Assalamu'alaykum ^_^

Teruntuk Siapapun Yang Merindukan Kemuliaan & Kebangkitan ISLAM

Assalamu'alaykum Warahmatullah..

Selamat Datang
Semoga Bermanfaat

6/23/11

Kolonialisme Gaya Baru

Oleh : Mujiyanto


VOC zaman Belanda memaksa rakyat menyerahkan kekayaannya, sekarang cukup melalui perusahaan-perusahaan multinasional.

"Salah satu manifestasi globalisasi dalam bidang ekonomi, misalnya, adalah pengalihan kekayaan alam suatu negara ke negara lain, yang setelah diolah dengan nilai tambah yang tinggi, kemudian menjual produk-produk ke negara asal, sedemikian rupa sehingga rakyat harus "membeli jam kerja" bangsa lain. Ini adalah penjajahan dalam bentuk baru, neo-colonialism, atau dalam pengertian sejarah kita, suatu “VOC (Verenigte Oostindische Componie) dengan baju baru."

Itulah cuplikan pidato mantan Presiden Indonesia BJ Habibie di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, mantan Presiden Megawati Soekarnoputri, Ketua MPR Taufik Kiemas dan hadirin lainnya dalam peringatan hari lahir Pancasila 1 Juni 2011 di gedung DPR/MPR Jakarta.

Pernyataan Habibie ini menyentil kondisi Indonesia yang kian liberal dengan membuka kran lebar-lebar bagi masuknya asing menguasai kekayaan alam Indonesia. Rakyat sebagai pemilik sejati sumber daya alam hanya menjadi konsumen terhadap barang milik mereka sendiri di tanah mereka sendiri.

Hasil jejak pendapat pro dan kontra di www.detiknews.com mengamini pernyataan Habibie ini. Sebanyak 87 persen publik setuju, hanya 13 persen yang tak setuju. Mereka merasakan apa yang terjadi itu.

Berdasarkan data yang ada, dominasi asing di sektor-sektor strategis seperti keuangan, energi
dan sumber daya mineral, telekomunikasi, dan perkebunan adalah sebuah fakta yang tak bisa ditolak.

Data penelusuran Kompas menyebut, per Maret 2011 pihak asing telah menguasai 50,6 persen aset perbankan nasional. Dengan demikian, sekitar Rp 1.551 trilyun dari total aset perbankan Rp 3.065 trilyun dikuasai asing. Secara perlahan porsi kepemilikan asing terus bertambah. Per Juni 2008 kepemilikan asing baru mencapai 47,02 persen.

Hanya 15 bank yang menguasai pangsa 85 persen. Dari 15 bank itu, sebagian sudah dimiliki asing. Dari total 121 bank umum, kepemilikan asing ada pada 47 bank dengan porsi bervariasi.

Terkait keuangan, asuransi juga didominasi asing. Dari 45 perusahaan asuransi jiwa yang beroperasi di Indonesia, tak sampai setengahnya yang murni milik Indonesia. Kalau dikelompokkan, dari asuransi jiwa yang ekuitasnya di atas Rp 750 milyar hampir semuanya usaha patungan. Dari sisi perolehan premi, lima besarnya adalah perusahaan asing.

Dominasi itu sangat tampak di pasar modal/bursa efek. Total kepemilikan investor asing 60-70 persen dari semua saham perusahaan yang dicatatkan dan diperdagangkan di bursa efek. Di sana bisa dilihat pula bahwa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang telah diprivatisasi, kepemilikan asing sudah mencapai 60 persen.

Yang lebih tragis lagi adalah di sektor sektor minyak dan gas. Porsi operator migas nasional hanya sekitar 25 persen, selebihnya 75 persen dikuasai pihak asing. Dari total 225 blok migas yang dikelola kontraktor kontrak kerja sama non Pertamina, 120 blok dioperasikan perusahaan asing, hanya 28 blok yang dioperasikan perusahaan nasional, serta sekitar 77 blok dioperasikan perusahaan gabungan asing dan lokal. Di perusahaan patungan itu porsi asing pun cukup besar.

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada 2009, dari total produksi minyak di Indonesia, Pertamina hanya memproduksi 13,8 persen. Sisanya dikuasai swasta asing seperti Chevron (41 persen), Total E&P Indonesia (10 persen), Conoco Philips (3,6 persen) dan CNOOC (4,6 persen).

Data lain mengungkap lebih rinci penguasaan ladang minyak dan gas di Indonesia oleh asing tersebut. Tercatat dari 60 kontraktor, lima di antaranya dalam kategori super major, yakni Exxon Mobil, Shell Penzoil, Total Fina Elf, BP Amoco Arco, dan Chevron Texaco. Lima perusahaan ini menguasai cadangan minyak 70 persen dan gas 80 persen. Selebihnya masuk kategori major, seperti Conoco, Repsol, Unocal, Santa Fe, Gulf, Premier, Lasmo, Inpex, Japex. Perusahaan ini menguasai cadangan minyak 18 persen dan gas 15 persen. Perusahaan independen hanya menguasai cadangan minyak 12 persen dan gas 5 persen. Diperkirakan hasil dari mengeruk kekayaan alam Indonesia menca¬pai l.655 milyar dolar AS atau l4,3 ribu trilyun/tahun. Ini jauh lebih besar dibandingkan total utang pemerintah Indonesia hingga April 2011 yang mencapai Rp 1.697,44 trilyun.

Tidak hanya di hulu, perusahaan migas asing ini pun mulai merambah ke sektor hilir. Beberapa perusahaan asing seperti Shell, Total dan Petronas telah menancapkan kukunya dengan membangun SPBU di lokasi-lokasi strategis. Setidaknya ada 105 perusahaan migas asing yang memperoleh izin mendirikan SPBU. Bahkan pemerintah memberikan kesempatan kepada masing-masing perusahaan untuk membuka sekitar 20 ribu SPBU di seluruh Indonesia.

Di sektor telekomunikasi, perusahaan asing mendominasi perusahaan telekomunikasi. Bahkan perusahaan negara yang sangat vital dalam lalulintas data yakni Indosat, 70,14 persen sahamnya dimiliki asing. Porsi asing di perusahaan telekomunikasi lainnya cukup besar. SmartFren Telecom 23,91 persen, Telkomsel 35 persen, Hutchinson 60 persen, Xl Axiata 80 persen, dan Natrindo 95 persen.

Asing kini pun mulai merambah sektor perkebunan, khu¬susnya kelapa sawit. Guthrie Bhd (Malaysia) 167.908 Ha. Wilmar International Group (Singapura) 85.000 ha, Hindoli - Cargill (AS) 63.455 ha, Kuala Lumpur Kepong Bhd (Malaysia) 45.714 ha, SIPEF Group (Belgia) 30.952 ha, Golden Hope Group (Malaysia) 12.810 ha (Kompas, 23/5).

Di luar itu, produk-produk Cina membanjiri pasar Indonesia. Semua produk Cina dari mulai jarum, peniti, hingga pesawat terbang masuk Indonesia tanpa bisa lagi dikendalikan. Meski data sedemikian gamblang, pemerintah menyatakan secara keseluruhan tidak ada dominasi asing di Indonesia. Lalu apa dong?

Memproteksi Harta Umat

Pangkal persoalan berkuasanya VOC gaya baru di Indonesia adalah regulasi. Mereka bisa leluasa menjalankan aksinya karena didukung oleh legalisasi aturan yang menguntungkan mereka. Apalagi bukan rahasia jika draft aturan perundang-undangan yang kini menjadi UU adalah hasil kerja VOC tersebut.

Suatu yang sulit menghilangkan dominasi asing bila tidak ada perubahan regulasi secara fundamental. Hanya pertanyaannya, mungkinkah regulasi tersebut diubah 'melawan' dominasi sementara para penguasa dan wakil rakyat telah ikut merasakan 'nikmat' adanya regulasi tersebut? Dan ini bagi penguasa adalah sebuah bahaya karena VOC bisa menjatuhkannya seperti yang terjadi pada Soekarno maupun Soeharto.

Solusi Islam

Memang harus ada perubahan regulasi secara mendasar terkait penguasaan itu sendiri. Bolehkah harta/barang yang menguasai hajat hidup orang banyak diserahkan kepada individu atau perusahaan swasta? Dalam hal seperti ini, Islam memiliki jawaban yang sangat jelas. Islam mengatur persoalan kepemilikan secara tegas.

Islam membedakan kepemilikan menjadi tiga yakni milik pribadi; milik umum; dan milik negara. Pribadi/swasta tidak boleh memiliki milik umum atau milik negara.
Kepemilikan umum mencakup: pertama, fasilitas umum; meliputi semua fasilitas yang dibutuhkan oleh publik yang jika tidak ada akan menyebabkan kesulitan bagi komunitas atau publik dan dapat menimbulkan persengketaan; Kedua, barang tambang dalam jumlah sangat besar. Ini haram dimiliki secara pribadi. Contoh: minyak bumi, emas, perak, besi, tembaga, dll. Ketiga, benda-benda yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki oleh pribadi; meliputi jalan, sungai, laut, danau, tanah tanah umum, teluk, selat, dan sebagainya.

Pengelolaan milik umum sepenuhnya dilakukan oleh negara sebagai wakil umat. Hasilnya digunakan untuk kemakmuran rakyat. Ada prasyarat dalam pengelolaan harta/barang milik umum ini yakni semaksimal mungkin tidak menimbulkan kerusakan baik lingkungan, ekosistem maupun sosial.

Rasulullah SAW pernah mengambil kebijakan untuk memberikan tambang garam kepada Abyadh bin Hammal Al Mazini. Namun, kebijakan tersebut kemudian ditarik kembali oleh Rasulullah setelah mengetahui tambang yang diberikan kepada Abyadh bin Hammal laksana air yang mengalir.

Berdasarkan hadits tersebut, diperbolehkan individu menguasai area tambang jika luas dan depositnya sedikit. Hasil eksploitasi barang tambang yang diperoleh individu tersebut dikenakan khumus atau seperlimanya untuk dimasukkan ke dalam Baitul Mal (kas negara) sebagai bagian dari harta fai.

Sebaliknya, barang tambang yang jumlahnya tidak terbatas tidak boleh dikuasai individu karena termasuk harta milik umum dan hasilnya masuk dalam kas Baitul Mal. Rasulullah bersabda, "Kaum Muslim bersekutu dalam tiga hal: air, padang dan api" (HR Abu Dawud). Hadits ini juga menegaskan, yang termasuk harta milik umum adalah sumber daya alam yang sifat pembentukannya menghalangi individu untuk memilikinya.

Dengan demikian, penguasaan sumber daya alam di tangan negara tidak hanya akan berkontribusi pada kemananan penyediaan komoditas primer untuk keperluan pertahanan dan perekonomian negara, tetapi juga menjadi sumber pemasukan negara yang melimpah pada pos harta milik umum.

Kalau negara membatasi demikian rupa kepemilikan, maka tidak akan ada perusahaan multinasional yang akan seenaknya masuk layaknya VOC. Jika negara membutuhkan mereka dalam hal tertentu seperti eksploitasi misalnya, mereka hanyalah sebagai operator yang dikontrak.

Itu pun masih dibatasi oleh hubungan diplomatik antarnegara. Islam memandang tidak boleh ada hubungan sama sekali dengan negara yang memusuhi umat Islam. Haram mengadakan hubungan dengan mereka termasuk dengan perusahaan-perusahaannya.

Pengaturan seperti itu tidak ada dalam sistem ekonomi liberal yang berlaku sekarang. Batas kepemilikan tidak jelas. Pembatasan kepemilikan terhadap suatu barang hanya ditentukan oleh kemampuan individu. Walhasil, siapa yang kuat dialah yang bisa menguasai barang apapun. Sedangkan yang lemah tersingkir. Inilah yang menyebabkan munculnya eksploitasi manusia atas manusia lainnya.

Walhasil, kehancuran ekonomi yang terjadi sekarang sebenarnya sangat jelas sumbernya yakni sistem kapitalisme-sekuler itu sendiri yang meliberalkan sektor ekonomi. Islam tidak ada andil sedikitpun dalam kerusakan ekonomi tersebut. Justru Islam menawarkan solusi bagi penyelesaian masalah itu.

Hanya saja, sistem ekonominya Islam akan mampu menyejahterakan umat—baik Muslim maupun non Muslim—di bawah naungan khilafah yakni negara yang menerapkan Islam secara kaffah.

No comments:

Post a Comment