untuk hadits ini dengan ucapannya, “Bab: Makruhnya menikahi orang yang mandul”.
(c). Hendaknya memilih wanita yang masih perawan. Hal ini berdasarkan Jabir bin ‘Abdillah -radhiallahu ‘anhu- bahwasanya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bertanya kepadanya, “Wanita apa yang kamu nikahi?”, maka dia menjawab, “Saya menikahi seorang janda”, maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
“Tidakkah kamu menikahi wanita yang perawan?! yang kamu bisa bermain dengannya dan dia bisa bermain denganmu?!”13.
d. ???
3. Hendaknya wali dari seorang wanita menikahkan walinya dengan lelaki yang sebaya dengannya, maka janganlah dia menikahkan wanita yang masih muda dengan lelaki yang sudah berumur. Dari Buraidah ibnul Hushoib -radhiallahu ‘anhu- beliau berkata, “Abu Bakr dan ‘Umar -radhiallahu ‘anhuma- pernah melamar Fathimah (anak Nabi), maka Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
“Sesungguhnya dia masih muda”.
Kemudian Fathimah dilamar oleh ‘Ali maka beliau (Nabi) menikahkannya”14.
4. Boleh bagi seorang lelaki untuk menawarkan putrinya atau saudarinya atau wanita yang ada di bawah perwaliannya kepada seorang lelaki yang sholih.
Akan datang keterangannya di awal bab setelah ini.
5. Hendaknya wali seorang wanita menikahkan wanita yang dia wakili dengan lelaki yang baik dan tampan, dan dia tidak menikahkannya dengan orang yang jelek kecuali dengan seizin wanita tersebut. Imam Ibnul Jauzy -rahimahullah- berkata,
“Disunnahkan bagi orang yang akan menikahkan putrinya untuk mencari pemuda yang indah rupanya, karena wanita juga menyenangi apa yang disenangi oleh lelaki (berupa keindahan wajahpent.)” 15.
Demikian pula dia jangan menikahkan putrinya kepada orang yang diduga kuat tidak akan memenuhi kewajibannya berupa memberi nafkah kepada keluarganya. Sebagaimana ketidaksetujuan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- tatkala Fathimah bintu Qois dilamar oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan:
“Adapun Mu’awiyah, maka dia adalah lelaki yang sangat miskin lagi tidak mempunyai harta sama sekali”.
Demikian halnya jika yang melamar anaknya adalah seorang yang dianggap tidak baik pergaulannya dalam berkeluarga, sebagaimana komentar Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- terhadap Abu Jahm yang juga melamar Fathimah bintu Qois:
“Adapun Abu Jahm, maka dia adalah orang yang sering memukuli istrinya”16.
6.
1 HR. Al-Bukhary (3/373-Al-Fath)
2 HR. Al-Bukhary (3/373- Al-Fath) dari hadits Ibnu ‘Umar -radhiallahu ‘anhuma-
3 Kisahnya diriwayatkan oleh Imam Muslim (3/1114) dan (4/2261).
4 Hadits shohih riwayat Imam Ahmad (4/341).
5 Riwayat Ibnu Jarir dalam Tafsirnya (5/38) dengan sanad yang shohih.
6 Riwayat Ibnu Jarir dalam Tafsirnya (5/39) dengan sanad yang shohih.
7 Al-Musafahah adalah pezina wanita.
8 Dzatul Khadanin adalah wanita yang mempunyai pacar atau teman dekat (TTM).
9 Dikeluarkan oleh Sa’id bin Manshur dalam As-Sunan (5/8) dengan sanad yang shohih.
10 QS. An-Nur ayat 3
11 Diriwayatkan oleh Imam Empat kecuali Ibnu Majah dengan sanad yang hasan.
12 HR. Abu Daud (2050) dan An-Nasa`iy (6/65).
13 HR. Al-Bukhary (3/240) dan Muslim (2/1078)
14 HR. An-Nasa`iy (6/62) dengan sanad yang hasan.
15 Ahkamun Nisa` hal. 203. Dan telah diriwayatkan sebuah atsar dari ‘Umar bin Khoththob dalam masalah ini, hanya saja dalam sanadnya ada kelemahan.
16 Hadits ini dan sebelumnya dari hadits Fathimah bintu Qois riwayat Muslim (2/1114) dan (4/2261).
Sumber :http://jihadsabili.wordpress.com/2010/12/19/adab-adab-melamar-pinangan/
by Komunitas Rindu Syariah & Khilafah on Wednesday, April 20, 2011 at 5:10pm
Pelamaran adalah semua perbuatan yang dilakukan yang bertujuan untuk melangsungkan pernikahan. Karenanya, sebelum terjun membicarakan tentang adab-adab melamar, maka ada baiknya jika kita menyebutkan beberapa dalil dari Al-Qur`an dan Sunnah yang menunjukkan keutamaan pernikahan yang sekaligus menunjukkan keutamaan melamar, karena tidak mungkin ada pernikahan kecuali didahului oleh proses pelamaran.
Ada beberapa dalil dari Al-Qur`an yang menunjukkan keutamaan pernikahan, di antaranya:
* Surah Ar-Rum ayat 21.
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (QS. Ar-Rum: 21)
Surah Ar-Ra’d ayat 38.
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِّن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجاً وَذُرِّيَّةً وَمَا كَانَ لِرَسُولٍ أَن يَأْتِيَ بِآيَةٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللّهِ لِكُلِّ أَجَلٍ كِتَابٌ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mu`jizat) melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu)”.
(QS. Ar-Ra’d: 38)
* Surah Ali ‘Imran ayat 38.
هُنَالِكَ دَعَا زَكَرِيَّا رَبَّهُ قَالَ رَبِّ هَبْ لِي مِن لَّدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاء
“Di sanalah Zakariya mendo`a kepada Tuhannya seraya berkata: “Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar do`a”. (QS. Ali-‘Imran: 38)
* Surah Al-Furqan ayat 54.
وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ مِنَ الْمَاء بَشَراً فَجَعَلَهُ نَسَباً وَصِهْراً وَكَانَ رَبُّكَ قَدِيراً
“Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa”. (QS. Al-Furqan: 54)
Adapun sabda Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, maka telah datang dari beberapa orang sahabat, di antaranya:
1. Hadits Anas bin Malik -radhiallahu ‘anhu-.
Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda kepada tiga orang sahabat yang mau memfokuskan untuk beribadah dan meninggalkan hal-hal yang dihalalkan, di antaranya adalah pernikahan:
“Barangsiapa yang membenci sunnahku maka bukan termasuk golonganku”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)
2. Hadits ‘Abdullah bin Mas’ud -radhiallahu ‘anhu-. Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
“Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian yang sudah memiliki kemampuan maka hendaknya dia menikah, karena hal tersebut lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu maka hendaknya dia berpuasa karena puasa adalah benteng baginya”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)
Beberapa perkara penting sebelum pelamaran
Sebelum melakukan pelamaran, seorang lelaki hendaknya memperhatikan beberapa perkara berikut sebelum menentukan wanita mana yang hendak dia lamar. Hal ini selain berguna untuk melancarkan proses pelamaran nantinya, juga bisa mencegah terjadinya perkara-perkara yang tidak diinginkan antara kedua belah pihak.
Berikut penyebutan perkara-perkara tersebut:
1. Tidak boleh melamar wanita yang telah lebih dahulu dilamar oleh saudaranya sesama muslim.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-:
“Tidak boleh seorang lelaki melamar di atas lamaran saudaranya”1.
Dalam sebuah riwayat:
“Kecuali jika pelamar pertama meninggalkan lamarannya atau dia (pelamar pertama) mengizinkan dirinya”2.
Batasan dari larangan ini adalah kapan diketahui bahwa pelamar pertama telah meridhoi (baca: setuju dengan) wanita tersebut dan demikian pula sebaliknya maka tidak boleh bagi orang lain untuk melamar wanita tersebut. Jika tidak diketahui hal itu atau bahkan diketahui bahwa salah satu pihak tidak meridhoi pihak lainnya maka boleh ketika itu orang lain untuk melamar wanita tersebut. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada sahabiyah Fathimah bintu Qois, tatkala dia sudah lepas dari ‘iddah thalaqnya, maka Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm bersamaan melamarnya3.
Catatan: Sebagian ulama membolehkan seseorang melamar wanita yang telah dilamar jika pelamar pertama adalah orang fasik atau ahli bid’ah, wallahu A’lam.
2. Hendaknya masing-masing baik pihak pria maupun wanita memperhatikan hal-hal berikut:
(a). Kesholehan. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
“Wanita dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya, maka pilihlah wanita yang bagus agamanya”.
Karenanya, hendaknya dia memilih wanita yang taat kepada Allah dan bisa menjaga dirinya dan harta suaminya baik ketika suaminya hadir maupun tidak. Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda tatkala beliau ditanya tentang wanita yang paling baik:
“Wanita yang taat jika disuruh, menyenangkan jika dilihat, serta yang menjaga dirinya dan harta suaminya”4.
Bahkan Allah -Ta’ala- berfirman:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّهُ وَاللاَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُواْ عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيّاً كَبِيراً
“
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta`at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta`atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”. (QS. An-Nisa`: 34)
Qonitat, Sufyan Ats-Tsaury -rahimahullah- berkata, “Yakni wanita-wanita yang mentaati Allah dan mentaati suami-suami mereka”5.
Dan Imam Qotadah bin Di’amah berkata menafsirkan “hafizhotun …”,
“Wanita-wanita yang menjaga hak-hak Allah yang Allah bebankan atas mereka serta wanita-wanita yang menjaga (dirinya) ketika suaminya tidak ada di sisinya”6.
Karenanya pula dilarang menikah dengan orang yang yang tidak menjaga kehormatannya, yang jika pasangannya tidak ada di sisinya dia tidak bisa menjaga kehormatannya, semacam pezina (lelaki dan wanita) atau wanita yang memiliki PIL (pria idaman lain) dan sebaliknya. Imam Al-Hasan Al-Bashry -rahimahullah- berkata:
“Tidak halal bagi seorang muslim (untuk menikahi) al-musafahah7 dan dzati khadanin 8″9.
‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash -radhiallahu ‘anhuma- berkata:
“Sesungguhnya Abu Martsad Al-Ghanawy -radhiallahu ‘anhu- datang menemui Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- meminta izin kepada beliau untuk menikahi seorang wanita pezina yang dulunya wanita itu adalah temannya saat jahiliyah yang bernama ‘Anaq. Maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- diam lalu turunlah firman Allah – Ta’ala-, ["Pezina wanita, tidak ada yang boleh menikahinya kecuali pezina laki-laki atau musyrik laki-laki"10]. Maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- memanggilnya lalu membacakan ayat itu kepadanya dan beliau bersabda, ["Jangan kamu nikahi dia"]11.
Demikian pula dibenci menikahi orang yang fasik atau ahli bid’ah, berdasarkan keumuman sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dalam hadits Abu Hurairah di atas.
(b). Subur lagi penyayang, karenanya dibenci menikah dengan lelaki atau wanita yang mandul. Dari hadits Ma’qil bin Yasar -radhiallahu ‘anhu-, beliau berkata:
“Pernah datang seorang lelaki kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- lalu berkata,”Saya menyenangi seorang wanita yang memiliki keturunan yang baik lagi cantik hanya saja dia tidak melahirkan (mandul), apakah saya boleh menikahinya?”, beliau menjawab, ["tidak boleh"]. Kemudian orang ini datang untuk kedua kalinya kepada beliau (menanyakan soal yang sama) maka beliau melarangnya. Kemudian dia datang untuk ketiga kalinya, maka beliau bersabda: ["Nikahilah wanita-wanita yang penyayang lagi subur, karena sesungguhnya saya berbangga dengan banyaknya jumlah kalian pada Hari Kiamat"]12.
An-Nasa`iy -rahimahullah- memberikan judul bab untuk hadits ini dengan ucapannya, “Bab: Makruhnya menikahi orang yang mandul”.
(c). Hendaknya memilih wanita yang masih perawan. Hal ini berdasarkan Jabir bin ‘Abdillah -radhiallahu ‘anhu- bahwasanya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bertanya kepadanya, “Wanita apa yang kamu nikahi?”, maka dia menjawab, “Saya menikahi seorang janda”, maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
“Tidakkah kamu menikahi wanita yang perawan?! yang kamu bisa bermain dengannya dan dia bisa bermain denganmu?!”13.
d. ???
3. Hendaknya wali dari seorang wanita menikahkan walinya dengan lelaki yang sebaya dengannya, maka janganlah dia menikahkan wanita yang masih muda dengan lelaki yang sudah berumur. Dari Buraidah ibnul Hushoib -radhiallahu ‘anhu- beliau berkata, “Abu Bakr dan ‘Umar -radhiallahu ‘anhuma- pernah melamar Fathimah (anak Nabi), maka Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
“Sesungguhnya dia masih muda”.
Kemudian Fathimah dilamar oleh ‘Ali maka beliau (Nabi) menikahkannya”14.
4. Boleh bagi seorang lelaki untuk menawarkan putrinya atau saudarinya atau wanita yang ada di bawah perwaliannya kepada seorang lelaki yang sholih.
Akan datang keterangannya di awal bab setelah ini.
5. Hendaknya wali seorang wanita menikahkan wanita yang dia wakili dengan lelaki yang baik dan tampan, dan dia tidak menikahkannya dengan orang yang jelek kecuali dengan seizin wanita tersebut. Imam Ibnul Jauzy -rahimahullah- berkata,
“Disunnahkan bagi orang yang akan menikahkan putrinya untuk mencari pemuda yang indah rupanya, karena wanita juga menyenangi apa yang disenangi oleh lelaki (berupa keindahan wajahpent.)” 15.
Demikian pula dia jangan menikahkan putrinya kepada orang yang diduga kuat tidak akan memenuhi kewajibannya berupa memberi nafkah kepada keluarganya. Sebagaimana ketidaksetujuan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- tatkala Fathimah bintu Qois dilamar oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan:
“Adapun Mu’awiyah, maka dia adalah lelaki yang sangat miskin lagi tidak mempunyai harta sama sekali”.
Demikian halnya jika yang melamar anaknya adalah seorang yang dianggap tidak baik pergaulannya dalam berkeluarga, sebagaimana komentar Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- terhadap Abu Jahm yang juga melamar Fathimah bintu Qois:
“Adapun Abu Jahm, maka dia adalah orang yang sering memukuli istrinya”16.
6.
1 HR. Al-Bukhary (3/373-Al-Fath)
2 HR. Al-Bukhary (3/373- Al-Fath) dari hadits Ibnu ‘Umar -radhiallahu ‘anhuma-
3 Kisahnya diriwayatkan oleh Imam Muslim (3/1114) dan (4/2261).
4 Hadits shohih riwayat Imam Ahmad (4/341).
5 Riwayat Ibnu Jarir dalam Tafsirnya (5/38) dengan sanad yang shohih.
6 Riwayat Ibnu Jarir dalam Tafsirnya (5/39) dengan sanad yang shohih.
7 Al-Musafahah adalah pezina wanita.
8 Dzatul Khadanin adalah wanita yang mempunyai pacar atau teman dekat (TTM).
9 Dikeluarkan oleh Sa’id bin Manshur dalam As-Sunan (5/8) dengan sanad yang shohih.
10 QS. An-Nur ayat 3
11 Diriwayatkan oleh Imam Empat kecuali Ibnu Majah dengan sanad yang hasan.
12 HR. Abu Daud (2050) dan An-Nasa`iy (6/65).
13 HR. Al-Bukhary (3/240) dan Muslim (2/1078)
14 HR. An-Nasa`iy (6/62) dengan sanad yang hasan.
15 Ahkamun Nisa` hal. 203. Dan telah diriwayatkan sebuah atsar dari ‘Umar bin Khoththob dalam masalah ini, hanya saja dalam sanadnya ada kelemahan.
16 Hadits ini dan sebelumnya dari hadits Fathimah bintu Qois riwayat Muslim (2/1114) dan (4/2261).
Sumber :http://jihadsabili.wordpress.com/2010/12/19/adab-adab-melamar-pinangan/
Frofil Perempuan Mulia
Oleh : Kholda Naajiyah
Bagaimanakah profil perempuan itu? Lemah lembut, halus budi bahasanya, banyak di rumah,
banyak anak, suka memasak, menjahit atau berkebun, patuh pada suami, pemalu, penurut, lebih pasrah, tidak banyak mengeluh. Ah, itu dulu. Sekarang, tidak banyak perempuan seperti itu. Yang sebaliknya, banyak. Perempuan kasar, pembangkang, pemberontak, banyak mengeluh, materialistik, selalu menuntut, tidak punya malu, dan juga jahat. Perempuan bahkan menjadi "ratu tega": tega mengaborsi janin, membuang orok, membunuh anak kandung, mengajak anak bunuh diri, menjual anak, membunuh suami, menipu, mengonsumsi narkoba, bahkan merampok.
Perempuan masa kini juga bukan perempuan yang pemalu. Sekarang mereka sangat pemberani. Berani menampakkan aurat, pergi jauh tanpa ditemani suami/mahram, membeberkan aib sendiri, tak malu menonjolkan diri, juga tak tabu membicarakan masalah intim.
Lalu, perempuan masa kini juga sangat kuat dan perkasa. Lihat saja, setiap kali peringatan Hari Kartini seperti April lalu, profil perempuan yang ditunjukkan sebagai ikon keberhasilan atas kemandirian dan kesetaraan perempuan adalah: penarik becak wanita, tukang ojek wanita, sopir taksi wanita, petinju wanita dan sejenisnya. Duh, begitukah profil perempuan modern? Itukah yang dicita-citakan kaum hawa?
Perempuan Sekuler
Sosok perempuan memang sudah mengalami pergeseran sangat tajam. Hal itu terjadi sejak arus emansipasi dihembuskan. Perempuan didorong misi untuk mengejar peran sama persis dengan laki-laki, bahkan kalau bisa melampaui. Paradigma kesetaraan gender itu dilahirkan oleh ideologi sekuler, yang menganggap agama sebagai faktor penghambat kemajuan perempuan.
Padahal, justru dengan mengajarkan paham kebebasan dan materialisme, perempuan terbelok jauh dari fitrahnya. Terjadi dehumanisasi, eksploitasi dan pelecehan terhadap perempuan. Perempuan sekulerjatuh dalam kerendahan harkat dan martabat. Harga dirinya hanya diukur dari penampilan fisik, tinggi dan berat badan, warna kulit, pakaian yang dikenakan, merek sepatu atau tasnya, serta jabatannya di ranah publik. Lahirlah perempuan yang sejatinya menderita lahir dan batin.
Sosok perempuan sekuler saat ini tak ubahnya seperti perempuan di Barat yang memang lebih dulu menerapkan sekulerisme. Di sana, perempuan memang sangat liberal. Mereka berhak menuntut siapa saja yang dikehendakinya, termasuk meninggalkan kodrat keperempuanannya. Namun, tak sedikit masyarakat di Barat sadar dan mulai mengembalikan perempuan kepada fitrahnya. Gerakan untuk "menggiring" perempuan kembali ke rumah, direspons positif berbagai elemen masyarakat, termasuk di Amerika Serikat. Ini setelah meluasnya problem-problem sosial gara-gara perempuan bersaing dengan laki-laki di ranah publik. seperti tingginya pengangguran (laki-laki), perceraian, perselingkuhan, dan single
parent.
Sungguh bodoh jika peradaban sampah di Barat, yang sudah terbukti usang dan rusak, masih juga disanjung sebagai sistem terbaik di negara kita. Semestinya perempuan pintar tidak mau dirinya dipoles menjadi perempuan sekuler.
Perempuan Islam
Bersyukurlah, sebagian perempuan Muslim masih eling (sadar, red) dan menjalani hidup dengan nilai-nilai Islam. Masih banyak Muslimah yang bangga menjalani profesi ibu rumah tangga, melahirkan banyak generasi penerus, menyibukkan diri mendidiknya menjadi anak shalih.
Memang, berkiprah di ranah publik tidak dilarang. Bahkan, di antara para Muslimah masa kini, mereka juga berkiprah untuk masyarakat. Ada yang mengabdikan ilmunya untuk mencerdaskan kaum perempuan, mendakwahi dengan kajian fikih-fikih perempuan, menggugah perempuan agar menjadi peletak dasar perubahan menuju masyarakat islami.
Semua itu karena mereka paham Islam dan membersihkan diri dari nilai-nilai sekulerisme. Perempuan mulia tidak diukur dari penampilan fisik, pakaian dan asesorisnya. Perempuan mulia tidak materialistis, tapi juga tidak menderita karena kekurangan harta. Perempuan Islam tidak diperkenankan menjalani profesi yang merendahkan harkat dan martabatnya. Perempuan mulia menyibukkan diri dengan ibadah menuju ketakwaan karena itulah bekal utama dalam menjalani kehidupan.
Islam benar-benar dijadikan pandangan hidup. Sebab hanya Islamlah yang mengajarkan segala kebaikan. Jadi, jika ada perempuan berhati lembut, berkasih sayang dan penuh empati, sudah pasti mereka Muslimah taat. Jika ada Muslimah kaya yang juga gemar membantu sesama, itu bukan karena ajaran sekulerisme, melainkan Islam. Karena dalam Islam, sesama Muslim adalah bersaudara. Muslimah yakin, bersedekah bukan mengurangi harta, melainkan malah membuka pintu rezeki. Jika ada perempuan miskin tidak putus asa, namun tetap berharap pada rezeki dari-Nya, itu juga buah ketakwaan, bukan hasil didikan sekulerisme. Sebab Islam mengajarkan tawakal, sementara sekulerismejustru mengajak pada keputusasaan.
Dengan sikap mental yang mulia, sejarah mencatat, perempuan di masa khilafah mengalami kemajuan luar biasa, meski tanpa capek-capek menyetarakan perannya. Terutama di bidang ilmu, para Muslimah banyak yang menjadi kaum terpelajar. Tak sedikit orang Barat yang mengagumi kemuliaan para Muslimah. Jangan heran bila saat ini, banyak perempuan kafir Barat masuk Islam karena terpesona pada perlindungan Islam terhadap harkat dan martabat perempuan. Padahal itu hanya secuil yang diaplikasikan dari nilai-nilai Islam oleh para Muslimah masa kini, belum kaffah sebagaimana jika khilafah tegak.
Ya, jika khilafah menerapkan seluruh aspek syariah Islam, niscaya kemuliaan Muslimah akan semakin tampak nyata. Sebab hanya khilafahlah yang memuliakan perempuan. Sayang, profil perempuan mulia seperti ini tidak banyak diungkap.
Kini, saatnya mengembalikan harkat dan martabat perempuan, meluruskan kembali ke rel yang benar, mengarahkan kembali pada kodratnya. Dan itu hanya terwujud jika perempuan hidup di bawah naungan khilafah. Sejatinya, khilafah bisa diwujudkan.Tentu,jika perempuan pun ikut memperjuangkannya.
Bagaimanakah profil perempuan itu? Lemah lembut, halus budi bahasanya, banyak di rumah,
banyak anak, suka memasak, menjahit atau berkebun, patuh pada suami, pemalu, penurut, lebih pasrah, tidak banyak mengeluh. Ah, itu dulu. Sekarang, tidak banyak perempuan seperti itu. Yang sebaliknya, banyak. Perempuan kasar, pembangkang, pemberontak, banyak mengeluh, materialistik, selalu menuntut, tidak punya malu, dan juga jahat. Perempuan bahkan menjadi "ratu tega": tega mengaborsi janin, membuang orok, membunuh anak kandung, mengajak anak bunuh diri, menjual anak, membunuh suami, menipu, mengonsumsi narkoba, bahkan merampok.
Perempuan masa kini juga bukan perempuan yang pemalu. Sekarang mereka sangat pemberani. Berani menampakkan aurat, pergi jauh tanpa ditemani suami/mahram, membeberkan aib sendiri, tak malu menonjolkan diri, juga tak tabu membicarakan masalah intim.
Lalu, perempuan masa kini juga sangat kuat dan perkasa. Lihat saja, setiap kali peringatan Hari Kartini seperti April lalu, profil perempuan yang ditunjukkan sebagai ikon keberhasilan atas kemandirian dan kesetaraan perempuan adalah: penarik becak wanita, tukang ojek wanita, sopir taksi wanita, petinju wanita dan sejenisnya. Duh, begitukah profil perempuan modern? Itukah yang dicita-citakan kaum hawa?
Perempuan Sekuler
Sosok perempuan memang sudah mengalami pergeseran sangat tajam. Hal itu terjadi sejak arus emansipasi dihembuskan. Perempuan didorong misi untuk mengejar peran sama persis dengan laki-laki, bahkan kalau bisa melampaui. Paradigma kesetaraan gender itu dilahirkan oleh ideologi sekuler, yang menganggap agama sebagai faktor penghambat kemajuan perempuan.
Padahal, justru dengan mengajarkan paham kebebasan dan materialisme, perempuan terbelok jauh dari fitrahnya. Terjadi dehumanisasi, eksploitasi dan pelecehan terhadap perempuan. Perempuan sekulerjatuh dalam kerendahan harkat dan martabat. Harga dirinya hanya diukur dari penampilan fisik, tinggi dan berat badan, warna kulit, pakaian yang dikenakan, merek sepatu atau tasnya, serta jabatannya di ranah publik. Lahirlah perempuan yang sejatinya menderita lahir dan batin.
Sosok perempuan sekuler saat ini tak ubahnya seperti perempuan di Barat yang memang lebih dulu menerapkan sekulerisme. Di sana, perempuan memang sangat liberal. Mereka berhak menuntut siapa saja yang dikehendakinya, termasuk meninggalkan kodrat keperempuanannya. Namun, tak sedikit masyarakat di Barat sadar dan mulai mengembalikan perempuan kepada fitrahnya. Gerakan untuk "menggiring" perempuan kembali ke rumah, direspons positif berbagai elemen masyarakat, termasuk di Amerika Serikat. Ini setelah meluasnya problem-problem sosial gara-gara perempuan bersaing dengan laki-laki di ranah publik. seperti tingginya pengangguran (laki-laki), perceraian, perselingkuhan, dan single
parent.
Sungguh bodoh jika peradaban sampah di Barat, yang sudah terbukti usang dan rusak, masih juga disanjung sebagai sistem terbaik di negara kita. Semestinya perempuan pintar tidak mau dirinya dipoles menjadi perempuan sekuler.
Perempuan Islam
Bersyukurlah, sebagian perempuan Muslim masih eling (sadar, red) dan menjalani hidup dengan nilai-nilai Islam. Masih banyak Muslimah yang bangga menjalani profesi ibu rumah tangga, melahirkan banyak generasi penerus, menyibukkan diri mendidiknya menjadi anak shalih.
Memang, berkiprah di ranah publik tidak dilarang. Bahkan, di antara para Muslimah masa kini, mereka juga berkiprah untuk masyarakat. Ada yang mengabdikan ilmunya untuk mencerdaskan kaum perempuan, mendakwahi dengan kajian fikih-fikih perempuan, menggugah perempuan agar menjadi peletak dasar perubahan menuju masyarakat islami.
Semua itu karena mereka paham Islam dan membersihkan diri dari nilai-nilai sekulerisme. Perempuan mulia tidak diukur dari penampilan fisik, pakaian dan asesorisnya. Perempuan mulia tidak materialistis, tapi juga tidak menderita karena kekurangan harta. Perempuan Islam tidak diperkenankan menjalani profesi yang merendahkan harkat dan martabatnya. Perempuan mulia menyibukkan diri dengan ibadah menuju ketakwaan karena itulah bekal utama dalam menjalani kehidupan.
Islam benar-benar dijadikan pandangan hidup. Sebab hanya Islamlah yang mengajarkan segala kebaikan. Jadi, jika ada perempuan berhati lembut, berkasih sayang dan penuh empati, sudah pasti mereka Muslimah taat. Jika ada Muslimah kaya yang juga gemar membantu sesama, itu bukan karena ajaran sekulerisme, melainkan Islam. Karena dalam Islam, sesama Muslim adalah bersaudara. Muslimah yakin, bersedekah bukan mengurangi harta, melainkan malah membuka pintu rezeki. Jika ada perempuan miskin tidak putus asa, namun tetap berharap pada rezeki dari-Nya, itu juga buah ketakwaan, bukan hasil didikan sekulerisme. Sebab Islam mengajarkan tawakal, sementara sekulerismejustru mengajak pada keputusasaan.
Dengan sikap mental yang mulia, sejarah mencatat, perempuan di masa khilafah mengalami kemajuan luar biasa, meski tanpa capek-capek menyetarakan perannya. Terutama di bidang ilmu, para Muslimah banyak yang menjadi kaum terpelajar. Tak sedikit orang Barat yang mengagumi kemuliaan para Muslimah. Jangan heran bila saat ini, banyak perempuan kafir Barat masuk Islam karena terpesona pada perlindungan Islam terhadap harkat dan martabat perempuan. Padahal itu hanya secuil yang diaplikasikan dari nilai-nilai Islam oleh para Muslimah masa kini, belum kaffah sebagaimana jika khilafah tegak.
Ya, jika khilafah menerapkan seluruh aspek syariah Islam, niscaya kemuliaan Muslimah akan semakin tampak nyata. Sebab hanya khilafahlah yang memuliakan perempuan. Sayang, profil perempuan mulia seperti ini tidak banyak diungkap.
Kini, saatnya mengembalikan harkat dan martabat perempuan, meluruskan kembali ke rel yang benar, mengarahkan kembali pada kodratnya. Dan itu hanya terwujud jika perempuan hidup di bawah naungan khilafah. Sejatinya, khilafah bisa diwujudkan.Tentu,jika perempuan pun ikut memperjuangkannya.
KHILAFAH Melindungi & Mensejahterakan Non Muslim
Kerinduan umat akan khilafah kini sudah semakin besar. Umat yang awalnya yakin akan sistem demokrasi yang mereka anut, kini mulai ragu. Hal ini dikarenakan demokrasi bukannya mengubah kondisi mereka ke arah yang lebih baik. Yang terjadi saat ini malah memperburuk keadaan mereka. Umat pun mulai melirik konsep khilafah, suatu konsep yang telah teruji mampu menyejahterakan rakyatnya. Hukum pun ditegakkan secara adil dan tanpa pandang bulu.
Namun di balik harapan besar itu, ada saja segelintir orang yang menolaknya. Dengan getolnya mereka berusaha memunculkan opini publik yang buruk tentang penerapan syariat Islam di Indonesia. Termasuk di dalamnya para aktifis liberal. Mereka menjadikan kemajemukan di Indonesia sebagai alasan utama penolakan Khilafah. "Negeri ini kan penduduknya nggak semuanya Muslim. Maka jangan mendirikan Negara Islam di sini!" ujar seorang pluralis pada salah satu artikel di internet.
Jika kemajemukan dijadikan alasan utama, tentu salah besar. Sebab pada faktanya ternyata khilafah mampu mengatur kemajemukan yang terjadi saat itu. Ketika Rasulullah hijrah ke Madinah, penduduk kota ini bukan hanya Islam, tapi juga Kristen, Yahudi, bahkan orang-orang musyrik. Namun Rasulullah tetap bisa mengatur dan menyejahterakan rakyatnya dengan menerapkan syariah Islam.
Dalam daulah Islam di Madinah, hukum ditegakkan dengan sangat adil dan tanpa mendiskriminasi kaum non-Muslim. Kita teringat akan kisah baju perang Khalifah Ali bin Abi Thalib ra yang dicuri oleh seorang Yahudi. Saat kasusnya dilimpahkan ke pengadilan, ternyata hakim malah memenangkan orang Yahudi tersebut. Kala itu Khalifah Ali ra tidak memiliki bukti dan hanya mampu menghadirkan anaknya (Hasan) sebagai saksi.
Urusan menyejahterakan rakyat, Islam juaranya. Kita juga teringat akan kisah kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Beliau berhasil menjadikan seluruh penduduknya hidup dalam kecukupan, termasuk di dalamnya orang Muslim maupun non-Muslim. Ibnu Abdil Hakam (Sirah Umar bin Abdul'Aziz hlm. 59) meriwayatkan, Yahya bin Said, seorang petugas zakat masa itu berkata, "Saya pernah diutus Umar bin Abdul Aziz untuk memungut zakat ke Afrika. Setelah memungutnya, saya bermaksud memberikannya kepada orang-orang miskin. Namun, saya tidak menjumpai seorang pun. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan semua rakyat pada waktu itu berkecukupan. Akhirnya, saya memutuskan untuk membeli budak lalu memerdekakannya." (Al-Qaradhawi, 1995).
Islam mempunyai aturan tersendiri untuk mengatur kemajemukan masyarakat. Non-Muslim yang tunduk terhadap aturan Islam (dzimmi), diperbolehkan memeluk agamanya dan beribadah menurut agamanya. Non Muslim pun dibolehkan makan, minum dan berpakaian menurut keyakinan mereka, termasuk dalam urusan pernikahan dan perceraian.
Mazhab Imam Abu Hanifah menyatakan: "Islam membolehkan ahlu dzimmah meminum minuman keras, memakan daging babi, dan menjalankan segala aturan agama mereka dalam wilayah yang diatur oleh syariat. Maka, selama hal tersebut dilakukan secara privat dan tidak dilakukan di ruang publik, negara Islam tidak punya urusan untuk mengusik masalah-masalah pribadi mereka. Namun bila, misalnya seorang ahlu dzimmah membuka toko yang menjual minuman keras, maka dia akan dihukum berdasarkan aturan syariat Islam”.
Namun non Muslim diharuskan taat terhadap hukum-hukum yang menyangkut urusan publik/muamalah. Masalah lain dan aturan-aturan lain yang digariskan syariat Islam, seperti sistem sanksi, sistem peradilan, sistem pemerintahan, ekonomi, dan kebijakan luar negeri, diterapkan oleh negara Islam pada semua orang secara sama, tanpa memandang Muslim atau non-Muslim.
Oleh karena itu, tidak ada alasan lagi bahwa non-Muslim akan tertindas jika syariat Islam ditegakkan. Keadilan dan kesejahteraan seluruh rakyat merupakan sesuatu yang sudah dijamin oleh negara tanpa melihat apakah ia Muslim atau tidak. Hanya dengan Islamlah, berbagai masalah umat akan terpecahkan.
Sekarang semuanya tergantung kita. Apakah kita akan tetap berpegang dengan ideologi Islam yang terbukti selama 13 abad mampu mengatur seluruh kemajemukan yang ada? Atau kita memilih ideologi sosialisme yang hanya bertahan 72 tahun? Atau kapitalisme yang kini hanya tinggal menunggu waktu keruntuhannya saja? Jika kita masih mampu berfikir logis, tentu tidak ada pilihan lain yang tepat selain Islam. Allahu Akbar!
Namun di balik harapan besar itu, ada saja segelintir orang yang menolaknya. Dengan getolnya mereka berusaha memunculkan opini publik yang buruk tentang penerapan syariat Islam di Indonesia. Termasuk di dalamnya para aktifis liberal. Mereka menjadikan kemajemukan di Indonesia sebagai alasan utama penolakan Khilafah. "Negeri ini kan penduduknya nggak semuanya Muslim. Maka jangan mendirikan Negara Islam di sini!" ujar seorang pluralis pada salah satu artikel di internet.
Jika kemajemukan dijadikan alasan utama, tentu salah besar. Sebab pada faktanya ternyata khilafah mampu mengatur kemajemukan yang terjadi saat itu. Ketika Rasulullah hijrah ke Madinah, penduduk kota ini bukan hanya Islam, tapi juga Kristen, Yahudi, bahkan orang-orang musyrik. Namun Rasulullah tetap bisa mengatur dan menyejahterakan rakyatnya dengan menerapkan syariah Islam.
Dalam daulah Islam di Madinah, hukum ditegakkan dengan sangat adil dan tanpa mendiskriminasi kaum non-Muslim. Kita teringat akan kisah baju perang Khalifah Ali bin Abi Thalib ra yang dicuri oleh seorang Yahudi. Saat kasusnya dilimpahkan ke pengadilan, ternyata hakim malah memenangkan orang Yahudi tersebut. Kala itu Khalifah Ali ra tidak memiliki bukti dan hanya mampu menghadirkan anaknya (Hasan) sebagai saksi.
Urusan menyejahterakan rakyat, Islam juaranya. Kita juga teringat akan kisah kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Beliau berhasil menjadikan seluruh penduduknya hidup dalam kecukupan, termasuk di dalamnya orang Muslim maupun non-Muslim. Ibnu Abdil Hakam (Sirah Umar bin Abdul'Aziz hlm. 59) meriwayatkan, Yahya bin Said, seorang petugas zakat masa itu berkata, "Saya pernah diutus Umar bin Abdul Aziz untuk memungut zakat ke Afrika. Setelah memungutnya, saya bermaksud memberikannya kepada orang-orang miskin. Namun, saya tidak menjumpai seorang pun. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan semua rakyat pada waktu itu berkecukupan. Akhirnya, saya memutuskan untuk membeli budak lalu memerdekakannya." (Al-Qaradhawi, 1995).
Islam mempunyai aturan tersendiri untuk mengatur kemajemukan masyarakat. Non-Muslim yang tunduk terhadap aturan Islam (dzimmi), diperbolehkan memeluk agamanya dan beribadah menurut agamanya. Non Muslim pun dibolehkan makan, minum dan berpakaian menurut keyakinan mereka, termasuk dalam urusan pernikahan dan perceraian.
Mazhab Imam Abu Hanifah menyatakan: "Islam membolehkan ahlu dzimmah meminum minuman keras, memakan daging babi, dan menjalankan segala aturan agama mereka dalam wilayah yang diatur oleh syariat. Maka, selama hal tersebut dilakukan secara privat dan tidak dilakukan di ruang publik, negara Islam tidak punya urusan untuk mengusik masalah-masalah pribadi mereka. Namun bila, misalnya seorang ahlu dzimmah membuka toko yang menjual minuman keras, maka dia akan dihukum berdasarkan aturan syariat Islam”.
Namun non Muslim diharuskan taat terhadap hukum-hukum yang menyangkut urusan publik/muamalah. Masalah lain dan aturan-aturan lain yang digariskan syariat Islam, seperti sistem sanksi, sistem peradilan, sistem pemerintahan, ekonomi, dan kebijakan luar negeri, diterapkan oleh negara Islam pada semua orang secara sama, tanpa memandang Muslim atau non-Muslim.
Oleh karena itu, tidak ada alasan lagi bahwa non-Muslim akan tertindas jika syariat Islam ditegakkan. Keadilan dan kesejahteraan seluruh rakyat merupakan sesuatu yang sudah dijamin oleh negara tanpa melihat apakah ia Muslim atau tidak. Hanya dengan Islamlah, berbagai masalah umat akan terpecahkan.
Sekarang semuanya tergantung kita. Apakah kita akan tetap berpegang dengan ideologi Islam yang terbukti selama 13 abad mampu mengatur seluruh kemajemukan yang ada? Atau kita memilih ideologi sosialisme yang hanya bertahan 72 tahun? Atau kapitalisme yang kini hanya tinggal menunggu waktu keruntuhannya saja? Jika kita masih mampu berfikir logis, tentu tidak ada pilihan lain yang tepat selain Islam. Allahu Akbar!
Tentang KHILAFAH
Pengertian Bahasa
K.H. Shiddiq Al-Jawi . Khilafah menurut makna bahasa merupakan mashdar dari fi’il madhi khalafa, berarti : menggantikan atau menempati tempatnya (Munawwir, 1984:390). Makna khilafah menurut Ibrahim Anis (1972) adalah orang yang datang setelah orang lain lalu menggantikan tempatnya (jaa`a ba’dahu fa-shaara makaanahu) (Al-Mu’jam Al-Wasith, I/251).
Dalam kitab Mu’jam Maqayis Al-Lughah (II/210) dinyatakan, khilafah dikaitkan dengan penggantian karena orang yang kedua datang setelah orang yang pertama dan menggantikan kedudukannya. Menurut Imam Ath-Thabari, makna bahasa inilah yang menjadi alasan mengapa as-sulthan al-a’zham (penguasa besar umat Islam) disebut sebagai khalifah, karena dia menggantikan penguasa sebelumnya, lalu menggantikan posisinya (Tafsir Ath-Thabari, I/199).
Imam Al-Qalqasyandi mengatakan, menurut tradisi umum istilah khilafah kemudian digunakan untuk menyebut kepemimpinan agung (az-za’amah al-uzhma), yaitu kekuasaan umum atas seluruh umat, pelaksanaan urusan-urusan umat, dan pemikulan tugas-tugas mereka (Al-Qalqasyandi, Ma`atsir Al-Inafah fi Ma’alim Al-Khilafah, I/8-9).
Pengertian Syar’i
Dalam pengertian syariah, Khilafah digunakan untuk menyebut orang yang menggantikan Nabi SAW dalam kepemimpinan Negara Islam (ad-dawlah al-islamiyah) (Al-Baghdadi, 1995:20). Inilah pengertiannya pada masa awal Islam. Kemudian, dalam perkembangan selanjutnya, istilah Khilafah digunakan untuk menyebut Negara Islam itu sendiri (Al-Khalidi, 1980:226).
Pemahaman ini telah menjadi dasar pembahasan seluruh ulama fiqih siyasah ketika mereka berbicara tentang “Khilafah” atau “Imamah”. Dengan demikian, walaupun secara literal tak ada satu pun ayat Al-Qur`an yang menyebut kata “ad-dawlah al-islamiyah” (negara Islam), bukan berarti dalam Islam tidak ada konsep negara. Atau tidak mewajibkan adanya Negara Islam. Para ulama terdahulu telah membahas konsep negara Islam atau sistem pemerintahan Islam dengan istilah lain yang lebih spesifik, yaitu istilah Khilafah/Imamah atau istilah Darul Islam (Lihat Dr. Sulaiman Ath-Thamawi, As-Sulthat Ats-Tsalats, hal. 245; Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, IX/823).
Hanya saja, para ulama mempunyai sudut pandang yang berbeda-beda ketika memandang kedudukan Khilafah (manshib Al-Khilafah). Sebagian ulama memandang Khilafah sebagai penampakan politik (al-mazh-har as-siyasi), yakni sebagai institusi yang menjalankan urusan politik atau yang berkaitan dengan kekuasaan (as-sulthan) dan sistem pemerintahan (nizham al-hukm). Sementara sebagian lainnya memandang Khilafah sebagai penampakan agama (al-mazh-har ad-dini), yakni institusi yang menjalankan urusan agama. Maksudnya, menjalankan urusan di luar bidang kekuasaan atau sistem pemerintahan, misalnya pelaksanaan mu’amalah (seperti perdagangan), al-ahwal asy-syakhshiyyah (hukum keluarga, seperti nikah), dan ibadah-ibadah mahdhah. Ada pula yang berusaha menghimpun dua penampakan ini. Adanya perbedaan sudut pandang inilah yang menyebabkan mengapa para ulama tidak menyepakati satu definisi untuk Khilafah (Al-Khalidi, 1980:227).
Sebenarnya banyak sekali definisi Khilafah yang telah dirumuskan oleh oleh para ulama. Berikut ini akan disebutkan beberapa saja definisi Khilafah yang telah dihimpun oleh Al-Khalidi (1980), Ali Belhaj (1991), dan Al-Baghdadi (1995) :
Pertama, menurut Imam Al-Mawardi (w. 450 H/1058 M), Imamah ditetapkan bagi pengganti kenabian dalam penjagaan agama dan pengaturan urusan dunia (Al-Ahkam As-Sulthaniyah, hal. 3).
Kedua, menurut Imam Al-Juwayni (w. 478 H/1085 M), Imamah adalah kepemimpinan yang bersifat menyeluruh (riyasah taammah) sebagai kepemimpinan yang berkaitan dengan urusan khusus dan urusan umum dalam kepentingan-kepentingan agama dan dunia (Ghiyats Al-Umam, hal. 15).
Ketiga, menurut Imam Al-Baidhawi (w. 685 H/1286 M), Khilafah adalah pengganti bagi Rasulullah SAW oleh seseorang dari beberapa orang dalam penegakan hukum-hukum syariah, pemeliharaan hak milik umat, yang wajib diikuti oleh seluruh umat (Hasyiyah Syarah Al-Thawali’, hal.225).
Keempat, menurut ‘Adhuddin Al-Iji (w. 756 H/1355 M), Khilafah adalah kepemimpinan umum (riyasah ‘ammah) dalam urusan-urusan dunia dan agama, dan lebih utama disebut sebagai pengganti dari Rasulullah dalam penegakan agama (I’adah Al-Khilafah, hal. 32).
Kelima, menurut At-Taftazani (w. 791 H/1389 M), Khilafah adalah kepemimpinan umum dalam urusan agama dan dunia, sebagai pengganti dari Nabi SAW dalam penegakan agama, pemeliharaan hak milik umat, yang wajib ditaati oleh seluruh umat (Lihat Al-Iji, Al-Mawaqif, III/603; Lihat juga Rasyid Ridha, Al-Khilafah, hal. 10).
Keenam, menurut Ibnu Khaldun (w. 808 H/1406 M), Khilafah adalah pengembanan seluruh [urusan umat] sesuai dengan kehendak pandangan syariah dalam kemaslahatan-kemaslahatan mereka baik ukhrawiyah, maupun duniawiyah yang kembali kepada kemaslahatan ukhrawiyah (Al-Muqaddimah, hal. 166 & 190).
Ketujuh, menurut Al-Qalqasyandi (w. 821 H/1418 M), Khilafah adalah kekuasaan umum (wilayah ‘ammah) atas seluruh umat, pelaksanaan urusan-urusan umat, serta pemikulan tugas-tugasnya (Ma`atsir Al-Inafah fi Ma’alim Al-Khilafah, I/8).
Kedelapan, menurut Al-Kamal ibn Al-Humam (w. 861 H/1457 M), Khilafah adalah otoritas (istihqaq) pengaturan umum atas kaum muslimin (Al-Musamirah fi Syarh Al-Musayirah, hal. 141).
Kesembilan, menurut Imam Ar-Ramli (w. 1004 H/1596 M), khalifah adalah al-imam al-a’zham (imam besar), yang berkedudukan sebagai pengganti kenabian, dalam penjagaan agama dan pengaturan urusan dunia (Nihayatul Muhtaj ila Syarh Al-Minhaj, VII/289).
Kesepuluh, menurut Syah Waliyullah Ad-Dahlawi (w. 1176 H/1763 M), Khilafah adalah kepemimpinan umum (riyasah ‘ammah) ... untuk menegakkan agama dengan menghidupkan ilmu-ilmu agama, menegakkan rukun-rukun Islam, melaksanakan jihad...melaksanakan peradilan (qadha`), menegakkan hudud... sebagai pengganti (niyabah) dari Nabi SAW (dikutip oleh Shadiq Hasan Khan dalam Iklil Al-Karamah fi Tibyan Maqashid Al-Imamah, hal. 23).
Kesebelas, menurut Syaikh Al-Bajuri (w. 1177 H/1764 M), Khilafah adalah pengganti (niyabah) dari Nabi SAW dalam umumnya kemaslahatan-kemaslahatan kaum muslimin (Tuhfah Al-Murid ‘Ala Jauhar At-Tauhid, II/45).
Keduabelas, menurut Muhammad Bakhit Al-Muthi’i (w. 1354 H/1935 M), seorang Syaikh Al-Azhar, Imamah adalah kepemimpinan umum dalam urusan-urusan dunia dan agama (I’adah Al-Khilafah, hal. 33).
Ketigabelas, menurut Mustafa Shabri (w. 1373 H/1953 M), seorang Syaikhul Islam pada masa Daulah Utsmaniyah, Khilafah adalah pengganti dari Nabi SAW dalam pelaksanaan apa yang dibawa Nabi SAW berupa hukum-hukum syariah Islam (Mawqif Al-Aql wa Al-‘Ilm wa Al-‘Alim, IV/363).
Keempatbelas, menurut Dr. Hasan Ibrahim Hasan, Khilafah adalah kepemimpinan umum dalam urusan-urusan agama dan dunia sebagai pengganti dari Nabi SAW (Tarikh Al-Islam, I/350).
Analisis Definisi
Dari keempatbelas definisi yang telah disebutkan di atas, dapat dilihat sebetulnya ada 3 (tiga) kategori definisi, yaitu :
Pertama, definisi yang lebih menekankan pada penampakan agama (al-mazh-har ad-dini). Jadi, Khilafah lebih dipahami sebagai manifestasi ajaran Islam dalam pelaksanaan urusan agama. Misalnya definisi Al-Iji. Meskipun Al-Iji menyatakan bahwa Khilafah mengatur urusan-urusan dunia dan urusan agama, namun pada akhir kalimat, beliau menyatakan,”Khilafah lebih utama disebut sebagai pengganti dari Rasulullah dalam penegakan agama.”
Kedua, definisi yang lebih menekankan pada penampakan politik (al-mazh-har as-siyasi). Di sini Khilafah lebih dipahami sebagai manifestasi ajaran Islam berupa pelaksanaan urusan politik atau sistem pemerintahan, yang umumnya diungkapkan ulama dengan terminologi “urusan dunia” (umuur ad-dunya). Misalnya definisi Al-Qalqasyandi. Beliau hanya menyinggung Khilafah sebagai kekuasaan umum (wilayah ‘ammah) atas seluruh umat, tanpa mengkaitkannya dengan fungsi Khilafah untuk mengatur “urusan agama”.
Ketiga, definisi yang berusaha menggabungkan penampakan agama (al-mazh-har ad-dini) dan penampakan politik (al-mazh-har as-siyasi). Misalnya definisi Khilafah menurut Imam Al-Mawardi yang disebutnya sebagai pengganti kenabian dalam penjagaan agama dan pengaturan urusan dunia.
Dengan menelaah seluruh definisi tersebut secara mendalam, akan kita dapati bahwa secara global berbagai definisi tersebut lebih berupa deskripsi realitas Khilafah dalam dataran empirik (praktik) --misalnya adanya dikotomi wilayah “urusan dunia” dan “urusan agama”-- daripada sebuah definisi yang bersifat syar’i, yang diturunkan dari nash-nash syar’i. Selain itu, definisi-definisi tersebut kurang mencakup (ghayru jaami’ah). Sebab definisi Khilafah seharusnya menggunakan redaksi yang tepat yang bisa mencakup hakikat Khilafah dan keseluruhan fungsi Khilafah, bukan dengan redaksi yang lebih bersifat deskriptif dan lebih memberikan contoh-contoh, yang sesungguhnya malah menyempitkan definisi. Misalnya ungkapan bahwa Khilafah bertugas menghidupkan ilmu-ilmu agama, menegakkan rukun-rukun Islam, melaksanakan jihad, melaksanakan peradilan (qadha`), menegakkan hudud, dan seterusnya. Bukankah definisi ini menjadi terlalu rinci yang malah dapat menyulitkan kita menangkap hakikat Khilafah? Juga bukan dengan redaksi yang terlalu umum yang cakupannya justru sangat luas. Misalnya ungkapan bahwa Khilafah mengatur “umumnya kemaslahatan-kemaslahatan kaum muslimin”. Atau bahwa Khilafah mengatur “kemaslahatan-kemaslahatan duniawiyah dan ukhrawiyah”. Bukankah ini ungkapan yang sangat luas jangkauannya ?
Sesungguhnya, untuk menetapkan sebuah definisi, sepatutnya kita perlu memahami lebih dahulu, apakah ia definisi syar’i (at-ta’rif asy-syar’i) atau definisi non-syar’i (at-ta’rif ghayr asy-syar’i) (Zallum, 1985:51). Definisi syar’i merupakan definisi yang digunakan dalam nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah, semisal definisi sholat dan zakat. Sedang definisi non-syar’i merupakan definisi yang tidak digunakan dalam nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah, tetapi digunakan dalam disiplin ilmu tertentu atau kalangan ilmuwan tertentu, semisal definisi isim, fi’il, dan harf (dalam ilmu Nahwu-Sharaf). Contoh lainnya misalkan definisi akal, masyarakat, kebangkitan, ideologi (mabda`), dustur (UUD), qanun (UU), hadharah (peradaban), madaniyah (benda sarana kehidupan), dan sebagainya
Jika definisinya berupa definisi non-syar’i, maka dasar perumusannya bertolak dari realitas (al-waqi’), bukan dari nash-nash syara’. Baik ia realitas empirik yang dapat diindera atau realitas berupa kosep-konsep yang dapat dijangkau faktanya dalam benak. Sedang jika definisinya berupa definisi syar’i, maka dasar perumusannya wajib bertolak dari nash-nash syara’ Al-Qur`an dan As-Sunnah, bukan dari realitas. Mengapa? Sebab, menurut Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, definisi syar’i sesungguhnya adalah hukum syar’i, yang wajib diistimbath dari nash-nash syar’i (Ay-Syakhshiyyah Al-Islamiyah, III/438-442; Al-Ma’lumat li Asy-Syabab, hal. 1-3). Jadi, perumusan definisi syar’i, misalnya definisi sholat, zakat, haji, jihad, dan semisalnya, wajib merujuk pada nash-nash syar’i yang berkaitan dengannya.
Apakah definisi Khilafah (atau Imamah) merupakan definisi syar’i? Jawabannya, ya. Sebab nash-nash syar’i, khususnya hadits-hadits Nabi SAW, telah menggunakan lafazh-lafazh “khalifah” dan “imam” yang masih satu akar kata dengan kata Khilafah/Imamah. Misalnya hadits Nabi, “Jika dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (Shahih Muslim, no. 1853). Imam Al-Bukhari dalam Shahihnya telah mengumpulkan hadits-hadits tentang Khilafah dalam Kitab Al-Ahkam. Sedang Imam Muslim dalam Shahihnya telah mengumpulkannya dalam Kitab Al-Imarah (Ali Belhaj, 1991:15). Jelaslah, bahwa untuk mendefinisikan Khilafah, wajiblah kita memperhatikan berbagai nash-nash ini yang berkaitan dengan Khilafah.
Dengan menelaah nash-nash hadits tersebut, dan tentunya nash-nash Al-Qur`an, akan kita jumpai bahwa definisi Khilafah dapat dicari rujukannya pada 2 (dua) kelompok nash, yaitu :
Kelompok Pertama, nash-nash yang menerangkan hakikat Khilafah sebagai sebuah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia.
Kelompok Kedua, nash-nash yang menjelaskan tugas-tugas khalifah, yaitu : (1) tugas menerapkan seluruh hukum-hukum syariah Islam, (2) tugas mengemban dakwah Islam di luar tapal batas negara ke seluruh bangsa dan umat dengan jalan jihad fi sabilillah
Nash kelompok pertama, misalnya nash hadits,”Maka Imam yang [memimpin] atas manusia adalah [bagaikan} seorang penggembala dan dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya (rakyatnya).” (Shahih Muslim, XII/213; Sunan Abu Dawud, no. 2928, III/342-343; Sunan At-Tirmidzi, no. 1705, IV/308). Ini menunjukkan bahwa Khilafah adalah sebuah kepemimpinan (ri`asah/qiyadah/imarah). Adapun yang menunjukkan bahwa Khilafah bersifat umum untuk seluruh kaum muslimin di dunia, misalnya hadits Nabi yang mengharamkan adanya lebih dari satu khalifah bagi kaum muslimin seperti telah disebut sebelumnya (Shahih Muslim no. 1853). Ini berarti, seluruh kaum muslimin di dunia hanya boleh dipimpin seorang khalifah saja, tak boleh lebih. Dan kesatuan Khilafah untuk seluruh kaum muslimin di dunia sesungguhnya telah disepakati oleh empat imam madzhab, yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad, rahimahumullah (Lihat Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, V/308; Muhammad ibn Abdurrahman Ad-Dimasyqi, Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al-A`immah, hal. 208).
Nash kelompok kedua, adalah nash-nash yang menjelaskan tugas-tugas khalifah, yang secara lebih rinci terdiri dari dua tugas berikut :
Pertama, tugas khalifah menerapkan seluruh hukum syariah Islam atas seluruh rakyat. Hal ini nampak dalam berbagai nash yang menjelaskan tugas khalifah untuk mengatur muamalat dan urusan harta benda antara individu muslim (QS Al-Baqarah:188, QS An-Nisaa`:58), mengumpulkan dan membagikan zakat (QS At-Taubah:103), menegakkan hudud (QS Al-Baqarah:179), menjaga akhlaq (QS Al-Isra`:32), menjamin masyarakat dapat menegakkan syiar-syiar Islam dan menjalankan berbagai ibadat (QS Al-Hajj:32), dan seterusnya.
Kedua, tugas khalifah mengemban dakwah Islamiyah ke seluruh dunia dengan jihad fi sabilillah. Hal ini nampak dalam banyak nash yang menjelaskan tugas khalifah untuk mempersiapkan pasukan perang untuk berjihad (QS Al-Baqarah:216), menjaga tapal batas negara (QS Al-Anfaal:60), memantapkan hubungan dengan berbagai negara menurut asas yang dituntut oleh politik luar negeri, misalnya mengadakan berbagai perjanjian perdagangan, perjanjian gencatan senjata, perjanjian bertetangga baik, dan semisalnya (QS Al-Anfaal:61; QS Muhammad:35).
Berdasarkan dua kelompok nash inilah, dapat dirumuskan definisi Khilafah secara lebih mendalam dan lebih tepat. Jadi, Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum muslimin seluruhnya di dunia, untuk menegakkan hukum-hukum syariah Islam dan mengemban dakwah Islamiyah ke seluruh dunia. Definisi inilah yang telah dirumuskan oleh Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani (w. 1398 H/1977 M) dalam kitab-kitabnya, misalnya kitab Al-Khilafah (hal. 1), kitab Muqaddimah Ad-Dustur (bab Khilafah) hal. 128, dan kitab Asy-Syakshiyyah Al-Islamiyah, Juz II hal. 9. Menurut beliau juga, istilah Khilafah dan Imamah dalam hadits-hadits shahih maknanya sama saja menurut pengertian syar’i (al-madlul asy-syar’i).
Definisi inilah yang beliau tawarkan kepada seluruh kaum muslimin di dunia, agar mereka sudi kiranya untuk mengambilnya dan kemudian memperjuangkannya supaya menjadi realitas di muka bumi, menggantikan sistem kehidupan sekuler yang kufur saat ini. Pada saat itulah, orang-orang beriman akan merasa gembira dengan datangnya pertolongan Allah. Dan yang demikian itu, sungguh, tidaklah sulit bagi Allah Azza wa Jalla. [ ]
DAFTAR PUSTAKA
Ad-Dimasyqi, Muhammad ibn Abdurrahman (Qadhi Shafd). 1996. Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al-A`immah. Cetakan I. (Beirut : Darul Fikr).
Al-Baghdadi, Abdurrahman. 1995. “Mafhum Al-Khalifah wa Al-Khilafah fi Al-Hadharah Al-Islamiyah”. Majalah Al-Khilafah Al-Islamiyah. No 1 Th I. Sya’ban 1415 H/Januari 1995 M. (Jakarta : Al-Markaz Al-Istitiratiji li Al-Buhuts Al-Islamiyah).
Al-Jaziri, Abdurrahman. 1999. Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah. Juz V. Cetakan I. (Beirut : Darul Fikr).
Al-Khalidi, Mahmud Abdul Majid. 1980. Qawaid Nizham Al-Hukm fi Al-Islam. (Kuwait : Darul Buhuts Al-‘Ilmiyah).
Anis, Ibrahim et.al. 1972. Al-Mu’jam Al-Wasith. (Kairo : Darul Ma’arif).
An-Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Ay-Syakhshiyyah Al-Islamiyah. Juz III (Ushul Al-Fiqh). (Al-Quds : Min Mansyurat Hizb Al-Tahrir).
----------.1953. Ay-Syakhshiyyah Al-Islamiyah. Juz II. (Al-Quds : Min Mansyurat Hizb Al-Tahrir).
----------. 1963. Al-Ma’lumat li Asy-Syabab. (t.tp. : t.p.).
----------. 1963. Muqaddimah Ad-Dustur. (t.tp. : t.p.).
Ath-Thamawi, Sulaiman. 1967. As-Sulthat Ats-Tsalats fi Ad-Dasatir Al-Arabiyah al-Mu’ashirah wa fi Al-Fikr As-Siyasi Al-Islami. (Kairo : Darul Fikr Al-‘Arabi).
Az-Zuhaili, Wahbah. 1996. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu. Juz IX (Al-Mustadrak). Cetakan I. (Damaskus/Beirut : Darul Fikr).
Belhaj, Ali. 1991. Tanbih Al-Ghafilin wa I’lam Al-Ha`irin bi Anna I’adah Al-Khilafah min A’zham Wajibat Hadza Ad-Din. (Beirut : Darul ‘Uqab).
Munawwir, Ahmad Warson. 1984. Kamus Al-Munawwir. Cet. Ke-1. (Yogyakarta : PP. Al-Munawwir Krapyak).
Zallum, Abdul Qadim. 1985. Hizb Al-Tahrir. (t.tp. : t.p.).
K.H. Shiddiq Al-Jawi . Khilafah menurut makna bahasa merupakan mashdar dari fi’il madhi khalafa, berarti : menggantikan atau menempati tempatnya (Munawwir, 1984:390). Makna khilafah menurut Ibrahim Anis (1972) adalah orang yang datang setelah orang lain lalu menggantikan tempatnya (jaa`a ba’dahu fa-shaara makaanahu) (Al-Mu’jam Al-Wasith, I/251).
Dalam kitab Mu’jam Maqayis Al-Lughah (II/210) dinyatakan, khilafah dikaitkan dengan penggantian karena orang yang kedua datang setelah orang yang pertama dan menggantikan kedudukannya. Menurut Imam Ath-Thabari, makna bahasa inilah yang menjadi alasan mengapa as-sulthan al-a’zham (penguasa besar umat Islam) disebut sebagai khalifah, karena dia menggantikan penguasa sebelumnya, lalu menggantikan posisinya (Tafsir Ath-Thabari, I/199).
Imam Al-Qalqasyandi mengatakan, menurut tradisi umum istilah khilafah kemudian digunakan untuk menyebut kepemimpinan agung (az-za’amah al-uzhma), yaitu kekuasaan umum atas seluruh umat, pelaksanaan urusan-urusan umat, dan pemikulan tugas-tugas mereka (Al-Qalqasyandi, Ma`atsir Al-Inafah fi Ma’alim Al-Khilafah, I/8-9).
Pengertian Syar’i
Dalam pengertian syariah, Khilafah digunakan untuk menyebut orang yang menggantikan Nabi SAW dalam kepemimpinan Negara Islam (ad-dawlah al-islamiyah) (Al-Baghdadi, 1995:20). Inilah pengertiannya pada masa awal Islam. Kemudian, dalam perkembangan selanjutnya, istilah Khilafah digunakan untuk menyebut Negara Islam itu sendiri (Al-Khalidi, 1980:226).
Pemahaman ini telah menjadi dasar pembahasan seluruh ulama fiqih siyasah ketika mereka berbicara tentang “Khilafah” atau “Imamah”. Dengan demikian, walaupun secara literal tak ada satu pun ayat Al-Qur`an yang menyebut kata “ad-dawlah al-islamiyah” (negara Islam), bukan berarti dalam Islam tidak ada konsep negara. Atau tidak mewajibkan adanya Negara Islam. Para ulama terdahulu telah membahas konsep negara Islam atau sistem pemerintahan Islam dengan istilah lain yang lebih spesifik, yaitu istilah Khilafah/Imamah atau istilah Darul Islam (Lihat Dr. Sulaiman Ath-Thamawi, As-Sulthat Ats-Tsalats, hal. 245; Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, IX/823).
Hanya saja, para ulama mempunyai sudut pandang yang berbeda-beda ketika memandang kedudukan Khilafah (manshib Al-Khilafah). Sebagian ulama memandang Khilafah sebagai penampakan politik (al-mazh-har as-siyasi), yakni sebagai institusi yang menjalankan urusan politik atau yang berkaitan dengan kekuasaan (as-sulthan) dan sistem pemerintahan (nizham al-hukm). Sementara sebagian lainnya memandang Khilafah sebagai penampakan agama (al-mazh-har ad-dini), yakni institusi yang menjalankan urusan agama. Maksudnya, menjalankan urusan di luar bidang kekuasaan atau sistem pemerintahan, misalnya pelaksanaan mu’amalah (seperti perdagangan), al-ahwal asy-syakhshiyyah (hukum keluarga, seperti nikah), dan ibadah-ibadah mahdhah. Ada pula yang berusaha menghimpun dua penampakan ini. Adanya perbedaan sudut pandang inilah yang menyebabkan mengapa para ulama tidak menyepakati satu definisi untuk Khilafah (Al-Khalidi, 1980:227).
Sebenarnya banyak sekali definisi Khilafah yang telah dirumuskan oleh oleh para ulama. Berikut ini akan disebutkan beberapa saja definisi Khilafah yang telah dihimpun oleh Al-Khalidi (1980), Ali Belhaj (1991), dan Al-Baghdadi (1995) :
Pertama, menurut Imam Al-Mawardi (w. 450 H/1058 M), Imamah ditetapkan bagi pengganti kenabian dalam penjagaan agama dan pengaturan urusan dunia (Al-Ahkam As-Sulthaniyah, hal. 3).
Kedua, menurut Imam Al-Juwayni (w. 478 H/1085 M), Imamah adalah kepemimpinan yang bersifat menyeluruh (riyasah taammah) sebagai kepemimpinan yang berkaitan dengan urusan khusus dan urusan umum dalam kepentingan-kepentingan agama dan dunia (Ghiyats Al-Umam, hal. 15).
Ketiga, menurut Imam Al-Baidhawi (w. 685 H/1286 M), Khilafah adalah pengganti bagi Rasulullah SAW oleh seseorang dari beberapa orang dalam penegakan hukum-hukum syariah, pemeliharaan hak milik umat, yang wajib diikuti oleh seluruh umat (Hasyiyah Syarah Al-Thawali’, hal.225).
Keempat, menurut ‘Adhuddin Al-Iji (w. 756 H/1355 M), Khilafah adalah kepemimpinan umum (riyasah ‘ammah) dalam urusan-urusan dunia dan agama, dan lebih utama disebut sebagai pengganti dari Rasulullah dalam penegakan agama (I’adah Al-Khilafah, hal. 32).
Kelima, menurut At-Taftazani (w. 791 H/1389 M), Khilafah adalah kepemimpinan umum dalam urusan agama dan dunia, sebagai pengganti dari Nabi SAW dalam penegakan agama, pemeliharaan hak milik umat, yang wajib ditaati oleh seluruh umat (Lihat Al-Iji, Al-Mawaqif, III/603; Lihat juga Rasyid Ridha, Al-Khilafah, hal. 10).
Keenam, menurut Ibnu Khaldun (w. 808 H/1406 M), Khilafah adalah pengembanan seluruh [urusan umat] sesuai dengan kehendak pandangan syariah dalam kemaslahatan-kemaslahatan mereka baik ukhrawiyah, maupun duniawiyah yang kembali kepada kemaslahatan ukhrawiyah (Al-Muqaddimah, hal. 166 & 190).
Ketujuh, menurut Al-Qalqasyandi (w. 821 H/1418 M), Khilafah adalah kekuasaan umum (wilayah ‘ammah) atas seluruh umat, pelaksanaan urusan-urusan umat, serta pemikulan tugas-tugasnya (Ma`atsir Al-Inafah fi Ma’alim Al-Khilafah, I/8).
Kedelapan, menurut Al-Kamal ibn Al-Humam (w. 861 H/1457 M), Khilafah adalah otoritas (istihqaq) pengaturan umum atas kaum muslimin (Al-Musamirah fi Syarh Al-Musayirah, hal. 141).
Kesembilan, menurut Imam Ar-Ramli (w. 1004 H/1596 M), khalifah adalah al-imam al-a’zham (imam besar), yang berkedudukan sebagai pengganti kenabian, dalam penjagaan agama dan pengaturan urusan dunia (Nihayatul Muhtaj ila Syarh Al-Minhaj, VII/289).
Kesepuluh, menurut Syah Waliyullah Ad-Dahlawi (w. 1176 H/1763 M), Khilafah adalah kepemimpinan umum (riyasah ‘ammah) ... untuk menegakkan agama dengan menghidupkan ilmu-ilmu agama, menegakkan rukun-rukun Islam, melaksanakan jihad...melaksanakan peradilan (qadha`), menegakkan hudud... sebagai pengganti (niyabah) dari Nabi SAW (dikutip oleh Shadiq Hasan Khan dalam Iklil Al-Karamah fi Tibyan Maqashid Al-Imamah, hal. 23).
Kesebelas, menurut Syaikh Al-Bajuri (w. 1177 H/1764 M), Khilafah adalah pengganti (niyabah) dari Nabi SAW dalam umumnya kemaslahatan-kemaslahatan kaum muslimin (Tuhfah Al-Murid ‘Ala Jauhar At-Tauhid, II/45).
Keduabelas, menurut Muhammad Bakhit Al-Muthi’i (w. 1354 H/1935 M), seorang Syaikh Al-Azhar, Imamah adalah kepemimpinan umum dalam urusan-urusan dunia dan agama (I’adah Al-Khilafah, hal. 33).
Ketigabelas, menurut Mustafa Shabri (w. 1373 H/1953 M), seorang Syaikhul Islam pada masa Daulah Utsmaniyah, Khilafah adalah pengganti dari Nabi SAW dalam pelaksanaan apa yang dibawa Nabi SAW berupa hukum-hukum syariah Islam (Mawqif Al-Aql wa Al-‘Ilm wa Al-‘Alim, IV/363).
Keempatbelas, menurut Dr. Hasan Ibrahim Hasan, Khilafah adalah kepemimpinan umum dalam urusan-urusan agama dan dunia sebagai pengganti dari Nabi SAW (Tarikh Al-Islam, I/350).
Analisis Definisi
Dari keempatbelas definisi yang telah disebutkan di atas, dapat dilihat sebetulnya ada 3 (tiga) kategori definisi, yaitu :
Pertama, definisi yang lebih menekankan pada penampakan agama (al-mazh-har ad-dini). Jadi, Khilafah lebih dipahami sebagai manifestasi ajaran Islam dalam pelaksanaan urusan agama. Misalnya definisi Al-Iji. Meskipun Al-Iji menyatakan bahwa Khilafah mengatur urusan-urusan dunia dan urusan agama, namun pada akhir kalimat, beliau menyatakan,”Khilafah lebih utama disebut sebagai pengganti dari Rasulullah dalam penegakan agama.”
Kedua, definisi yang lebih menekankan pada penampakan politik (al-mazh-har as-siyasi). Di sini Khilafah lebih dipahami sebagai manifestasi ajaran Islam berupa pelaksanaan urusan politik atau sistem pemerintahan, yang umumnya diungkapkan ulama dengan terminologi “urusan dunia” (umuur ad-dunya). Misalnya definisi Al-Qalqasyandi. Beliau hanya menyinggung Khilafah sebagai kekuasaan umum (wilayah ‘ammah) atas seluruh umat, tanpa mengkaitkannya dengan fungsi Khilafah untuk mengatur “urusan agama”.
Ketiga, definisi yang berusaha menggabungkan penampakan agama (al-mazh-har ad-dini) dan penampakan politik (al-mazh-har as-siyasi). Misalnya definisi Khilafah menurut Imam Al-Mawardi yang disebutnya sebagai pengganti kenabian dalam penjagaan agama dan pengaturan urusan dunia.
Dengan menelaah seluruh definisi tersebut secara mendalam, akan kita dapati bahwa secara global berbagai definisi tersebut lebih berupa deskripsi realitas Khilafah dalam dataran empirik (praktik) --misalnya adanya dikotomi wilayah “urusan dunia” dan “urusan agama”-- daripada sebuah definisi yang bersifat syar’i, yang diturunkan dari nash-nash syar’i. Selain itu, definisi-definisi tersebut kurang mencakup (ghayru jaami’ah). Sebab definisi Khilafah seharusnya menggunakan redaksi yang tepat yang bisa mencakup hakikat Khilafah dan keseluruhan fungsi Khilafah, bukan dengan redaksi yang lebih bersifat deskriptif dan lebih memberikan contoh-contoh, yang sesungguhnya malah menyempitkan definisi. Misalnya ungkapan bahwa Khilafah bertugas menghidupkan ilmu-ilmu agama, menegakkan rukun-rukun Islam, melaksanakan jihad, melaksanakan peradilan (qadha`), menegakkan hudud, dan seterusnya. Bukankah definisi ini menjadi terlalu rinci yang malah dapat menyulitkan kita menangkap hakikat Khilafah? Juga bukan dengan redaksi yang terlalu umum yang cakupannya justru sangat luas. Misalnya ungkapan bahwa Khilafah mengatur “umumnya kemaslahatan-kemaslahatan kaum muslimin”. Atau bahwa Khilafah mengatur “kemaslahatan-kemaslahatan duniawiyah dan ukhrawiyah”. Bukankah ini ungkapan yang sangat luas jangkauannya ?
Sesungguhnya, untuk menetapkan sebuah definisi, sepatutnya kita perlu memahami lebih dahulu, apakah ia definisi syar’i (at-ta’rif asy-syar’i) atau definisi non-syar’i (at-ta’rif ghayr asy-syar’i) (Zallum, 1985:51). Definisi syar’i merupakan definisi yang digunakan dalam nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah, semisal definisi sholat dan zakat. Sedang definisi non-syar’i merupakan definisi yang tidak digunakan dalam nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah, tetapi digunakan dalam disiplin ilmu tertentu atau kalangan ilmuwan tertentu, semisal definisi isim, fi’il, dan harf (dalam ilmu Nahwu-Sharaf). Contoh lainnya misalkan definisi akal, masyarakat, kebangkitan, ideologi (mabda`), dustur (UUD), qanun (UU), hadharah (peradaban), madaniyah (benda sarana kehidupan), dan sebagainya
Jika definisinya berupa definisi non-syar’i, maka dasar perumusannya bertolak dari realitas (al-waqi’), bukan dari nash-nash syara’. Baik ia realitas empirik yang dapat diindera atau realitas berupa kosep-konsep yang dapat dijangkau faktanya dalam benak. Sedang jika definisinya berupa definisi syar’i, maka dasar perumusannya wajib bertolak dari nash-nash syara’ Al-Qur`an dan As-Sunnah, bukan dari realitas. Mengapa? Sebab, menurut Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, definisi syar’i sesungguhnya adalah hukum syar’i, yang wajib diistimbath dari nash-nash syar’i (Ay-Syakhshiyyah Al-Islamiyah, III/438-442; Al-Ma’lumat li Asy-Syabab, hal. 1-3). Jadi, perumusan definisi syar’i, misalnya definisi sholat, zakat, haji, jihad, dan semisalnya, wajib merujuk pada nash-nash syar’i yang berkaitan dengannya.
Apakah definisi Khilafah (atau Imamah) merupakan definisi syar’i? Jawabannya, ya. Sebab nash-nash syar’i, khususnya hadits-hadits Nabi SAW, telah menggunakan lafazh-lafazh “khalifah” dan “imam” yang masih satu akar kata dengan kata Khilafah/Imamah. Misalnya hadits Nabi, “Jika dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (Shahih Muslim, no. 1853). Imam Al-Bukhari dalam Shahihnya telah mengumpulkan hadits-hadits tentang Khilafah dalam Kitab Al-Ahkam. Sedang Imam Muslim dalam Shahihnya telah mengumpulkannya dalam Kitab Al-Imarah (Ali Belhaj, 1991:15). Jelaslah, bahwa untuk mendefinisikan Khilafah, wajiblah kita memperhatikan berbagai nash-nash ini yang berkaitan dengan Khilafah.
Dengan menelaah nash-nash hadits tersebut, dan tentunya nash-nash Al-Qur`an, akan kita jumpai bahwa definisi Khilafah dapat dicari rujukannya pada 2 (dua) kelompok nash, yaitu :
Kelompok Pertama, nash-nash yang menerangkan hakikat Khilafah sebagai sebuah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia.
Kelompok Kedua, nash-nash yang menjelaskan tugas-tugas khalifah, yaitu : (1) tugas menerapkan seluruh hukum-hukum syariah Islam, (2) tugas mengemban dakwah Islam di luar tapal batas negara ke seluruh bangsa dan umat dengan jalan jihad fi sabilillah
Nash kelompok pertama, misalnya nash hadits,”Maka Imam yang [memimpin] atas manusia adalah [bagaikan} seorang penggembala dan dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya (rakyatnya).” (Shahih Muslim, XII/213; Sunan Abu Dawud, no. 2928, III/342-343; Sunan At-Tirmidzi, no. 1705, IV/308). Ini menunjukkan bahwa Khilafah adalah sebuah kepemimpinan (ri`asah/qiyadah/imarah). Adapun yang menunjukkan bahwa Khilafah bersifat umum untuk seluruh kaum muslimin di dunia, misalnya hadits Nabi yang mengharamkan adanya lebih dari satu khalifah bagi kaum muslimin seperti telah disebut sebelumnya (Shahih Muslim no. 1853). Ini berarti, seluruh kaum muslimin di dunia hanya boleh dipimpin seorang khalifah saja, tak boleh lebih. Dan kesatuan Khilafah untuk seluruh kaum muslimin di dunia sesungguhnya telah disepakati oleh empat imam madzhab, yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad, rahimahumullah (Lihat Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, V/308; Muhammad ibn Abdurrahman Ad-Dimasyqi, Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al-A`immah, hal. 208).
Nash kelompok kedua, adalah nash-nash yang menjelaskan tugas-tugas khalifah, yang secara lebih rinci terdiri dari dua tugas berikut :
Pertama, tugas khalifah menerapkan seluruh hukum syariah Islam atas seluruh rakyat. Hal ini nampak dalam berbagai nash yang menjelaskan tugas khalifah untuk mengatur muamalat dan urusan harta benda antara individu muslim (QS Al-Baqarah:188, QS An-Nisaa`:58), mengumpulkan dan membagikan zakat (QS At-Taubah:103), menegakkan hudud (QS Al-Baqarah:179), menjaga akhlaq (QS Al-Isra`:32), menjamin masyarakat dapat menegakkan syiar-syiar Islam dan menjalankan berbagai ibadat (QS Al-Hajj:32), dan seterusnya.
Kedua, tugas khalifah mengemban dakwah Islamiyah ke seluruh dunia dengan jihad fi sabilillah. Hal ini nampak dalam banyak nash yang menjelaskan tugas khalifah untuk mempersiapkan pasukan perang untuk berjihad (QS Al-Baqarah:216), menjaga tapal batas negara (QS Al-Anfaal:60), memantapkan hubungan dengan berbagai negara menurut asas yang dituntut oleh politik luar negeri, misalnya mengadakan berbagai perjanjian perdagangan, perjanjian gencatan senjata, perjanjian bertetangga baik, dan semisalnya (QS Al-Anfaal:61; QS Muhammad:35).
Berdasarkan dua kelompok nash inilah, dapat dirumuskan definisi Khilafah secara lebih mendalam dan lebih tepat. Jadi, Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum muslimin seluruhnya di dunia, untuk menegakkan hukum-hukum syariah Islam dan mengemban dakwah Islamiyah ke seluruh dunia. Definisi inilah yang telah dirumuskan oleh Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani (w. 1398 H/1977 M) dalam kitab-kitabnya, misalnya kitab Al-Khilafah (hal. 1), kitab Muqaddimah Ad-Dustur (bab Khilafah) hal. 128, dan kitab Asy-Syakshiyyah Al-Islamiyah, Juz II hal. 9. Menurut beliau juga, istilah Khilafah dan Imamah dalam hadits-hadits shahih maknanya sama saja menurut pengertian syar’i (al-madlul asy-syar’i).
Definisi inilah yang beliau tawarkan kepada seluruh kaum muslimin di dunia, agar mereka sudi kiranya untuk mengambilnya dan kemudian memperjuangkannya supaya menjadi realitas di muka bumi, menggantikan sistem kehidupan sekuler yang kufur saat ini. Pada saat itulah, orang-orang beriman akan merasa gembira dengan datangnya pertolongan Allah. Dan yang demikian itu, sungguh, tidaklah sulit bagi Allah Azza wa Jalla. [ ]
DAFTAR PUSTAKA
Ad-Dimasyqi, Muhammad ibn Abdurrahman (Qadhi Shafd). 1996. Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al-A`immah. Cetakan I. (Beirut : Darul Fikr).
Al-Baghdadi, Abdurrahman. 1995. “Mafhum Al-Khalifah wa Al-Khilafah fi Al-Hadharah Al-Islamiyah”. Majalah Al-Khilafah Al-Islamiyah. No 1 Th I. Sya’ban 1415 H/Januari 1995 M. (Jakarta : Al-Markaz Al-Istitiratiji li Al-Buhuts Al-Islamiyah).
Al-Jaziri, Abdurrahman. 1999. Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah. Juz V. Cetakan I. (Beirut : Darul Fikr).
Al-Khalidi, Mahmud Abdul Majid. 1980. Qawaid Nizham Al-Hukm fi Al-Islam. (Kuwait : Darul Buhuts Al-‘Ilmiyah).
Anis, Ibrahim et.al. 1972. Al-Mu’jam Al-Wasith. (Kairo : Darul Ma’arif).
An-Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Ay-Syakhshiyyah Al-Islamiyah. Juz III (Ushul Al-Fiqh). (Al-Quds : Min Mansyurat Hizb Al-Tahrir).
----------.1953. Ay-Syakhshiyyah Al-Islamiyah. Juz II. (Al-Quds : Min Mansyurat Hizb Al-Tahrir).
----------. 1963. Al-Ma’lumat li Asy-Syabab. (t.tp. : t.p.).
----------. 1963. Muqaddimah Ad-Dustur. (t.tp. : t.p.).
Ath-Thamawi, Sulaiman. 1967. As-Sulthat Ats-Tsalats fi Ad-Dasatir Al-Arabiyah al-Mu’ashirah wa fi Al-Fikr As-Siyasi Al-Islami. (Kairo : Darul Fikr Al-‘Arabi).
Az-Zuhaili, Wahbah. 1996. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu. Juz IX (Al-Mustadrak). Cetakan I. (Damaskus/Beirut : Darul Fikr).
Belhaj, Ali. 1991. Tanbih Al-Ghafilin wa I’lam Al-Ha`irin bi Anna I’adah Al-Khilafah min A’zham Wajibat Hadza Ad-Din. (Beirut : Darul ‘Uqab).
Munawwir, Ahmad Warson. 1984. Kamus Al-Munawwir. Cet. Ke-1. (Yogyakarta : PP. Al-Munawwir Krapyak).
Zallum, Abdul Qadim. 1985. Hizb Al-Tahrir. (t.tp. : t.p.).
5/15/11
UMMATI......UMMATI....
Di kala matahari telah tergelincir ditengah hari pada tahun ke 11 Hijriah, bertepatan dg tanggal 3 Juni tahun 632 M..
Di riwayatkan oleh Anas bin Malik ra...
Pada penghujung nafasnya- Junjungan tercinta Rasululullah saw- yg terahir beliau menggerakkan kedua bi2rnya dua kali dan akupun mendekatkan telingaku baik baik, maka aku masih sempat mendengar beliau berkata dg pelan pelan: ummati... Ummati...
Saudaraku.. 15 abad telah berlalu...
Sesak nafas Rasulullah saw di penghujung usianya yg mulia itu...
Kau RASAKAH??
Di antara jerit pilu saudara2 qt d palestina..
Diantara teriak amarah dan kepedihan saudara2 qt d moskow..
Diantara rasa lapar dan tangisan bayi2 tak berdosa yg dikelilingi gelimpangan mayat2 ibu bapa mereka di Darfur..
Diantara rasa cemas dan ketakutan saudara2 qt di Cina..
Diantara ketidak adilan yg merajalela..
Diantara sekian banyak orang yg tertindas..
Diantara kedzaliman, hingar bingar yg dipenuhi hawa nafsu yg melanda kaum muslimin..
Saudaraqu..
Tak terasa sesakkah nafas qt?
Tatkala jari jemari berlumur dusta dan maksiat menghampiri dan membuka ruang2 pribadi qt..
Tatkala asap2 racun mulai berhembus memenuhi seluruh ruang kehidupan qt,, menyelusup hingga ke stiap urat pembuluh darah..
Tatkala musuh2 Islam mulai memeluk satu persatu orang2 terdekat qt..saudara2 qt..
Tatkala mereka cekcokkan racun LIBERALISASI KELUARGA ke stiap rongga dada kaum muslimin...
Tatkala stiap kepalsuan mereka bingkai dg kemunafikan...
Tatkala setiap kedustaan mereka bungkus rapat dengan Legalisasi...
Tatkala setiap kebobrokan mereka warnai dengan modernisasi...
Hinggga.......
Membutakan mata kaum muslimin..
Menulikan pendengaran kaum muslimin...
Mematikan hati kaum muslimin..
(Na'udzubillah)
Saudara2 qu seiman, seislam, seaqidah
Yg mengaku ummatnya Nabi Muhammad saw..
AKANKAH QT BERDIAM DIRI????
Sahabat..
Memang benar Kembalinya kembalinya kehidupan Islam adalah janji Allah dan Rasul Nya.
Tapi..
Ia (janji itu) harus d jemput dan
Pertolongan Allah itu tidak percuma...
Harus d tebus dg te2san keringat..air mata, waktu, harta dan bhkan raga..
Dan jangan takut, ktk qt ikhlas dlam berkorban utk Nya, mka ingatlah firman Allah swt :
"Sesungguhnya Allah telah membeli dr org2 Mukmin jiwa dan harta mereka (yg dibayar) dengan surga utk mereka".
(QS. At Taubah: 111)
"siapa yg menolong agama Allah maka Allah akan menolongnya"
Tidak tergerakkah hati qt, langkah qt, pikiran qt utk menjemput Janji Nya?
Hinga saatnya nanti ktk fajar mengabarkan Khilafah 'ala Minhajin Nubuwwah telah berdiri.
Amin y robbal'alamin
Karena itu marilah qt bersegera menggapai Ridha Allah,
Menggapai Surga dan Pertolongan Nya serta Keselamatan d dunia dan akhirat..
Wallahua'lam
Di riwayatkan oleh Anas bin Malik ra...
Pada penghujung nafasnya- Junjungan tercinta Rasululullah saw- yg terahir beliau menggerakkan kedua bi2rnya dua kali dan akupun mendekatkan telingaku baik baik, maka aku masih sempat mendengar beliau berkata dg pelan pelan: ummati... Ummati...
Saudaraku.. 15 abad telah berlalu...
Sesak nafas Rasulullah saw di penghujung usianya yg mulia itu...
Kau RASAKAH??
Di antara jerit pilu saudara2 qt d palestina..
Diantara teriak amarah dan kepedihan saudara2 qt d moskow..
Diantara rasa lapar dan tangisan bayi2 tak berdosa yg dikelilingi gelimpangan mayat2 ibu bapa mereka di Darfur..
Diantara rasa cemas dan ketakutan saudara2 qt di Cina..
Diantara ketidak adilan yg merajalela..
Diantara sekian banyak orang yg tertindas..
Diantara kedzaliman, hingar bingar yg dipenuhi hawa nafsu yg melanda kaum muslimin..
Saudaraqu..
Tak terasa sesakkah nafas qt?
Tatkala jari jemari berlumur dusta dan maksiat menghampiri dan membuka ruang2 pribadi qt..
Tatkala asap2 racun mulai berhembus memenuhi seluruh ruang kehidupan qt,, menyelusup hingga ke stiap urat pembuluh darah..
Tatkala musuh2 Islam mulai memeluk satu persatu orang2 terdekat qt..saudara2 qt..
Tatkala mereka cekcokkan racun LIBERALISASI KELUARGA ke stiap rongga dada kaum muslimin...
Tatkala stiap kepalsuan mereka bingkai dg kemunafikan...
Tatkala setiap kedustaan mereka bungkus rapat dengan Legalisasi...
Tatkala setiap kebobrokan mereka warnai dengan modernisasi...
Hinggga.......
Membutakan mata kaum muslimin..
Menulikan pendengaran kaum muslimin...
Mematikan hati kaum muslimin..
(Na'udzubillah)
Saudara2 qu seiman, seislam, seaqidah
Yg mengaku ummatnya Nabi Muhammad saw..
AKANKAH QT BERDIAM DIRI????
Sahabat..
Memang benar Kembalinya kembalinya kehidupan Islam adalah janji Allah dan Rasul Nya.
Tapi..
Ia (janji itu) harus d jemput dan
Pertolongan Allah itu tidak percuma...
Harus d tebus dg te2san keringat..air mata, waktu, harta dan bhkan raga..
Dan jangan takut, ktk qt ikhlas dlam berkorban utk Nya, mka ingatlah firman Allah swt :
"Sesungguhnya Allah telah membeli dr org2 Mukmin jiwa dan harta mereka (yg dibayar) dengan surga utk mereka".
(QS. At Taubah: 111)
"siapa yg menolong agama Allah maka Allah akan menolongnya"
Tidak tergerakkah hati qt, langkah qt, pikiran qt utk menjemput Janji Nya?
Hinga saatnya nanti ktk fajar mengabarkan Khilafah 'ala Minhajin Nubuwwah telah berdiri.
Amin y robbal'alamin
Karena itu marilah qt bersegera menggapai Ridha Allah,
Menggapai Surga dan Pertolongan Nya serta Keselamatan d dunia dan akhirat..
Wallahua'lam
Ya ALLAH ada apa dengan KAMI??????????
Ya Allah ada apa dengan kami???
Beberapa saat Sebelum menulis note ini saya membaca tulisan2, komentar2 di sbuah fanspage berlebel islami, yang disana juga ada berbagai diskusi para “aktivis”.
Tanpa terasa menetes air mata...
Kenapa..? ku tak tau, juga tak mengerti..
Hanya saja....
Melihat saudara/i ku seaqidah,,, seiman,, seagama yang juga katanya para aktivis penuh semangat ternyata sangat menentang perjuangan Syariah & Khilafah..
Tertawa remeh..
Astaghfirullah...
Hanya bisa berhusnudzon,
Ya Allah ada apa dengan kami????
Apakah Engkau sudah menutup mata hati kami??? (Na’udzubillaah)
Ada apa dengan diri kami???
Ya Allah,,, kami sadar bahwa tiada Tuhan selain Engkau, tiada yang berhak disembah selain Engkau dan Muhammad saw adalah utusan Mu.
Tapi....
Kenapa hati2 kami begitu berat untuk berhukum pada hukum2 Mu
Begitu Enggan di atur dengan aturan2 Mu
Padahal.. ya Allah
Ketika kami shalat, kami mengingat Mu
Ketika kami berdoa, kami bersimpuh dihadapan Mu
Tapi kenapa ya Allah..
Setelah shalat Engkau kami campakkan????
Ketika shalat kami begitu ketakutan jika Engkau Tidak menerima shalat kami..
Tapi kenapa, ketika beraktivitas kami tidak mau tau dengan Engkau ya Allah..
Setiap selesai shalat kami menyempatkan diri membaca kitab suci Mu..
Yang didalamnya berisi hukum2 Mu, perintah dan larangan Mu.. tapi kenapa
Setelah itu kami tidak mau tau dengan apa yang kami baca,
Tidak mau tau dengan perintah dan larangan Mu. Dan bahkan kami hanya mengambil seperlunya saja, yang ketika itu bermanfaat bagi kami..
( Astaghfirullaah..)
Ya Rabb, ada apa dengan kami ini???
Kami sadar kami semua (sluruh kaum muslimin) adalah bersaudara..
Tapi kenapa,, kami tidk mau tau dengan mereka semua..
Tidaak merasa sakit ketika mereka di sakiti dan bahkan di bantai & di bunuh..
Tidak mau tau dengan urusan saudara kami hanya karena berbeda negara.
Kami merindukan kebahagiaan.. tapi kami mengejar kebahagiaan semu.
Kami merindukan keadilan dan kesejahteraan.. tapi kami meninggalkan Engkau Rabb Yang Maha adil.
Kami merindukan Rahmat, Ridho dan kasih sayang Mu..
Tapi ya Allah,,, kami masih rela menyerahkan urusan kami pada selain Mu..
Ya Allah bagaimana kami akan mendapatkan Ridho Mu sedangkan kami hidup di atur oleh aturan selain aturan (syariat) Mu..
Ya Rabbul’izzati...
Maafkanlah kami
Ampunilah kami
Jangan Kau matikan hati kami
Karuniakanlah hidayah Mu kepada kami
Bukakanlah hati2 kami untuk Ridho terhadap semua hukum-hukum Mu.
Amiin ya Mujibbasa’ilin.
Sahabat... sadarkah kita???
Sistem telah membuat kita seperti ini??
KAPITALISME telah menjadikan kita
-Induvidualis sehingga kita malas berfikir, tidak mau tau dengan keadaan sekitar termasuk keadaan ummat.
-Materialis dimana ia menuntut kita mengejar materi sebanyak2nya, jabatan setinggi2nya (untuk materi). Sehingga Arti kebahagiaan kita tidak lagi ketika mendapat Ridho Allah tapi ketika mendapat materi yang banyak, jabatan yang tinggi. Dan akibatnya banyak saudara2 kita yang rela meninggalkan agamanya demi materi, rela meninggalkan ideologinya demi jabatan. (Astaghfirullaah..)
-mengajarkan kita bahwa manfaat sebagai standar kehidupan sehingga kita tidak lagi peduli halal atau haram, sesua perintah Allah atau tidak.
-membuat kita berfikiran sekuler,, sehingga kita tidak mau di atur oleh Allah dalam kehidupan
-Demokrasinya membuat kita menyerahkan segala urusan pada sesama mahluk (manusia) dan mencampakkan hukum2 Nya.
-liberalisme (produkx) mmbwt qt mengejar kebebasan dn ingin hdup sbebas2nya.
-Hedonis
-membuat qt lupa bahwa semuanya akan di mintai pertanggungjawabanx kelak.
Dll..
Wallahua’lam.
Sahabat fillah...
Tidak rindukah kita merasakan kemuliaan dan keindahan hidup di bawah naungan Syariat Nya???
Tidak takutkah kita akan murkanya?? Azabnya ketika kita masih mencampakkan ayat2 Nya???
“ Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka kami siksa mereka sesuai apa yg telah mereka kerjakan” (QS. Al-A’raf: 96)
Tidak takutkah qt kelak jk qt d bangkitkan dalam keadaan buta krn tdk mau tau dengan ayat2 Ny? Tdk mau tau dg aturan2 Nya??
"Dan barang siapa yg berpaling dari peringatan Ku, maka sungguh dia akan menjalani kehidupan yg sempit dan Kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta,
Dia berkata "wahai Tuhanku, mengapa Engkau kumpulkan aku dalam keadaan buta, padahal dulu aku dpt melihat?"
Dia (Allah) berfirman: "demikianlah, dahulu telah datang kepadamu ayat2 Kami, dan kamu mengabaikannya, jadi begitu (pula) pada hari ini kamu di abaikan"
(QS. Taha:124-126)
Na'dzubillahimindzalik.
Apakah kita masih berharap dan rela menyerahkan urusan dan pembuat hukum pada selain Nya (manusia)???
“Apakah hukum jahiliah yang kalian kehendaki? Maka Hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum2 Allah bagi orang-orang yang yakin” (QS. Al- Ma’idah: 50)
Ya Allah jadikanlah kami Hamba-Hamba Mu yang senantiasa tunduk kepada-Mu. Jauhkanlah kami dari sifat kesombongan, sehingga kami tidak menolak hukum dan syariat-Mu, dan tidak memandang hukum buatan manusia sebagai hal yang lebih adil dan lebih bijaksana daripada hukum-hukum Mu. Amiin ya Robbal’alamin
****
Tiada Kemuliaan Tanpa Islam
Tak Sempurna islam tanpa Syariah
Tak kan tegak Syariah tanpa Daulah
Daulah Khilafah Islamiyah
Beberapa saat Sebelum menulis note ini saya membaca tulisan2, komentar2 di sbuah fanspage berlebel islami, yang disana juga ada berbagai diskusi para “aktivis”.
Tanpa terasa menetes air mata...
Kenapa..? ku tak tau, juga tak mengerti..
Hanya saja....
Melihat saudara/i ku seaqidah,,, seiman,, seagama yang juga katanya para aktivis penuh semangat ternyata sangat menentang perjuangan Syariah & Khilafah..
Tertawa remeh..
Astaghfirullah...
Hanya bisa berhusnudzon,
Ya Allah ada apa dengan kami????
Apakah Engkau sudah menutup mata hati kami??? (Na’udzubillaah)
Ada apa dengan diri kami???
Ya Allah,,, kami sadar bahwa tiada Tuhan selain Engkau, tiada yang berhak disembah selain Engkau dan Muhammad saw adalah utusan Mu.
Tapi....
Kenapa hati2 kami begitu berat untuk berhukum pada hukum2 Mu
Begitu Enggan di atur dengan aturan2 Mu
Padahal.. ya Allah
Ketika kami shalat, kami mengingat Mu
Ketika kami berdoa, kami bersimpuh dihadapan Mu
Tapi kenapa ya Allah..
Setelah shalat Engkau kami campakkan????
Ketika shalat kami begitu ketakutan jika Engkau Tidak menerima shalat kami..
Tapi kenapa, ketika beraktivitas kami tidak mau tau dengan Engkau ya Allah..
Setiap selesai shalat kami menyempatkan diri membaca kitab suci Mu..
Yang didalamnya berisi hukum2 Mu, perintah dan larangan Mu.. tapi kenapa
Setelah itu kami tidak mau tau dengan apa yang kami baca,
Tidak mau tau dengan perintah dan larangan Mu. Dan bahkan kami hanya mengambil seperlunya saja, yang ketika itu bermanfaat bagi kami..
( Astaghfirullaah..)
Ya Rabb, ada apa dengan kami ini???
Kami sadar kami semua (sluruh kaum muslimin) adalah bersaudara..
Tapi kenapa,, kami tidk mau tau dengan mereka semua..
Tidaak merasa sakit ketika mereka di sakiti dan bahkan di bantai & di bunuh..
Tidak mau tau dengan urusan saudara kami hanya karena berbeda negara.
Kami merindukan kebahagiaan.. tapi kami mengejar kebahagiaan semu.
Kami merindukan keadilan dan kesejahteraan.. tapi kami meninggalkan Engkau Rabb Yang Maha adil.
Kami merindukan Rahmat, Ridho dan kasih sayang Mu..
Tapi ya Allah,,, kami masih rela menyerahkan urusan kami pada selain Mu..
Ya Allah bagaimana kami akan mendapatkan Ridho Mu sedangkan kami hidup di atur oleh aturan selain aturan (syariat) Mu..
Ya Rabbul’izzati...
Maafkanlah kami
Ampunilah kami
Jangan Kau matikan hati kami
Karuniakanlah hidayah Mu kepada kami
Bukakanlah hati2 kami untuk Ridho terhadap semua hukum-hukum Mu.
Amiin ya Mujibbasa’ilin.
Sahabat... sadarkah kita???
Sistem telah membuat kita seperti ini??
KAPITALISME telah menjadikan kita
-Induvidualis sehingga kita malas berfikir, tidak mau tau dengan keadaan sekitar termasuk keadaan ummat.
-Materialis dimana ia menuntut kita mengejar materi sebanyak2nya, jabatan setinggi2nya (untuk materi). Sehingga Arti kebahagiaan kita tidak lagi ketika mendapat Ridho Allah tapi ketika mendapat materi yang banyak, jabatan yang tinggi. Dan akibatnya banyak saudara2 kita yang rela meninggalkan agamanya demi materi, rela meninggalkan ideologinya demi jabatan. (Astaghfirullaah..)
-mengajarkan kita bahwa manfaat sebagai standar kehidupan sehingga kita tidak lagi peduli halal atau haram, sesua perintah Allah atau tidak.
-membuat kita berfikiran sekuler,, sehingga kita tidak mau di atur oleh Allah dalam kehidupan
-Demokrasinya membuat kita menyerahkan segala urusan pada sesama mahluk (manusia) dan mencampakkan hukum2 Nya.
-liberalisme (produkx) mmbwt qt mengejar kebebasan dn ingin hdup sbebas2nya.
-Hedonis
-membuat qt lupa bahwa semuanya akan di mintai pertanggungjawabanx kelak.
Dll..
Wallahua’lam.
Sahabat fillah...
Tidak rindukah kita merasakan kemuliaan dan keindahan hidup di bawah naungan Syariat Nya???
Tidak takutkah kita akan murkanya?? Azabnya ketika kita masih mencampakkan ayat2 Nya???
“ Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka kami siksa mereka sesuai apa yg telah mereka kerjakan” (QS. Al-A’raf: 96)
Tidak takutkah qt kelak jk qt d bangkitkan dalam keadaan buta krn tdk mau tau dengan ayat2 Ny? Tdk mau tau dg aturan2 Nya??
"Dan barang siapa yg berpaling dari peringatan Ku, maka sungguh dia akan menjalani kehidupan yg sempit dan Kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta,
Dia berkata "wahai Tuhanku, mengapa Engkau kumpulkan aku dalam keadaan buta, padahal dulu aku dpt melihat?"
Dia (Allah) berfirman: "demikianlah, dahulu telah datang kepadamu ayat2 Kami, dan kamu mengabaikannya, jadi begitu (pula) pada hari ini kamu di abaikan"
(QS. Taha:124-126)
Na'dzubillahimindzalik.
Apakah kita masih berharap dan rela menyerahkan urusan dan pembuat hukum pada selain Nya (manusia)???
“Apakah hukum jahiliah yang kalian kehendaki? Maka Hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum2 Allah bagi orang-orang yang yakin” (QS. Al- Ma’idah: 50)
Ya Allah jadikanlah kami Hamba-Hamba Mu yang senantiasa tunduk kepada-Mu. Jauhkanlah kami dari sifat kesombongan, sehingga kami tidak menolak hukum dan syariat-Mu, dan tidak memandang hukum buatan manusia sebagai hal yang lebih adil dan lebih bijaksana daripada hukum-hukum Mu. Amiin ya Robbal’alamin
****
Tiada Kemuliaan Tanpa Islam
Tak Sempurna islam tanpa Syariah
Tak kan tegak Syariah tanpa Daulah
Daulah Khilafah Islamiyah
Wahai Diriku.. wahai Saudariku.. Wahai Kaum Perempuan.. Wahai Kaum Ibu
"Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan dari manusia yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah"
(QS. Al Imran: 110)
Saudariku..
Saat ini...
Kehidupan umat amat mengenaskan..
Krisis Multidimensi
Mengimbas pada kehidupan Perempuan..
Perempuan hidup jauh dari kemuliaan...
Kemiskinan MEMAKSA perempuan bekerja dan diperlakukan zolim..
Tidak ada pilihan buat mereka..
Tergoda untuk mencari kedudukan,materi, pengakuan dan ambisi pribadi lainnya..
Dengan dalih kesamaan hak dan emansipasi..
Mereka melupakan jati dirinya sebagai SEORANG PEREMPUAN dan IBU bagi anak-anaknya, generasi masa depan..
Mereka telah TERJEBAK dan Terbius oleh Racun KAPITALISME dan LIBERALISME...
Dieksploitasi tanpa sadar..
Lalu...
Kehilangan kehormatan..
Wahai kaum Perempuan..
Wahai Kaum Ibu..
Engkaulah insan yang dimuliakan..
Wahai kaum ibu..
Kemuliaanmu, penentu generasi ini wahai kaum Ibu..
Lihatlah anak2 itu...
Tatap senyum harapan itu..
Engkaulah yang menentukan masa depan mereka..
Dekap kasih sayangmulah yg mereka nanti...
Syurga dan kasih sayang dapat terasa dr senyumanmu..
Wahai sang Ibu..
Lihatlah sekarang..
Banyak kaum ibu meninggalkan permata hatinya..
Melupakan Tugas utamanya sebagai Ummu wa Rabbah al Bait..
Sebagai Pendidik Pertama & Utama utk Anak-anak mereka.
Banyak kaum ibu yg terjebak dalam kubangan itu...
Ya.. Kubangan Kapitalisme yg menghinakan..
Bebaskan mereka..
Dari Kubangan itu.!
Selamatkan mereka wahai kaum PEREMPUAN..
Selamatkan mereka wahai kaum IBU..
#untuku, untukmu, untuk para perempuan..
Untuk para kaum Ibu..
Subscribe to:
Posts (Atom)