Kerinduan umat akan khilafah kini sudah semakin besar. Umat yang awalnya yakin akan sistem demokrasi yang mereka anut, kini mulai ragu. Hal ini dikarenakan demokrasi bukannya mengubah kondisi mereka ke arah yang lebih baik. Yang terjadi saat ini malah memperburuk keadaan mereka. Umat pun mulai melirik konsep khilafah, suatu konsep yang telah teruji mampu menyejahterakan rakyatnya. Hukum pun ditegakkan secara adil dan tanpa pandang bulu.
Namun di balik harapan besar itu, ada saja segelintir orang yang menolaknya. Dengan getolnya mereka berusaha memunculkan opini publik yang buruk tentang penerapan syariat Islam di Indonesia. Termasuk di dalamnya para aktifis liberal. Mereka menjadikan kemajemukan di Indonesia sebagai alasan utama penolakan Khilafah. "Negeri ini kan penduduknya nggak semuanya Muslim. Maka jangan mendirikan Negara Islam di sini!" ujar seorang pluralis pada salah satu artikel di internet.
Jika kemajemukan dijadikan alasan utama, tentu salah besar. Sebab pada faktanya ternyata khilafah mampu mengatur kemajemukan yang terjadi saat itu. Ketika Rasulullah hijrah ke Madinah, penduduk kota ini bukan hanya Islam, tapi juga Kristen, Yahudi, bahkan orang-orang musyrik. Namun Rasulullah tetap bisa mengatur dan menyejahterakan rakyatnya dengan menerapkan syariah Islam.
Dalam daulah Islam di Madinah, hukum ditegakkan dengan sangat adil dan tanpa mendiskriminasi kaum non-Muslim. Kita teringat akan kisah baju perang Khalifah Ali bin Abi Thalib ra yang dicuri oleh seorang Yahudi. Saat kasusnya dilimpahkan ke pengadilan, ternyata hakim malah memenangkan orang Yahudi tersebut. Kala itu Khalifah Ali ra tidak memiliki bukti dan hanya mampu menghadirkan anaknya (Hasan) sebagai saksi.
Urusan menyejahterakan rakyat, Islam juaranya. Kita juga teringat akan kisah kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Beliau berhasil menjadikan seluruh penduduknya hidup dalam kecukupan, termasuk di dalamnya orang Muslim maupun non-Muslim. Ibnu Abdil Hakam (Sirah Umar bin Abdul'Aziz hlm. 59) meriwayatkan, Yahya bin Said, seorang petugas zakat masa itu berkata, "Saya pernah diutus Umar bin Abdul Aziz untuk memungut zakat ke Afrika. Setelah memungutnya, saya bermaksud memberikannya kepada orang-orang miskin. Namun, saya tidak menjumpai seorang pun. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan semua rakyat pada waktu itu berkecukupan. Akhirnya, saya memutuskan untuk membeli budak lalu memerdekakannya." (Al-Qaradhawi, 1995).
Islam mempunyai aturan tersendiri untuk mengatur kemajemukan masyarakat. Non-Muslim yang tunduk terhadap aturan Islam (dzimmi), diperbolehkan memeluk agamanya dan beribadah menurut agamanya. Non Muslim pun dibolehkan makan, minum dan berpakaian menurut keyakinan mereka, termasuk dalam urusan pernikahan dan perceraian.
Mazhab Imam Abu Hanifah menyatakan: "Islam membolehkan ahlu dzimmah meminum minuman keras, memakan daging babi, dan menjalankan segala aturan agama mereka dalam wilayah yang diatur oleh syariat. Maka, selama hal tersebut dilakukan secara privat dan tidak dilakukan di ruang publik, negara Islam tidak punya urusan untuk mengusik masalah-masalah pribadi mereka. Namun bila, misalnya seorang ahlu dzimmah membuka toko yang menjual minuman keras, maka dia akan dihukum berdasarkan aturan syariat Islam”.
Namun non Muslim diharuskan taat terhadap hukum-hukum yang menyangkut urusan publik/muamalah. Masalah lain dan aturan-aturan lain yang digariskan syariat Islam, seperti sistem sanksi, sistem peradilan, sistem pemerintahan, ekonomi, dan kebijakan luar negeri, diterapkan oleh negara Islam pada semua orang secara sama, tanpa memandang Muslim atau non-Muslim.
Oleh karena itu, tidak ada alasan lagi bahwa non-Muslim akan tertindas jika syariat Islam ditegakkan. Keadilan dan kesejahteraan seluruh rakyat merupakan sesuatu yang sudah dijamin oleh negara tanpa melihat apakah ia Muslim atau tidak. Hanya dengan Islamlah, berbagai masalah umat akan terpecahkan.
Sekarang semuanya tergantung kita. Apakah kita akan tetap berpegang dengan ideologi Islam yang terbukti selama 13 abad mampu mengatur seluruh kemajemukan yang ada? Atau kita memilih ideologi sosialisme yang hanya bertahan 72 tahun? Atau kapitalisme yang kini hanya tinggal menunggu waktu keruntuhannya saja? Jika kita masih mampu berfikir logis, tentu tidak ada pilihan lain yang tepat selain Islam. Allahu Akbar!
No comments:
Post a Comment