Katakanlah, "Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah, "Taatilah Allah dan Rasul-Nya. Jika kalian berpaling maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir."
Qs. Ali-Imran [3]: 31-32).
Sabab Nuzul
Hasan bin Abi al-Hasan dan Ibnu al-Juraij menuturkan, ada beberapa kaum berkata kepada Nabi Saw, "Wahai Muhammad, sungguh kami mencintai Tuhan kami." Kemudian turun ayat ini memerintahkan mereka untuk mengikuti Muhammad Saw sebagai bukti kecintaan mereka kepada Allah.*1)
Menurut Muhammad bin Ja'far bin az-Zubair, ayat ini turun terkait dengan delegasi Nasrani Najran. Mereka datang kepada Nabi Saw dan menyatakan bahwa klaim mereka tentang Isa adalah karena kecintaan mereka kepada Allah.*2)
Menurut sebagian lain, ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani yang mengaku mencintai dan dicintai Allah, seperti yang diberitakan Allah SWT: Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan, "Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya." (Qs. al-Mâ'idah [5]: 18).*3)
Tafsir Ayat
Al-Mahabbah (cinta) berarti kecenderungan jiwa pada sesuatu.*4) Cinta itu muncul pada diri manusia karena ia meyakini kesempurnaan sesuatu yang dia cintai. Kesempurnaan hakiki hanya milik Allah SWT dan semua kesempurnaan yang ada pada makhluk juga berasal dari Allah. Ketika seorang hamba meyakini hal itu, maka tiada rasa cinta pada dirinya kecuali kepada Allah dan karena Allah. Keyakinan itu akan menuntunnya untuk menaati-Nya dan senang melakukan apa saja yang dapat mendekatkan diri kepada-Nya.*5) Karena itu, para ulama menafsirkan al-mahabbah li Allâh (cinta kepada Allah) sebagai kesediaan untuk menaati-Nya.*6)
Ungkapan ayat ini bersifat umum mencakup siapa saja yang mengaku cinta kepada Allah.*7)Siapa yang mengaku mencintai Allah harus membuktikannya dengan mengikuti Rasul-Nya, Muhammad Saw. Tugas beliau adalah menyampaikan risalah-Nya kepada seluruh manusia. Melalui beliau, manusia dapat beribadah kepada Allah SWT secara benar, membedakan yang haq dan yang batil, yang diridhai dan yang dimurkai Allah, yang diperintahkan dan yang dilarang-Nya. Semua yang beliau sampaikan adalah wahyu (Qs. an-Najm [53]: 4-5). Jadi, menaati Rasulullah Saw pada hakikatnya adalah menaati Allah SWT (Qs. an-Nisâ' [4]: 80).
Ayat ini menegaskan wajibnya seluruh manusia mengikuti agama yang beliau bawa, Islam. Beliau diutus mengemban risalah untuk seluruh manusia. Sejak beliau diutus, semua agama selain Islam dinyatakan tidak sah dan tidak boleh diikuti dan harus ditinggalkan. Umar ra. menuturkan, Rasulullah Saw pernah bersabda:
Demi Zat yang jiwaku di tangan-Nya, seandainya Musa as. berada di tengah-tengah kalian, kamudian kalian mengikutinya dan meninggalkan aku, maka sungguh kalian telah tersesat. Sesungguhnya kalian adalah bagianku dari umat-umat (yang ada) dan aku adalah bagianmu dari nabi-nabi (yang ada). [HR. Ahmad].
Ibnu Katsir menjelaskan, "Ayat ini menegaskan, setiap orang yang mengaku cinta kepada Allah, namun tidak berada di atas tharîqah (jalan atau sunnah) Mahammad Saw, sungguh dia telah berdusta dalam pengakuaannya itu, hingga dia mau mengikuti syariah dan agama Muhammad Saw dalam ucapan dan tindakannya."
Siapa saja yang melakukan suatu amal di luar syariah kami, maka amalnya tertolak. [HR. Bukhari, Muslim, dan Ibnu Majah].*8)
Perintah untuk mengikuti Rasulullah Saw tersebut juga menjadi dalil wajibnya mengambil as-Sunnah sebagai sumber hukum.
Selanjutnya Allah SWT berfirman: yuhbibkumullâh wa yaghfirlakum dzunûbakum (niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu). Frasa ini merupakan jawaban atas perintah sebelumnya, sekaligus menunjukkan keadilan dan kemurahan Allah SWT. Mereka yang dapat membuktikan cintanya kepada Allah, Allah akan membalas dengan mencintai mereka dan memberikan ampunan atas dosa-dosa mereka. Bagi orang yang berakal, janji itu sangat menggiurkan.
Mahabbatullah (kecintaan Allah) adalah ridha dan pujian Allah terhadap perbuatan mereka,*9) dan pemberian pahala kepada mereka.*10) Manusia juga amat membutuhkan ampunan Allah WT. Sebab, hanya nabi dan rasul saja yang bebas dari dosa dan kesalahan. Keridhaan, rahmat, pahala, dan ampunan dari Allah SWT akan mengantarkan seseorang ke surga yang penuh kenikmatan. Siapapun harus bersemangat dan sungguh-sungguh membuktikan cinta kepada Allah karena Wallâh Ghafûr Rahîm (Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang).
Allah kembali menegaskan kewajiban taat kepada Allah dan Rasul Saw, Qul athî'ûllâh wa al-rasûl (Katakanlah, "Taatilah Allah dan Rasul."). Ini membantah anggapan bahwa yang wajib diikuti hanya al-Qur'an saja.
Ayat ini hanya menyatakan perintah untuk taat tanpa menjelaskan apa yang harus ditaati. Artinya, ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya itu bersifat umum, meliputi semua perintah dan larangan.*11)
Selanjutnya Allah SWT mengingatkan, Fa in tawallaw (jika kalian berpaling), yakni jika kalian menolak dan mengingkari kewajiban taat itu, fa inna Allâh lâ yuhibb al-kafirîn. Hal menunjukkan, tindakan berpaling dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya merupakan kekufuran.*12) Mereka tidak dicintai Allah, tidak diridhai dan tidak diampuni dosa-dosanya.*13)Malah mereka layak mendapat celaan, laknat dan azab.*14)
Beberapa Faedah Dari Ayat Ini
Pertama, cinta kepada Allah dan Rasul Saw adalah wajib; bukan sekadar cinta, namun kecintaan tertinggi. Allah dan Rasul Saw wajib dicintai melebihi segala yang ada, termasuk diri sendiri. Allah mengancam siapa saja yang lebih mencintai yang lain dibanding Allah. Rasul dan jihad di jalan-Nya. (Qs. at-Taubah [9]: 24).
Anas juga menuturkan, Rasulullah Saw pernah bersabda:
Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga aku lebih dicintai daripada bapaknya, anaknya, dan seluruh manusia. [HR. Bukhari].
Abdullah bin Hisyam bercerita:
Suatu ketika Umar berkata, "Wahai Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai daripada segala sesuatu kecuali diriku sendiri."
Nabi Saw berkata, "Tidak bisa. Demi Zat yang jiwaku ada di tangan-Nya, hingga aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri."
Umar berkata, "Sesungguhnya mulai saat ini, demi Allah, engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri."
Nabi Saw bersabda, "Sekarang (baru benar), wahai Umar." [HR. Bukhari].
Kecintaan itu tampak nyata ketika terjadi benturan antara ketetapan Allah dan Rasul-Nya, yakni ketetapan syariat, dengan hawa nafsu, kepentingan pribadi, keluarga, kerabat, dan segenap manusia. Jika ia benar-benar meletakkan cinta kepada Allah dan Rasulullah Saw di atas segalanya, ia akan mengikuti ketetapan syariat.
Kedua, kecintaan kepada Allah dan Rasul Saw itu harus dibuktikan dalam sikap dan perbuatan. Seorang hamba akan mencintai semua yang dicintai Allah dan Rasul-Nya dan membenci semua yang dibenci oleh keduanya. Sebaliknya, jika ia menyukai apa yang dibenci dan membenci apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya, itu adalah bukti kedustaan klaim cintanya. Bukti cinta seorang hamba adalah menaati syariat Islam secara total. Atas dasar cinta itu, ketaatan akan terasa ringan dan menyenangkan.
Ketiga, mengikuti Rasul Saw adalah wajib. Itulah satu bukti cinta kepada Allah. Orang yang melakukannya akan dicintai Allah dan mendapat ampunannya. Ini adalah qarînah (indikasi) yang menunjukkan perintah itu bersifat tegas.
Mengikuti Rasul adalah mengambil semua yang diperintahkannya dan menjauhi semua yang dilarangnya (Qs. al-Hasyr [59]: 7) serta meneladani beliau (Qs. al-Ahzab [33]: 21).
Keempat, Allah SWT pasti membalas hamba yang benar-benar mencintai-Nya yang dia buktikan dengan menaati syariat-Nya yang dibawa oleh Rasulullah Saw. Allah akan membalas dengan mencintai hamba-Nya itu dan memberikan ampunan atas dosa-dosanya.
Kiat mendapat kecintaan Allah adalah dengan menunaikan semua yang diwajibkan dan menjauhi semua yang diharamkan. Agar lebih utama, ditambah dengan senantiasa menunaikan yang sunnah, meninggalkan yang makruh, dan mempersedikit yang mubah.
Dalam hadis qudsi, Rasulullah Saw bersabda bahwa Allah SWT berfirman:
Tidaklah hamba-Ku mendekati-Ku dengan sesuatu yang lebih Kucintai daripada apa yang telah Aku wajibkan. Tak henti-hentinya hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Apabila Aku telah mencintai-Nya maka Aku menjadi pendengarannya yang dengannya dia mendengar; menjadi matanya yang dengannya dia melihat; menjadi tangannya yang dengannya dia memegang; dan menjadi kakinya yang dengannya dia berjalan. Jika dia meminta kepada-Ku, Aku akan memberinya; jika meminta perlindungan-Ku, niscaya Aku beri perlindungan. [HR. Bukhari].
Kelima, kecintaan kepada Allah SWT dan Rasulullah Saw itu hanya akan dimiliki oleh orang yang beriman. Memang begitulah, karena mereka telah benar-benar beriman, yakni membenarkan secara pasti, sesuai dengan fakta dan berdasarkan dalil. Allah SWT berfirman:
Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. (Qs. al-Baqarah [2]: 165).
Sudahkah kita termasuk di dalamnya?
Wallâh a'lam bi ash-shawâb.
Catatan Kaki:
1. As-Suyuthi, al-Durr al-Mantsûr fî Tafsîr al-Ma'tsûr, ii/30, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1997; ath-Thabari, Jamî' al-Bayân fî Ta'wîl al-Qur'ân,iii, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut.1992
2. al-Qurthubi, al-Jâmi' li Ahkâm al-Qur'ân, ii/40, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut.1993
3. al-Khazin, Lubâ al-Ta'wîl fî Ma'ânî al-Tanzîl, i/238, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1995; Abd al-Haq al-Andalusi, al-Muharrar al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-'Azîz, i/422, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1993
4. asy-Syawkani, Fath al-Qadîr, i/333, Dar al-Fikr, Beirut. tt
5. al-Baydhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta'wîl, i/155-156, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1993
6. asy-Syawkani, Fath al-Qadîr, 1/333
7. Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, ii/448, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1993
8. Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîim, i/326, Dar al-Fikr, Beirut. 2000. Pernyataan yang dikemukakan oleh Burhanuddin al-Baqa'i, Nadzm al-Durar fî Tanâsub al-Ayât wa as-Suwar, ii/63, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1995
9. al-Zamahsyari, al-Kasyâf, i/519, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut
10. Fakhruddin al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr Aw Mafâtîh al-Ghayb, iv/17, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1990; Abu Ali al-Fadhl, Majmû' al-Bayân fî Tafsîr al-Qur'ân, i/347, Dar al-Ma'rifah, Beirut
11. Abu Thayyib al-Qinuji, Fath al-Bayân fî Maqâshid al-Qur'ân, ii/219, Idarat Ihya' al-Turats al-Islami, Qathar. 1989
12. al-Baydhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta'wîl,1/156
13. Abu Thayyib al-Qinuji, Fath al-Bayân, v/154; al-Qurthubi, al-Jâmi' li Ahkâ al-Qur'ân, ii/40
14. Nizham ad-Din al-Naysaburi, Tafsî Ghârâ'ib al-Qur'ân, ii/142, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut
Qs. Ali-Imran [3]: 31-32).
Sabab Nuzul
Hasan bin Abi al-Hasan dan Ibnu al-Juraij menuturkan, ada beberapa kaum berkata kepada Nabi Saw, "Wahai Muhammad, sungguh kami mencintai Tuhan kami." Kemudian turun ayat ini memerintahkan mereka untuk mengikuti Muhammad Saw sebagai bukti kecintaan mereka kepada Allah.*1)
Menurut Muhammad bin Ja'far bin az-Zubair, ayat ini turun terkait dengan delegasi Nasrani Najran. Mereka datang kepada Nabi Saw dan menyatakan bahwa klaim mereka tentang Isa adalah karena kecintaan mereka kepada Allah.*2)
Menurut sebagian lain, ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani yang mengaku mencintai dan dicintai Allah, seperti yang diberitakan Allah SWT: Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan, "Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya." (Qs. al-Mâ'idah [5]: 18).*3)
Tafsir Ayat
Al-Mahabbah (cinta) berarti kecenderungan jiwa pada sesuatu.*4) Cinta itu muncul pada diri manusia karena ia meyakini kesempurnaan sesuatu yang dia cintai. Kesempurnaan hakiki hanya milik Allah SWT dan semua kesempurnaan yang ada pada makhluk juga berasal dari Allah. Ketika seorang hamba meyakini hal itu, maka tiada rasa cinta pada dirinya kecuali kepada Allah dan karena Allah. Keyakinan itu akan menuntunnya untuk menaati-Nya dan senang melakukan apa saja yang dapat mendekatkan diri kepada-Nya.*5) Karena itu, para ulama menafsirkan al-mahabbah li Allâh (cinta kepada Allah) sebagai kesediaan untuk menaati-Nya.*6)
Ungkapan ayat ini bersifat umum mencakup siapa saja yang mengaku cinta kepada Allah.*7)Siapa yang mengaku mencintai Allah harus membuktikannya dengan mengikuti Rasul-Nya, Muhammad Saw. Tugas beliau adalah menyampaikan risalah-Nya kepada seluruh manusia. Melalui beliau, manusia dapat beribadah kepada Allah SWT secara benar, membedakan yang haq dan yang batil, yang diridhai dan yang dimurkai Allah, yang diperintahkan dan yang dilarang-Nya. Semua yang beliau sampaikan adalah wahyu (Qs. an-Najm [53]: 4-5). Jadi, menaati Rasulullah Saw pada hakikatnya adalah menaati Allah SWT (Qs. an-Nisâ' [4]: 80).
Ayat ini menegaskan wajibnya seluruh manusia mengikuti agama yang beliau bawa, Islam. Beliau diutus mengemban risalah untuk seluruh manusia. Sejak beliau diutus, semua agama selain Islam dinyatakan tidak sah dan tidak boleh diikuti dan harus ditinggalkan. Umar ra. menuturkan, Rasulullah Saw pernah bersabda:
Demi Zat yang jiwaku di tangan-Nya, seandainya Musa as. berada di tengah-tengah kalian, kamudian kalian mengikutinya dan meninggalkan aku, maka sungguh kalian telah tersesat. Sesungguhnya kalian adalah bagianku dari umat-umat (yang ada) dan aku adalah bagianmu dari nabi-nabi (yang ada). [HR. Ahmad].
Ibnu Katsir menjelaskan, "Ayat ini menegaskan, setiap orang yang mengaku cinta kepada Allah, namun tidak berada di atas tharîqah (jalan atau sunnah) Mahammad Saw, sungguh dia telah berdusta dalam pengakuaannya itu, hingga dia mau mengikuti syariah dan agama Muhammad Saw dalam ucapan dan tindakannya."
Siapa saja yang melakukan suatu amal di luar syariah kami, maka amalnya tertolak. [HR. Bukhari, Muslim, dan Ibnu Majah].*8)
Perintah untuk mengikuti Rasulullah Saw tersebut juga menjadi dalil wajibnya mengambil as-Sunnah sebagai sumber hukum.
Selanjutnya Allah SWT berfirman: yuhbibkumullâh wa yaghfirlakum dzunûbakum (niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu). Frasa ini merupakan jawaban atas perintah sebelumnya, sekaligus menunjukkan keadilan dan kemurahan Allah SWT. Mereka yang dapat membuktikan cintanya kepada Allah, Allah akan membalas dengan mencintai mereka dan memberikan ampunan atas dosa-dosa mereka. Bagi orang yang berakal, janji itu sangat menggiurkan.
Mahabbatullah (kecintaan Allah) adalah ridha dan pujian Allah terhadap perbuatan mereka,*9) dan pemberian pahala kepada mereka.*10) Manusia juga amat membutuhkan ampunan Allah WT. Sebab, hanya nabi dan rasul saja yang bebas dari dosa dan kesalahan. Keridhaan, rahmat, pahala, dan ampunan dari Allah SWT akan mengantarkan seseorang ke surga yang penuh kenikmatan. Siapapun harus bersemangat dan sungguh-sungguh membuktikan cinta kepada Allah karena Wallâh Ghafûr Rahîm (Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang).
Allah kembali menegaskan kewajiban taat kepada Allah dan Rasul Saw, Qul athî'ûllâh wa al-rasûl (Katakanlah, "Taatilah Allah dan Rasul."). Ini membantah anggapan bahwa yang wajib diikuti hanya al-Qur'an saja.
Ayat ini hanya menyatakan perintah untuk taat tanpa menjelaskan apa yang harus ditaati. Artinya, ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya itu bersifat umum, meliputi semua perintah dan larangan.*11)
Selanjutnya Allah SWT mengingatkan, Fa in tawallaw (jika kalian berpaling), yakni jika kalian menolak dan mengingkari kewajiban taat itu, fa inna Allâh lâ yuhibb al-kafirîn. Hal menunjukkan, tindakan berpaling dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya merupakan kekufuran.*12) Mereka tidak dicintai Allah, tidak diridhai dan tidak diampuni dosa-dosanya.*13)Malah mereka layak mendapat celaan, laknat dan azab.*14)
Beberapa Faedah Dari Ayat Ini
Pertama, cinta kepada Allah dan Rasul Saw adalah wajib; bukan sekadar cinta, namun kecintaan tertinggi. Allah dan Rasul Saw wajib dicintai melebihi segala yang ada, termasuk diri sendiri. Allah mengancam siapa saja yang lebih mencintai yang lain dibanding Allah. Rasul dan jihad di jalan-Nya. (Qs. at-Taubah [9]: 24).
Anas juga menuturkan, Rasulullah Saw pernah bersabda:
Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga aku lebih dicintai daripada bapaknya, anaknya, dan seluruh manusia. [HR. Bukhari].
Abdullah bin Hisyam bercerita:
Suatu ketika Umar berkata, "Wahai Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai daripada segala sesuatu kecuali diriku sendiri."
Nabi Saw berkata, "Tidak bisa. Demi Zat yang jiwaku ada di tangan-Nya, hingga aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri."
Umar berkata, "Sesungguhnya mulai saat ini, demi Allah, engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri."
Nabi Saw bersabda, "Sekarang (baru benar), wahai Umar." [HR. Bukhari].
Kecintaan itu tampak nyata ketika terjadi benturan antara ketetapan Allah dan Rasul-Nya, yakni ketetapan syariat, dengan hawa nafsu, kepentingan pribadi, keluarga, kerabat, dan segenap manusia. Jika ia benar-benar meletakkan cinta kepada Allah dan Rasulullah Saw di atas segalanya, ia akan mengikuti ketetapan syariat.
Kedua, kecintaan kepada Allah dan Rasul Saw itu harus dibuktikan dalam sikap dan perbuatan. Seorang hamba akan mencintai semua yang dicintai Allah dan Rasul-Nya dan membenci semua yang dibenci oleh keduanya. Sebaliknya, jika ia menyukai apa yang dibenci dan membenci apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya, itu adalah bukti kedustaan klaim cintanya. Bukti cinta seorang hamba adalah menaati syariat Islam secara total. Atas dasar cinta itu, ketaatan akan terasa ringan dan menyenangkan.
Ketiga, mengikuti Rasul Saw adalah wajib. Itulah satu bukti cinta kepada Allah. Orang yang melakukannya akan dicintai Allah dan mendapat ampunannya. Ini adalah qarînah (indikasi) yang menunjukkan perintah itu bersifat tegas.
Mengikuti Rasul adalah mengambil semua yang diperintahkannya dan menjauhi semua yang dilarangnya (Qs. al-Hasyr [59]: 7) serta meneladani beliau (Qs. al-Ahzab [33]: 21).
Keempat, Allah SWT pasti membalas hamba yang benar-benar mencintai-Nya yang dia buktikan dengan menaati syariat-Nya yang dibawa oleh Rasulullah Saw. Allah akan membalas dengan mencintai hamba-Nya itu dan memberikan ampunan atas dosa-dosanya.
Kiat mendapat kecintaan Allah adalah dengan menunaikan semua yang diwajibkan dan menjauhi semua yang diharamkan. Agar lebih utama, ditambah dengan senantiasa menunaikan yang sunnah, meninggalkan yang makruh, dan mempersedikit yang mubah.
Dalam hadis qudsi, Rasulullah Saw bersabda bahwa Allah SWT berfirman:
Tidaklah hamba-Ku mendekati-Ku dengan sesuatu yang lebih Kucintai daripada apa yang telah Aku wajibkan. Tak henti-hentinya hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Apabila Aku telah mencintai-Nya maka Aku menjadi pendengarannya yang dengannya dia mendengar; menjadi matanya yang dengannya dia melihat; menjadi tangannya yang dengannya dia memegang; dan menjadi kakinya yang dengannya dia berjalan. Jika dia meminta kepada-Ku, Aku akan memberinya; jika meminta perlindungan-Ku, niscaya Aku beri perlindungan. [HR. Bukhari].
Kelima, kecintaan kepada Allah SWT dan Rasulullah Saw itu hanya akan dimiliki oleh orang yang beriman. Memang begitulah, karena mereka telah benar-benar beriman, yakni membenarkan secara pasti, sesuai dengan fakta dan berdasarkan dalil. Allah SWT berfirman:
Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. (Qs. al-Baqarah [2]: 165).
Sudahkah kita termasuk di dalamnya?
Wallâh a'lam bi ash-shawâb.
Catatan Kaki:
1. As-Suyuthi, al-Durr al-Mantsûr fî Tafsîr al-Ma'tsûr, ii/30, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1997; ath-Thabari, Jamî' al-Bayân fî Ta'wîl al-Qur'ân,iii, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut.1992
2. al-Qurthubi, al-Jâmi' li Ahkâm al-Qur'ân, ii/40, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut.1993
3. al-Khazin, Lubâ al-Ta'wîl fî Ma'ânî al-Tanzîl, i/238, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1995; Abd al-Haq al-Andalusi, al-Muharrar al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-'Azîz, i/422, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1993
4. asy-Syawkani, Fath al-Qadîr, i/333, Dar al-Fikr, Beirut. tt
5. al-Baydhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta'wîl, i/155-156, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1993
6. asy-Syawkani, Fath al-Qadîr, 1/333
7. Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, ii/448, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1993
8. Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîim, i/326, Dar al-Fikr, Beirut. 2000. Pernyataan yang dikemukakan oleh Burhanuddin al-Baqa'i, Nadzm al-Durar fî Tanâsub al-Ayât wa as-Suwar, ii/63, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1995
9. al-Zamahsyari, al-Kasyâf, i/519, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut
10. Fakhruddin al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr Aw Mafâtîh al-Ghayb, iv/17, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1990; Abu Ali al-Fadhl, Majmû' al-Bayân fî Tafsîr al-Qur'ân, i/347, Dar al-Ma'rifah, Beirut
11. Abu Thayyib al-Qinuji, Fath al-Bayân fî Maqâshid al-Qur'ân, ii/219, Idarat Ihya' al-Turats al-Islami, Qathar. 1989
12. al-Baydhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta'wîl,1/156
13. Abu Thayyib al-Qinuji, Fath al-Bayân, v/154; al-Qurthubi, al-Jâmi' li Ahkâ al-Qur'ân, ii/40
14. Nizham ad-Din al-Naysaburi, Tafsî Ghârâ'ib al-Qur'ân, ii/142, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut