Feminisme sebagai suatu gerakan telah dimulai secara formal pada tahun 1966 dengan didirikannya Organisasi Nasional untuk Wanita (National Organization for Woman [NOW]). Pada 1985, NOW telah memiliki anggota dari seluruh negara bagian Amerika Serikat dengan jumlah anggota sebesar 185.000 yang terdiri dari laki-laki dan wanita. NOW aktif dalam mengorganisir dukungan untuk pembuatan undang-undang dan pelaksanaan hukum yang mencegah terjadinya diskriminasi pada wanita di dalam pekerjaan, pendidikan, dan yang lainnya. NOW juga telah memimpin banyak kampanye di dalam kongres dan lapangan mengenai berbagai isu; mulai dari soal kepedulian terhadap anak hinga aborsi.
The National Women’s Political Caucus (Anggota Politik Wanita Nasional) adalah organisasi massa kewanitaan lainnya yang beranggotakan 77.000 orang pada tahun 1985. Organisasi ini memiliki komitmen agar para wanita dilibatkan secara utuh dalam bidang politik. “Women! Make policy, not coffee!” begitu motto organisasi ini.
Anggota kongresional untuk permasalahan wanita dibentuk pada tahun 1977 dan dibuka untuk anggota kongres dan senator laki-laki pada tahun 1981, untuk mendukung kebijakan federal yang berinisiatif untuk memajukan status wanita dan keluarga. Mereka adalah kelompok kewanitaan dan organisasi-organisasi baru yang memperhatikan isu-isu spesifik seperti permasalahan pendidikan, aborsi, dan hak-hak pensiun bagi pekerja wanita.
Dalam usaha mempromosikan feminisme, mereka memulai dengan strategi Woman in Development (WID). Strategi ini dikembangkan pada tahun 1970-an dan mengasumsikan bahwa ketimpangan gender yang terjadi adalah disebabkan oleh rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM) perempuan yang selama ini tidak memperoleh perhatian dan kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam program-program pembangunan. Oleh karena itu, harus ada program yang memfokuskan pada usaha pemberdayaan perempuan. Strategi ini menghasilkan usaha-usaha pemberdayaan perempuan dalam pembangunan, di antaranya dalam bentuk program intervensi peningkatan kemampuan perempuan melalui pelatihan keterampilan yang dilaksanakan oleh organisasi kewanitaan semacam PKK, Dharma Wanita, ataupun organisasi lain yang sejenis. Namun karena hasil dari strategi ini dirasa kurang memuaskan, maka semenjak akhir dekade 1980-an, dimunculkan strategi baru, yaitu Gender and Development (GAD). Strategi ini mengasumsikan bahwa ketertinggalan perempuan disebabkan oleh adanya sikap masyarakat yang tidak adil terhadap laki-laki dan perempuan yang kemudian berpengaruh pada bentuk sistem, struktur dan budaya dari masayarakat tersebut sehingga melahirkan pola relasi gender yang tidak adil.
Bagi strategi GAD, akar persoalan ketertinggalan perempuan bukan karena rendahnya kualitas SDM perempuan tetapi lebih karena sistem dan struktur masyarakat yang tidak berkeadilan gender. Oleh karena itu, usaha yang harus dilakukan adalah mengupayakan perubahan dalam sikap dan struktur masayarakat yang tadinya tidak adil gender menjadi sebaliknya. Strategi kedua ini direalisasikan dalam kegiatan-kegiatan pelatihan sensitivitas gender serta usaha pengintegrasian gender dalamproyek pembangunan. Namun karena hasil dari strategi ini dianggap lamban, maka kemudian dibuatlah strategi ketiga, yaitu Gender Mainstreaming (GM) yang dalam bahasa Indonesia biasa disebut pengarusutamaan gender. Sebagaimana strategi GAD, strategi GM juga mengasumsikan bahwa ketimpangan gender disebabkan oleh adanya sistem dan struktur masyarakat yang tidak berkeadilan gender. Namun untuk membangun masyarakat yang adil gender di samping usaha medel strategi GAD, perlu juga dilakukan usaha yang dapat mengintervensi secara cepat terhadap terjadinya perubahan pada sistem dan struktur suatu organisasi di mana masyarakat berada. Perubahan pada sistem dan struktur organisasi itu meliputi, di antaranya pada tataran filosofis, perumusan kebijakan, dan pola pembagian kerja, serta pola interaksi sosialnya.
Adapun pengaruh dari strategi dan usaha-usaha yang mereka lakukan ada banyak yang oleh sebagian kaum Muslimin dipahami secara tidak menyeluruh. Sebagian kaum Muslimin ini hanya memahami bahwa dengan adanya feminisme yang digalakkan semenjak abad 19, kaum wanita Barat secara relatif cepat mengalami kemajuan. Lalu mereka dengan secara ceroboh membuat analogi: jika wanita Muslimah hendak maju, maka mereka harus mengikuti wanita Barat. Padahal, dampak dari feminisme bukanlah kemajuan yang sepenuhnya positif melainkan juga mengandung berbagai efek negatif yang justru kadarnya lebih besar dibandingkan kemanfaatan yang bisa diperoleh oleh wanita Barat. Ibnu Musthafa mengatakan dalam Wanita Islam Menjelang Tahun 2000, “Memang benar, gerakan ini (baca: feminisme) telah banyak membantu, melepaskan wanita dari musibahnya, mengembalikan hak-haknya yang terampas dan membukakan pintu-pintu kebebasan yang selama ini tertutup bagi mereka. Namun sebaliknya, gerakan ini juga menciptakan musibah dan kesengsaraan-kesengasaraan baru bagi para wanita itu dan bagi umat manusia.”
Sebab Kesalahan
Syaikh Muhammad Husain Abdullah mengatakan, “Putra-putri terbaik umat Islam, terutama yang belajar di universitas-universitas di Barat, terpesona dengan peradaban Barat. Akhirnya, mereka menyerukan untuk meniru peradaban Barat dalam rangka menyongsong sebuah kebangkitan.”
Dari ucapan ini, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa sebab utama kesalahan kaum Muslimin adalah terpukaunya mereka dengan peradaban Barat. Orang-orang yang mengusung pemikiran Barat dari kalangan kaum Muslimin bisa dipastikan mereka adalah orang-orang yang kagum dengan segala gemerlap dunia yang dimiliki oleh Barat. Karena mereka berada dalam kondisi tertinggal, maka agar maju, mereka kemudian berpikir harus mengikuti Barat meski dengan konsekuensi meninggalkan cara hidup lama yang beradasarkan Alquran dan sunnah. Agar tak dicerca oleh kaumnya, mereka yang rata-rata dari kalangan terdidik ini kemudian mengolah ilmu-ilmu keislaman, mereka racik sedemikian rupa, dengan tujuan ingin membuktikan kepada umat Islam bahwa tindakan yang mereka lakukan (baca: mengikuti Barat) memiliki dasar dalam agama juga. Orang-orang yang seperti ini meskipun berperilaku ala Barat, tetapi tetap mengklaim memakai Alquran dan sunnah, hanya saja dengan tafsiran yang berbeda (begitulah yang sering mereka katakan).
Kesalahan mereka ada dua, yang masing-masing akan dijelaskan dalam bentuk poin berikut:
1. Tidak Memahami Sejarah
Ketika kaum Muslim tidak memahami sejarah Islam yang begitu gemilang, tentu mereka akan dengan mudahnya mengagumi peradaban Barat saat ini yang penuh dengan kemajuan teknologi dan pembangunan fisik. Padahal, ketika sejarah Islam dimengerti, kaum Muslim tidak akan langsung mengagumi Barat dan memujinya. Melainkan ia akan mencari tahun mengapa umat Islam dulu maju namun saat ini mundur dan mengapa bangsa barat saat ini maju pesat padahal dulu tertinggal amat jauh dengan Islam. Seorang muslim akan mencari tahu ini semua begitu ia memahami fakta bahwa sejarah Islam penuh dengan kegemilangan dalam bidang-bidang yang saat ini dikuasai oleh Barat. Dan, ketika ia mencari tahu dengan sungguh-sungguh, pada akhirnya ia akan menemukan bahwa kemajuan umat Islam adalah disebabkan oleh berpegangteguhnya mereka dengan Islam. Sementara kemajuan Barat disebabkan oleh berlepasnya mereka dari agama mereka.
Mengapa demikian; mengapa Islam ketika ditaati membuat pemeluknya maju dan bangkit sementara ketika agama lain ditaati justru mengakibatkan para pemeluknya mengalami kemunduran? Jawabnya adalah karena Islam agama yang benar dan sesuai fitrah manusia sedangkan agama lain sebaliknya.
Jadi, ketika umat Islam memahami sejarah para penduhulu dan masa lalu Barat, niscaya mereka tidak akan ikut-ikutan Barat, meskipun saat ini Barat secara fisik nampak sangat maju dan bertolak belakang sekali dengan yang dialami umat Islam saat ini.
2. Tidak Bisa Membedakan Antara Hadharah dan Madaniyyah
Apa yang ada dalam peradaban Barat sejatinya terbagi dua: hadharah dan madaniyah. Hadharah didefinisikan sebagai sekumpulan pemahaman mengenai kehidupan sedangkan madaniyah didefinisikan sebagai bentuk-bentuk fisik yang terdiri dari benda-benda yang terindera yang digunakan dalam berbagai aspek kehidupan. Peninggalan Barat yang termasuk hadharah adalah sekulerisme (paham yang memisahkan agama dengan dunia), hedonisme (paham yang meyakini kebahagian terletak pada terpuaskannya keinginan), dan pluralisme (paham yang menyamaratakan semua agama), serta feminisme (paham yang menginginkan terjadinya kesetaraan gender antara pria dan wanita). Kesemua ini tidak boleh diambil karena bertentangan dengan karakteristik Islam yang khas. Sementara peninggalan Barat yang termasuk madaniyyah terbagi lagi menjadi dua jenis: madaniyyah yang bersifat khusus dan madaniyyah yang bersifat umum. Contoh madaniyyah yang bersifat khusus adalah kalung salib, patut yesus, dan kaus bergambar Bunda Maria. Kesemua ini tidak boleh dipakai karena meskipun merupakan produk madaniyyah, tetapi tetap mengandung kekhasan dari hadharah yang bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, ia tidak boleh digunakan sebagaimana orang-orang non muslim menggunakannya. Sedangkan contoh dari madaniyyah umum adalah HP, komputer, laptop, dan internet. Kesemua ini boleh digunakan meskipun datangnya dari Barat. Nah, bila umat Islam menyadari akan hal-hal ini, niscaya mereka akan tidak menjadi para kaki tangan Barat.
Demikian pembahasan mengenai kesalahan-kesalahan sebagian umat Islam sehingga mereka jatuh dalam kekeliruan menyikapi produk-produk Barat termasuk di dalamnya wacana mengenai feminisme. Maka sebagai mahasiswa Islam, kita harus berpikir kritis sehingga tidak terjebak pada kesalahan-kesalahan yang sama, yaitu yang telah dilakukan oleh sebagian para pendahulu kita. Wallâhu a’lam bi al-shawâb.
Catatan Akhir:
1. Maulana Wahiduddin Khan, Women Beween Islam and Western Society (New Delhi: Al-Risala Books, 1995), h. 59-60.
2. Lihat, Susilaningsih dan Agus M. Najib, ed., Kesetaraan Gender di Perguruan Tinggi Islam; Baseline and Institutional Analysis for Gender Mainstreaming in IAIN Sunan Kalijaga (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga dan McGill IISEP, 2004), h. 1-3.
3. Ibnu Musthafa, Wanita Islam Menjelang Tahun 2000 (Bandung: Penerbit Al-Bayan, 1995), h. 16.
4. Muhammad Husain Abdullāh, Studi Dasar-Dasar Pemikiran Islam. Penerjemah Zamroni (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2007), h. 251. Hal senada juga diungkapkan oleh Adian Husaini. Katanya, “Kekaguman yang berlebihan terhadap kemajuan fisik peradaban Barat, menyebabkan hilangnya daya kritis untuk melihat perbedaan dan mutiara terpendam yang tinggi nilainya dalam peradaban Islam sendiri. Kekaguman itu kemudian diaplikasikan dalam berbagai aspek kehidupan, dengan asumsi, bahwa jalan satu-satunya kaum Muslim untuk bangkit dan maju adalah menjiplak Barat.” Lihat, Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat; Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal (Jakarta: Gema Insani Press, 1426 H./2005 M.), h. 271.
5. Lihat, Taqī al-Dīn al-Nabhānī, Nizhâm al-Islâm (T.tp.: Hizb al-Tahrīr, 1422 H./2001 M.), h. 58.
6. Ibid, h. 63.
Assalamu'alaykum ^_^
Teruntuk Siapapun Yang Merindukan Kemuliaan & Kebangkitan ISLAM
Assalamu'alaykum Warahmatullah..
Selamat Datang
Semoga Bermanfaat
Assalamu'alaykum Warahmatullah..
Selamat Datang
Semoga Bermanfaat
11/24/11
11/23/11
Demonstrasi Dalam Pandangan Islam
Salah satu aktivitas yang cukup sering dilakukan oleh beberapa kalangan aktivis Islam dalam merespon beberapa permaslahan di dunia Islam salah satunya dengan aksi turun ke jalan, atau yang lebih dikenal dengan istilah demonstrasi atau Muzhaharah.
Dan rupanya aktivitas ini mendapat kritikan dari jamaah tertentu yang mengatakan bahwa aktvitas Muzharah tersebut merupakan suatu bid’ah, karena tidak ada tuntunannya di dalam Islam, baik dari nash al qur’an maupun al hadist. Mereka yang mengatakan bahwa demonstrasi tersebut merupakan suatu bid’ah dengan berdalil pada al hadist,
“Siapa saja yang membuat ajaran baru dalam agama ini dan bukan termasuk bagian darinya maka akan tertolak” [HR Muttafaqun Alaih]
Diriwayatkan oleh Muslim dan Bukhari secara mu’allaq.
“Artinya : Siapa saja yang melakukan suatu amalan yang tidak kami perintahkan, maka amalan tersebut tertolak”.
Mereka juga berdalil dengan argument bahwa di dalam demonstrasi ada tasyabbuh (penyerupaan) dengan orang-orang kafir, padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Siapa saja yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka” [HR Abu Dawud dengan sanad yang hasan]
Itulah beberapa argument yang dijadikan oleh para penentang aksi demonstrasi yang dilakukan oleh beberapa gerakan Islam di belahan bumi ini.
Nah, bagaimanakah sikap kita? Tentu dengan tidak bermaksud ingin mempertahankan pendapat atau ingin menunjukan sikap ashobiyyah terhadap pendapat kelompok, karena ashobiyyah haram hukumnya di dalam Islam. Tulisan ini hanya ingin memberikan gambaran tentang fakta tentang demonstrasi serta menyuguhkan dalil-dalil terkait dengan akvtivitas tersebut.
Islam mengajarkan bagaimana menghukumi sesuatu apakah halal, ataukah haram, sunah, makruh ataukah mubah. Yakni pertama adalah melakukan tahqiqul manath atau (penelaahan terhadap fakta), baru kemudian menetapkan hukum syara’nya.
Fakta tentang demonstrasi
Di dalam terminologi bahasa Arab, demonstrasi terbagi menjadi dua jenis, yaitu:
1. Muzhaharah (demonstrasi), yaitu aksi sekelompok masyarakat di tempat-tempat umum untuk menuntut perkara-perkara tertentu yang sudah menjadi tugas negara atau para penanggung jawabnya. Para demonstran dalam aksinya tersebut biasanya melakukan pengrusakan, penghancuran, dan pembakaran barang-barang milik negara ataupun barang-barang milik individu.
2. Masirah (unjuk rasa), hampir sama dengan demonstrasi, yaitu aksi sekelompok masyarakat untuk mendukung atau menuntut sesuatu. Akan tetapi, tidak disertai pengrusakan, penghancuran, dan pembakaran atas barang-barang milik umum maupun khusus (milik individu).
Dengan demikian, muzhaharah (demonstrasi) tidak diperbolehkan (diharamkan) oleh Islam. Alasannya, di dalamnya disertai beberapa aktivitas yang diharamkan oleh syariat Islam, seperti: mengganggu ketertiban umum; merusak, menghancurkan, dan membakar fasilitas umum maupun barang-barang milik individu masyarakat. Tidak jarang pula, demonstrasi mengakibatkan perkelahian, penganiayaan, bahkan pembunuhan. Pengharamannya di dasarkan pada fakta bahwa di dalam demonstrasi terdapat sejumlah tindakan yang diharamkan oleh syariat Islam.
Aktivitas seperti ini adalah aktivitas meniru para sosialis yang terbiasa melakukan aksi pengrusakan disela-sela aksi mereka. Hal ini bisa dianggap sebagai aktivitas bertasyabuh dengan golongan tertentu. “Siapa saja yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka” [HR Abu Dawud dengan sanad yang hasan]
Meskipun demikian, ‘demonstrasi’ yang dilakukan dengan tertib; memperhatikan syariat Islam, termasuk menyangkut pendapat/aspirasi yang disampaikan; tanpa kekerasan; tidak mengganggu ketertiban umum dan hak-hak masyarakat; tidak membakar, merusak, dan menghancurkan barang-barang milik umum, negara, maupun milik individu adalah diperbolehkan. Inilah yang disebut dengan masirah (unjuk rasa).
Masîrah (unjuk rasa) merupakan salah satu cara (uslub) di antara berbagai cara pengungkapan aspirasi atau pendapat (ta‘bir ar-ra’yi). Oleh karena itu, aktivitas masîrah (unjuk rasa) bukanlah metode (tharîqah)—menurut Islam—dalam melakukan proses perubahan di masyarakat. Apabila kondisinya memungkinkan, masirah (unjuk rasa) dapat dilakukan. Sebaliknya, apabila kondisinya tidak memungkinkan, masîrah (unjuk rasa) tidak perlu dilakukan. Hal ini sesuai dengan hukum kebolehannya.
Masirah bukanlah metode dalam sebuah aktvitas dakwah. Ia hanya bersifat sebagai sebuah uslub dakwah, dan sebagai uslub dakwah ia bersifat mubah, bukan wajib.
Kita bisa melihat fakta bahwa Rasulullah saw tidak pernah menjadikan dan menggunakan unjuk rasa sebagai metode untuk mengubah masyarakat jahiliah di kota Makkah menjadi masyarakat Islam. Memang, beliau pernah melakukan aktivitas masîrah satu kali di kota Makkah. Beliau memerintahkan kaum Muslim keluar dan berjalan membentuk dua shaf barisan. Satu dipimpin oleh ‘Umar ibn al-Khaththab dan lainnya dipimpin oleh Hamzah ibn ‘Abdul Muthalib r.a. Dengan diiringi suara takbir, kaum Muslim berjalan mengelilingi Ka’bah. Yang dilakukan Rasulullah saw adalah mengambil salah satu cara (uslûb) yang tidak pernah dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat lain sebelumnya, yang ditujukan dalam rangka mengekspose dakwah Islam.
Pandangan Islam yang menjadikan masirah (unjuk rasa) sebagai uslub mengungkapkan aspirasi atau pendapat, yang bisa dilakukan bisa juga tidak, sangat berbeda dengan pandangan masyarakat Sosialis dan Komunis. Mereka menganggap muzhaharah (demonstrasi) sebagai salah satu metode baku (thariqah) dalam melakukan perubahan masyarakat. Bagi mereka, demonstrasi adalah semacam antitesa untuk menggerakkan proses perubahan masyarakat ke arah yang mereka inginkan. Oleh karena itu, apa pun akan mereka lakukan; termasuk dengan jalan merusak, menghancurkan, dan membakar fasilitas-fasilitas umum, negara, maupun barang-barang milik individu.
Berdasarkan hal ini, masyarakat Sosialis atau Komunis telah menjadikan muzhaharah (demonstrasi) sebagai metode baku dan ciri khas masyarakat mereka dalam melakukan perubahan di tengah-tengah masyarakat. Keberadaan demonstrasi adalah keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi agar proses perubahan dapat bergulir. Dalam skala yang lebih luas lagi, mereka menyebutnya dengan revolusi rakyat. Dengan mengatasnamakan rakyat, mereka berhak menghancurkan, merusak, dan membakar fasilitas dan milik umum maupun milik individu. Tujuannya adalah untuk menghasilkan sebuah sintesa, yaitu sebuah masyarakat Sosialis atau Komunis yang mereka angan-angankan.
Bagi kaum Muslim, haram hukumnya melakukan demonstrasi (muzhaharah) seperti yang dilakukan oleh kaum Sosialis maupun Komunis; yakni dengan cara merusak, menghancurkan, dan membakar barang-barang milik masyarakat, negara, maupun milik individu. Bagi kita, kaum Muslim, darah seorang Muslim, harta kekayaan yang dimilikinya, dan kehormatannya haram ditumpahkan, dirampas, dan dilanggar oleh Muslim lainnya. Syariat Islam bahkan menjaga tiga perkara tersebut dalam pagar yang sangat rapat. Pelanggaran terhadap tiga perkara itu digolongkan ke dalam hukum-hukum hudûd, yaitu hukum yang bentuk pelanggaran dan sanksinya hanya ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Di samping itu, kita, kaum Muslim, tidak mengenal prinsip dan kaidah ‘menghalalkan segala cara’ (al-ghayah lâ tubarriru al-washilah), sebagaimana yang dianut oleh masyarakat Sosialis, Komunis, dan Kapitalis. Tindak-tanduk seorang Muslim, masyarakat Muslim, dan penguasa Muslim wajib terikat dengan syariat Islam; termasuk dalam mengungkapkan aspirasi atau pendapat dengan berunjuk rasa maupun dalam melakukan proses perubahan di tengah-tengah masyarakat. Tidak pantas seorang Muslim mengaku beriman kepada Allah Swt dan Rasul-Nya, sementara dalam mengungkapkan aspirasi/pendapat dan melakukan proses perubahan masyarakat agar menjadi masyarakat Islam, mereka lakukan dengan menghalalkan segala cara, mencampakkan tolok ukur halal-haram, dan membuang tuntunan syariat Islam. Allah Swt berfirman:
]وَمَا كَانَ لِمُـؤْمِنٍ وَلاَ مُـؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا
أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ[
Tidaklah patut bagi laki-laki Mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan Mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan sesuatu ketetapan, akan ada pilihan (selain hukum Islam) tentang urusan mereka. (QS al-Ahzab [33]: 36)
Itulah sekilas fakta dan hukum tentang demonstrasi yang sedikit bisa dijabarkan. adapun terkait dengan beberapa dalil yang menentang aksi demonstrasi tersebut akan diraikan di bawah ini.
Mereka yang mengatakan bahwa demonstrasi tersebut merupakan suatu Bid’ah
Dalil :
“Siapa saja yang membuat ajaran baru dalam agama ini dan bukan termasuk bagian darinya maka akan tertolak” [HR Muttafaqun Alaih]
Diriwayatkan oleh Muslim dan Bukhari secara mu’allaq.
“Artinya : Siapa saja yang melakukan suatu amalan yang tidak kami perintahkan, maka amalan tersebut tertolak”.
Jadi, menurut mereka bahwa aktvitas tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah maupun para sahabat. Padahal jika kita kaji sirah nabawiyah akan kita temui bahwa Beliau pernah memerintahkan kaum Muslim keluar dan berjalan membentuk dua shaf barisan. Satu dipimpin oleh ‘Umar ibn al-Khaththab dan lainnya dipimpin oleh Hamzah ibn ‘Abdul Muthalib r.a. Dengan diiringi suara takbir, kaum Muslim berjalan mengelilingi Ka’bah.
hukum asal masirah itu sendiri mengikuti hukum uslub yang status asalnya adalah mubah. Sebagaimana uslub (cara) yang lain, masirah sebagai salah satu uslub juga bisa digunakan untuk melaksanakan kewajiban, seperti menyampaikan seruan kepada para penguasa yang zalim atau mengoreksi kebijakan mereka. Hal ini dalam rangka melaksanakan sabda Nabi saw.:
«أَلاَ وَأَنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ»
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya jihad yang paling baik adalah (menyatakan) pernyataan hak kepada penguasa yang zalim. (HR al-Hakim).
Mereka yang mengatakan bahwa menasehati penguasa di tempat umum itu haram karena membuka aib.
Dalil :
Bersabda Rasul Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam : “Janganlah kalian mencela pemimpin kalian dan janganlah kalian mendengki mereka, janganlah kalian membenci mereka, bertakwalah kepada Allah, bersabarlah karena urusan ini sudah dekat.” (HR. Ibnu Abi Ashim dan dishahihkan Al Albani)
“Penguasa adalah naungan Allah di muka bumi maka barangsiapa yang menghinakan penguasa maka Allah akan menghinakannya, barangsiapa yang memuliakan penguasa maka Allah akan memuliakannya.” (HR. Ibnu Abi Ashim, Ahmad, At Thayalisi, At Tirmidzi, dan Ibnu Hibban. Dishahihkan Al Albani dalam Adz Dzilal)
“Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa maka janganlah melakukannya dengan terang-terangan di hadapan umum. Akan tetapi dengan cara mengambil tangan penguasa tersebut dan menyendiri. Jika ia menerimanya maka inilah yang diharapkan, jika tidak menerimanya maka ia telah melakukan kewajibannya.” (HR. Ahmad, Ibnu Abi Ashim, Al Hakim, dan Baihaqi. Dishahihkan Al Albani dalam Adz Dzilal)
“Aku mendatangi Usamah bin Zaid radliyallahu 'anhu dan aku katakan : “Kenapa engkau tidak menasihati Utsman bin Affan untuk menegakkan hukum had atas Al Walid?” Maka Usamah berkata : “Apakah kamu mengira aku tidak menasihatinya kecuali harus dihadapanmu? Demi Allah sungguh aku telah menasihatinya secara sembunyi-sembunyi antara aku dan ia saja. Dan aku tidak ingin membuka pintu kejelekan dan aku bukanlah orang yang pertama kali membukanya.” (Atsar yang shahih diriwayatkan Bukhari dan Muslim)
Hadist-hadist diatas tidak tepat jika ditujukan untuk melarang aktivitas mengoreksi penguasa yang telah berlaku zalim terhadap rakyatnya. Hadist tersebut baru tepat digunakan jika aktvitas kemaksiatan itu bersifat individu yang tidak ada dampak terhadap kemaslahatan atau kemudharatan kepada masyarakat.
Apa yang dilakukan oleh para aktivis Islam bukanlah dalam rangka membongkar aib penguasa, namun adalah menasehati para penguasa agar kembali ke jalan yang benar.
Nasehat adalah hak setiap orang, mulai dari rakyat jelata hingga para penguasa. Artinya, mereka mempunyai hak untuk dinasehati, dan sebaliknya menjadi kewajiban bagi setiap orang Mukallaf, tatkala menyaksikan kemungkaran atau kezaliman yang dilakukan oleh orang lain; baik pelakunya penguasa maupun rakyat jelata. Inilah yang dinyatakan dalam hadits Nabi:
“Agama adalah nasehat, untuk Allah, Rasul-Nya, para pemimpin kaum Muslim, dan orang-orang awam.” (H.r. al-Bukhari dan Muslim)
Karena itu, nasehat sebagai upaya mengubah perilaku munkar atau zalim orang lain —baik penguasa maupun rakyat jelata— sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari konteks dakwah bi al-lisan (melalui lisan maupun tulisan), sebagaimana sabda Nabi:
“Siapa saja yang menyaksikan kemunkaran, hendaknya mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka hendaknya dengan lisannya.” (H.r. Muslim)
Inilah yang dilakukan oleh para ulama Salaf as-Shalih terdahulu, seperti Abdullah bin Yahya an-Nawawi kepada Sultan Badruddin. Dalam Tahdzib al-Asma’, karya Abu Yahya Muhyiddin bin Hazzam disebutkan, tatkala Abdullah bin Yahya an-Nawawi mengirim surat kepada Sultan Badruddin, dan baginda menjawab suratnya dengan marah dan nada ancaman, ulama’ ini pun menulis surat kembali kepada baginda, “Bagiku, ancaman itu tidak akan mengancam diriku sedikitpun. Akupun tidak akan mempedulikan-nya, dan upaya tersebut tidak akan menghalangiku untuk mena-sehati Sultan. Karena saya berkeyakinan, bahwa ini adalah ke-wajibanku dan orang lain, selain aku. Adapun apa yang menjadi konsekuensi dari kewajiban ini merupakan kebaikan dan tambahan kebajikan.” (H.r. al-Bukhari dan Muslim, Shahihayn, hadits no. 4520 dan 4976.)
Adapun jenis kemunkaran yang hendak diubah, dilihat dari aspek bagaimana pelakunya melakukan kemunkaran tersebut dapat diklasifi-kasikan menjadi dua:
Pertama, kemunkaran yang dilakukansecara diam-diam, rahasia dan pelakunya berusaha merahasiakannya;
Kedua, kemunkaran yang dilakukansecara terbuka, demonstratif dan pelakunya tidak berusaha untuk merahasiakannya, justru sebaliknya.
Jenis kemunkaran yang pertama, dan bagaimana cara mengubah kemunkaran tersebut dari pelakunya, tentu berbeda dengan kemunkaran yang kedua. Orang yang tahu perkara tersebut hendaknya menasehatinya secara diam-diam, dan kemunkaran yang dilakukannya pun tidak boleh dibongkar di depan umum. Aktivitas seperti inilah yang baru bisa dikenakan dengan dalil-dalil yang melarang untuk menasehati penguasa ditempat umum.
Berbeda dengan jenis kemunkaran yang kedua, yaitu kemunkaran yang dilakukan secara terbuka, dan terang-terangan. Dalam kasus seperti ini, pelaku kemunkaran tersebut sama saja dengan menelanjangi dirinya sendiri dengan kemunkaran yang dilakukannya. Untuk menyikapi jenis kemunkaran yang kedua ini, sikap orang Muslim terhadapnya dapat dipilah menjadi dua:
1- Jika kemaksiatan atau kemunkaran tersebut pengaruhnya terbatas pada individu pelakunya, dan tidak mempengaruhi publik, maka kemaksiatan atau kemunkaran seperti ini tidak boleh dibahas atau dijadikan perbincangan. Tujuannya agar kemunkaran tersebut tidak merusak pikiran dan perasaan kaum Muslim, dan untuk menjaga lisan mereka dari perkara yang sia-sia. Kecuali, jika kemaksiatan atau kemunkaran tersebut diungkapkan untuk mengingatkan masyarakat akan bahaya orang fasik yang melakukan kemaksiatan tersebut. Maka, pengungkapan seperti ini boleh.
2- Jika kemaksiatan atau kemunkaran tersebut pengaruhnya tidak terbatas pada individu pelakunya, sebaliknya telah mempengaruhi publik, misalnya seperti kemunkaran yang dilakukan oleh sebuah institusi, baik negara, organisasi, kelompok atau komunitas tertentu, maka kemaksiatan atau kemunkaran seperti ini justru wajib dibongkar dan diungkapkan kepada publik agar mereka mengetahui bahayanya untuk dijauhi dan ditinggalkan supaya mereka terhindar dari bahaya tersebut. Inilah yang biasanya disebut kasyf al-khuthath wa al-mu’amarah (membongkar rancangan dan konspirasi jahat) atau kasyf al-munkarat (membongkar kemunkaran).
Ini didasarkan pada sebuah hadits Zaid bin al-Arqam yang menga-takan, “Ketika aku dalam suatu peperangan, aku mendengar Abdullah bin ‘Ubay bin Salul berkata: ‘Janganlah kalian membelanjakan (harta kali an) kepada orang-orang yang berada di sekitar Rasulullah, agar mereka meninggal-kannya. Kalau kita nanti sudah kembali ke Madinah, pasti orang yang lebih mulia di antara kita akan mengusir yang lebih hina. Aku pun menceritakannya kepada pamanku atau ‘Umar, lalu beliau menceritakan-nya kepada Nabi saw. Beliau saw. pun memanggilku, dan aku pun menceritakannya kepada beliau.”(Ibn Hazzam, Tahdzib al-Asma’, Dar al-Fikr, Beirut, cet. Pertama, 1996, juz I, hal. 22.)
Apa yang dilakukan oleh Abdullah bin Ubay, dan diketahui oleh Zaid bin al-Arqam, kemudian disampaikan kepada Rasulullah saw. adalah kemunkaran (kemaksiatan) yang membahayakan kemaslahatan Islam dan kaum Muslim, bukan hanya diri pelakunya. Abdullah bin Ubay sendiri ketika ditanya, dia mengelak tindakannya, yang berarti masuk kategori perbuatan yang ingin dirahasiakan oleh pelakunya, tetapi tindakan Zaid bin al-Arqam yang membongkar ihwal dan rahasia Abdullah bin Ubay tersebut ternyata dibenarkan oleh Nabi. Padahal, seharusnya tindakan memata-matai dan membongkar rahasia orang lain hukum asalnya tidak boleh. Perubahan status dari larangan menjadi boleh ini menjadi indikasi, bahwa hukum membeberkan dan membongkar rahasia seperti ini wajib, karena dampak bahayanya bersifat umum. (Hizbut Tahrir, Min Muqawwimat an-Nafsiyah al-Islamiyyah, Dar al-Ummah, Beirut, cet. Pertama, 2004, hal. 112-113).
Karena itu, tindakan mengkritik kebijakan zalim atau munkar yang dilakukan oleh penguasa, baik secara langsung ketika berada di hadapan-nya maupun tidak langsung, misalnya melalui tulisan, demonstrasi atau masirah, bukan saja boleh secara syar’i tetapi wajib. (Meski sebagai cara (uslub) menyampaikan pendapat, tulisan, demonstrasi atau ma-sirah tersebut statusnya tetap mubah, dan tidak berubah menjadi wajib. Yang wajib adalah menyampaikan nasehat dan kritik terhadap kebijakan zalim atau munkar yang dilakukan oleh penguasa)
Kewajiban ini bahkan pahalanya dinyatakan sebanding dengan pahala penghulu syuhada’, yaitu Hamzah bin Abdul Muthallib, seperti dalam hadits Nabi:
سَيِّدُالشُّهَدَاءِحَمْزَة
ُبْنُعَبْدِالمُطَلِّبِوَرَجُلٌقَالَإِلَىإِمَامٍجَائِرٍفَأَمَرَهُوَنَهَاهُفَقَتَلَهُ
“Penghulu syuhada’ adalah Hamzah bin Abdul Muthallib, dan orang yang berkata di hadapan seorang penguasa yang zalim, lalu dia memerintahkannya (pada kemakrufan) dan melarangnya (terhadap kemunkaran), kemudian penguasa itu membunuhnya.” (H.r. al-Hakim)
Adapun pernyataan ‘Irbadh bin Ghanam yang menyatakan, “Siapa saja yang hendak menasehati seorang penguasa, maka dia tidak boleh mengemuka-kannya secara terbuka, tetapi hendaknya menarik tangannya dan menyendiri. Jika dia menerimanya, maka itu kebaikan baginya, dan jika tidak, pada dasarnya dia telah menunaikannya.” 5 pada dasarnya tidak menunjukkan adanya larangan mengkritik atau menasehati penguasa di depan publik, tetapi hanya menjelaskan salah satu cara (uslub) saja.
Dengan demikian, bisa disimpulkan, bahwa menasehati penguasa atau mengkritik kebijakan penguasa yang zalim, termasuk membongkar kemunkaran atau konspirasi jahat terhadap Islam dan kaum Muslim hukumnya wajib, hanya saja cara (uslub)-nya bisa beragam; bisa dilakukan langsung, dengan bertemu face to face, atau secara tidak langsung, dengan melalui tulisan, surat, demonstrasi atau masirah. Melakukan upaya dengan lisan, termasuk melalui tulisan, seperti surat terbuka, buletin, majalah, atau yang lain, baik langsung maupun tidak jelas lebih baik, ketimbang upaya bi al-qalb (dengan memendam ketidaksukaan), apalagi jika tidak melakukan apa-apa, sementara terus mengkritik orang lain yang telah melakukannya.
Pernyataan bahwa Wanita haram ikut masirah.
Mengenai boleh-tidaknya wanita melakukan masîrah, jelas hukumnya mubah:
Pertama, dilihat dari aspek keikutsertaan mereka dalam long march, atau rombongan perjalanan bersama kaum laki-laki di tempat terbuka. Keikutsertaan mereka dalam hal ini diperbolehkan, baik dengan atau tanpa mahram. Dalilnya, pada saat hijrah ke Habasyah, selain kaum laki-laki juga terdapat 16 kaum wanita yang ikut dalam rombongan perjalanan tersebut. (Ibn Hisyam, As-Sîrah an-Nabawiyyah, ed. Thaha ‘Abd ar-Ra’uf Sa’ad, Dar al-Jil, Beirut, cet. I, 1411, V/15.)
Kedua, dilihat dari aspek orasi, pidato atau penyampaian pendapat di tempat terbuka, hukumnya juga mubah; dilihat dari sisi bahwa suara wanita jelas bukan merupakan aurat. Ini dibuktikan dengan tindakan para sahabat laki-laki yang biasa bertanya kepada ‘Aisyah, jika mereka tidak memahami persoalan yang mereka hadapi, termasuk tentang kehidupan Rasulullah saw.
Di samping itu, bisa dilihat dari sisi penyampaian pendapat atau protes. Dalam hal ini, Ijma’ Sahabat telah menyatakan kemubahan sikap seorang wanita memprotes kebijakan penguasa, sebagaimana yang dilakukan oleh seorang wanita terhadap ‘Umar bin al-Khatthab selaku khalifah dalam kasus penetapan mahar. (Lihat penuturan Abu Hatim al-Basti, dalam Musnad sahihnya, dari Abu al-Ajfa’ as-Salami).
Dalam hal ini, tak seorang sahabat pun yang mengingkari tindakan wanita tersebut; mereka justru mendiamkannya. Padahal, tindakan tersebut dilakukan di tempat terbuka, di hadapan semua orang, dan jika bertentangan dengan hukum, seharusnya perkara tersebut diingkari; tetapi kenyataannya tidak. (Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, ed. Ahmad ‘Abd al-’Alim al-Barduni, Dar as-Sya’b, Beirut, cet. II, 1372, V/99)
Tindakan muhasabah semacam ini juga telah dilakukan oleh para sahabat wanita, seperti yang dilakukan oleh Asma’ binti Abu Bakar ketika mengoreksi tindakan para penguasa Bani Umayah yang selalu menghina keluarga ‘Ali bin Abi Thalib di atas mimbar-mimbar masjid. (Al-Ya’qubi, Târîkh al-Ya’qûbi, Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, Beirut, t.t. )
Dalil-dalil di atas dengan jelas membuktikan, bahwa masirah (long march) sebagai sebuah uslûb (cara) untuk berdakwah dan menyampaikan pandangan hukum syariat atau protes terhadap pelanggaran hukum syariat jelas mubah. Kemubahan tersebut juga berlaku bukan hanya untuk kaum pria, tetapi juga untuk para wanita. Sebagaimana dalil-dalil dan alasan yang dikemukakan di atas.
Kesimpulan.
Hukum demonstrasi adalah mubah sebagai sebuah uslub dakwah, dalam hal ini adalah demonstrasi yang sesuai dengan syariah Islam, tidak bertasyabuh dengan golongan tertentu semisal masyarakat sosialis yang melakukan aksi dengan disertai pengrusakan. Adapun aktivitas mengkritik dan menasehati penguasa tersebut adalah wajib (Meski sebagai cara (uslub) menyampaikan pendapat, tulisan, demonstrasi atau ma-sirah tersebut statusnya tetap mubah, dan tidak berubah menjadi wajib. Yang wajib adalah menyampaikan nasehat dan kritik terhadap kebijakan zalim atau munkar yang dilakukan oleh penguasa)
Wallahu’alam bis showab.
bahan bacaan :
http://wisnusudibjo.wordpress.com/2008/10/29/demonstrasi-yang-boleh-dan-yang-terlarang/
http://hizbut-tahrir.or.id/2008/12/15/bolehkah-muslimah-melakukan-masirah/
http://www.almanhaj.or.id/content/2141/slash/0
Inspirasi Muhammad Al - Fatih
Muhammad Al Fatih merupakan pemuda yang mampu mewujudkan salah satu bisyaroh nubuwah. Kisah perjuangannya mampu menjadi inspirasi bagi para pejuang tegaknya syariat Islam dan khilafah dalam mewujudkan janji Allah dan bisyaroh nubuwah. Ada beberapa ibroh yang bisa kita ambil dari kisah selama hidupnya.
Mental al Fatih sejak kecil
Sejak kecil pada diri al Fatih sudah ditanamkan jiwa pemimpin terbaik, penakluk Konstantinopel, anak yang kelak akan mewujudkan sebuah bisayroh nubuwah. Syaikh Aaq Syamsudin, secara istiqomah mengajarkan dan mengulang-ulang bisyaroh nubuwah, kisah jihad dan futuhat para shahabat dan pendahulu al Fatih yang ingin menaklukkan Konstantinopel, serta yang terpenting adalah ketaatan totalitas pada Sang Kholiq. Sejarah telah mencatat, bahwa semenjak baligh hingga akhir hidupnya al Fatih tidak pernah meninggalkan shalat rowatib dan sholat tahajud, selama hidupnya ia menjadikan syariat selalu didepan matanya dan berusaha jangan sampai melanggar syariat yang Islam mulia ini.
Al Fatih juga manusia, sama seperti kita yang juga berjuang dan berdakwah demi tegaknya izzul Islam wal muslimin. Hanya mungkin kalau kita mau bertanya pada diri kita, sudah sejauh mana upaya kita untuk dapat mewujudkan bisyaroh nubuwah tegaknya kembali Daulah Khilafah ‘Alaa Minhajin Nubuwah. Jika hanya untuk menaklukkan “sebuah kota” al Fatih sudah melakukan persiapan sejak dini dengan bermacam aktivitas untuk mengasah kemampuannya dan amal ibadah untuk selalu dekat dengan Allah, Bagaimana dengan kita yang memiliki cita-cita untuk menegakkan kembali Daulah Khilafah ‘Alaa Minhajin Nubuwah?
Pemuda yang berani menasehati pemimpin
Pada saat usianya masih belia, al Fatih sudah mendapatkan amanah untuk memimpin ibu kota Negara Khilafah menggantikan ayahnya Sulthan Murad II yang pergi beruzlah untuk bertaqorub kepada Allah. Ia laksanakan amanah itu dengan penuh tanggung jawab. Pada saat melaksanakan amanah ini, al Fatih mendapatkan serangan dari Pasukan Salib di Varna-Bulgaria. Terdesak karena masih minimnya jam terbang dalam menjalankan pemerintahan, kemudian ia meminta ayahnya untuk turun membantunya, namun ayahnya selalu menolaknya. Beberapa kali ia mengirim surat kepada ayahnya, namun bantuan yang diharapkan tak kunjung datang. Akhirnya, al-Fatih menulis surat kepada ayahnya yang isinya
Siapakah yang saat ini menjadi sulthan Saya atau ayah?
Kalau ayahanda yang menjadi sulthan, maka seharusnya seorang pemimpin berada di tengah rakyatnya dalam situasi seperti ini
Kalau Saya yang menjadi sulthan, maka sebagai pemimpin, saya perintahkan ayahanda sekarang juga untuk datang kemari ikut memimpin pasukan membela rakyat.
Jiwa pemberani untuk mengkoreksi pemimpin seperti yang pernah dilakukan al Fatih perlu untuk kita adopsi, apalagi di saat para pemimpin di negeri ini tidak menerapkan Syariat Islam, sering mendzolimi umat dan banyak yang bermaksiat kepada Allah. Bukankah Rasulullah saw pernah bersabda :
سَيِّدُ الشُّهَدَاءِ حَمْزَةُ بن عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَرَجُلٌ قَامَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ ، فَنَهَاهُ وَأَمَرَهُ ، فقتلُه
“Pemimpin para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib, dan seseorang yang berdiri dihadapn pemimpin zhalim dan tidak adil, lalu dia mengajak dan mencegahnya hingga ia dibunuh.” (Al-Hakim dan At-Thabrani)
Catatan prestasi emas al Fatih
Keseriusan al Fatih dalam mewujudkan cita-cita untuk menaklukkan konstantinopel juga diikuti dengan berbagai catatan prestasi emasnya, diantaranya :
1. Semenjak aqil baligh hingga meninggal dunia al Fatih tidak pernah meninggalkan sholat rowatib dan sholat tahajjud;
2. Menjadi gubernur ibu kota daulah khilafah pada usia 21 tahun;
3. Menguasai 7 bahasa pada usia 23 tahun;
4. Membentuk Pasukan Inkisaria, sekitar 40.000 pasukan elit dengan program pelatihan terpadu sejak kecil dilatih fisik, akademis, strategi perang, ilmu ushul fiqh, dan semua disiplin ilmu lain. Setengah pasukan al-Fatih selalu melaksanakan tahajjud pada malam hari
5. Pada tahun 1452 M, al Fatih membangun benteng Rumeli Hisari dengan tinggi 82 meter, dengan 5000 pekerja selesai dalam waktu 4 bulan
6. Membuat The Great Turkish Bombard (first Supergun)
7. Bersama pasukannya mampu memindahkan 70 kapal perang dari Selat Bosphorus menuju Selat Tanduk melalui Pegunungan Galata dalam waktu 1 malam dengan menggunakan tekhnologi yang ada pada waktu itu.
8. Tepat pada hari Selasa tanggal 20 Jumadil Ula 857 H bertepatan tanggal 29 Mei 1453 M adalah “tanggal keramat” bagi bangsa Eropa karena pada tahun inilah al Fatih mendapat pertolongan dari Allah, berhasil mewujudkan bisyaroh nubuwah untuk menaklukan Konstantinopel setelah melewati 54 hari pertempuran dan 825 tahun penantian.
Khutbah meraih kemenangan
Sebelum menaklukkan Konstantinopel, ada khutbah yang disampaikan al Fatih untuk selurh pasukannya :
“Jika penaklukan kota Konstantinopel sukses, maka sabda Rasulullah SAW telah menjadi kenyataan dan salah satu dari mukjizatnya telah terbukti, maka kita akan mendapatkan bagian dari apa yang telah menjadi janji dari hadits ini, yang berupa kemuliaan dan penghargaan. Oleh karena itu, sampaikanlah pada para pasukan satu persatu, bahwa kemenangan besar yang akan kita capai ini, akan menambah ketinggian dan kemuliaan Islam. Untuk itu, wajib bagi setiap pasukan, menjadikan syariat selalu didepan matanya dan jangan sampai ada diantara mereka yang melanggar syariat yang mulia ini. Hendaknya mereka tidak mengusik tempat-tempat peribadatan dan gereja-gereja. Hendaknya mereka jangan mengganggu para pendeta dan orang-orang lemah tak berdaya yang tidak ikut terjun dalam pertempuran”
Dari khutbah diatas telah jelas bahwa al Fatih sadar bahwa kelak jika Ia berhasil menaklukkan Konstantinopel, hal itu semata-mata hanya atas pertolongan dan izin dari Allah SWT, bukan karena kemampuan strategi perang, kekuatan pasukan atau senjatanya. Maka al Fatih berpesan: “Untuk itu, wajib bagi setiap pasukan, menjadikan syariat selalu didepan matanya dan jangan sampai ada diantara mereka yang melanggar syariat yang mulia ini.”
Wasiat dari al Fatih
Menjalani hari-hari terakhirnya setelah diracun, Muhammad al-fatih merasaan kematian mungkin akan segera datang. Ia telah lakukan apa yang ia bisa rasa bisa. Ia telah jalani apa yang ia yakini mesti. Ia telah berikan apa yang ia anggap punya. Ia tunaikan apa yang ia tahu itu menjadi tanggungjawabnya. Maka bila takdir telah membuatnya berkuasa di usia muda dan harus membuatnya mati dalam usia yang belum terlalu tua, hari itu ia merasa layak bicara. Bila ia harus mencari alasan, mungkin hanya satu : ia telah bekerja.
Tiga puluh satu tahun setelah dilaluinya dalam pegabdian, kerja, karya, yang luar biasa. Bila kemudian di hari itu ia hendak bicara, itu sudah semestinya. Ia hendak bicara atas apa yang telah dilakukannya, sebagai sebuah wasiat untuk anaknya yang akan meneruskan kepemimpinannya. Maka kepada anaknya ia sampaikan wasiat:
“Aku sudah diambang kematian. Tapi aku berharap aku tidak kawatir, karena aku meninggalkan seseorang sepertimu. Jadilah seorang pemimpin yang adil, shalih dan penyayang. Rentangkan pengayomamu untuk rakyatmu, tanpa kecuali, bekerjalah untuk menyebarkan islam. Karena sesungguhnya itu merupakan kewajiban para penguasa di muka bumi. Dahuluklan urusan agama atas apapun urusan lainnya. Dan janganlah kamu jemu dan bosan untuk terus menjalaninya. Janganlah engkau angkat jadi pegawaimu mereka yang tidak peduli dengan agama, yang tidak menjauhi dosa besar, dan yang tenggelam dalam dosa. Jauhilah olehmu bid’ah yang merusak. Jagalah setap jengkal tanah islam dengan jihad. Lindungi harta di baitul maal jangan sampai binasa. Janganlah sekali-kali tanganmu mengambil harta rakyatmu kecuali dengan cara yang benar sesuai ketentuan islam. Pastikan mereka yang lemah mendapatkan jaminan kekuatan darimu. Berikanlah penghormatanmu untuk siapa yang memang berhak.”
“Ketahuilah, sesungguhnya para ulama adalah poros kekuatan di tengah tubuh negara, maka muliakanlah mereka. Semangati mereka. Bila ada dari mereka yang tinggal di negeri lain, hadirkanlah dan hormatilah mereka. Cukupilah keperluan mereka.”
“Berhati-hatilah, waspadalah, jangan sampai engkau tertipu oleh harta maupun tentara. Jangan sampai engkau jauhkan ahli syari’at dari pintumu. Jangan sampai engkau cenderung kepada pekerjaan yang bertentangan dengan ajaran islam. Karena sesungguhnya agama itulah tujuan kta, hidayah itulah jalan kita. Dan oleh sebab itu kita dimenangkan.”
“Ambilah dariku pelajaran ini. Aku hadir ke negeri ini bagaikan seekor semut kecil. Lalu allah memberi nikmat yang besar ini. Maka tetaplah di jalan yang telah aku lalui. Bekerjalah untuk memuliakan agama islam ini, menghormati umatnya. Janganlah engkau hamburkan uang negara, berfoya-foya, dan menggunakannya melampaui batas yang semestinya. Sungguh itu semua adalah sebab-sebab terbesar datangnya kehancuran.”
Itulah wasiat al-Fatih. Ia telah mencatatkan tinta emas dalam sejarah dan mengukir prestasi yang insya Allah layak dibanggakan dihadapan Allah SWT dengan membuktikan pada dunia melalui usaha yang nyata. Kini tinggal kita wahai Saudaraku, yang akan merealisasikan hadits Rasulullah SAW “….tsumma takuunu khilafatan ‘ala minhajin nubuwwah” dengan fikrah Islam dan thoriqah Rasulullah sebagai senjata kita, akan segera kita taklukkan atas izin Allah, ideologi Kapitalis yang saat ini sebagai benteng kuat di benak seluruh penguasa kaum muslim, dan kita dirikan diatas puing-puingnya Negara KHILAFAH ISLAMIYAH!!! ALLAHU AKBAR!!!
Wallahu a’laam bishowab.
[dakwahkampus.com]
Biografi & Profil Imam Syafi'i
Nama dan Nasab Imam Syafi'i
Beliau bernama Muhammad dengan kun-yah Abu Abdillah. Nasab beliau secara lengkap adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi‘ bin as-Saib bin ‘Ubayd bin ‘Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf bin Qushay. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah pada diri ‘Abdu Manaf bin Qushay. Dengan begitu, beliau masih termasuk sanak kandung Rasulullah karena masih terhitung keturunan paman-jauh beliau , yaitu Hasyim bin al-Muththalib.
Bapak beliau, Idris, berasal dari daerah Tibalah (Sebuah daerah di wilayah Tihamah di jalan menuju ke Yaman). Dia seorang yang tidak berpunya. Awalnya dia tinggal di Madinah lalu berpindah dan menetap di ‘Asqalan (Kota tepi pantai di wilayah Palestina) dan akhirnya meninggal dalam keadaan masih muda di sana. Syafi‘, kakek dari kakek beliau, -yang namanya menjadi sumber penisbatan beliau (Syafi‘i)- menurut sebagian ulama adalah seorang sahabat shigar (yunior) Nabi. As-Saib, bapak Syafi‘, sendiri termasuk sahabat kibar (senior). Dia termasuk dalam barisan tokoh musyrikin Quraysy dalam Perang Badar. Ketika itu dia tertawan lalu menebus sendiri dirinya dan menyatakan masuk Islam.
Para ahli sejarah dan ulama nasab serta ahli hadits bersepakat bahwa Imam Syafi‘i berasal dari keturunan Arab murni. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah memberi kesaksian mereka akan kevalidan nasabnya tersebut dan ketersambungannya dengan nasab Nabi, kemudian mereka membantah pendapat-pendapat sekelompok orang dari kalangan Malikiyah dan Hanafiyah yang menyatakan bahwa Imam Syafi‘i bukanlah asli keturunan Quraysy secara nasab, tetapi hanya keturunan secara wala’ saja.
Adapun ibu beliau, terdapat perbedaan pendapat tentang jati dirinya. Beberapa pendapat mengatakan dia masih keturunan al-Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, sedangkan yang lain menyebutkan seorang wanita dari kabilah Azadiyah yang memiliki kun-yah Ummu Habibah. Imam an-Nawawi menegaskan bahwa ibu Imam Syafi‘i adalah seorang wanita yang tekun beribadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Dia seorang yang faqih dalam urusan agama dan memiliki kemampuan melakukan istinbath.
Waktu dan Tempat Kelahiran Imam Syafi'i
Beliau dilahirkan pada tahun 150H. Pada tahun itu pula, Abu Hanifah wafat sehingga dikomentari oleh al-Hakim sebagai isyarat bahwa beliau adalah pengganti Abu Hanifah dalam bidang yang ditekuninya.
Tentang tempat kelahirannya, banyak riwayat yang menyebutkan beberapa tempat yang berbeda. Akan tetapi, yang termasyhur dan disepakati oleh ahli sejarah adalah kota Ghazzah (Sebuah kota yang terletak di perbatasan wilayah Syam ke arah Mesir. Tepatnya di sebelah Selatan Palestina. Jaraknya dengan kota Asqalan sekitar dua farsakh). Tempat lain yang disebut-sebut adalah kota Asqalan dan Yaman.
Ibnu Hajar memberikan penjelasan bahwa riwayat-riwayat tersebut dapat digabungkan dengan dikatakan bahwa beliau dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di wilayah Asqalan. Ketika berumur dua tahun, beliau dibawa ibunya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang keturunan Yaman karena sang ibu berasal dari kabilah Azdiyah (dari Yaman). Lalu ketika berumur 10 tahun, beliau dibawa ke Mekkah, karena sang ibu khawatir nasabnya yang mulia lenyap dan terlupakan.
Pertumbuhan dan Pengembaraan Imam Syafi'i Dalam Mencari Ilmu
Di Mekkah, Imam Syafi ‘i dan ibunya tinggal di dekat Syi‘bu al-Khaif. Di sana, sang ibu mengirimnya belajar kepada seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu untuk membiayainya, tetapi sang guru ternyata rela tidak dibayar setelah melihat kecerdasan dan kecepatannya dalam menghafal. Imam Syafi‘i bercerita, “Di al-Kuttab (sekolah tempat menghafal Alquran), saya melihat guru yang mengajar di situ membacakan murid-muridnya ayat Alquran, maka aku ikut menghafalnya. Sampai ketika saya menghafal semua yang dia diktekan, dia berkata kepadaku, “Tidak halal bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.” Dan ternyata kemudian dengan segera guru itu mengangkatnya sebagai penggantinya (mengawasi murid-murid lain) jika dia tidak ada. Demikianlah, belum lagi menginjak usia baligh, beliau telah berubah menjadi seorang guru.
Setelah rampung menghafal Alquran di al-Kuttab, beliau kemudian beralih ke Masjidil Haram untuk menghadiri majelis-majelis ilmu di sana. Sekalipun hidup dalam kemiskinan, beliau tidak berputus asa dalam menimba ilmu. Beliau mengumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang unta untuk dipakai menulis. Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah bertuliskan hadits-hadits Nabi. Dan itu terjadi pada saat beliau belum lagi berusia baligh. Sampai dikatakan bahwa beliau telah menghafal Alquran pada saat berusia 7 tahun, lalu membaca dan menghafal kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia 12 tahun sebelum beliau berjumpa langsung dengan Imam Malik di Madinah.
Beliau juga tertarik mempelajari ilmu bahasa Arab dan syair-syairnya. Beliau memutuskan untuk tinggal di daerah pedalaman bersama suku Hudzail yang telah terkenal kefasihan dan kemurnian bahasanya, serta syair-syair mereka. Hasilnya, sekembalinya dari sana beliau telah berhasil menguasai kefasihan mereka dan menghafal seluruh syair mereka, serta mengetahui nasab orang-orang Arab, suatu hal yang kemudian banyak dipuji oleh ahli-ahli bahasa Arab yang pernah berjumpa dengannya dan yang hidup sesudahnya. Namun, takdir Allah telah menentukan jalan lain baginya. Setelah mendapatkan nasehat dari dua orang ulama, yaitu Muslim bin Khalid az-Zanji -mufti kota Mekkah-, dan al-Husain bin ‘Ali bin Yazid agar mendalami ilmu fiqih, maka beliau pun tersentuh untuk mendalaminya dan mulailah beliau melakukan pengembaraannya mencari ilmu.
Beliau mengawalinya dengan menimbanya dari ulama-ulama kotanya, Mekkah, seperti Muslim bin Khalid, Dawud bin Abdurrahman al-‘Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi’ –yang masih terhitung paman jauhnya-, Sufyan bin ‘Uyainah –ahli hadits Mekkah-, Abdurrahman bin Abu Bakar al-Maliki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin ‘Iyadh, dan lain-lain. Di Mekkah ini, beliau mempelajari ilmu fiqih, hadits, lughoh, dan Muwaththa’ Imam Malik. Di samping itu beliau juga mempelajari keterampilan memanah dan menunggang kuda sampai menjadi mahir sebagai realisasi pemahamannya terhadap ayat 60 surat Al-Anfal. Bahkan dikatakan bahwa dari 10 panah yang dilepasnya, 9 di antaranya pasti mengena sasaran.
Setelah mendapat izin dari para syaikh-nya untuk berfatwa, timbul keinginannya untuk mengembara ke Madinah, Dar as-Sunnah, untuk mengambil ilmu dari para ulamanya. Terlebih lagi di sana ada Imam Malik bin Anas, penyusun al-Muwaththa’. Maka berangkatlah beliau ke sana menemui sang Imam. Di hadapan Imam Malik, beliau membaca al-Muwaththa’ yang telah dihafalnya di Mekkah, dan hafalannya itu membuat Imam Malik kagum kepadanya. Beliau menjalani mulazamah kepada Imam Malik demi mengambil ilmu darinya sampai sang Imam wafat pada tahun 179. Di samping Imam Malik, beliau juga mengambil ilmu dari ulama Madinah lainnya seperti Ibrahim bin Abu Yahya, ‘Abdul ‘Aziz ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Isma‘il bin Ja‘far, Ibrahim bin Sa‘d dan masih banyak lagi.
Setelah kembali ke Mekkah, beliau kemudian melanjutkan mencari ilmu ke Yaman. Di sana beliau mengambil ilmu dari Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf al-Qadhi, serta yang lain. Namun, berawal dari Yaman inilah beliau mendapat cobaan –satu hal yang selalu dihadapi oleh para ulama, sebelum maupun sesudah beliau-. Di Yaman, nama beliau menjadi tenar karena sejumlah kegiatan dan kegigihannya menegakkan keadilan, dan ketenarannya itu sampai juga ke telinga penduduk Mekkah. Lalu, orang-orang yang tidak senang kepadanya akibat kegiatannya tadi mengadukannya kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, Mereka menuduhnya hendak mengobarkan pemberontakan bersama orang-orang dari kalangan Alawiyah.
Sebagaimana dalam sejarah, Imam Syafi‘i hidup pada masa-masa awal pemerintahan Bani ‘Abbasiyah yang berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu, setiap khalifah dari Bani ‘Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan orang-orang dari kalangan ‘Alawiyah. Kenyataan ini membuat mereka bersikap sangat kejam dalam memadamkan pemberontakan orang-orang ‘Alawiyah yang sebenarnya masih saudara mereka sebagai sesama Bani Hasyim. Dan hal itu menggoreskan rasa sedih yang mendalam pada kaum muslimin secara umum dan pada diri Imam Syafi‘i secara khusus. Dia melihat orang-orang dari Ahlu Bait Nabi menghadapi musibah yang mengenaskan dari penguasa. Maka berbeda dengan sikap ahli fiqih selainnya, beliau pun menampakkan secara terang-terangan rasa cintanya kepada mereka tanpa rasa takut sedikitpun, suatu sikap yang saat itu akan membuat pemiliknya merasakan kehidupan yang sangat sulit.
Sikapnya itu membuatnya dituduh sebagai orang yang bersikap tasyayyu‘, padahal sikapnya sama sekali berbeda dengan tasysyu’ model orang-orang syi‘ah. Bahkan Imam Syafi‘i menolak keras sikap tasysyu’ model mereka itu yang meyakini ketidakabsahan keimaman Abu Bakar, Umar, serta ‘Utsman , dan hanya meyakini keimaman Ali, serta meyakini kemaksuman para imam mereka. Sedangkan kecintaan beliau kepada Ahlu Bait adalah kecintaan yang didasari oleh perintah-perintah yang terdapat dalam Alquran maupun hadits-hadits shahih. Dan kecintaan beliau itu ternyata tidaklah lantas membuatnya dianggap oleh orang-orang syiah sebagai ahli fiqih madzhab mereka.
Tuduhan dusta yang diarahkan kepadanya bahwa dia hendak mengobarkan pemberontakan, membuatnya ditangkap, lalu digelandang ke Baghdad dalam keadaan dibelenggu dengan rantai bersama sejumlah orang-orang ‘Alawiyah. Beliau bersama orang-orang ‘Alawiyah itu dihadapkan ke hadapan Khalifah Harun ar-Rasyid. Khalifah menyuruh bawahannya menyiapkan pedang dan hamparan kulit. Setelah memeriksa mereka seorang demi seorang, ia menyuruh pegawainya memenggal kepala mereka. Ketika sampai pada gilirannya, Imam Syafi‘i berusaha memberikan penjelasan kepada Khalifah. Dengan kecerdasan dan ketenangannya serta pembelaan dari Muhammad bin al-Hasan -ahli fiqih Irak-, beliau berhasil meyakinkan Khalifah tentang ketidakbenaran apa yang dituduhkan kepadanya. Akhirnya beliau meninggalkan majelis Harun ar-Rasyid dalam keadaan bersih dari tuduhan bersekongkol dengan ‘Alawiyah dan mendapatkan kesempatan untuk tinggal di Baghdad.
Di Baghdad, beliau kembali pada kegiatan asalnya, mencari ilmu. Beliau meneliti dan mendalami madzhab Ahlu Ra’yu. Untuk itu beliau berguru dengan mulazamah kepada Muhammad bin al-Hassan. Selain itu, kepada Isma‘il bin ‘Ulayyah dan Abdul Wahhab ats-Tsaqafiy dan lain-lain. Setelah meraih ilmu dari para ulama Irak itu, beliau kembali ke Mekkah pada saat namanya mulai dikenal. Maka mulailah ia mengajar di tempat dahulu ia belajar. Ketika musim haji tiba, ribuan jamaah haji berdatangan ke Mekkah. Mereka yang telah mendengar nama beliau dan ilmunya yang mengagumkan, bersemangat mengikuti pengajarannya sampai akhirnya nama beliau makin dikenal luas. Salah satu di antara mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal.
Ketika kamasyhurannya sampai ke kota Baghdad, Imam Abdurrahman bin Mahdi mengirim surat kepada Imam Syafi‘i memintanya untuk menulis sebuah kitab yang berisi khabar-khabar yang maqbul, penjelasan tentang nasikh dan mansukh dari ayat-ayat Alquran dan lain-lain. Maka beliau pun menulis kitabnya yang terkenal, Ar-Risalah.
Setelah lebih dari 9 tahun mengajar di Mekkah, beliau kembali melakukan perjalanan ke Irak untuk kedua kalinya dalam rangka menolong madzhab Ash-habul Hadits di sana. Beliau mendapat sambutan meriah di Baghdad karena para ulama besar di sana telah menyebut-nyebut namanya. Dengan kedatangannya, kelompok Ash-habul Hadits merasa mendapat angin segar karena sebelumnya mereka merasa didominasi oleh Ahlu Ra’yi. Sampai-sampai dikatakan bahwa ketika beliau datang ke Baghdad, di Masjid Jami ‘ al-Gharbi terdapat sekitar 20 halaqah Ahlu Ra ‘yu. Tetapi ketika hari Jumat tiba, yang tersisa hanya 2 atau 3 halaqah saja.
Beliau menetap di Irak selama dua tahun, kemudian pada tahun 197 beliau balik ke Mekkah. Di sana beliau mulai menyebar madzhabnya sendiri. Maka datanglah para penuntut ilmu kepadanya meneguk dari lautan ilmunya. Tetapi beliau hanya berada setahun di Mekkah.
Tahun 198, beliau berangkat lagi ke Irak. Namun, beliau hanya beberapa bulan saja di sana karena telah terjadi perubahan politik. Khalifah al-Makmun telah dikuasai oleh para ulama ahli kalam, dan terjebak dalam pembahasan-pembahasan tentang ilmu kalam. Sementara Imam Syafi‘i adalah orang yang paham betul tentang ilmu kalam. Beliau tahu bagaimana pertentangan ilmu ini dengan manhaj as-salaf ash-shaleh –yang selama ini dipegangnya- di dalam memahami masalah-masalah syariat. Hal itu karena orang-orang ahli kalam menjadikan akal sebagai patokan utama dalam menghadapi setiap masalah, menjadikannya rujukan dalam memahami syariat padahal mereka tahu bahwa akal juga memiliki keterbatasan-keterbatasan. Beliau tahu betul kebencian meraka kepada ulama ahlu hadits. Karena itulah beliau menolak madzhab mereka.
Dan begitulah kenyataannya. Provokasi mereka membuat Khalifah mendatangkan banyak musibah kepada para ulama ahlu hadits. Salah satunya adalah yang dikenal sebagai Yaumul Mihnah, ketika dia mengumpulkan para ulama untuk menguji dan memaksa mereka menerima paham Alquran itu makhluk. Akibatnya, banyak ulama yang masuk penjara, bila tidak dibunuh. Salah satu di antaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Karena perubahan itulah, Imam Syafi‘i kemudian memutuskan pergi ke Mesir. Sebenarnya hati kecilnya menolak pergi ke sana, tetapi akhirnya ia menyerahkan dirinya kepada kehendak Allah. Di Mesir, beliau mendapat sambutan masyarakatnya. Di sana beliau berdakwah, menebar ilmunya, dan menulis sejumlah kitab, termasuk merevisi kitabnya ar-Risalah, sampai akhirnya beliau menemui akhir kehidupannya di sana.
Keteguhan Imam Syafi'i Membela Sunnah
Sebagai seorang yang mengikuti manhaj Ash-habul Hadits, beliau dalam menetapkan suatu masalah terutama masalah aqidah selalu menjadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu menyebutkan dalil-dalil dari keduanya dan menjadikannya hujjah dalam menghadapi penentangnya, terutama dari kalangan ahli kalam. Beliau berkata, “Jika kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang lain.” Karena komitmennya mengikuti sunnah dan membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir as-Sunnah wa al-Hadits.
Terdapat banyak atsar tentang ketidaksukaan beliau kepada Ahli Ilmu Kalam, mengingat perbedaan manhaj beliau dengan mereka. Beliau berkata, “Setiap orang yang berbicara (mutakallim) dengan bersumber dari Alquran dan sunnah, maka ucapannya adalah benar, tetapi jika dari selain keduanya, maka ucapannya hanyalah igauan belaka.” Imam Ahmad berkata, “Bagi Syafi‘i jika telah yakin dengan keshahihan sebuah hadits, maka dia akan menyampaikannya. Dan prilaku yang terbaik adalah dia tidak tertarik sama sekali dengan ilmu kalam, dan lebih tertarik kepada fiqih.” Imam Syafi ‘i berkata, “Tidak ada yang lebih aku benci daripada ilmu kalam dan ahlinya” Al-Mazani berkata, “Merupakan madzhab Imam Syafi‘i membenci kesibukan dalam ilmu kalam. Beliau melarang kami sibuk dalam ilmu kalam.”
Ketidaksukaan beliau sampai pada tingkat memberi fatwa bahwa hukum bagi ahli ilmu kalam adalah dipukul dengan pelepah kurma, lalu dinaikkan ke atas punggung unta dan digiring berkeliling di antara kabilah-kabilah dengan mengumumkan bahwa itu adalah hukuman bagi orang yang meninggalkan Alquran dan Sunnah dan memilih ilmu kalam.
Imam Syafi'i Wafat
Karena kesibukannya berdakwah dan menebar ilmu, beliau menderita penyakit bawasir yang selalu mengeluarkan darah. Makin lama penyakitnya itu bertambah parah hingga akhirnya beliau wafat karenanya. Beliau wafat pada malam Jumat setelah shalat Isya’ hari terakhir bulan Rajab permulaan tahun 204 dalam usia 54 tahun. Semoga Allah memberikan kepadanya rahmat-Nya yang luas.
Ar-Rabi menyampaikan bahwa dia bermimpi melihat Imam Syafi‘i, sesudah wafatnya. Dia berkata kepada beliau, “Apa yang telah diperbuat Allah kepadamu, wahai Abu Abdillah ?” Beliau menjawab, “Allah mendudukkan aku di atas sebuah kursi emas dan menaburkan pada diriku mutiara-mutiara yang halus”
Karangan-Karangan Imam Syafi'i
Sekalipun beliau hanya hidup selama setengah abad dan kesibukannya melakukan perjalanan jauh untuk mencari ilmu, hal itu tidaklah menghalanginya untuk menulis banyak kitab. Jumlahnya menurut Ibnu Zulaq mencapai 200 bagian, sedangkan menurut al-Marwaziy mencapai 113 kitab tentang tafsir, fiqih, adab dan lain-lain. Yaqut al-Hamawi mengatakan jumlahnya mencapai 174 kitab yang judul-judulnya disebutkan oleh Ibnu an-Nadim dalam al-Fahrasat.
Yang paling terkenal di antara kitab-kitabnya adalah al-Umm, yang terdiri dari 4 jilid berisi 128 masalah, dan ar-Risalah al-Jadidah (yang telah direvisinya) mengenai Al-Quran dan As-Sunnah serta kedudukannya dalam syariat.
Beliau bernama Muhammad dengan kun-yah Abu Abdillah. Nasab beliau secara lengkap adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi‘ bin as-Saib bin ‘Ubayd bin ‘Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf bin Qushay. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah pada diri ‘Abdu Manaf bin Qushay. Dengan begitu, beliau masih termasuk sanak kandung Rasulullah karena masih terhitung keturunan paman-jauh beliau , yaitu Hasyim bin al-Muththalib.
Bapak beliau, Idris, berasal dari daerah Tibalah (Sebuah daerah di wilayah Tihamah di jalan menuju ke Yaman). Dia seorang yang tidak berpunya. Awalnya dia tinggal di Madinah lalu berpindah dan menetap di ‘Asqalan (Kota tepi pantai di wilayah Palestina) dan akhirnya meninggal dalam keadaan masih muda di sana. Syafi‘, kakek dari kakek beliau, -yang namanya menjadi sumber penisbatan beliau (Syafi‘i)- menurut sebagian ulama adalah seorang sahabat shigar (yunior) Nabi. As-Saib, bapak Syafi‘, sendiri termasuk sahabat kibar (senior). Dia termasuk dalam barisan tokoh musyrikin Quraysy dalam Perang Badar. Ketika itu dia tertawan lalu menebus sendiri dirinya dan menyatakan masuk Islam.
Para ahli sejarah dan ulama nasab serta ahli hadits bersepakat bahwa Imam Syafi‘i berasal dari keturunan Arab murni. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah memberi kesaksian mereka akan kevalidan nasabnya tersebut dan ketersambungannya dengan nasab Nabi, kemudian mereka membantah pendapat-pendapat sekelompok orang dari kalangan Malikiyah dan Hanafiyah yang menyatakan bahwa Imam Syafi‘i bukanlah asli keturunan Quraysy secara nasab, tetapi hanya keturunan secara wala’ saja.
Adapun ibu beliau, terdapat perbedaan pendapat tentang jati dirinya. Beberapa pendapat mengatakan dia masih keturunan al-Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, sedangkan yang lain menyebutkan seorang wanita dari kabilah Azadiyah yang memiliki kun-yah Ummu Habibah. Imam an-Nawawi menegaskan bahwa ibu Imam Syafi‘i adalah seorang wanita yang tekun beribadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Dia seorang yang faqih dalam urusan agama dan memiliki kemampuan melakukan istinbath.
Waktu dan Tempat Kelahiran Imam Syafi'i
Beliau dilahirkan pada tahun 150H. Pada tahun itu pula, Abu Hanifah wafat sehingga dikomentari oleh al-Hakim sebagai isyarat bahwa beliau adalah pengganti Abu Hanifah dalam bidang yang ditekuninya.
Tentang tempat kelahirannya, banyak riwayat yang menyebutkan beberapa tempat yang berbeda. Akan tetapi, yang termasyhur dan disepakati oleh ahli sejarah adalah kota Ghazzah (Sebuah kota yang terletak di perbatasan wilayah Syam ke arah Mesir. Tepatnya di sebelah Selatan Palestina. Jaraknya dengan kota Asqalan sekitar dua farsakh). Tempat lain yang disebut-sebut adalah kota Asqalan dan Yaman.
Ibnu Hajar memberikan penjelasan bahwa riwayat-riwayat tersebut dapat digabungkan dengan dikatakan bahwa beliau dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di wilayah Asqalan. Ketika berumur dua tahun, beliau dibawa ibunya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang keturunan Yaman karena sang ibu berasal dari kabilah Azdiyah (dari Yaman). Lalu ketika berumur 10 tahun, beliau dibawa ke Mekkah, karena sang ibu khawatir nasabnya yang mulia lenyap dan terlupakan.
Pertumbuhan dan Pengembaraan Imam Syafi'i Dalam Mencari Ilmu
Di Mekkah, Imam Syafi ‘i dan ibunya tinggal di dekat Syi‘bu al-Khaif. Di sana, sang ibu mengirimnya belajar kepada seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu untuk membiayainya, tetapi sang guru ternyata rela tidak dibayar setelah melihat kecerdasan dan kecepatannya dalam menghafal. Imam Syafi‘i bercerita, “Di al-Kuttab (sekolah tempat menghafal Alquran), saya melihat guru yang mengajar di situ membacakan murid-muridnya ayat Alquran, maka aku ikut menghafalnya. Sampai ketika saya menghafal semua yang dia diktekan, dia berkata kepadaku, “Tidak halal bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.” Dan ternyata kemudian dengan segera guru itu mengangkatnya sebagai penggantinya (mengawasi murid-murid lain) jika dia tidak ada. Demikianlah, belum lagi menginjak usia baligh, beliau telah berubah menjadi seorang guru.
Setelah rampung menghafal Alquran di al-Kuttab, beliau kemudian beralih ke Masjidil Haram untuk menghadiri majelis-majelis ilmu di sana. Sekalipun hidup dalam kemiskinan, beliau tidak berputus asa dalam menimba ilmu. Beliau mengumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang unta untuk dipakai menulis. Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah bertuliskan hadits-hadits Nabi. Dan itu terjadi pada saat beliau belum lagi berusia baligh. Sampai dikatakan bahwa beliau telah menghafal Alquran pada saat berusia 7 tahun, lalu membaca dan menghafal kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia 12 tahun sebelum beliau berjumpa langsung dengan Imam Malik di Madinah.
Beliau juga tertarik mempelajari ilmu bahasa Arab dan syair-syairnya. Beliau memutuskan untuk tinggal di daerah pedalaman bersama suku Hudzail yang telah terkenal kefasihan dan kemurnian bahasanya, serta syair-syair mereka. Hasilnya, sekembalinya dari sana beliau telah berhasil menguasai kefasihan mereka dan menghafal seluruh syair mereka, serta mengetahui nasab orang-orang Arab, suatu hal yang kemudian banyak dipuji oleh ahli-ahli bahasa Arab yang pernah berjumpa dengannya dan yang hidup sesudahnya. Namun, takdir Allah telah menentukan jalan lain baginya. Setelah mendapatkan nasehat dari dua orang ulama, yaitu Muslim bin Khalid az-Zanji -mufti kota Mekkah-, dan al-Husain bin ‘Ali bin Yazid agar mendalami ilmu fiqih, maka beliau pun tersentuh untuk mendalaminya dan mulailah beliau melakukan pengembaraannya mencari ilmu.
Beliau mengawalinya dengan menimbanya dari ulama-ulama kotanya, Mekkah, seperti Muslim bin Khalid, Dawud bin Abdurrahman al-‘Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi’ –yang masih terhitung paman jauhnya-, Sufyan bin ‘Uyainah –ahli hadits Mekkah-, Abdurrahman bin Abu Bakar al-Maliki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin ‘Iyadh, dan lain-lain. Di Mekkah ini, beliau mempelajari ilmu fiqih, hadits, lughoh, dan Muwaththa’ Imam Malik. Di samping itu beliau juga mempelajari keterampilan memanah dan menunggang kuda sampai menjadi mahir sebagai realisasi pemahamannya terhadap ayat 60 surat Al-Anfal. Bahkan dikatakan bahwa dari 10 panah yang dilepasnya, 9 di antaranya pasti mengena sasaran.
Setelah mendapat izin dari para syaikh-nya untuk berfatwa, timbul keinginannya untuk mengembara ke Madinah, Dar as-Sunnah, untuk mengambil ilmu dari para ulamanya. Terlebih lagi di sana ada Imam Malik bin Anas, penyusun al-Muwaththa’. Maka berangkatlah beliau ke sana menemui sang Imam. Di hadapan Imam Malik, beliau membaca al-Muwaththa’ yang telah dihafalnya di Mekkah, dan hafalannya itu membuat Imam Malik kagum kepadanya. Beliau menjalani mulazamah kepada Imam Malik demi mengambil ilmu darinya sampai sang Imam wafat pada tahun 179. Di samping Imam Malik, beliau juga mengambil ilmu dari ulama Madinah lainnya seperti Ibrahim bin Abu Yahya, ‘Abdul ‘Aziz ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Isma‘il bin Ja‘far, Ibrahim bin Sa‘d dan masih banyak lagi.
Setelah kembali ke Mekkah, beliau kemudian melanjutkan mencari ilmu ke Yaman. Di sana beliau mengambil ilmu dari Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf al-Qadhi, serta yang lain. Namun, berawal dari Yaman inilah beliau mendapat cobaan –satu hal yang selalu dihadapi oleh para ulama, sebelum maupun sesudah beliau-. Di Yaman, nama beliau menjadi tenar karena sejumlah kegiatan dan kegigihannya menegakkan keadilan, dan ketenarannya itu sampai juga ke telinga penduduk Mekkah. Lalu, orang-orang yang tidak senang kepadanya akibat kegiatannya tadi mengadukannya kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, Mereka menuduhnya hendak mengobarkan pemberontakan bersama orang-orang dari kalangan Alawiyah.
Sebagaimana dalam sejarah, Imam Syafi‘i hidup pada masa-masa awal pemerintahan Bani ‘Abbasiyah yang berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu, setiap khalifah dari Bani ‘Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan orang-orang dari kalangan ‘Alawiyah. Kenyataan ini membuat mereka bersikap sangat kejam dalam memadamkan pemberontakan orang-orang ‘Alawiyah yang sebenarnya masih saudara mereka sebagai sesama Bani Hasyim. Dan hal itu menggoreskan rasa sedih yang mendalam pada kaum muslimin secara umum dan pada diri Imam Syafi‘i secara khusus. Dia melihat orang-orang dari Ahlu Bait Nabi menghadapi musibah yang mengenaskan dari penguasa. Maka berbeda dengan sikap ahli fiqih selainnya, beliau pun menampakkan secara terang-terangan rasa cintanya kepada mereka tanpa rasa takut sedikitpun, suatu sikap yang saat itu akan membuat pemiliknya merasakan kehidupan yang sangat sulit.
Sikapnya itu membuatnya dituduh sebagai orang yang bersikap tasyayyu‘, padahal sikapnya sama sekali berbeda dengan tasysyu’ model orang-orang syi‘ah. Bahkan Imam Syafi‘i menolak keras sikap tasysyu’ model mereka itu yang meyakini ketidakabsahan keimaman Abu Bakar, Umar, serta ‘Utsman , dan hanya meyakini keimaman Ali, serta meyakini kemaksuman para imam mereka. Sedangkan kecintaan beliau kepada Ahlu Bait adalah kecintaan yang didasari oleh perintah-perintah yang terdapat dalam Alquran maupun hadits-hadits shahih. Dan kecintaan beliau itu ternyata tidaklah lantas membuatnya dianggap oleh orang-orang syiah sebagai ahli fiqih madzhab mereka.
Tuduhan dusta yang diarahkan kepadanya bahwa dia hendak mengobarkan pemberontakan, membuatnya ditangkap, lalu digelandang ke Baghdad dalam keadaan dibelenggu dengan rantai bersama sejumlah orang-orang ‘Alawiyah. Beliau bersama orang-orang ‘Alawiyah itu dihadapkan ke hadapan Khalifah Harun ar-Rasyid. Khalifah menyuruh bawahannya menyiapkan pedang dan hamparan kulit. Setelah memeriksa mereka seorang demi seorang, ia menyuruh pegawainya memenggal kepala mereka. Ketika sampai pada gilirannya, Imam Syafi‘i berusaha memberikan penjelasan kepada Khalifah. Dengan kecerdasan dan ketenangannya serta pembelaan dari Muhammad bin al-Hasan -ahli fiqih Irak-, beliau berhasil meyakinkan Khalifah tentang ketidakbenaran apa yang dituduhkan kepadanya. Akhirnya beliau meninggalkan majelis Harun ar-Rasyid dalam keadaan bersih dari tuduhan bersekongkol dengan ‘Alawiyah dan mendapatkan kesempatan untuk tinggal di Baghdad.
Di Baghdad, beliau kembali pada kegiatan asalnya, mencari ilmu. Beliau meneliti dan mendalami madzhab Ahlu Ra’yu. Untuk itu beliau berguru dengan mulazamah kepada Muhammad bin al-Hassan. Selain itu, kepada Isma‘il bin ‘Ulayyah dan Abdul Wahhab ats-Tsaqafiy dan lain-lain. Setelah meraih ilmu dari para ulama Irak itu, beliau kembali ke Mekkah pada saat namanya mulai dikenal. Maka mulailah ia mengajar di tempat dahulu ia belajar. Ketika musim haji tiba, ribuan jamaah haji berdatangan ke Mekkah. Mereka yang telah mendengar nama beliau dan ilmunya yang mengagumkan, bersemangat mengikuti pengajarannya sampai akhirnya nama beliau makin dikenal luas. Salah satu di antara mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal.
Ketika kamasyhurannya sampai ke kota Baghdad, Imam Abdurrahman bin Mahdi mengirim surat kepada Imam Syafi‘i memintanya untuk menulis sebuah kitab yang berisi khabar-khabar yang maqbul, penjelasan tentang nasikh dan mansukh dari ayat-ayat Alquran dan lain-lain. Maka beliau pun menulis kitabnya yang terkenal, Ar-Risalah.
Setelah lebih dari 9 tahun mengajar di Mekkah, beliau kembali melakukan perjalanan ke Irak untuk kedua kalinya dalam rangka menolong madzhab Ash-habul Hadits di sana. Beliau mendapat sambutan meriah di Baghdad karena para ulama besar di sana telah menyebut-nyebut namanya. Dengan kedatangannya, kelompok Ash-habul Hadits merasa mendapat angin segar karena sebelumnya mereka merasa didominasi oleh Ahlu Ra’yi. Sampai-sampai dikatakan bahwa ketika beliau datang ke Baghdad, di Masjid Jami ‘ al-Gharbi terdapat sekitar 20 halaqah Ahlu Ra ‘yu. Tetapi ketika hari Jumat tiba, yang tersisa hanya 2 atau 3 halaqah saja.
Beliau menetap di Irak selama dua tahun, kemudian pada tahun 197 beliau balik ke Mekkah. Di sana beliau mulai menyebar madzhabnya sendiri. Maka datanglah para penuntut ilmu kepadanya meneguk dari lautan ilmunya. Tetapi beliau hanya berada setahun di Mekkah.
Tahun 198, beliau berangkat lagi ke Irak. Namun, beliau hanya beberapa bulan saja di sana karena telah terjadi perubahan politik. Khalifah al-Makmun telah dikuasai oleh para ulama ahli kalam, dan terjebak dalam pembahasan-pembahasan tentang ilmu kalam. Sementara Imam Syafi‘i adalah orang yang paham betul tentang ilmu kalam. Beliau tahu bagaimana pertentangan ilmu ini dengan manhaj as-salaf ash-shaleh –yang selama ini dipegangnya- di dalam memahami masalah-masalah syariat. Hal itu karena orang-orang ahli kalam menjadikan akal sebagai patokan utama dalam menghadapi setiap masalah, menjadikannya rujukan dalam memahami syariat padahal mereka tahu bahwa akal juga memiliki keterbatasan-keterbatasan. Beliau tahu betul kebencian meraka kepada ulama ahlu hadits. Karena itulah beliau menolak madzhab mereka.
Dan begitulah kenyataannya. Provokasi mereka membuat Khalifah mendatangkan banyak musibah kepada para ulama ahlu hadits. Salah satunya adalah yang dikenal sebagai Yaumul Mihnah, ketika dia mengumpulkan para ulama untuk menguji dan memaksa mereka menerima paham Alquran itu makhluk. Akibatnya, banyak ulama yang masuk penjara, bila tidak dibunuh. Salah satu di antaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Karena perubahan itulah, Imam Syafi‘i kemudian memutuskan pergi ke Mesir. Sebenarnya hati kecilnya menolak pergi ke sana, tetapi akhirnya ia menyerahkan dirinya kepada kehendak Allah. Di Mesir, beliau mendapat sambutan masyarakatnya. Di sana beliau berdakwah, menebar ilmunya, dan menulis sejumlah kitab, termasuk merevisi kitabnya ar-Risalah, sampai akhirnya beliau menemui akhir kehidupannya di sana.
Keteguhan Imam Syafi'i Membela Sunnah
Sebagai seorang yang mengikuti manhaj Ash-habul Hadits, beliau dalam menetapkan suatu masalah terutama masalah aqidah selalu menjadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu menyebutkan dalil-dalil dari keduanya dan menjadikannya hujjah dalam menghadapi penentangnya, terutama dari kalangan ahli kalam. Beliau berkata, “Jika kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang lain.” Karena komitmennya mengikuti sunnah dan membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir as-Sunnah wa al-Hadits.
Terdapat banyak atsar tentang ketidaksukaan beliau kepada Ahli Ilmu Kalam, mengingat perbedaan manhaj beliau dengan mereka. Beliau berkata, “Setiap orang yang berbicara (mutakallim) dengan bersumber dari Alquran dan sunnah, maka ucapannya adalah benar, tetapi jika dari selain keduanya, maka ucapannya hanyalah igauan belaka.” Imam Ahmad berkata, “Bagi Syafi‘i jika telah yakin dengan keshahihan sebuah hadits, maka dia akan menyampaikannya. Dan prilaku yang terbaik adalah dia tidak tertarik sama sekali dengan ilmu kalam, dan lebih tertarik kepada fiqih.” Imam Syafi ‘i berkata, “Tidak ada yang lebih aku benci daripada ilmu kalam dan ahlinya” Al-Mazani berkata, “Merupakan madzhab Imam Syafi‘i membenci kesibukan dalam ilmu kalam. Beliau melarang kami sibuk dalam ilmu kalam.”
Ketidaksukaan beliau sampai pada tingkat memberi fatwa bahwa hukum bagi ahli ilmu kalam adalah dipukul dengan pelepah kurma, lalu dinaikkan ke atas punggung unta dan digiring berkeliling di antara kabilah-kabilah dengan mengumumkan bahwa itu adalah hukuman bagi orang yang meninggalkan Alquran dan Sunnah dan memilih ilmu kalam.
Imam Syafi'i Wafat
Karena kesibukannya berdakwah dan menebar ilmu, beliau menderita penyakit bawasir yang selalu mengeluarkan darah. Makin lama penyakitnya itu bertambah parah hingga akhirnya beliau wafat karenanya. Beliau wafat pada malam Jumat setelah shalat Isya’ hari terakhir bulan Rajab permulaan tahun 204 dalam usia 54 tahun. Semoga Allah memberikan kepadanya rahmat-Nya yang luas.
Ar-Rabi menyampaikan bahwa dia bermimpi melihat Imam Syafi‘i, sesudah wafatnya. Dia berkata kepada beliau, “Apa yang telah diperbuat Allah kepadamu, wahai Abu Abdillah ?” Beliau menjawab, “Allah mendudukkan aku di atas sebuah kursi emas dan menaburkan pada diriku mutiara-mutiara yang halus”
Karangan-Karangan Imam Syafi'i
Sekalipun beliau hanya hidup selama setengah abad dan kesibukannya melakukan perjalanan jauh untuk mencari ilmu, hal itu tidaklah menghalanginya untuk menulis banyak kitab. Jumlahnya menurut Ibnu Zulaq mencapai 200 bagian, sedangkan menurut al-Marwaziy mencapai 113 kitab tentang tafsir, fiqih, adab dan lain-lain. Yaqut al-Hamawi mengatakan jumlahnya mencapai 174 kitab yang judul-judulnya disebutkan oleh Ibnu an-Nadim dalam al-Fahrasat.
Yang paling terkenal di antara kitab-kitabnya adalah al-Umm, yang terdiri dari 4 jilid berisi 128 masalah, dan ar-Risalah al-Jadidah (yang telah direvisinya) mengenai Al-Quran dan As-Sunnah serta kedudukannya dalam syariat.
Maka Nikmat Yang Manakah Yang Kamu Dustakan?
Kenikmatan yang Allah telah berikan kepada kita semua sungguh sangat luar biasa, dan sesungguhnya apabila lautan yang terhampar luas dijadikan tinta untuk menghitung nikmat Allah tentunya tidak akan mampu untuk menghitung banyaknya nikmat Allah yang telah diberikan Kepada kita semua, ketika kita berbicara tentang pernafasan kita, seandainya kita tidak dapat bernafas dan memerlukan Alat bantu pernafasan atau semacam Oxican yang harganya berkisar Rp.21.500/Botol dan digunakan sekali pakai setara 2,5 Menit, tentunya kalau kita hitung sehari saja habis Rp.216.000 seandainya alat itu kita gunakan dari lahir tentunya kalau kita kaliakan dengan berapa banyak Umur kita sekarang mungkin kita akan tercengngang melihat hasilnya karena terlalu banyak sekali, dan ini / pernafasan kita ini Allah telah memberikanya gratis kepada kita, apakah wajar kalau Allah meminta kita untuk bersukur kepada-Nya ? dan tentunya sangat wajar sekali, itu baru sekedar pernafasan yang kita bicarakan, kita belum membicarakan Bagaimana kenikmatan mata kita ? kenikmatan telingga, alat peraba kita, Umur kita dan masih banyak kenikmatan yang Allah berikan kepada kita semua, dan itu Allah berikan kepada kita semua dengan Gratis, sekali lagi itu gratis dan Allah hanya meminta kita untuk bersukur dengan cara beribadah kepada-Nya, dan itu wajar sekali karena kita adalah ciptaanya.
Didalam surat Ar-Rahman Allah telah mengulanggi beberapa kali ayat yang artinya Nikmat mana lagi yang engkau dustakan ? Nikmat mana lagi yang engkau dustakan ? Nikmat mana lagi yang engkau dustakan ?
"(Tuhan) Yang Maha Pemurah, Yang telah mengajarkan Al Qur'an. Dia menciptakan manusia, Mengajarnya pandai berbicara. Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan. Dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan kedua-duanya tunduk kepada-Nya. Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.
Dan Allah telah meratakan bumi untuk makhluk (Nya). di bumi itu ada buah-buahan dan pohon kurma yang mempunyai kelopak mayang. Dan biji-bijian yang berkulit dan bunga-bunga yang harum baunya. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?" (Q.S. Ar-Rahman 55:1-13)
Satu hal yang menarik dari kandungan surat ar-Rahman adalah adanya pengulangan satu ayat yang berbunyi "fabiayyi alai rabbikuma tukadziban" (Maka ni'mat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?). Kalimat ini diulang berkali-kali dalam surat ini. Apa gerangan makna kalimat tersebut?
Surat ar-Rahman adalah surat yang memuat retorika yang amat tinggi dari Allah. Setelah Allah menguraikan beberapa ni'mat yang dianugerahkan kepada kita, Allah bertanya: "Maka ni'mat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?". Allah ingin menunjukkan bahwa nikmat yang Allah berikan kepada manusia itu tidak bisa diingakari keberadaannya oleh manusia. Yang bisa dilakukan oleh manusia adalah mendustakannya. Dusta berarti menyembunyikan kebenaran. Manusia sebenarnya tahu bahwa mereka telah diberi nikmat oleh Allah, tapi mereka menyembunyikan kebenaran itu; mereka mendustakannya! dan berkhianat.
Kata pengulangan "Maka nikmat Tuhan yang mana lagi yang kita dustakan!!", perlulah kiranya direnungkan mendalam.
Bagi yang telah bergelimang kenikmatan, telah penuh pundi-pundi uang, telah berderet gelar di kartu nama, telah berjejer mobil di garasi, ingatlah-baik akan apa yang didustakan atau tidak semua ni'mat yang peroleh hari ini akan ditanya oleh Allah nanti di hari kiamat!. Dihari dimana semua manusia dimintakan pertanggung jawaban atas semua harta benda, kepemimpinan dan semua titipan yang diberikan kepada kita!.
"Sungguh kamu pasti akan ditanya pada hari itu akan nikmat yang kamu peroleh saat ini" (Q.S At Takatsur 102: 8)
Tentunya sangat wajar sekali ketika kita umat islam menginginkan penerapan sayariat isalam secara kaffah di dalam sendi-sendi kehidupan yang merupakan wujud syukur, kecintaan dan ketunduan kita terhadap Allah Sang Pencipta kita. Waallahu A’lam
Ketika Hati Tak Mampu Lagi Mendeteksi Noda-Noda Dosa
Hati adalah cermin, mungkin istilah tersebut sering kita dengar. Dosa adalah noda yang bisa mengotori hati kita, semakin banyak dosa yang kita lakukan semakin banyak pula debu-debu dosa yang menempel di hati kita, saya pun teringat lagu yang dulu sering dendangkan oleh salah satu ustadz di sebuah setasiun televisi. “jagalah hati, jangan kau kotori, jagalah hati cahaya ilahi…..” hati memang sebongkah organ yang sangat penting sekali, bahkan Rasulullah pernah menegaskan kepada kita dalam hadis beliau bahwa Ketahuilah, sesungguhnya di dalam jasad itu ada segumpal daging, apabila dia baik maka baiklah seluruh jasad, dan apabila dia buruk maka buruklah seluruh jasad. Ketahuilah, dia adalah hati
Kata imam al Ghazali, kalbu itu ibarat cermin , saat seseorang melakukan satu dosa/maksiat, maka satu naktah hitam menutupi kalbunya. Semakin banyak dosa, semakin banyak noktah hitam menutupi kalbunya. Jika sudah tertutup noktah hitam, kalbu yang ibarat cermin itu tidak bias lagi digunakan untuk bercermin; untuk ‘mengaca diri’ dan mengevaluasi diri. Saat demikian kepekaan spiritual bisa lenyap dari dirinya. Jika sudah seperti itu jangankan dosa kecil, apalagi skedar berbuat makruh dan melakukan banyak hal mubah yang melalaikan, dosa besar sekalipun tak dianggap besar. Jangankan meninggalkan hal sunah, meninggalkan kewajibanpun mungkin sudah dianggap biasa. Pasalnya kepekaan kalbunya nyaris hilang, tidak mampulagi mendeteksi dosa, apalagi dosa yang dianggap kecil.
Sebagai seorang muslim yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, Seharusnya kita senantiasa mengasah kepekaan spiritual kita, agar hati ini tidak terasa ‘gersang’ kalau hati terasa gersang apalagi sudah tidak mampu mendeteksi noda-noda dosa maka aktivitas maksiat akan menjadi rutinitas dan maksiat itu tidak jarang akan melahirkan maksiat yang lain. Jika aktivitas maksiat sering dikerjakan maka akan terjadi akumulasi maksiat. Dosa-dosa kecilpun akan menjadi besar. Hal seperti inipun sangat rentan sekali didalam sebuah Negara yang tidak menerapkan aturan-aturan Islam dalam kehidupan karena Negara yang seharusnya menjaga dan menganyomi umat dari aktivitas maksiat dengan diterapkanya hukum Islam maka ketika Negara sudah tidak lagi peduli maka tidak salah jika terjadi akumulasi maksiat besar-besaran dan ketika aktivitas maksiat ; Korupsi, Riba, Perzinahan, Pendzolimi terhadap rakyat, Umbar aurat, dsb, sudah dianggap biasa maka akan rentan sekali dengan bencana
Mungkin banyak sekali hal yang bisa kita lakukan untuk meningkatkan kepakaan spiritual kita, sebagai individu contohnya ; bisa ziarah kubur, mengunjungi orang-orang salih, orang-orang bertakwa,ulama terpercaya, membenca sekaligus menyelami sirah generasi salaf, para ahli ibadah, orang-orang zuhud, para mujahid, pala pembela kebenaran, orang-orang sabar dan orang-orang bersyukur; meningkatkan porsi ibadah; memperbanyak membaca al quran, berdoa, qiyamul layl, bersedekah. dsb .
Sebuah Negara yang kata Imam Al Ghazali ibarat 2 mata uang dengan agama yang tidak dapat dipisahkan karena agama merupakan pondasi dan Negara merupak penjaga, jika Negara tidak ada pondasinya maka akan rapuh dan begitupula agama tidak dijaga oleh Negara maka akan hilang. Maka dari itu akumulasi maksiat yang sangat kompleksnya di negari ini karena telah melepaskan agama dari kehidupan kaum muslimin.
Wallahu a’lam
[dakwahkampus.com]
Menjadi Umat Yang Terbaik
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. (Ali Imron 110)
Dalam ayat di atas di tegaskan bahwa umat Islam merupakan umat yang terbaik yaitu dengan amar makruf nahi munkar, pertanyaanya apakah umat Islam sekarang sudah menjadi umat yang terbaik ? namun faktanya, keterpurukan terjadi pada umat Islam, sebagian umat Islam menjadi bulan bulanan orang kafir, kita dijajah baik ekonomi, politik, sumber daya alam dsb, apakah umat Islam sudah meninggalakan aktivitas Amar makruf nahi munkar ? padahal aktivitas dakwah juga banyak dilakukan oleh kaum muslimin ? seperti apakah aktivitas amar makruf nahi munkar yang dapat membuat umat islam menjadi umat yang terbaik
Amar makruf nahi mungkar merupakan salah satu ciri yang hanya dijumpai pada kaum Muslim; tidak ada pada umat-umat lain. Bahkan keistimewaan umat Islam justru dicirikan dengan adanya sifat amar makruf nahi mungkar.
Yang disebut dengan makruf menurut syariat Islam adalah setiap keyakinan, perbuatan (amal), perkataan, atau isyarat yang telah diakui oleh as-Syâri‘ Yang Mahabijaksana dan diperintahkan sebagai bentuk kewajiban maupun dorongan.
Dengan demikian, beriman kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya; pada Hari Akhir, surga dan neraka, dan lain-lain dianggap sebagai perkara yang makruf dan diperintahkan, serta terkait dengan itikad (keyakinan/keimanan). Pelaksanaan shalat, shaum, zakat, haji, sedekah, berjihad fi sabilillah dan sejenisnya; tercakup di dalam perbuatan-perbuatan (amal) yang makruf. Mengucapkan kata-kata yang haq, memerintahkan untuk menjalankan kewajiban agama, dan melarang terjerumus dalam hal-hal yang diharamkan; juga tergolong pada perkara yang makruf.
Jadi, makruf disini berarti kebaikan. Oleh karena itu, amar makruf berarti perintah atau dorongan untuk menjalankan perkara-perkara yang makruf (kebaikan), yang dituntut atau didorong oleh akidah dan syariat Islam.
Dengan demikian, syirik kepada Allah, percaya pada ramalan bintang dan dukun, menyandarkan nasib pada mantera-mantera dan paranormal, dan sejenisnya, adalah keyakinan yang mungkar. Begitu pula minum-minuman keras (khamar), berzina, mencuri, ghîbah, berdusta, , korupsi, suap, , tunduk pada dominasi negara-negara kafir, menelantarkan urusan rakyat, mengambil harta milik masyarakat (milik umum) tanpa legislasi syariat, menjalankan hukum thâghût (selain hukum Islam), dan sejenisnya; termasuk tindakan-tindakan mungkar.
Jadi, mungkar di sini berarti (keburukan). Oleh karena itu, nahi mungkar berarti perintah untuk menjauhi perkara-perkara yang mungkar (keburukan), yang dihindari oleh akidah dan syariat Islam. Amar makruf nahi mungkar diwajibkan oleh syariat Islam. (Lihat: QS Ali Imran [3]: 104).
Adapun taghyîr al-munkar (mengubah kemungkaran) adalah juga diwajibkan atas setiap Muslim. Hanya saja, caranya telah ditentukan oleh Rasulullah saw. Beliau bersabda:
Siapa saja di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya; jika tidak mampu, hendaklah dengan lisannya; jika tidak mampu, hendaklah dengan hatinya. Akan tetapi, yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman. (HR Muslim).
Hadis di atas terkait dengan sifat-sifat seseorang tatkala mengubah kemunkaran. Orang yang hendak mengubah kemungkaran berhak mengubahnya dengan berbagai cara yang dapat melenyapkan kemungkaran tersebut, baik melalui perkataan maupun perbuatan (tangan). Jika seseorang memiliki dugaan kuat (yakni jika diubah dengan tangan akan muncul kemungkaran yang lebih besar lagi, seperti menyebabkan risiko akan dibunuh atau orang lain bakal terbunuh karena perbuatannya), cukuplah mengubah kemungkaran itu dilakukan dengan lisan; diberi nasihat dan peringatan. Jika ia merasa khawatir bahwa ucapannya itu bisa berakibat pada risiko yang sama, cukuplah diingkari dengan hati.
Berdasarkan hal ini, seseorang yang mampu mengubah kemungkaran. Yang dimaksud dengan mengubah kemungkaran melalui hati adalah menasihati pelaku kemungkaran, kemudian (jika hal itu dilakukan, atau tidak mampu dilakukan karena adanya risiko kemungkaran yang lebih besar) memutuskan hubungannya dengan kemungkaran dan pelakunya melalui tindakan: tidak duduk bersama-sama pelaku yang tengah melaksanakan kezaliman atau tindakan mungkar; tidak minum-minum (khamar) bersama-sama; tidak makan-makan (makanan yang haram) secara bersama-sama dengan pelaku, tidak melayani/memfasilitasi dan mendorong mereka melakukan kemungkaran; dan sebagainya.
Dari paparan tersebut tampak bahwa pihak yang paling bertanggung jawab dalam melakukan amar makruf nahi mungkar dan mampu mengubah kemunkaran dengan tangan (kekuatan) adalah pemerintah atau negara. Negara memiliki seluruh pranata yang memungkinkannya bisa menjalankan amar makruf nahi mungkar dan melenyapkan kemungkaran dengan tangan (kekuatan)-nya seketika.
Masalahnya, di tengah-tengah kaum Muslim saat ini pemerintah atau negara telah berubah menjadi dâr al-kufr, syariat Islam diganti dengan sistem hukum thâghût, sekularisme dijadikan dasar negara, kedaulatan bukan di tangan Allah Swt. melainkan manusia (yaitu rakyat), kekufuran merajalela di seluruh lapisan, dari dasar hingga ke cabang-cabangnya, ideolologi kufur (seperti Komunisme, Kapitalisme-Demokrasi dan semacamnya) merajalela dan menjadi panutan kaum Muslim, bahkan dibelanya mati-matian. Artinya, negara telah menjadi pelaku atau pemelihara kemungkaran itu sendiri. Lalu apa yang harus kita lakukan?
Jawabannya, bahwa kaum Muslim saat ini harus terlibat dalam proses taghyîr al-munkar secara global dan inqilâbî (revolusioner). Caranya adalah dengan mengembalikan lagi sistem hukum Islam melalui eksistensi negara yang mendasarkan diri, menjaga, melaksanakan dan mempropagandakan akidah dan syariat Islam; yaitu melalui Negara Khilafah yang merujuk pada manhaj Nabi saw. Tentu saja, semua itu harus melalui tahapan/metode yang dilandasi oleh perjalanan Rasulullah saw. membangun Negara Madinah, bukan berdasarkan metode lain.
Jika di tengah-tengah kaum Muslim tidak terbersit upaya untuk mengubahnya, bahkan dengan hati sekalipun (membiarkan dan tidak peduli dengan kondisi kaum Muslim saat ini yang didominasi oleh kekufuran), berarti iman dalam dirinya telah sirna, dan kemungkaran akan menyelimuti seluruh umat manusia. Pada akhirnya, pintu azab Allah yang sangat pedih akan terbuka. Rasulullah saw. bersabda:
Demi jiwaku yang ada dalam genggamannya, kalian memerintahkah kemakrufan dan mencegah kemungkaran atau Allah akan menimpakan azab atas kalian, kemudian kalian berdoa kepada-Nya, lalu doa kalian tidak akan dikabulkan. (HR at-Tirmidzi).
Insya Allah ketika aktivitas amar makruf nahi munkar yang kita laksanakan merupakan aktivitas yang mampu memangkitkan umat Islam sebagaimana yang telah di paparkan di atas, umat islam akan segera menjadi umat uang terbaik dan islam akan menjadi rahmat untuk seluruh alam.
Waallahu a’lam
Adakah Terorisme Itu ????
Sebuah pemandangan yang menarik mengingat apa yang terjadi di negeri ini mengenai masalah terorisme. Telah sekitar satu dekade negeri ini ingin menuntaskan masalah terorisme namun sampai saat ini belum juga muncul titik terang apa yang menjadi tujuan terorisme, siapa pelakunya, dan cara pemerintah dalam menyelesaikan masalah terorime di Indonesia.
Melihat apa yang terjadi di Indonesia dan negeri-negeri muslim lainnya, terorisme sengaja dimunculkan sebagai bentuk pengalihan pemerintah terhadap masalah kesejahteraan yang ada pada suatu negera. Hal dapat terlihat dengan beberapa contoh kasus yang sering terjadi di Indonesia, saat negeri ini ramai membicarakan tentang kesejahteraan rakyat, kasus korupsi, penegakan hukum, langsung muncul “aksi” teror yang kemudian di indentikan dengan aktivitas terorisme.
Kondisi ini akan terus berulang karena sudah ada grand desain dalam “pengendalian” aktivitas terorisme yang ada di suatu negeri, tak terkecuali di Indonesia. Salah satu pejabat pemerintah Inggris mengatakan bahwa : “The truth is, there is no Islamic army or terrorist group called al Qaida. And any informed intellegence officer knows this. But there is propaganda campaign to make public believe in the presence of an identified entity.. The country behind this propaganda is the US” (Robin Cook, Former British Foreign Secretary). Jadi kasus 911 yang menghancurkan gedung WTC sebagai “momentum” bagi negara Amerika untuk mengajak seluruh negeri dalam memerangi terorisme, sebagai awal dari proyek “war on terrorism”. Dan mereka hanya memberikan 2 pilihan bagi dunia yakni bersama Amerika memerangi terorisme atau menjadi bagian dari terorisme tersebut.
Setelah sekian lama, operasi perang melawan terorisme memang di tujukan untuk menyerang Islam. Faktanya hingga saat ini tidak ada pelaku terorisme yang berasal dari non muslim. Dan yang memperkuat fakta ini adalah ucapan dari presiden Amerika dan sekutunya yang akan memerangi segala bentuk pergerakan untuk membangkitkan kembali khilafah. Yang menjadikan Islam sebagai asas dalam mengatur seluruh aspek kehidupan di dunia ini. Karena mereka tahu persis ketika umat islam bersatu, maka hegemoni negara-negara Imperalis akan segera berakhir, dan jaman kebangkitan Islam akan muncul.
Relevansi segala skenario aktivitas “terorisme” ini khususnya di negeri kita bisa kita lihat dalam bulan ramadhan kembali mulai di angkat. Yang jadi pertanyaan, kenapa baru sekarang umar Patek di bawa ke Indonesia? Tidak pada bulan-bulan sebelumnya? Ini adalah bagian skenario dari negeri yang berada di balik semua propaganda dari aktivitas terorisme ini yakni Amerika. Karena perlu di ketahui juga bahwa sekitar 1.907 orang meninggal karena aktivitas terorisme Internasional setiap tahunnya, dan 68 diantara korban tersebut adalah warga Amerika.
Melihat kondisi negara Amerika sebagai salah satu negara maju, angka kematian 68 orang akibat terorisme adalah angka yang sangat kecil, melihat setiap tahunnya di Amerika 450.000 orang mati karena penyakit jantung koroner. Pada tahun 2007, pemerintah Amerika hanya mengalokasikan dana $2,9 Milyar untuk penanganan masalah penyakit jantung koroner yang mematikan 450.000 orang setiap tahun. Sedangkan dana untuk memerangi “terorisme” Amerika mengalokasikan dana $161,8 milyar yang hanya menewaskan 68 orang setiap tahunnya. Sungguh ketimpangan Anggaran pemerintah Amerika sangat terlihat disini.
Saat ini kesadaran penduduk negeri-negri Islam terhadap hegemoni yang dilakukan Amerika masih minim dan perlawanan untuk menghancurkan sistem yang bobrok ini juga masih sangat lemah. Hegemoni Amerika pada dunia, khususnya di Indonesia sangat terlihat dengan kedatangan Barack Obama tahun 2010 ke Indonesia yang di terima dan jamu dengan baik layaknya tuan besar. Padahal Amerika datang ke Indonesia hanya untuk menenangkan warga negara Amerika dan Anggota Senat Amerika yang juga panik akibat krisis ekonomi yang melanda negara paman Sam tersebut. Kedatangan Obama ke Indonesia hanya untuk memastikan bahwa Indonesia (negara yang kaya akan SDA) tetap dikuasai Amerika dan pemimpinnya masih loyal terhadap kepentingan Amerika. Tidak ada yang menolak bahkan mengusir Obama kecuali hanya satu ormas Islam di Indonesia.
Apa hasil dari pertemuan tersebut hingga saat ini? Apakah ada manfaatnya buat Indonesia?
Dengan kondisi ini, kita sebagai umat Islam yang berada di Indonesia mestinya bisa merenung, apalagi mahasiswa adalah orang-orang yang berfikiran cerdas yang memiliki tingkat intelektual diatas rata-rata masyarakat umum seharusnya dapat melihat hegemoni Amerika serta tergerak hatinya untuk melakukan perlawanan dan perubahan untuk kemerdekaan Hakiki Indonesia. Bukan malah ikut arus perubahan, menunggu perubahan terjadi tanpa terlibat menjadi bagian dari aktivis perubahan itu sendiri.
Perjuangan perubahan ini bukan tanpa tujuan yang jelas, bukan dengan cara-cara yang tidak jelas. Islam telah menegaskan bagaimana perubahan itu seharusnya dilakukan. Jika kita saat ini berada di Indonesia, siapkah kita menjadikan Indonesia menjadi “Madinah kedua” dimana mayoritas rakyat Indonesia siap menerapkan syariat Islam, siap dipimpin oleh siapapun (tidak harus orang Indonesia) untuk menerapkan Syariat Islam dalam bingkai Khilafah, dan bersedia berjuang, menjaga dan menyebarkan Islam kesegala penjuru dunia. Jika kita siap, maka azzam-kan dalam diri kita bahwa aktivitas ini akan mengambil masa muda kita, mengambil banyak pikiran dan tenaga kita, serta kita harus rela mengorbankan harta dan jiwa kita untuk berdakwah, menguatkan umat Islam di Indonesia agar siap menerapkan Syariat Islam. Dan bersiap-siap menghadapi cercaan, celaan orang-orang yang tidak menginginkan tegaknya Islam.
[dakwahkampus.com]
11/18/11
Membentuk Kelompok Atau Partai Politik
Mendirikan Partai Politik Islam dalam Mewujudkan Khilafah Islamiyyah adalah ‘’ MASYRU’ ’’ (disyari’atkan oleh Asy-syari’)
Oleh
Muhammad Lazuardi Al-Jawi
Banyaknya jama’ah / partai pada saat ini yang bermunculan dalam rangka menjawab berbagai permasalahan yang mendera kaum muslimin pasca runtuhnya Daulah Khilafah Islamiyah. Masing-masing memiliki amir dan metode dakwah serta target tertentu. Mereka antara lain : Al-Muhajirin, HT, IM, Hizbut Da’wah, Jama’ah Islamiyah, Tanzimul Jihad, Front Islam Internasional, Tanzim al-Islami, Jama’ah Tabligh, Parlemen Muslim, Hizbullah, An-Anshar, Partai Islam Inggris, Jama’ah Ihya’ Minhaj al-Sunnah, Kisdi, FIS, Hizbun-Nahdloh, Jama’ah Salafy, Jama’ah Ahlul Hadist, dan sebagainya.
Hal yang perlu diketahui apakah syara’ memperbolehkan untuk membentuk jama’ah/partai di satu tempat, dan apakah seorang Muslim diwajibkan bergabung dan mendukung jama’ah Islam itu. Berikut beberapa pertanyaan yang pasti muncul :
1. Apakah Islam membolehkan keberadaan jama’ah/partai tersebut ?
2. Jika demikian, bagaimana bentuk dan jumlahnya ?
3. Apakah hal itu menguntungkan/merugikan kaum Muslimin ?
4. Apakah persatuan jama’ah-jama’ah itu wajib ?
5. Tidakkah lebih baik mereka jadi satu partai “Hizbullah” daripada banyak jumlah, bukankah tujuan dan ideologinya sama ?
Mereka mengambil pendapat dari firman Allah SWT : “Sesungguhnya partai Allah-lah yang beruntung” (Q.S 58:22) dan “Yakinlah partai Allah-lah yang akan menang” (Q.S 5:56). Kedua dalil di atas selalu dikemukakan saat menjawab masalah ini dan menjadi pengesahan keberadaan jama’ah/partai tersebut.
Salah satu perintah Allah untuk kaum Muslimin di partai manapun mereka bergabung yaitu mewujudkan beberapa kewajiban yang tidak mungkin dilakukan sendirian. Untuk menjawabnya, kaum Muslimin mendirikan jama’ah/partai Islam sebagaimana firman Allah SWT: “Hendaknya ada diantara kalian sebuah jama’ah yang menyerukan kepada kebajikan (Islam), menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan merekalah golongan yang beruntung” (Q.S 3:104).
Hukum membentuk partai Islam adalah fardhu kifayah[1] bagi setiap kaum muslim dimanapun berada. Dalam Q.S Ali Imran di atas berisi perintah Allah, bagaimanakah kita tahu perintah itu diwajibkan ?
Para ulama ushul dan para fuqaha seperti Imam Al-Zarkhasy, Al-Ghazali, Al-Amidi, As-Syatibi, An-Nawawi, As-Shirazi, Al-Asnawi, dan lain-lain, menyatakan bahwa perintah tidak selalu menunjukkan kewajiban, mungkin hanya berupa anjuran. Untuk mewajibkan suatu anjuran maka diperlukan adanya qorinah/petunjuk syari’ah, jika tidak maka tetap menjadi anjuran saja. Hal ini dikarenakan bahasa Arab asalnya adalah bahasa perintah dan anjuran untuk mengerjakan/tidak mengerjakan. Banyak teks syara’ yang datang dalam bentuk kalimat perintah dalam dua bentuk, tekstual dan kontekstual. Contohnya Allah berfirman :
“Makan dan minumlah …” (Q.S 2:187)
“Dan jika telah selesai shalat, berbaurlah .” (Q.S 62:10)
Banyak ayat Al-Qur’an datang dengan bentuk kalimat perintah. Contoh lain dari Rasulullah SAW yang bersabda :
“Kita diperintahkan untuk menyempurnakan wudlu.” (HR Abu Dawud).
“Tuhanku memerintahkan aku untuk merapikan jenggotku dengan tanganku.” (HR Ahmad).
Banyak lagi contoh yang berisi anjuran umtuk melakukan sesuatu, contohnya adalah hukum berburu tidaklah wajib hanya karena nash tsb datang berbentuk kalimat perintah. Perintah tentang ‘makan’, ‘minum’, ‘berbaur’, juga bukan merupakan kewajiban. Dan juga menyempurnakan wudlu, merapikan jenggot, tidak wajib meski memakai kalimat “Tuhanku memerintahkan aku dan kita diperintahkan”. Jadi anjuran tetap anjuran kecuali ada qorinah yang menjadikan sunnah atau wajib.
Jika indikasinya tidak pasti, maka anjuran itu hanya menjadi sunnah. Contohnya: bertasbih setiap selesai shalat. Dan jika indikasinya pasti maka hukum anjuran itu wajib. Contoh : berpuasa Ramadhan. Jika tidak ada indikasi tersebut maka anjuran itu mubah, sebagaimana firman Allah SWT : “berburulah”.
Sedangkan Q.S Ali Imran: 104 menyatakan kewajiban bagi setiap muslim di manapun ia berada untuk membentuk jama’ah/gerakan kapanpun dibutuhkan oleh Islam untuk memenuhi kewajiban yang telah Allah bebankan kepada jama’ah.
Ada 6 faktor yang menjadikan ayat di atas berfaedah pasti (wajib) :
1. “Wal-takun” berarti : “hendaknya ada”. Kalimat pertama (و) / wawu menunjukkan adanya perintah. Ada 3 tipe wawu dalam Ushul fiqih yang mengindikasikan ‘ilm al-qara’in. Sedang wawu di atas diketahui sebagai wawu ataf (penghubung). Sebabnya ayat ini berkaitan dengan ayat sebelumnya “…dan berpegang teguhlah di bawah tali (agama) Allah dan jangan berpecah belah…”(Q.S 3:103). Huruf ‘wawu’ menunjukkan hukum yang sama, nilai/beban hukumnya sama dengan yang pertama. Dan karena ayat itu di alamatkan pada jama’ah, dan diikuti perintah untuk bersatu, ini menunjukkan wajibnya membentuk suatu jama’ah karena perintahnya adalah wajib.
2. Kata ‘min’ (diantara kamu), menekankan kedudukan anjuran itu, karena mengindikasikan agar dikerjakan kapanpun diminta dan dimanapun berada.
3- Shighta Amr (yang menggunakan fi’il mudhari’ dengan menggunakan lam amar) : “waltakun minkum umat’’. Ayat ini merupakan perintah kepada sesuatu yang diwajibkan, sehingga ia merupakan qorinah (indikasi) bahwa perintah tersenut adalah wajib. Sedangkan lafadz “minkum umat’’ barati jama’ah diantara kalian, sementara seluruh kaum muslimin adalah satu jama’ah (sebagaiman yang dinyatakan oleh Allah dengan firman-Nya) : ‘’kuntum khoru umat’’, maka ini menujukkan bahwa jama’ah yang merupakan jama’ah umat ini adalah jama’ah tertentu. Sementara itu Allah menyifati jama’ah itu dengan sifat “yad’un ilal khoir’’, menunjukkan bahwa yang diperintahkan untuk membentuk kelompok tertentu yang memiliki sifat tertentu pula. Kemudian Allah SWT-pun mensifati mereka sebagai : (uulaaika humul muflihun) ya’ni almunjihuna ‘indallahi al-baquuna fi janaatihi wa na’iimihi “. Imam Ath-Thabari menjelaskan maksud (Orang yang beruntung…) yaitu ‘’kelompok yang selamat (dari siksa api neraka) disisi Allah SWT, kelompok yang kekal (dengan menetap) disurga-Nya dan mendapat kenikmatan (didalamnya)’’ . Ketika Allah memberi pahala amal ini dengan balasan surga dan kenikmatan didalamnya, maka anjuran ini tidak sekedar berfaedah ‘mubah’ tapi adalah wajib. Oleh karena itu jika ‘mafhum mukhalafah’ (makna kebalikan) diambil, berarti mereka yang tidak melaksanakannya saat diminta, maka mereka berdosa karenanya.
4- Salah satu satu tugas jama’ah di dalam ayat itu adalah mengajak umat kepada hukum dan ajaran Islam, serta mengajak orang–orang non-muslim kepada Islam dan kewajiban ini berlaku bagi setiap muslim.
5- Jama’ah harus menyerukan yang ma’ruf (kebaikan/kewajiban) dan melarang yang munkar dan kewajiban ini berlaku untuk semua muslim sebagaimana telah diketahui.
6- Allah SWT berfirman : “Merekalah kelompok yang beruntung”. Ketika Allah memberi pahala amal ini, maka anjuran ini tidak sekedar berfaedah mubah. Karena membawa makna kebalikan (mafhum mukhalafah), berarti yang tidak melaksanakannya saat diminta adalah berdosa.
Ø Makna ‘umat’ dalam bahasa Arab :
“Kelompok, walidah/ibu, lelaki sholeh, kumpulan binatang sejenis, sinonim generasi, tauhid, waktu, lelaki tinggi, wajah tampan, hal/situasi (Q.S 43:22), Al-Shain/peduli (16:92), hai’ah/bentuk (16:92), Ad-Din (21:92), Al-Hin/waktu (12:45), komunitas muslim sedunia (masyarakat yang diikat bersama dalam satu keyakinan ) (Q.S 2:43), jama’ah (28:23),taat.
Kata ‘umat’ biasanya berarti seluruh kaum muslimin. Sedangkan makna umat dalam ayat ini secara lebih spesifik menurut para Ulama tafsir adalah sbb :
a- Imam Al-Qurthubi memberikan definisi ( أمة ) dalam tafsir ‘Jami’ Al-Ahkam Al-Qur’an’, sebagai sekumpulan orang yang terikat dalam satu aqidah. Tetapi Q.S 3:104 ini juga bermakna kelompok karena adanya lafadz “minkum” (diantara kalian). Dalam bahasa Arab kata “minkum” tak bisa dipakai kecuali semuanya dinyatakan terlebih dahulu. ”Kalian semua” disebutkan ayat sebelumnya :”Berpegang teguhlah (kalian semua) …”, maka ayat ini pengganti semua/minkum pada kelanjutan ayat berikutnya. Sehingga makna umat dalam ayat-ayat ini tidak selalu sama.
b- Imam Abu Bakar Ibnu Al-‘Arabi dalam bukunya Ahkamul Qur’an : “Sesungguhnya umat di sini berarti jama’ah/kelompok.”
c- Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adhim menyatakan :
“Wal takum minkum umat : muntashabatun lil qiyamu bi amrillahi fid da’wati ilal khoiri wal amri bil ma’rufi wa nahyi ‘anil mungkari……”
“Ayat ini berarti (haruslah ada dari umat satu kelompok) yang diangkat untuk melaksanakan perintah Allah untuk berdakwah untuk Islam, menyeru yang ma’ruf dan mencegah yang munkar”. Dan Al-Dahhaq berkata :” mereka adalah sekelompok para sahabat dan dari ulama lain, berarti sekelompok orang dari para mujahidin dan ulama”.
d- Dan Ibnu Hatim meriwayatkan dari seorang Tabi’in bernama Mukatil Ibnu Hayyan bahwa maksud dari ayat ‘’hendaknya ada ……’’ :
Akhraja Ibn Abi Ahtim ‘an Muqatil Ibn Hayyan fi qaulihi (Wal takum minkum umat) Liyakuna minkum qaumun ya’ni wahidan aw itsnaini aw tsalatsah nafarin
‘’Hendaknya ada diantara kalian , sekelompok kaum yaitu satu, dua dan tiga kelompok ……… ‘’.
e- Kitab Fath Al-Qadir (jilid 1, hal 370) Imam Shaukani dan Imam Al-Kiyya Al-Haras (w. 504 H) dalam Kitab Ahkam Al-Qur’an (jilid 2, hal 62) dalam komentarnya : “Hendaknya ada … al khair …”, berarti fardlu kifayah untuk membentuk kelompok itu.
f- Al-Qadhi Al-Baydhawi dalam kitabnya Al-Tanzil wa Asrar Al-Tawil, tentang arti ayat ini : ” Min, di sini ditujukan pada kelompok tertentu, karena dakwah pada yang ma’ruf dan mencegah yang munkar dengan kondisi dan syarat tertentu tidak mungkin dilakukanseluruh kaum muslimin, seperti kewajibanmemahami syari’at dan caranya. Ini adalah sebab mengapa Allah SWT menujukan pada setiap muslim di awal ayat dan memerintahkan dari antara mereka sebagiannya. Jadi ada batas kewajiban ini, jika ditinggalkan maka seluruh kaum muslimin berdosa, tapi jika telah ada satu jama’ah yang memenuhi seruan itu akan diringankan dosa itu”.
g- Imam Ath-Thabari, seorang faqih dalam dalam tafsir dan fiqh , berkata dalam kitabnya Jami’ Al-bayan, tentang arti ayat itu yakni : ‘’ (Wal takun minkum) Ayuhal mu’minun (ummatun) jama’atun ‘’.
Artinya : “Hendaknya ada diantaramu (wahai orang-orang beriman) umat) yaitu jama’ah yang mengajak pada hukum-hukum Islam)”.
h- Diriwayatkan dari kitab Jami’ Al-Bayan (jilid 3, bab 4, hal 26) bahwa Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jurair At-Tabari kembali (W. 310 H) berkata : “…, ini berarti seruan pada Islam dan ajarannya (sistem), yang diturunkan kepada manusia dan perintah-Nya untuk mengikuti agama yang dibawa Muhammad sebagai utusan-Nya dan perintah nahi mungkar, memerangi kekufuran dan penyimpangan atau penolakan pada agama Allah SWT dan Sunnah Nabi SAW.
i- Imam Rasyid Ridha dalam tafsir al-Manar “arti kata umat di sini adalah sekelompok orang yang terjadi atas individu yang bersatu dalam satu ikatan bagaikan satu tubuh dalam bertindak”.
Sehingga umat disini dapat berarti jama’ah atau partai, sebagaimana penjelasan berikut :
Ø Jama’ah dalam perspektif bahasa berarti partai atau maknanya yang mirip. Tetapi partai adalah lebih spesifik dari jama’ah. Ciri dari partai yaitu terikatnya seluruh anggota pada sebuah ideologinya (satu) dan satu tujuan yang menyatukan mereka, partai itu meliputi seorang, dengan para pengikutnya, ataum orang-orang yang seide dan mempunyai satu metode.
Ø Dalam Fairuz Al-Abadis Al-Qamus Al-Muhit, disebutkan : “sesungguhnya partai adalah sekelompok orang. Partai adalah seorang, dengan pengikut dan pendukung yang punya satu pandangan dan satu nilai’’..
Ø Imam Ar-Razi dalam tafsirnya Mafatih Al-Ghaib berkata, “Partai adalah kumpulan orang yang setujuan, mereka bersama-sama bersatu dalam kewajiban partai untuk mewujudkan tujuannya”.
Ø Imam Muhammad Abduh dalam kitab tafsirnya ‘Al-Manar’, ketika menafsirkan ayat ini, beliau berkata : ‘’ Yang diseru dari ayat ini adalah seluruh kaum muslimin. Merekalah yang diberi tanggung jawab untuk memilih ‘umat’ yang melakukan kewajiban ini. Disini ada du metode, yang pertama berlaku untuk seluruh kaum muslimin, sedangkan yang kedua berlaku bagi umat yang mereka pilih untuk mengemban dakwah. Makna itu tidak dapat difahami dengan tepat kecuali dengan memahami makna kata ‘umat’. Sedangkan makna umat itu bukanlah jama’ah seperti yang dikatakan banyak orang. Sebab, jika tidak maka kata tersebut tidak akan dipilih. Yang tepat, adalah makna kata ‘umat’ lebih khusus dari pada makna umat. Oleh karena itu , ‘umat’ ini merupakan jama’ah yang terbentuk dari individu-individu yang memilki ikatan yang dapat menyatukan mereka, serta merupakan kesatuan yang menyatukan mereka sebagi anggota dalam sebuah kesatuan manusia ‘’.
Ø Yad’una : berarti menyeru atau mengajak ( yaitu da’wah)
Ø Sedangkan makna Al-khair menurut para sahabat, tabi’n, tabi’ut tabi’in dan para Ulama adalah sbb :
a. Diriwayatkan dari kitab Jami’ Al-Bayan )jilid 3, bab 4, hal 26) bahwa Imam Abu Ja’far At-Tabari :’’(Yad’una) An-Nasa (ilal khoir) ya’ni ilal islami wa syara’I’ihi al-lati syara’ahallahu li’ibadiihi’’.
Artinya : ‘’ (mereka) (Menyeru) manusia kepada (Al-Khair) yaitu kepada Islam dan syari’at-Nya yang telah Allah SWT syari’atkan kepada hamba-Nya ‘’.
b. Kitab Fath Al-Qadir (jilid 1, hal 370) Imam Shaukani dalam komentarnya : “Hendaknya ada … al khair …”, berarti fardlu kifayah untuk membentuk kelompok itu dan Ibnu Hatim meriwayatkan dari Al-Imam Mukatil Ibnu Hayyan (Seorang Tabi’in Ahli Tafsir) :
‘’(Yad’una ilal khoir) qola ilal islami, (wa ya’muruna bil ma’rufi) bi tho’ati rabbihim, (wa yanhauna ‘anil mungkari) ‘an ma’siyati rabbihim ..’’
(hendaknya mengajak pada Al-Khair) ia berkata (yaitu Mukatil Ibn Hayyan) adalah menyeru pada Islam, (mengajak pada yang ma’ruf) berarti mengajak untuk mentaati Allah dan (mencegah yang munkar) berarti mengajak agar tidak melanggar perintah-Nya.
Qola Ibn hatim ‘an Ibn LAila : (Al-Khoir) ya’ni al-Islam
Ibnu Hatim dari Abu Laila bahwa dia berkata Al-Khair di ayat ini berarti Islam.
c. Imam Shihab Al-Din Al-‘alussi Al-Baghdadi dalam Ruh Al-Ma’ani berkata “… ( Wal takun minkum ummatun Yad’uuna ilal Khoir ) tsuma qola al-khoiru hiya ittiba’ul qur’ani was sunnati..’’.
hendaklah …Al-Khair… “, lalu ia berkata (Imam Al-Alusi) berarti mengajak manusia untuk mengikuti Al-Qur’an dan Sunnahku.
d. Kitab Ahkam Al-Qur’an (jilid 2, hal 62) Imam Al-Kiyya Al-Haras (w. 504 H) berkata : … Al-Khair …”, berarti fardlu kifayah adanya jama’ah yang menyeru pada Islam dan mengoreksi kesalahan kesalahan agama.
e. Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya (jilid 1, bab 4, hal 398) :“ Hendaknya ada … Al-Khair : ‘’Al-Maqsudu min hadzihil ayati in takuna firqatun min hadzihil umati mutashodiyatan li hadzal sya’ni wa an kana dzalika wajiban ‘ala kulli fardin minal ayati bihasbihi kama tsabata fi shohih muslim an abi hurairah qola, qola rasulullah SAW man raa minkum mungkaran fal yughayir bi yadihi, failam tastati’ fa bilisanihi, failam tastati’ fa qolbihi wa dzalika adh’aful iman …”
Artinya : ‘’ berarti Allah memerintahkan adanya suatu jama’ah dari umat ini (yaitu umat Islam) yang melakukan pekerjaan ini (membawa da’wah Islam) dan hal ini adalah kewajiban bagi individu umat ini berdasarkan hadis shahih dari Imam Muslim dari Abu Hurairah ra. : ‘Barangsiapa melihat kemungkaran hendak ia merubahnya dengan tanganya, jika ia tidak mampu maka dengan lisannya, jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman……) ‘’.
Dan dari Ali Mirdawih dari Abu Ja’far Al-Bakar bahwa Nabi SAW bersabda “Hendaknya ada … Al-Khair …”, berarti menyeru pada Al Qur’an dan Sunah.
f. Imam Nasafi dalam tafsir An-Nasafi yang berisi tafsir Ibnu Abbas : mengajak pada Al-Khair berarti da’wah untuk Islam dan Imam Ali juga berkata : “Al-Khair adalah keseluruhan agama “.
g. Imam Ahmad Mustafa al-Maraghy dalam tafsir al-Maraghy menyatakan :
Maksudnya : waltakun minkum thooifatun mutamayyizah taquumu bid da’wati wal amru bil ma’rufi wan nahy ‘anil munkari.
Artinya : “Hendaknya ada diantara kalian kelompok tertentu yang menegakkan dakwah menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar “.
Dan yang dikenai khitab dalam ayat ini adalah mereka kaum mukminin seluruhnya yang mukallaf menurut kemampuannya .
Dan beliau mengisyaratkan bahwa kewajiban ini asalnya diperuntukkan bagi seluruh kaum muslimin sesuai dengan kemampuannya . Dan pada hakekatnya tidak ada kewajiban yang berasal dari Allah SWT yang tidak dapat dilakukan oelh hambanya, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibn Hazm rahimahullah (kitab Al-Muhalla jilid 1\hal. 68), beliau berkata sbb :“Wa Kulu Fardhin kalafahullahu ta’ala al-insana fain qadara ‘alaihi lazamahu” .
Yang artinya: “ Seluruh kewajiban yang telah Allah bebankan kepada Umat Manusia, maka (pada dasarnya) jika mereka mampu (untuk menunaikannya) maka ia wajib menunaikannya ”. Dan inilah karakter dasar dari syari’atnya Allah SWT. “ Beliau (Imam Al-Maraghy) memberikan persyaratan bagi ummat da’wah ini sebagai berikut :
1) haruslah ‘alim tentang al-Qur’an dan as-Sunnah serta sirah nabi beserta para khulafaur rasyidinnya.
2) haruslah mengetahui tentang keadaan obyek yang akan didakwahi/dinasehati, keadaannya, kesiapannya, tabiat dan akhlaknya, yaitu dengan kata lain mengetahui keadaan (sikon) masyarakat.
3) haruslah faham dengan bahasa ummat yang hendak didakwahinya.
4) mengenal milal wan nihal wa madzahibil umam (agama-agama dan sekte-sekte serta madzhab-madzhab ummat), agar mempermudahnya dalam mengenal kebathilan “.
h. Imam Al-maraghi mengisyaratkan bahwa kelompok atau harokah dakwah yang menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, haruslah melakukan tastqif (pembinaan) kepada para anggotanya sehingga mereka mmemiliki Syakhsiyah Islamiyah mutamayizzah (kepribadian Islam yang istimewa) yang ditunjukkan dengan pola fakir dan pola jiwa yang Islami. Seseorang dikatakan memiliki pola fikir yang Islami jika ia senantiasa menggunakan aqidah islam sebagai landasannya baginya untuk berfikir dan menyelesaikan berbagai permasalahan yang ia hadapi. Kemudian seseorang dikatakan memiliki pola jiwa yang Islami jika ia senantiasa menggunakan standar halal dan haram sebagai satu-satunya standar yang mengikat setiap aktivitas yang ia lakukan. Dan ia juga harus mengikuti thoriqah dakwah Rasul SAW dengan mengkaji sirah dakwah beliau sebagai referensi utama mereka dalam berdakwah.
i. Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab At-Takattul Al-Hizby dari nashrah yang berisi penjelasan tentang struktur partai disebutkan :
· Poin 1 kita harus membedakan da’wah pada Islam dan da’wah untuk melanjutkan kehidupan Islam, keduanya adalah wajib. Da’wah pada Islam berarti mengajak orang non Islam untuk memeluk Islam, metode praktisnya dengan menunjukkan kebenaran Islam dan mengoreksi kepercayaannya untuk mematuhi hukum Islam.
· Poin 9 : “Allah berfirman ‘Hendaklah ada …Al-Khair…,dari ayat ini maka wajib bagi kaum muslimin dalam suatu negara untuk melakukan dua hal : mengajak umat untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangannya serta wajib bergabung dengan jama’ah yang berdakwah pada Islam. Ayat ini tak akan terlaksana seluruhnya sampai adanya Daulah Islamiyah berdiri.
Ø (wa) ya’muruna : berarti perintah (‘amr). Inilah kewajiban berjama’ah bukan hanya berbuat ma’ruf saja, tapi sesuatu yang diperintahkan.
Ø (Bi) Al-Ma’ruf : berarti kebaikan, yaitu mengajak kebaikan yang ditinggalkan umat. Dan tidak ada negara Islam maka jama’ah tak mungkin mengajak berjihad (secara ofensif) .
Ø Al-Ma’ruf : berasal dari kata ‘arafa’ yaitu perintah Allah untuk mengerjakan sesuatu. Kebaikan terbesar adalah mengembalikan kejayaan Islam (Izhar-Al-Diin) yaitu dengan melangsungkan kembali kehidupan Islam yaitu menerapkan seluruh hukum Islam dalam kehidupan kaum muslimin tanpa terkecuali. Penerapan seluruh hukum Islam tidak akan terjadi tanpa adanya daulah khilafah, Jadi khilafah adalah syarat dari kejayaan Islam. Sebagaimana dijelaskan Imam Abu Ja’far At-Tabari (W. 310 H), beliau berkata tatkala menafsirkan lafadz : ‘’(Ya’muruna bil ma’ruf ) ‘’yaqulu Ya’muruna an-nasa bi itiba’i muhamadin SAW wa dinihi al-ladzi jaa bihi min ‘indillahi’’ (Yanhauna anil mungkar) ‘’ya’ni yanhauna ‘anil kufri billahi wa takdzibi bi muhamadin wa bimam jaa bihi min ‘indillahi bi jihadihim bil aidii wal jawarihi hatta yanqaduu lakum bith tho’ati‘’. Artinya : “)menyeru kepada yang ma’ruf), ini berarti menyeru manusia kepada Islam dengan mengikuti Muhammad SAW dan agama (yaitu risalah yang ia bawa) yang datang dari Allah SWTdan (mencegah dari yang mungkar) yaitu mencegah mereka dari mengkufuri Allah SWT dan mendustakan Muhammad dan Syari’at yang datang dari sisi Allah SWT, sehingga dapat membimbing kalian untuk taat ‘’.
Ø (Wa) Yanhauna : melarang kemungkaran
Ø (‘An) Al-Munkar : berati jahat atau buruk, jama’ah harus melarang atau mencegah kemungkaran ditengah-tengah masyarakat (mereka). Kemungkaran terbesar adalah kufur pada (hukum) Allah atau syirik. Bentuk dari mencegah kemungkaran terbesar adalah dengan menghilangkannya. Menghapus kekufuran adalah sesuatu yang diprioritaskan, Nabi SAW bersabda “ Apapun yang saya larang untuk kalian maka jauhilah dan apapun yang saya perintahkan untuk kalian lakukan maka kerjakanlah semampu kalian” (HR- Imam Bukhori , Imam Muslim dan Imam Tirmidzi). Kemudian Syeikh Ishom Amirah (Khatib Masjid Al-Aqsa) dalam makalahnya yang beliau sampaikan di Univeristas An-Najah di kota Nablus — Palestina tentang keruntuhan Daulah Khilafah sbb: “ Sungguh keruntuhan Daulah Khilafah telah membawa pada penolakan berbagai hukum Islam dan terhentinya banyak aktivitas yang dituntut untuk dilaksanakan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal ini jelas sangat bertentangan dengan firman Allah SWT sbb. : Yang artinya : “ Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah SWT, dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan waspadalah engkau terhadap fitnah mereka yang hendak memalingkan engkau dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu “ (Surat Al-Maidah – ayat 49). Hal ini saja sudah cukup untuk memberikan isyarat akan kemurkaan Allah SWT kepada kita, dan karenanya ia seakan-akan telah menyiapkan Malaikat Adzab untuk menyambar kita, serta menyiapkan neraka jahannam bagi tempat tinggal kita, karena banyaknya dosa yang telah kita lakukan. Disebabkan dengan keruntuhan Institusi ini telah membuka pintu lebar-lebar bagi berbagai kemungkaran yang dilakukan baik oleh orang-orang kafir maupun kaum muslimin itu sendiri. Orang-orang kafir itu mengusai dan menjajah negeri-negeri kaum muslimin. Serta membunuh jiwa, menjarah harta kekayaan mereka dan merampas hak dan kehormatannya. Laksana binatang ternak yang disantap oleh srigala karena ia tidak dijaga oleh penggembalanya. Sedangkan kaum muslimin ditimpa oleh berbagai kerusakan karena tidak mau mengambil syariat Islam, seperti hukum Had, Qishos, Ta’zir dan lain sebagainya “.
Ø Faedah hukum yang terkandung dalam hadis-hadis ini adalah :
- menjauhi larangan, melaksanakan perintah,
- menghapus kemungkaran harus dilakukan tanpa henti (hukum kufur yang diterapkan pada umat)
- mendirikan Khilafah merupakan amal jama’I
- mendirikan Khilafah adalah kewajiban jama’ah sebagai kewajiban asasi, dari berbagai kewajiban yang ada dan akan berubah statusnya menjadi fardu ‘ain jika jama’ah tersebut belum berhasil juga.
- Jama’ah harus mengganti hukum kufur di negeri-negeri kaum muslimin. Mengangkat Khalifah harus dilakukan secepatnya tidak boleh dilakukan asal-asalan.
- Fardlu kifayah tentu punya batas waktu, sehingga tiap orang dibebani kewajiban mengangkat seorang Khalifah tapi tak ada dosa jika ada sebuah jama’ah yang berusaha mewujudkannya tetapi belum berhasil (khusus bagi orang-orang yang telah bersungguh-sungguh untuk mewujudkannya).
- Jika belum berhasil juga maka hukumnya menjadi fardlu ‘ain yang berarti setiap orang diberi beban dan berdosa bagi yang berdiam diri saja.
- Maka wajib bagi setiap muslim untuk berusaha mendirikan Khilafah Islamiyyah (bukti dalil setelah ini)*
Kewajiban bergabung dengan partai Islam Ideologis untuk menegakkan Khilafah Islamiyyah
Untuk membahas masalah ini, terlebih dahulu kita harus mengkaji pendapat Para Ulama tentang status hukum Menegakkan khilafah dan memba’iat seorang Khalifah bagi seluruh kaum muslimin, sbb :
1- Imam Al-Mawardi menyatakan :‘’Wa ‘aqodaha liman yaqumu biha fil umati wajibun bil ijma’i’’.
‘’ Mengadakan akad Imamah (khalifah) bagi orang yang menegakkannya ditengah-tengah umat merupakan kewajiban yang didasarkan pada Ijma Shahabat’’ (Kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyyah hal. 5).
2- Imam Abu Ya’la Al-Farra’ dalam Al-Ahkamul As-Shulthoniyah hal. 19 menyatakan : ‘’Nishbatul imami wajibatun, Qola imam Al-Ahmad ‘an Muhammad ibn ‘auf ibn Sufyan al-Hamshi : al-fitnatu idza lam yakun imamun yaqumu bi amril nasi, wa huwa fardhun ‘ala kifayatin‘’
‘’ mengangkat seorang Imam adalah wajib. Imam Ahmad r.a , menurut riwayat Muhammad ibn ‘auf ibn Sufyan al-Hamshi, telah berkata : ‘’Akan terjadi fitnah jika sampai tidak ada Imam (khalifah) yang mengatur urusan rakyat’’ ) Kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyyah hal. 23).
3- Syaikhul Islam Ibn Taimiyah dalam Siyasah Syar’iyah hal. 161, menyatakan :
‘’Fal Wajibu itakhadzul imarati dinan wa qurbatan yataqarabu biha ilallahi : Fainat taqaruba ilaihi fiiha bi tho’atihi wa tho’ati rasulihi min afdholil qurubati’’.
‘’ Upaya menjadikan kepemimpinan (Khilafah) sebagai bagian dari agama dan sarana untuk ber-Taqarub kepada Allah adalah sebuah kewajiban. Taqarrub kepadanya dalam kepemimpinan itu, yaitu dengan menaati Allah dan Rasul-Nya, termasuk kedalam taqarrub yang paling utama’’.
4- Imam Ibn Hazm dalam Al-Fashl fi Al-Milal wa Al-Ahwa’ wa An-Nihal (juz 4, hal. 87) dan Imam Al-Qurthubi, dalam tafsirnya (juz 1, hal. 264) telah menyatakan : ‘’ Seluruh kalangan Ahlu Sunnah, Murji’ah, Syi’ah dan Khawarij telah sepakat tentang kewajiban adanya Imamah (Khilafah). Mereka juga telah sepakat bahwa Umat Islam wajib mentaati seorang Imam yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah di tengah mereka dan memimpin mereka dengan hukum-hukum syari’at yang dibawa oleh Rasulullah. Hanya kelompok An-Najdat dari kalangan Khawarij yang menyatakan bahwa kewajiban Imamah tidak mengikat manusia. Manusia, menurut mereka, hanya berkewajiban untuk menunaikan hak dan kewajiban di antara mereka’’.
5- Imam Al-Iji’ dalam Al-Mawaqif dan pensyarahnya Imam Al-Jurjani’ menyatakan demikian ; ‘’ Sesungguhnya telah diriwayatkan secara Mutawatir ij’ma kaum muslimin pada generasi pertama setelah wafatnya Nabi SAW yang menyatakan bahwa zaman tidak boleh kosong dari seorang Imam (Khalifah). Oleh karena itu, Abu Bakar r.a dalam khutbahnya yang termashur saat wafatnya Rasul SAW, berkata : ‘’ Perhatikanlah, sesungguhnya Muhammad telah wafat, sementara agama ini, tidak boleh tidak, harus ada yang menegakkannya’’.
6- Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim juz 12, hal. 205 menyatakan : ‘’Bahwa para Imam Madzab telah sepakat bahwa kaum muslimin wajib mengangkat seorang khalifah’’.
7- Imam Al-Jurjani menyatakan : ‘’Mengangkat seorang khalifah termasuk kedalam kemaslahatan terpenting kaum muslimin dan tujuan agama yang terbesar’’.
Oleh karena itu Imam Asy- Syatibi ketika membahas hukum fardhu kifayah seperti hukum mengangkat seorang Khalifah, wali atau hakim dll, beliau menyatakan : “tuntutan ini ditujukan kepada orang-orang yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan fardhu yang diperintahkan itu (Kitab Al-Muwafaqot jilid 1\hal. 119).
Beliau juga beranggapan bahwa pelaksanaan fardhu seperti itu adalah upaya kemaslahatan umum yang dieprintahkan kepada seluruh kaum muslimin untuk melaksanakannya, sebagaimana uraian berikut : “Ada sebagian kaum muslimin yang mampu untuk melaksanakan fardhu kifayah tanpa perlu menunggu yang lain. Sebagian lagi, walaupun belum mampu untuk mewujudkan \mengangkat orang yang mampu. Jadi siapapun yang yang merasa mampu untuk menduduki salah satu jabatan pemerintahan, maka dia dituntut untuk bias mewujudkannya. Sedangkan yang dia tidak mampu mendudukinya, maka dia dituntut untuk melaksanakan perintah yang lain yaitu mewujudkan orang yang mampu mendudukinya dan memaksa mereka untuk melakukannya. Jadi yang mampu diperintahkan untuk melaksanakan yang fardhu, sedangkan yang tidak mampu maka diperintahkan untuk mewujudkan orang yang mampu, sebab tidak dapat dicapai tujuan tadi (yaitu terwujudnya orang yang mampu menduduki jabatan itu) kecuali dengan memilih mereka, dan ini termasuk sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam pelaksanaan yang wajib maka hukumnya juga menjadi wajib (Kitab Al-Muwafaqot jilid 1\hal. 121).
Oleh karena itu pihak penguasa dan militer yang mampu untuk merubah sistem perintahan dinegerinya menjadi sistem khilafah maka mereka dituntut untuk melaksanakan kefardhuan ini lebih dulu dari yang lain. Sedang bagi yang kemampuan yang lebih rendah dari mereka, spt para menteri, anggota parlemen, para hakim maka beban kewajiban mereka berada dibawah pihak penguasa dan militer. Adapun umat saat ini walaupun mereka ‘kesulitan’ untuk mengangkat dan memba’iat seorang Khalifah, maka syara’ tetap mewajibkan kepada mereka untuk membentuk sebuah partai yang memiliki kemampuan untuk menegakkan institusi khilafan dan memba’iat seorang Khilafah. Dan umat harus berjuang bersama partai politik islam tersebut hingga tercapai janji Allah dengan tegaknya institusi khilafah ala minhaj an-nubuwah.
Menegakkan khilafah adalah tugas yang luar biasa berat, karena hanya dengan tegaknya Khilafah-lah, maka seluruh hukum Allah SWT yang diwajibkan bagi umat Islam dapat diterapkan dan ditegakkan. Sedangkan hukum bergabung dengan partai politik Islam yang berjuang untuk melanjutkan kembali kehidupan Islam dengan menerapkan seluruh hukum Allah, terkait dengan status hukum untuk menegakkan khilafah dan memba’iat seorang Khalifah. Dimana status hukum untuk menegakkan khilafah dan memba’iat seoorang Khalifah adalah fardhu kifayah. Sehingga hukum untuk bergabung dengan partai politik Islam yang berjuang untuk melanjutkan kembali kehidupan Islam dengan menerapkan seluruh hukum Allah dengan menegakkan khilafah adalah fardhu kifayah juga. Dan perlu dicatat ada kalanya status fardhu kifayah dapat berubah menjadi fardhu a’in, tetapi tidak sebaliknya. Seperti pada kasus perawatan jenazah (mulai memandikan, mengkafani, mesholati dan menguburkan) harus dilakukan oleh sekelompok orang, dan yang ada pada saat itu hanya satu orang saja (dan ia tidak mampu melakukannya sendirian) maka hukumnya berubah menjadi fardhu a’in bagi seluruh orang yang tinggal ditempat itu untuk merawat jenazah itu ,dan status fardhu a’in itu tidak akan gugur kecuali mereka semua dengan sempurna menunaikan pelaksanaan perawatan jenazah itu (mulai memandikan, mengkafani, mesholati dan menguburkan). Berkaitan dengan hal ini Imam Syamsudin Al-Mahalli berkata : “ dapat terjadi status fardhu kifayah dapat berubah menjadi fardhu a’in, yaitu bila hanya da satu orang saja yang dapat melakukan itu, seperti disuatu daerah tdk ada dokter kecuali satu orang, maka menolong orang sakit didaerah itu menjadi wajib baginya” (Kitab Syarah Matan Jam’il Jawami’ jilid 1\hal. 133). Begitu pula Imam Ibn Taimiyah saat mebahas amar ma’ruf dan nahi mungkar menyatakan : “Hukum aktifitas tersebut adalah wajib bagi kaum muslimin yang memiliki kemampuan dan statusnya dalah fardhu kifayah. Namun fardhu kifayah dapat berubah menjadi fardhu a’in atas orang-orang yang mampu (lainnya) jika kewajiban itu belum dilaksanakan oleh orang yang lain (Kitab Majmu’ul Fatawa jilid 28\hal. 65). Jadi jelaslah sekalipun status awal status hukum untuk menegakkan khilafah dan memba’iat seorang Khalifah adalah fardhu kifayah. Jika fakta menunjukkan bahwa gerakan Islam yang berusaha untuk menegakkanya belum memadai, maka statusnya berubah menjadi fardhu a’in. Maka hukumnya menjadi fardhu a’in bagi seluruh kaum muslimin untuk bergabung dengan partai politik Islam tadi sehingga mereka mampu menunaikan menegakkan khilafah dan memba’iat seoorang Khalifah. Walhasil, setiap muslim yang melalaikan kewajiban ini akan berdosa jika partai politik Islam itu belum berhasil menegakkan khilafah.
Tugas dan aktifitas utama dari partai politik Islam adalah berjuang untuk melanjutkan kembali kehidupan Islam dengan menerapkan seluruh hukum Allah dengan menegakkan khilafah dan memerangi seluruh sistem kufur yang diterapkan di sebagian besar negeri-negeri kaum muslimin, sekaligus menasehati dan mengoreksi para pengusanya yang menjadi antek dan agen para penjajah Kafir untuk menajajh neger-negeri kaum muslimin dan menerapkan hukum-hukum ‘kufur’ buatan manusia ditengah-tengah mereka. Sebagaiman dijelaskan oleh Imam Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jurair At-Tabari (W. 310 H) ketika menafsirkan surat Ali Imron – 103 : “…, ini berarti seruan pada Islam dan ajarannya (sistem), yang diturunkan kepada manusia dan perintah-Nya untuk mengikuti agama yang dibawa Muhammad sebagai utusan-Nya dan perintah nahi mungkar, memerangi kekufuran dan penyimpangan atau penolakan pada agama Allah SWT dan Sunnah Nabi SAW ‘’.
Oleh karena itu saya ingin menutup bahasan ini dengan menukil penjelasan itu Syeikhul Islam Ibn Taimiyah rahimahullah menegaskan dalam bukunya Siyasah Asy-Syar’iyah hal. 160-161 dan Majmu Al-Fatawa jilid 28\hal. 320 tentang pentingnya masalah kepemimpinan dalam Islam dan Institusi Khilafah yang merealisasikan penerapan syari’at Islam secara kaffah sbb :
‘’Lianallaha ta’ala aujabal amra bil ma’rufi wan nahya anil mungkar wa la yatimu dzalika ila bi quwwatin wa imaratin. Wa kadzalika sairul ma aujabahu minal jihadi wal adli wa iqamatil hajji wal juma’I wal a’yadi wa nashril madzlumi, wa iqamatil hududi la yatimu ila bil quwwati wal imarati, li hadza ruwiya : “Innas sulthana dzilullahi fil ardhi. Wa yuqalu situna sanatan min imamin jairin ashlahu min lailatin wahidatin bila sulthanin” (Kitab Siyasah Syar’iyah hal. 161 oleh Ibn Taimiyah). Artinya : “Sesungguhnya Allah SWT mewajibkan untuk beramar ma’ruf dan bernahi munkar. Hal ini tidak akan sempurna kecuali dengan kekuatan dan kepemimpinan. Demikianlah seluruh apa yang diwajibkan oleh SWT spt jihad, menegakkan keadilan, menunaikan ibadah haji, al-juma’, ibadah ritul, menolong orang yang teraniaya, tidak akan sempurna kecuali dengan adanya kekuatan dan kepemimpinan, karean itu tdp riwayat : Sesungguhnya pemimpin adalah naungan Allah di muka bumi’’. Dan ada riwayat lain mengatakan : ‘’ 60 tahun dibawah pemimpim yang dzalim jauh lebih baik dari pada 1 hari tanpa pemimpin”.
II. Mengapa individu tidak mampu mendirikan Khilafah tanpa jama’ah ?
Kewajiban ini tak mungkin dapat dipenuhi hanya oleh individu saja karena aktivitas ini berkaitan dengan mengubah hukum dan aturan. Dan Allah SWT telah membuat takhsis atau pengkhususan antara amal jama’i dan amal individu. Amal individu untuk individu, jama’ah untuk jama’ah, karena dengan sendiri apabila tak mungkin mendirikan Khilafah, maka amal ini berubah statusnya menjadi amal jama’i (berdasarkan kaidah Ma la yatimul wajib fahuwa wajib). Dan Rasulullah yang menjadi suri tauladan bagi kita (Qs. 33 : 22), dan beliaupun tidak sendirian dalam mengubah masyarakat. Beliau berda’wah bersama para sahabatnya, sebagai jama’ah. Syaikh Taqiudin An-Nabhani menjelaskan maksud ayat “Maka sampaikanlah dengan terang-terangan apa yang telah sampai padamu…”, Allah memerintahkan jama’ah untuk berda’wah secara terbuka. Setelah ayat ini turun, para sahabat berkumpul di ka’bah secara terorganisasi, inilah saat da’wah terbuka.
2.1. Membantah pendapat kelompok yang mengharamkan berjama’ah
Ada segolongan umat yang berpendapat haramnya adanya jama’ah-jama’ah. Pemahaman ini bertentangan dengan ayat-ayat Al Qur’an yang justru mewajibkan keberadaannya.
Mereka memakai argumentasi bahwa “berkelompok menyebabkan perpecahan”. Padahal Allah telah memerintahkan adanya jama’ah, dan perintah ini berhubungan dengan perintah yang lain agar uamt Islam bersatu. Meski sekarang kondisinya tidak demikian namun hal tersebut tidak dapat digunakan sebagai dalil untuk menghapus perintah Allah untuk mengadakan jama’ah tersebut. Islam tidak dihukumi dengan kondisi umat. Keberadaan partai tidak dapat disalahkan karena kesalahan\penyimpangan anggotanya, tapi dinilai dari pemikiran dan metodenya apakah berasal dari Islam atau bukan ?.
2.2. Mengapa boleh ada lebih dari satu jama’ah ?
Perintah mendirikan jama’ah tidak dibatasi jumlahnya. Pertama, ayat : “Hendaknya ada diantara kamu jama’ah … “ tidak disebut jumlah, kata “umat” berbentuk nakirah atau umum. Jadi boleh ada jama’ah selama dengannya kewajiban terpenuhi. Tapi bila satu jama’ah berhasil memenuhinya maka tak boleh membentuk jama’ah lagi, sebagai contoh sekelompok orang diberi salam, seorang saja yang menyahut maka yang lain gugur kewajibannya. Jika memang ayat ini hanya untuk satu jama’ah ( sebagaimana dituduhkan oleh sebagian orang yang memiliki ghirah ke-Islaman ) tentunya bentuk kalimatnya tunggal atau mufrod seperti berikut : “Hendaknya ada satu umat (al-umat) diantaramu …” tapi faktanya ayat ini berbentuk jamak dan inilah bukti bolehnya keberadaan jama’ah-jama’ah sebagaimana dimaksud.
2.3. Perbedaan Firqah dan Jama’ah
Ø Adanya juga yang berpendapat haramnya haramnya memecah belah umat dengan bergolong-golongan, dalil mereka gunakan adalah firman Allah SWT : “Mereka yang memecah belah agamanya menjadi bergolong-golongan, setiap golongan bangga akan kelompoknya” (Qs. 30:31-32). Hadits Rasulallah SAW : “yahudi akan terpecah menjadi 71 golongan/firqah, Kristen menjadi 72 golongan, dan umat akan terpecah menjai 73 golongan” (Abu Daud, Tirmidzi, Al-Hakim, Ahmad). Imam Tirmidzi menyatakan : “Hadits ini hasan sahih”,.
Ø Hadits diatas juga diriwayatkan imam Abu Daud (2/503), Ahmad ( 4/102) Al-Hakim (1/128) dan lain-lain, sbb “dari ‘Auf bin Malik: Akan berpecah Yahudi kepada 71 firqah, satu firqah ke syurga dan 70 ke neraka. Akan berpecah Nasrani kepada 72 firqah, 71 firqah ke syurga dan satu ke syurga. Demi diri Muhammad yang berada di tanganNya, pasti akan berpecah ummatku kepada 73 firqah hanya satu ke syurga dan 72 ke neraka. Ditanyakan: Siapa mereka wahai Rasulullah? Baginda bersabda: Al-Jamaah.” . Diriwayat yang lain : “Bersabda Rasulullah s.a.w: Sesungguhnya mereka yang sebelum kamu dari kalangan Ahli al-Kitab berpecah kepada 72 pecahan. Sesungguhnya millah (ummat ini) akan berpecah kepada 73 (yang mana) 72 ke neraka dan satu ke syurga iaitu al-Jamaah.” Diriwayat yang lain : “Dari Abdullah bin ‘Am r: Akan berpecah ummatku kepada 73 pecahan semuanya ke neraka kecuali millah yang satu: Iaitu apa yang aku dan para sahabat (sesiapa yang seperti aku dan para sahabatku.” Dan diriawayat yang lain : “(Yang ke syurga) ialah al-Jamaah. tangan Allah atas al-Jamaah.” Dalam riwayat lain dari jalan Anas Bin Malik : “Semuanya dineraka kecuali yang mengikutiku dan sahabatku”..
Ø Akan tetapi ada beberapa ulama seperti Imam Syaukani dan Al-Kausari yang mengkritik hadits ini dengan menyatakannya sebagai hadis dhaif, bahkan Ibnu Hazm berkata hadis ini palsu.
Sedang Menurut ta’rif (istilah) secara ilmiah, maka pengertian jamaah menurut para Ulama berkisar berdasarkan hadis-hadis atas mencakup enam makna (nama) :
1. Golongan yang besar/ramai (السواد الاعظم) dari kalangan umat Islam.
2. Jamaah ulama yang mujtahid.
3. Jamaah yang terdiri dari para Sahabat secara khusus.
4. Jamaah umat Islam yang bersatu atas satu matlamat.
5. Jamaah muslimin yang bersatu di bawah satu amir.
6. Jamaah yang mengikuti kebenaran termasuklah semua para ahlinya.
Termasuk dalam pengertian al-jamaah adalah mereka yang terdiri dari kalangan para sahabat dan siapa sahaja yang mengikuti sunnah Nabi s.a.w dan atsar para sahabat, khususnya sunnah Nabi SAW dalam berdakwah, sebagaimana yang dijelaskan di dalam hadith : “Hendaklah kemu kembali (ittiba’) kepada sunnahku dan sunnah para Khulafa ar-Rasyidin yang mendapat petunjuk.” (HR. Al-Hakim dan At-Tirmidzi)
Ø Penting bagi kita memahami hadis ini sesuai dengan konteksnya. “ Dengan pertolongan Allah” arti atau maksud dari hadits ini ditinjau dari sebab turunnya, sehingga pandangan kita terhadapnya menjadi jelas. Rasulullah menerangkan umat Kristen dan Yahudi terpecah menjadi beberapa sekte, dan umatnya menjadi 73 sekte, seluruhnya dineraka kecuali yang mengikuti jalannya dan para sahabatnya. Penyebutan terpecahnya umat Islam setelah yahudi dan nasrani berarti menunjukkan hukuman atas perbuatan mereka. Pertanyaan dimanakah perbuatan yahudi dan nasrani yang menyebabkan mereka disebut firqah. Al-Qur’an pun memerintahkan kita untuk tidak berpecah belah sebagaimana orang-orang yahudi dan nasrani, yang disebutkan di beberapa tempat dalam Al Qur’an :
”Dan kami memberi Musa kitab dan diikuti para utusan . dan kami memberi Isa, anak Maryam, tanda yang dan Kami kuatkan dia dengan Rahul Qudus. Apakah ketika kami mengutus Rasul dengan syariat yang tidak kau sukai, kau berbalik dengan sombong, mengatakan sebagai pembohong dan membunuh yang lain”. (Qs. 2:87).
“Dan kami beri Isa ,anak Maryam, tanda yang nyata, tapi mereka ingkar, ada yang percaya dan ada yang tidak”.(Qs. 2:253)
“Mereka tetap ingkar sampai datang pengetahuan …”(Qs. 3:19) Þ Mereka ingkar pada pada hari akhir dan hukuman bagi mereka adalah siksa yang pedih di neraka.
Firman Allah SWT : “Dan mereka berkata, kami tidak disiksa dineraka kecuali beberapa hari. Katakan apakah mereka punya perjanjian dengan Allah …”(Qs. 2:80). Mereka berpecah-belah karena saling mengkafirkan.
Firman Allah SWT : “Dan Yahudi mengatakan orang kristen itu tidak punya satu pegangan, dan orang-orang Nasrani berkata : orang-orang tidak mempunyai suatu pegangan, padahal mereka (sama-sama) membaca al-Kitab. Demikian pula orang-orang yagn tidak mengetahui” (Qs. 2:113).
Setelah ini kita tahu bahwa ingkar\kufur pada masalah yang mendasar. Mengingkari Rasul Dan hari kiamat (Al-An’am 29), Malaikat, Keesaan Allah, surga dan neraka, dsb. Karenanya Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kita untuk tidak berpecah belah seperti mereka. Jadi pengingkaran yang dimaksud adalah pada hal-hal yang mendasar atau fundamental dalam agama. Untuk menerangkan hal ini lebih lanjut, tafsir ayat ini akan memperjelas : “Dan berpegang teguhlah pada tali Allah jangan berpecah belah”.
Allah memerintahkan setiap muslim untuk berpegang teguh pada “tali Allah”
Ibnu Mas’ud, Ali bin Abi Thalib, Abu Said Al Khudri mengatakan yang dimaksud adalah Al Qur’an. Ibnu Al Mubarak mengatakannya sebagai jamaah.
Sedang “Jangan berpecah belah”, Imam At Tabari mengatakan : “ Dan jangan mengingkari agama Allah dan harus mematuhi Nya dan utusanNya”.
- Ibnu Katsir : “Dia memerintahkan bereada dalam jama’ah dan tidak berpecah belah”.
- Imam Al Qurtubi mengatakan : “Jangan berpecah belah seperti orang Yahudi dan Nasrani dalam agama mereka”.
Maka beda pendapat yang dilarang bagi orang muslim adalah pada pokok, bukan pada masalah furu’, karena beberapa hal :
1. Muslim tidak boleh berbeda pendapat dalam masalah-masalah pokok seperti yang disebutkan ayat-ayat diatas (yaitu yang ditetapkan oleh dalil-dalil qoth’I seperti dalil dari Al-Qur’an dan hadis mutawatir).
2. Sunnah Rosulullah membolehkan perbedaan dalam furu’iyah/cabang
3. Perbedaan pada masa sahabat juga dalam masalah furu’ dan tak dihukum atas hal ini waktu itu.
4. Para tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan generasi yang mengikutinya menerima perbedaan furu’ tetapi tidak dalam masalah pokok.
5. Kesimpulannya dari bukti-bukti di atas, Hadits itu ditujukan untuk sekte/firqah bukan untuk jama’ah, jama’ah berbeda pendapat pada masalah yang mubah, sedang firqah pada masalah-masalah fundamental yang dilarang.
Kesimpulan :
Ø harus ada jama’ah untuk memenuhi seruan itu/fardu kifayah
Ø kata umah dalam ayat ini berarti jama’ah
Ø al-khair bermakna Al Islam
Ø Jama’ah tersebut puya tugas tugas tertentu :
1. mengajak pada Islam, mengajak pada ma’ruf , mencegah yang mungkar.
2. berusaha mendirikan Khilafah (saat ini)
3. kewajiban mendirikan Khilafah bagi setiap muslim dan merupakan amal jama’i.
4. pengharaman berjama’ah-jama’ah bertentangan dengan Qs 3:104
5. Diijinkan keberadaan lebih dari satu jama’ah.
6. Ada perbedaan mendasar antara firqah dan jama’ah
Partai yang dimaksud Qs. 3:104 mempunyai beberapa ciri :
a. Memiliki amir yang dipatuhi selama sesuai dengan Al Quran dan Sunnah, Nabi SAW bersabda, “Jika kalian bertiga dalam satu safat, tunjuklah amir satu diantaramu” (Muslim).
b. Harus berdasarkan aqidah Islam (Qs. 3:85)
c. Terikat dengan cara-cara Al-Qur’an dalam menghadapi pemikiran-pemikiran kufur yang ada.
d. Jama’ah dakwah harus menetukan tujuan serta hukum syara’ yang berkenaan dengan aktivitas jama’ah secara rinci, dengan memperjelas tujuan dan target partai.
e- Jama’ah harus menentukan pemikiran dan perasaan yang digunakan untuk membangun umat, serta hukum syara’ yang dipakai untuk membangun sebuah negara.
f- Tujuan partai adalah melanjutkan/mewujudkan kehidupan Islam, bukan mengangkat menteri, anggota parlemen, apalagi mecari kesejahteraan moral, atau tujuan spiritual. Kehidupan Islam akan berlangsung jika ada yang bertanggung jawab terhadap penerapan syari’at yaitu Khilafah, seperti kaidah ushul : “Sesuatu yang mengantarkan pada kewajiban hukumnya wajib”. Penerapan syari’ah harus meliputi seluruh bidang kehidupan adalah sesuatu yang wajib, dan Khilafah adalah satu-satunya institusi yang absah (menurut syara’) untuk mewujudkannya dan wajib bagi kita mewujudkan dan mengusahakan berdirinya institusi khilafah.
g- Aktivitas jama’ah adalah membangun umat dan negara yaitu dengan melangsungkan kembali kehidupan Islam, dengan mengikuti metode Rasul SAW di Mekah sebelum beliau membangun negara di Madinah. Aktivitas itu meliputi :
a. Mambangun tubuh jama’ah dengan melakukan pembinaan secara intensif sehingga menyakini ide-ide yang ditabanni oleh partai.
b. Membina umat dengan Islam dan pemikiran, ide serta hukum syara’ yang ditabani oleh partai sehingga tercipta opini tentang syari’at Islam sebagai solusi untuk menyelesaikan masalah umat dan penerapan syariat islam itu harus dalam wadah daulah Islamiyah atau Khilafah.
c. Melakukan perang pemikiran dengan semua ide, pemikiran, aturan yang bertentangan dengan Islam .
d. Melakukan perjuangan politik melawan negara kafir penjajah dan para penguasa yang dzolim.
h. Tujuan utama partai adalah keridlaan Allah (Qs. 59:8)
i. Tidak perlu ijin/aturan tertentu kecuali aturan dari Allah.
i. Ikatan diantara anggota harus ikatan aqidah islam dan ideologi dan bukan nasionalisme, spiritualisme/materialisme. Nabi SAW, bersabda, “Tak ada perbedaan diantara orang arab dan non arab kecuali ketaqwaannya” (Muslim). Dalam Qs. 3 : 104 menekankan bahwa umat disini haruslah berbentuk jama’ah atau partai politik, atau politik dalam Islam berarti mengatur/mengurus urusan umat berasaskan Islam, yang sangat jauh berbeda dengan politik dalam pengertian barat yaitu seni pragmatis, berada dalam situasi berasaskan realitas sehingga harus realistis, hingga mentolelir kebohongan, kecurangan demi kepentingan kelompok yang sesaat, yang kesemuanya bertolak belakang dengan makna politik Islam.
Dalam Qamus Al-Muhit adalah As-Siyasah ( politik ) berasal dari kata : Sasa –Yasusu – Siyasatan bi ma’na ra’iyatan (pengurusan). Qola Al-Jauhari : Sustu Ar-Raiyata Siyasatan ay Amartuhu wa nahaituhu ay ra’atu syaia alaihi bi awamiri wa nawahii (Al-Jauhari berkata : Sustu Ar-Raiyata Siyasatan adalah aku memerintah dan melarang kepadanya atas sesuatu dengan sejumlah perintah dan larangan). Wa as-siayasah : Al-Qiyamu ‘ala syaiin bima yashluhuhu (Siyasah adalah melakukan sesuatu yang memberi mashlahat padanya) (Lisanul Arab – Ibn Mandzur). Walhasil, Politik disini bermakna mengatur urusan umat lokal maupun internasional dengan menggunakan aturan tertentu.
Dalil dari As-Sunnah bahwa politik berarti mengatur urusan umat dan melindungi kepentingannya adalah wajib bagi tiap muslim, termaktub dalam sabda Rasul : “Setiap kamu adalah penjaga, dan kalian akan ditanya tentang yang kamu jaga” (HR-Muslim), sabda beliau lagi : “ Akan ada segolongan umatku yang selalu mengingatkan kebaikan dan mereka pasti akan menang, musuh-musuh mereka takkan dapat mengalahkan mereka” (HR-Ahmad), “Barang siapa yang tidak peduli pada urusan kaum muslimin maka bukan termasuk golongan mereka ”(HR-Muslim), “Jihad terbaik adalah menasehati penguasa yang zolim” (HR Muslim & Ahmad), “ Islam adalah nasehat, kami bertanya : Bagi siapa ? ya, Rasulullah jawabnya : Bagi Allah, AkitabNya, UtusanNya, dan para pemimpin diantaramu” (HR-Muslim, Abu Daud, Tirmizi), “Para Nabi memerintah diantara bani Israil, jika mereka mati, akan di utus penggantinya, tapi tak ada Nabi setelahku tapi akan ada banyak Khalifah” (HR- Bukhori-Muslim).
Ketentuan di atas berlaku untuk setiap muslim dan bukan hanya untuk partai. Dimana ciri dari sebuah partai haruslah melakukan aktifitas politik seperti disebutkan oleh nash-nash diatas. Partai itu tugasnya adalah “mengajak umat melakukan perintah Allah dan menghindari larangan-Nya”. Dalam hal ini tugas sebuah partai politik Islam, adalah bertujuan untuk melanjutkan kehidupan Islam yaitu mengembalikan penerapan seluruh Hukum Allah SWT mulai Aqidah, Ibadah, Akhlaq, Muamalah dll dalam kehidupan Umat Islam dengan tegaknya Daulah Khilafah Islamiyah yang hanya bisa diwujudkan dengan aktifitas politik yang sesuai dengan tuntunan syara’ (yaitu Allah SWT).
Wahai kaum muslimin, Rasulullah mengiformasikan bahwa akan selalu ada jama’ah diantara kita yang demi Islam sebagaimana beliau dan para sahabatnya berjuang menegakkan Khilafah Islam di Madinah, sehingga Khulafa’ur Rasidin, Umayah Abasiah, Utsmani dan Mustafa Kemal A. menghancurkannya ditahun 1924.
Wahai kaum Muslimin, Rasulullah dan para sahabatnya menegakan Khilafah dan diteruskan hingga di hancurkan musuh-musuh Islam. Dan kehormatan bagi kaum muslimin saat ini untuk bersama-sama menegakkan Khilafah untuk memenuhi tugas Allah yang dulu diberikan pada Rasulullah dan para sahabatnya. Allah pasti memberikan kemenangan bagi kita, insya Allah.
[1] – Fardhu kifayah : kewajiban yang dibebankan bagi kaum muslim yang jika sudah dilakukan dengan sempurna sebagaimana yang dituntut oleh syara’ oleh sekelompok orang dari kaum muslimin maka gugur keawajibannya bagi kaum muslimin yang lain , contohnya usaha menegakkan kekhilafahan, dan membentuk jama’ah Islam untuknya, dan lain-lain (Lihat Fikrul Islam Bab Fardhu Kifayah, Al-Ihkam Ushul Al-Ihkam Oleh Imam Al-Amidi, Irsyadul Fuhuul oleh Imam Suyuthi, Mustasyfa’ oleh Imam Ghozali, Syakhsiyah Al-Islamiyah juz 3 oleh Imam An-Nabhani dll).
Oleh
Muhammad Lazuardi Al-Jawi
Banyaknya jama’ah / partai pada saat ini yang bermunculan dalam rangka menjawab berbagai permasalahan yang mendera kaum muslimin pasca runtuhnya Daulah Khilafah Islamiyah. Masing-masing memiliki amir dan metode dakwah serta target tertentu. Mereka antara lain : Al-Muhajirin, HT, IM, Hizbut Da’wah, Jama’ah Islamiyah, Tanzimul Jihad, Front Islam Internasional, Tanzim al-Islami, Jama’ah Tabligh, Parlemen Muslim, Hizbullah, An-Anshar, Partai Islam Inggris, Jama’ah Ihya’ Minhaj al-Sunnah, Kisdi, FIS, Hizbun-Nahdloh, Jama’ah Salafy, Jama’ah Ahlul Hadist, dan sebagainya.
Hal yang perlu diketahui apakah syara’ memperbolehkan untuk membentuk jama’ah/partai di satu tempat, dan apakah seorang Muslim diwajibkan bergabung dan mendukung jama’ah Islam itu. Berikut beberapa pertanyaan yang pasti muncul :
1. Apakah Islam membolehkan keberadaan jama’ah/partai tersebut ?
2. Jika demikian, bagaimana bentuk dan jumlahnya ?
3. Apakah hal itu menguntungkan/merugikan kaum Muslimin ?
4. Apakah persatuan jama’ah-jama’ah itu wajib ?
5. Tidakkah lebih baik mereka jadi satu partai “Hizbullah” daripada banyak jumlah, bukankah tujuan dan ideologinya sama ?
Mereka mengambil pendapat dari firman Allah SWT : “Sesungguhnya partai Allah-lah yang beruntung” (Q.S 58:22) dan “Yakinlah partai Allah-lah yang akan menang” (Q.S 5:56). Kedua dalil di atas selalu dikemukakan saat menjawab masalah ini dan menjadi pengesahan keberadaan jama’ah/partai tersebut.
Salah satu perintah Allah untuk kaum Muslimin di partai manapun mereka bergabung yaitu mewujudkan beberapa kewajiban yang tidak mungkin dilakukan sendirian. Untuk menjawabnya, kaum Muslimin mendirikan jama’ah/partai Islam sebagaimana firman Allah SWT: “Hendaknya ada diantara kalian sebuah jama’ah yang menyerukan kepada kebajikan (Islam), menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan merekalah golongan yang beruntung” (Q.S 3:104).
Hukum membentuk partai Islam adalah fardhu kifayah[1] bagi setiap kaum muslim dimanapun berada. Dalam Q.S Ali Imran di atas berisi perintah Allah, bagaimanakah kita tahu perintah itu diwajibkan ?
Para ulama ushul dan para fuqaha seperti Imam Al-Zarkhasy, Al-Ghazali, Al-Amidi, As-Syatibi, An-Nawawi, As-Shirazi, Al-Asnawi, dan lain-lain, menyatakan bahwa perintah tidak selalu menunjukkan kewajiban, mungkin hanya berupa anjuran. Untuk mewajibkan suatu anjuran maka diperlukan adanya qorinah/petunjuk syari’ah, jika tidak maka tetap menjadi anjuran saja. Hal ini dikarenakan bahasa Arab asalnya adalah bahasa perintah dan anjuran untuk mengerjakan/tidak mengerjakan. Banyak teks syara’ yang datang dalam bentuk kalimat perintah dalam dua bentuk, tekstual dan kontekstual. Contohnya Allah berfirman :
“Makan dan minumlah …” (Q.S 2:187)
“Dan jika telah selesai shalat, berbaurlah .” (Q.S 62:10)
Banyak ayat Al-Qur’an datang dengan bentuk kalimat perintah. Contoh lain dari Rasulullah SAW yang bersabda :
“Kita diperintahkan untuk menyempurnakan wudlu.” (HR Abu Dawud).
“Tuhanku memerintahkan aku untuk merapikan jenggotku dengan tanganku.” (HR Ahmad).
Banyak lagi contoh yang berisi anjuran umtuk melakukan sesuatu, contohnya adalah hukum berburu tidaklah wajib hanya karena nash tsb datang berbentuk kalimat perintah. Perintah tentang ‘makan’, ‘minum’, ‘berbaur’, juga bukan merupakan kewajiban. Dan juga menyempurnakan wudlu, merapikan jenggot, tidak wajib meski memakai kalimat “Tuhanku memerintahkan aku dan kita diperintahkan”. Jadi anjuran tetap anjuran kecuali ada qorinah yang menjadikan sunnah atau wajib.
Jika indikasinya tidak pasti, maka anjuran itu hanya menjadi sunnah. Contohnya: bertasbih setiap selesai shalat. Dan jika indikasinya pasti maka hukum anjuran itu wajib. Contoh : berpuasa Ramadhan. Jika tidak ada indikasi tersebut maka anjuran itu mubah, sebagaimana firman Allah SWT : “berburulah”.
Sedangkan Q.S Ali Imran: 104 menyatakan kewajiban bagi setiap muslim di manapun ia berada untuk membentuk jama’ah/gerakan kapanpun dibutuhkan oleh Islam untuk memenuhi kewajiban yang telah Allah bebankan kepada jama’ah.
Ada 6 faktor yang menjadikan ayat di atas berfaedah pasti (wajib) :
1. “Wal-takun” berarti : “hendaknya ada”. Kalimat pertama (و) / wawu menunjukkan adanya perintah. Ada 3 tipe wawu dalam Ushul fiqih yang mengindikasikan ‘ilm al-qara’in. Sedang wawu di atas diketahui sebagai wawu ataf (penghubung). Sebabnya ayat ini berkaitan dengan ayat sebelumnya “…dan berpegang teguhlah di bawah tali (agama) Allah dan jangan berpecah belah…”(Q.S 3:103). Huruf ‘wawu’ menunjukkan hukum yang sama, nilai/beban hukumnya sama dengan yang pertama. Dan karena ayat itu di alamatkan pada jama’ah, dan diikuti perintah untuk bersatu, ini menunjukkan wajibnya membentuk suatu jama’ah karena perintahnya adalah wajib.
2. Kata ‘min’ (diantara kamu), menekankan kedudukan anjuran itu, karena mengindikasikan agar dikerjakan kapanpun diminta dan dimanapun berada.
3- Shighta Amr (yang menggunakan fi’il mudhari’ dengan menggunakan lam amar) : “waltakun minkum umat’’. Ayat ini merupakan perintah kepada sesuatu yang diwajibkan, sehingga ia merupakan qorinah (indikasi) bahwa perintah tersenut adalah wajib. Sedangkan lafadz “minkum umat’’ barati jama’ah diantara kalian, sementara seluruh kaum muslimin adalah satu jama’ah (sebagaiman yang dinyatakan oleh Allah dengan firman-Nya) : ‘’kuntum khoru umat’’, maka ini menujukkan bahwa jama’ah yang merupakan jama’ah umat ini adalah jama’ah tertentu. Sementara itu Allah menyifati jama’ah itu dengan sifat “yad’un ilal khoir’’, menunjukkan bahwa yang diperintahkan untuk membentuk kelompok tertentu yang memiliki sifat tertentu pula. Kemudian Allah SWT-pun mensifati mereka sebagai : (uulaaika humul muflihun) ya’ni almunjihuna ‘indallahi al-baquuna fi janaatihi wa na’iimihi “. Imam Ath-Thabari menjelaskan maksud (Orang yang beruntung…) yaitu ‘’kelompok yang selamat (dari siksa api neraka) disisi Allah SWT, kelompok yang kekal (dengan menetap) disurga-Nya dan mendapat kenikmatan (didalamnya)’’ . Ketika Allah memberi pahala amal ini dengan balasan surga dan kenikmatan didalamnya, maka anjuran ini tidak sekedar berfaedah ‘mubah’ tapi adalah wajib. Oleh karena itu jika ‘mafhum mukhalafah’ (makna kebalikan) diambil, berarti mereka yang tidak melaksanakannya saat diminta, maka mereka berdosa karenanya.
4- Salah satu satu tugas jama’ah di dalam ayat itu adalah mengajak umat kepada hukum dan ajaran Islam, serta mengajak orang–orang non-muslim kepada Islam dan kewajiban ini berlaku bagi setiap muslim.
5- Jama’ah harus menyerukan yang ma’ruf (kebaikan/kewajiban) dan melarang yang munkar dan kewajiban ini berlaku untuk semua muslim sebagaimana telah diketahui.
6- Allah SWT berfirman : “Merekalah kelompok yang beruntung”. Ketika Allah memberi pahala amal ini, maka anjuran ini tidak sekedar berfaedah mubah. Karena membawa makna kebalikan (mafhum mukhalafah), berarti yang tidak melaksanakannya saat diminta adalah berdosa.
Ø Makna ‘umat’ dalam bahasa Arab :
“Kelompok, walidah/ibu, lelaki sholeh, kumpulan binatang sejenis, sinonim generasi, tauhid, waktu, lelaki tinggi, wajah tampan, hal/situasi (Q.S 43:22), Al-Shain/peduli (16:92), hai’ah/bentuk (16:92), Ad-Din (21:92), Al-Hin/waktu (12:45), komunitas muslim sedunia (masyarakat yang diikat bersama dalam satu keyakinan ) (Q.S 2:43), jama’ah (28:23),taat.
Kata ‘umat’ biasanya berarti seluruh kaum muslimin. Sedangkan makna umat dalam ayat ini secara lebih spesifik menurut para Ulama tafsir adalah sbb :
a- Imam Al-Qurthubi memberikan definisi ( أمة ) dalam tafsir ‘Jami’ Al-Ahkam Al-Qur’an’, sebagai sekumpulan orang yang terikat dalam satu aqidah. Tetapi Q.S 3:104 ini juga bermakna kelompok karena adanya lafadz “minkum” (diantara kalian). Dalam bahasa Arab kata “minkum” tak bisa dipakai kecuali semuanya dinyatakan terlebih dahulu. ”Kalian semua” disebutkan ayat sebelumnya :”Berpegang teguhlah (kalian semua) …”, maka ayat ini pengganti semua/minkum pada kelanjutan ayat berikutnya. Sehingga makna umat dalam ayat-ayat ini tidak selalu sama.
b- Imam Abu Bakar Ibnu Al-‘Arabi dalam bukunya Ahkamul Qur’an : “Sesungguhnya umat di sini berarti jama’ah/kelompok.”
c- Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adhim menyatakan :
“Wal takum minkum umat : muntashabatun lil qiyamu bi amrillahi fid da’wati ilal khoiri wal amri bil ma’rufi wa nahyi ‘anil mungkari……”
“Ayat ini berarti (haruslah ada dari umat satu kelompok) yang diangkat untuk melaksanakan perintah Allah untuk berdakwah untuk Islam, menyeru yang ma’ruf dan mencegah yang munkar”. Dan Al-Dahhaq berkata :” mereka adalah sekelompok para sahabat dan dari ulama lain, berarti sekelompok orang dari para mujahidin dan ulama”.
d- Dan Ibnu Hatim meriwayatkan dari seorang Tabi’in bernama Mukatil Ibnu Hayyan bahwa maksud dari ayat ‘’hendaknya ada ……’’ :
Akhraja Ibn Abi Ahtim ‘an Muqatil Ibn Hayyan fi qaulihi (Wal takum minkum umat) Liyakuna minkum qaumun ya’ni wahidan aw itsnaini aw tsalatsah nafarin
‘’Hendaknya ada diantara kalian , sekelompok kaum yaitu satu, dua dan tiga kelompok ……… ‘’.
e- Kitab Fath Al-Qadir (jilid 1, hal 370) Imam Shaukani dan Imam Al-Kiyya Al-Haras (w. 504 H) dalam Kitab Ahkam Al-Qur’an (jilid 2, hal 62) dalam komentarnya : “Hendaknya ada … al khair …”, berarti fardlu kifayah untuk membentuk kelompok itu.
f- Al-Qadhi Al-Baydhawi dalam kitabnya Al-Tanzil wa Asrar Al-Tawil, tentang arti ayat ini : ” Min, di sini ditujukan pada kelompok tertentu, karena dakwah pada yang ma’ruf dan mencegah yang munkar dengan kondisi dan syarat tertentu tidak mungkin dilakukanseluruh kaum muslimin, seperti kewajibanmemahami syari’at dan caranya. Ini adalah sebab mengapa Allah SWT menujukan pada setiap muslim di awal ayat dan memerintahkan dari antara mereka sebagiannya. Jadi ada batas kewajiban ini, jika ditinggalkan maka seluruh kaum muslimin berdosa, tapi jika telah ada satu jama’ah yang memenuhi seruan itu akan diringankan dosa itu”.
g- Imam Ath-Thabari, seorang faqih dalam dalam tafsir dan fiqh , berkata dalam kitabnya Jami’ Al-bayan, tentang arti ayat itu yakni : ‘’ (Wal takun minkum) Ayuhal mu’minun (ummatun) jama’atun ‘’.
Artinya : “Hendaknya ada diantaramu (wahai orang-orang beriman) umat) yaitu jama’ah yang mengajak pada hukum-hukum Islam)”.
h- Diriwayatkan dari kitab Jami’ Al-Bayan (jilid 3, bab 4, hal 26) bahwa Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jurair At-Tabari kembali (W. 310 H) berkata : “…, ini berarti seruan pada Islam dan ajarannya (sistem), yang diturunkan kepada manusia dan perintah-Nya untuk mengikuti agama yang dibawa Muhammad sebagai utusan-Nya dan perintah nahi mungkar, memerangi kekufuran dan penyimpangan atau penolakan pada agama Allah SWT dan Sunnah Nabi SAW.
i- Imam Rasyid Ridha dalam tafsir al-Manar “arti kata umat di sini adalah sekelompok orang yang terjadi atas individu yang bersatu dalam satu ikatan bagaikan satu tubuh dalam bertindak”.
Sehingga umat disini dapat berarti jama’ah atau partai, sebagaimana penjelasan berikut :
Ø Jama’ah dalam perspektif bahasa berarti partai atau maknanya yang mirip. Tetapi partai adalah lebih spesifik dari jama’ah. Ciri dari partai yaitu terikatnya seluruh anggota pada sebuah ideologinya (satu) dan satu tujuan yang menyatukan mereka, partai itu meliputi seorang, dengan para pengikutnya, ataum orang-orang yang seide dan mempunyai satu metode.
Ø Dalam Fairuz Al-Abadis Al-Qamus Al-Muhit, disebutkan : “sesungguhnya partai adalah sekelompok orang. Partai adalah seorang, dengan pengikut dan pendukung yang punya satu pandangan dan satu nilai’’..
Ø Imam Ar-Razi dalam tafsirnya Mafatih Al-Ghaib berkata, “Partai adalah kumpulan orang yang setujuan, mereka bersama-sama bersatu dalam kewajiban partai untuk mewujudkan tujuannya”.
Ø Imam Muhammad Abduh dalam kitab tafsirnya ‘Al-Manar’, ketika menafsirkan ayat ini, beliau berkata : ‘’ Yang diseru dari ayat ini adalah seluruh kaum muslimin. Merekalah yang diberi tanggung jawab untuk memilih ‘umat’ yang melakukan kewajiban ini. Disini ada du metode, yang pertama berlaku untuk seluruh kaum muslimin, sedangkan yang kedua berlaku bagi umat yang mereka pilih untuk mengemban dakwah. Makna itu tidak dapat difahami dengan tepat kecuali dengan memahami makna kata ‘umat’. Sedangkan makna umat itu bukanlah jama’ah seperti yang dikatakan banyak orang. Sebab, jika tidak maka kata tersebut tidak akan dipilih. Yang tepat, adalah makna kata ‘umat’ lebih khusus dari pada makna umat. Oleh karena itu , ‘umat’ ini merupakan jama’ah yang terbentuk dari individu-individu yang memilki ikatan yang dapat menyatukan mereka, serta merupakan kesatuan yang menyatukan mereka sebagi anggota dalam sebuah kesatuan manusia ‘’.
Ø Yad’una : berarti menyeru atau mengajak ( yaitu da’wah)
Ø Sedangkan makna Al-khair menurut para sahabat, tabi’n, tabi’ut tabi’in dan para Ulama adalah sbb :
a. Diriwayatkan dari kitab Jami’ Al-Bayan )jilid 3, bab 4, hal 26) bahwa Imam Abu Ja’far At-Tabari :’’(Yad’una) An-Nasa (ilal khoir) ya’ni ilal islami wa syara’I’ihi al-lati syara’ahallahu li’ibadiihi’’.
Artinya : ‘’ (mereka) (Menyeru) manusia kepada (Al-Khair) yaitu kepada Islam dan syari’at-Nya yang telah Allah SWT syari’atkan kepada hamba-Nya ‘’.
b. Kitab Fath Al-Qadir (jilid 1, hal 370) Imam Shaukani dalam komentarnya : “Hendaknya ada … al khair …”, berarti fardlu kifayah untuk membentuk kelompok itu dan Ibnu Hatim meriwayatkan dari Al-Imam Mukatil Ibnu Hayyan (Seorang Tabi’in Ahli Tafsir) :
‘’(Yad’una ilal khoir) qola ilal islami, (wa ya’muruna bil ma’rufi) bi tho’ati rabbihim, (wa yanhauna ‘anil mungkari) ‘an ma’siyati rabbihim ..’’
(hendaknya mengajak pada Al-Khair) ia berkata (yaitu Mukatil Ibn Hayyan) adalah menyeru pada Islam, (mengajak pada yang ma’ruf) berarti mengajak untuk mentaati Allah dan (mencegah yang munkar) berarti mengajak agar tidak melanggar perintah-Nya.
Qola Ibn hatim ‘an Ibn LAila : (Al-Khoir) ya’ni al-Islam
Ibnu Hatim dari Abu Laila bahwa dia berkata Al-Khair di ayat ini berarti Islam.
c. Imam Shihab Al-Din Al-‘alussi Al-Baghdadi dalam Ruh Al-Ma’ani berkata “… ( Wal takun minkum ummatun Yad’uuna ilal Khoir ) tsuma qola al-khoiru hiya ittiba’ul qur’ani was sunnati..’’.
hendaklah …Al-Khair… “, lalu ia berkata (Imam Al-Alusi) berarti mengajak manusia untuk mengikuti Al-Qur’an dan Sunnahku.
d. Kitab Ahkam Al-Qur’an (jilid 2, hal 62) Imam Al-Kiyya Al-Haras (w. 504 H) berkata : … Al-Khair …”, berarti fardlu kifayah adanya jama’ah yang menyeru pada Islam dan mengoreksi kesalahan kesalahan agama.
e. Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya (jilid 1, bab 4, hal 398) :“ Hendaknya ada … Al-Khair : ‘’Al-Maqsudu min hadzihil ayati in takuna firqatun min hadzihil umati mutashodiyatan li hadzal sya’ni wa an kana dzalika wajiban ‘ala kulli fardin minal ayati bihasbihi kama tsabata fi shohih muslim an abi hurairah qola, qola rasulullah SAW man raa minkum mungkaran fal yughayir bi yadihi, failam tastati’ fa bilisanihi, failam tastati’ fa qolbihi wa dzalika adh’aful iman …”
Artinya : ‘’ berarti Allah memerintahkan adanya suatu jama’ah dari umat ini (yaitu umat Islam) yang melakukan pekerjaan ini (membawa da’wah Islam) dan hal ini adalah kewajiban bagi individu umat ini berdasarkan hadis shahih dari Imam Muslim dari Abu Hurairah ra. : ‘Barangsiapa melihat kemungkaran hendak ia merubahnya dengan tanganya, jika ia tidak mampu maka dengan lisannya, jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman……) ‘’.
Dan dari Ali Mirdawih dari Abu Ja’far Al-Bakar bahwa Nabi SAW bersabda “Hendaknya ada … Al-Khair …”, berarti menyeru pada Al Qur’an dan Sunah.
f. Imam Nasafi dalam tafsir An-Nasafi yang berisi tafsir Ibnu Abbas : mengajak pada Al-Khair berarti da’wah untuk Islam dan Imam Ali juga berkata : “Al-Khair adalah keseluruhan agama “.
g. Imam Ahmad Mustafa al-Maraghy dalam tafsir al-Maraghy menyatakan :
Maksudnya : waltakun minkum thooifatun mutamayyizah taquumu bid da’wati wal amru bil ma’rufi wan nahy ‘anil munkari.
Artinya : “Hendaknya ada diantara kalian kelompok tertentu yang menegakkan dakwah menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar “.
Dan yang dikenai khitab dalam ayat ini adalah mereka kaum mukminin seluruhnya yang mukallaf menurut kemampuannya .
Dan beliau mengisyaratkan bahwa kewajiban ini asalnya diperuntukkan bagi seluruh kaum muslimin sesuai dengan kemampuannya . Dan pada hakekatnya tidak ada kewajiban yang berasal dari Allah SWT yang tidak dapat dilakukan oelh hambanya, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibn Hazm rahimahullah (kitab Al-Muhalla jilid 1\hal. 68), beliau berkata sbb :“Wa Kulu Fardhin kalafahullahu ta’ala al-insana fain qadara ‘alaihi lazamahu” .
Yang artinya: “ Seluruh kewajiban yang telah Allah bebankan kepada Umat Manusia, maka (pada dasarnya) jika mereka mampu (untuk menunaikannya) maka ia wajib menunaikannya ”. Dan inilah karakter dasar dari syari’atnya Allah SWT. “ Beliau (Imam Al-Maraghy) memberikan persyaratan bagi ummat da’wah ini sebagai berikut :
1) haruslah ‘alim tentang al-Qur’an dan as-Sunnah serta sirah nabi beserta para khulafaur rasyidinnya.
2) haruslah mengetahui tentang keadaan obyek yang akan didakwahi/dinasehati, keadaannya, kesiapannya, tabiat dan akhlaknya, yaitu dengan kata lain mengetahui keadaan (sikon) masyarakat.
3) haruslah faham dengan bahasa ummat yang hendak didakwahinya.
4) mengenal milal wan nihal wa madzahibil umam (agama-agama dan sekte-sekte serta madzhab-madzhab ummat), agar mempermudahnya dalam mengenal kebathilan “.
h. Imam Al-maraghi mengisyaratkan bahwa kelompok atau harokah dakwah yang menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, haruslah melakukan tastqif (pembinaan) kepada para anggotanya sehingga mereka mmemiliki Syakhsiyah Islamiyah mutamayizzah (kepribadian Islam yang istimewa) yang ditunjukkan dengan pola fakir dan pola jiwa yang Islami. Seseorang dikatakan memiliki pola fikir yang Islami jika ia senantiasa menggunakan aqidah islam sebagai landasannya baginya untuk berfikir dan menyelesaikan berbagai permasalahan yang ia hadapi. Kemudian seseorang dikatakan memiliki pola jiwa yang Islami jika ia senantiasa menggunakan standar halal dan haram sebagai satu-satunya standar yang mengikat setiap aktivitas yang ia lakukan. Dan ia juga harus mengikuti thoriqah dakwah Rasul SAW dengan mengkaji sirah dakwah beliau sebagai referensi utama mereka dalam berdakwah.
i. Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab At-Takattul Al-Hizby dari nashrah yang berisi penjelasan tentang struktur partai disebutkan :
· Poin 1 kita harus membedakan da’wah pada Islam dan da’wah untuk melanjutkan kehidupan Islam, keduanya adalah wajib. Da’wah pada Islam berarti mengajak orang non Islam untuk memeluk Islam, metode praktisnya dengan menunjukkan kebenaran Islam dan mengoreksi kepercayaannya untuk mematuhi hukum Islam.
· Poin 9 : “Allah berfirman ‘Hendaklah ada …Al-Khair…,dari ayat ini maka wajib bagi kaum muslimin dalam suatu negara untuk melakukan dua hal : mengajak umat untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangannya serta wajib bergabung dengan jama’ah yang berdakwah pada Islam. Ayat ini tak akan terlaksana seluruhnya sampai adanya Daulah Islamiyah berdiri.
Ø (wa) ya’muruna : berarti perintah (‘amr). Inilah kewajiban berjama’ah bukan hanya berbuat ma’ruf saja, tapi sesuatu yang diperintahkan.
Ø (Bi) Al-Ma’ruf : berarti kebaikan, yaitu mengajak kebaikan yang ditinggalkan umat. Dan tidak ada negara Islam maka jama’ah tak mungkin mengajak berjihad (secara ofensif) .
Ø Al-Ma’ruf : berasal dari kata ‘arafa’ yaitu perintah Allah untuk mengerjakan sesuatu. Kebaikan terbesar adalah mengembalikan kejayaan Islam (Izhar-Al-Diin) yaitu dengan melangsungkan kembali kehidupan Islam yaitu menerapkan seluruh hukum Islam dalam kehidupan kaum muslimin tanpa terkecuali. Penerapan seluruh hukum Islam tidak akan terjadi tanpa adanya daulah khilafah, Jadi khilafah adalah syarat dari kejayaan Islam. Sebagaimana dijelaskan Imam Abu Ja’far At-Tabari (W. 310 H), beliau berkata tatkala menafsirkan lafadz : ‘’(Ya’muruna bil ma’ruf ) ‘’yaqulu Ya’muruna an-nasa bi itiba’i muhamadin SAW wa dinihi al-ladzi jaa bihi min ‘indillahi’’ (Yanhauna anil mungkar) ‘’ya’ni yanhauna ‘anil kufri billahi wa takdzibi bi muhamadin wa bimam jaa bihi min ‘indillahi bi jihadihim bil aidii wal jawarihi hatta yanqaduu lakum bith tho’ati‘’. Artinya : “)menyeru kepada yang ma’ruf), ini berarti menyeru manusia kepada Islam dengan mengikuti Muhammad SAW dan agama (yaitu risalah yang ia bawa) yang datang dari Allah SWTdan (mencegah dari yang mungkar) yaitu mencegah mereka dari mengkufuri Allah SWT dan mendustakan Muhammad dan Syari’at yang datang dari sisi Allah SWT, sehingga dapat membimbing kalian untuk taat ‘’.
Ø (Wa) Yanhauna : melarang kemungkaran
Ø (‘An) Al-Munkar : berati jahat atau buruk, jama’ah harus melarang atau mencegah kemungkaran ditengah-tengah masyarakat (mereka). Kemungkaran terbesar adalah kufur pada (hukum) Allah atau syirik. Bentuk dari mencegah kemungkaran terbesar adalah dengan menghilangkannya. Menghapus kekufuran adalah sesuatu yang diprioritaskan, Nabi SAW bersabda “ Apapun yang saya larang untuk kalian maka jauhilah dan apapun yang saya perintahkan untuk kalian lakukan maka kerjakanlah semampu kalian” (HR- Imam Bukhori , Imam Muslim dan Imam Tirmidzi). Kemudian Syeikh Ishom Amirah (Khatib Masjid Al-Aqsa) dalam makalahnya yang beliau sampaikan di Univeristas An-Najah di kota Nablus — Palestina tentang keruntuhan Daulah Khilafah sbb: “ Sungguh keruntuhan Daulah Khilafah telah membawa pada penolakan berbagai hukum Islam dan terhentinya banyak aktivitas yang dituntut untuk dilaksanakan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal ini jelas sangat bertentangan dengan firman Allah SWT sbb. : Yang artinya : “ Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah SWT, dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan waspadalah engkau terhadap fitnah mereka yang hendak memalingkan engkau dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu “ (Surat Al-Maidah – ayat 49). Hal ini saja sudah cukup untuk memberikan isyarat akan kemurkaan Allah SWT kepada kita, dan karenanya ia seakan-akan telah menyiapkan Malaikat Adzab untuk menyambar kita, serta menyiapkan neraka jahannam bagi tempat tinggal kita, karena banyaknya dosa yang telah kita lakukan. Disebabkan dengan keruntuhan Institusi ini telah membuka pintu lebar-lebar bagi berbagai kemungkaran yang dilakukan baik oleh orang-orang kafir maupun kaum muslimin itu sendiri. Orang-orang kafir itu mengusai dan menjajah negeri-negeri kaum muslimin. Serta membunuh jiwa, menjarah harta kekayaan mereka dan merampas hak dan kehormatannya. Laksana binatang ternak yang disantap oleh srigala karena ia tidak dijaga oleh penggembalanya. Sedangkan kaum muslimin ditimpa oleh berbagai kerusakan karena tidak mau mengambil syariat Islam, seperti hukum Had, Qishos, Ta’zir dan lain sebagainya “.
Ø Faedah hukum yang terkandung dalam hadis-hadis ini adalah :
- menjauhi larangan, melaksanakan perintah,
- menghapus kemungkaran harus dilakukan tanpa henti (hukum kufur yang diterapkan pada umat)
- mendirikan Khilafah merupakan amal jama’I
- mendirikan Khilafah adalah kewajiban jama’ah sebagai kewajiban asasi, dari berbagai kewajiban yang ada dan akan berubah statusnya menjadi fardu ‘ain jika jama’ah tersebut belum berhasil juga.
- Jama’ah harus mengganti hukum kufur di negeri-negeri kaum muslimin. Mengangkat Khalifah harus dilakukan secepatnya tidak boleh dilakukan asal-asalan.
- Fardlu kifayah tentu punya batas waktu, sehingga tiap orang dibebani kewajiban mengangkat seorang Khalifah tapi tak ada dosa jika ada sebuah jama’ah yang berusaha mewujudkannya tetapi belum berhasil (khusus bagi orang-orang yang telah bersungguh-sungguh untuk mewujudkannya).
- Jika belum berhasil juga maka hukumnya menjadi fardlu ‘ain yang berarti setiap orang diberi beban dan berdosa bagi yang berdiam diri saja.
- Maka wajib bagi setiap muslim untuk berusaha mendirikan Khilafah Islamiyyah (bukti dalil setelah ini)*
Kewajiban bergabung dengan partai Islam Ideologis untuk menegakkan Khilafah Islamiyyah
Untuk membahas masalah ini, terlebih dahulu kita harus mengkaji pendapat Para Ulama tentang status hukum Menegakkan khilafah dan memba’iat seorang Khalifah bagi seluruh kaum muslimin, sbb :
1- Imam Al-Mawardi menyatakan :‘’Wa ‘aqodaha liman yaqumu biha fil umati wajibun bil ijma’i’’.
‘’ Mengadakan akad Imamah (khalifah) bagi orang yang menegakkannya ditengah-tengah umat merupakan kewajiban yang didasarkan pada Ijma Shahabat’’ (Kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyyah hal. 5).
2- Imam Abu Ya’la Al-Farra’ dalam Al-Ahkamul As-Shulthoniyah hal. 19 menyatakan : ‘’Nishbatul imami wajibatun, Qola imam Al-Ahmad ‘an Muhammad ibn ‘auf ibn Sufyan al-Hamshi : al-fitnatu idza lam yakun imamun yaqumu bi amril nasi, wa huwa fardhun ‘ala kifayatin‘’
‘’ mengangkat seorang Imam adalah wajib. Imam Ahmad r.a , menurut riwayat Muhammad ibn ‘auf ibn Sufyan al-Hamshi, telah berkata : ‘’Akan terjadi fitnah jika sampai tidak ada Imam (khalifah) yang mengatur urusan rakyat’’ ) Kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyyah hal. 23).
3- Syaikhul Islam Ibn Taimiyah dalam Siyasah Syar’iyah hal. 161, menyatakan :
‘’Fal Wajibu itakhadzul imarati dinan wa qurbatan yataqarabu biha ilallahi : Fainat taqaruba ilaihi fiiha bi tho’atihi wa tho’ati rasulihi min afdholil qurubati’’.
‘’ Upaya menjadikan kepemimpinan (Khilafah) sebagai bagian dari agama dan sarana untuk ber-Taqarub kepada Allah adalah sebuah kewajiban. Taqarrub kepadanya dalam kepemimpinan itu, yaitu dengan menaati Allah dan Rasul-Nya, termasuk kedalam taqarrub yang paling utama’’.
4- Imam Ibn Hazm dalam Al-Fashl fi Al-Milal wa Al-Ahwa’ wa An-Nihal (juz 4, hal. 87) dan Imam Al-Qurthubi, dalam tafsirnya (juz 1, hal. 264) telah menyatakan : ‘’ Seluruh kalangan Ahlu Sunnah, Murji’ah, Syi’ah dan Khawarij telah sepakat tentang kewajiban adanya Imamah (Khilafah). Mereka juga telah sepakat bahwa Umat Islam wajib mentaati seorang Imam yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah di tengah mereka dan memimpin mereka dengan hukum-hukum syari’at yang dibawa oleh Rasulullah. Hanya kelompok An-Najdat dari kalangan Khawarij yang menyatakan bahwa kewajiban Imamah tidak mengikat manusia. Manusia, menurut mereka, hanya berkewajiban untuk menunaikan hak dan kewajiban di antara mereka’’.
5- Imam Al-Iji’ dalam Al-Mawaqif dan pensyarahnya Imam Al-Jurjani’ menyatakan demikian ; ‘’ Sesungguhnya telah diriwayatkan secara Mutawatir ij’ma kaum muslimin pada generasi pertama setelah wafatnya Nabi SAW yang menyatakan bahwa zaman tidak boleh kosong dari seorang Imam (Khalifah). Oleh karena itu, Abu Bakar r.a dalam khutbahnya yang termashur saat wafatnya Rasul SAW, berkata : ‘’ Perhatikanlah, sesungguhnya Muhammad telah wafat, sementara agama ini, tidak boleh tidak, harus ada yang menegakkannya’’.
6- Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim juz 12, hal. 205 menyatakan : ‘’Bahwa para Imam Madzab telah sepakat bahwa kaum muslimin wajib mengangkat seorang khalifah’’.
7- Imam Al-Jurjani menyatakan : ‘’Mengangkat seorang khalifah termasuk kedalam kemaslahatan terpenting kaum muslimin dan tujuan agama yang terbesar’’.
Oleh karena itu Imam Asy- Syatibi ketika membahas hukum fardhu kifayah seperti hukum mengangkat seorang Khalifah, wali atau hakim dll, beliau menyatakan : “tuntutan ini ditujukan kepada orang-orang yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan fardhu yang diperintahkan itu (Kitab Al-Muwafaqot jilid 1\hal. 119).
Beliau juga beranggapan bahwa pelaksanaan fardhu seperti itu adalah upaya kemaslahatan umum yang dieprintahkan kepada seluruh kaum muslimin untuk melaksanakannya, sebagaimana uraian berikut : “Ada sebagian kaum muslimin yang mampu untuk melaksanakan fardhu kifayah tanpa perlu menunggu yang lain. Sebagian lagi, walaupun belum mampu untuk mewujudkan \mengangkat orang yang mampu. Jadi siapapun yang yang merasa mampu untuk menduduki salah satu jabatan pemerintahan, maka dia dituntut untuk bias mewujudkannya. Sedangkan yang dia tidak mampu mendudukinya, maka dia dituntut untuk melaksanakan perintah yang lain yaitu mewujudkan orang yang mampu mendudukinya dan memaksa mereka untuk melakukannya. Jadi yang mampu diperintahkan untuk melaksanakan yang fardhu, sedangkan yang tidak mampu maka diperintahkan untuk mewujudkan orang yang mampu, sebab tidak dapat dicapai tujuan tadi (yaitu terwujudnya orang yang mampu menduduki jabatan itu) kecuali dengan memilih mereka, dan ini termasuk sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam pelaksanaan yang wajib maka hukumnya juga menjadi wajib (Kitab Al-Muwafaqot jilid 1\hal. 121).
Oleh karena itu pihak penguasa dan militer yang mampu untuk merubah sistem perintahan dinegerinya menjadi sistem khilafah maka mereka dituntut untuk melaksanakan kefardhuan ini lebih dulu dari yang lain. Sedang bagi yang kemampuan yang lebih rendah dari mereka, spt para menteri, anggota parlemen, para hakim maka beban kewajiban mereka berada dibawah pihak penguasa dan militer. Adapun umat saat ini walaupun mereka ‘kesulitan’ untuk mengangkat dan memba’iat seorang Khalifah, maka syara’ tetap mewajibkan kepada mereka untuk membentuk sebuah partai yang memiliki kemampuan untuk menegakkan institusi khilafan dan memba’iat seorang Khilafah. Dan umat harus berjuang bersama partai politik islam tersebut hingga tercapai janji Allah dengan tegaknya institusi khilafah ala minhaj an-nubuwah.
Menegakkan khilafah adalah tugas yang luar biasa berat, karena hanya dengan tegaknya Khilafah-lah, maka seluruh hukum Allah SWT yang diwajibkan bagi umat Islam dapat diterapkan dan ditegakkan. Sedangkan hukum bergabung dengan partai politik Islam yang berjuang untuk melanjutkan kembali kehidupan Islam dengan menerapkan seluruh hukum Allah, terkait dengan status hukum untuk menegakkan khilafah dan memba’iat seorang Khalifah. Dimana status hukum untuk menegakkan khilafah dan memba’iat seoorang Khalifah adalah fardhu kifayah. Sehingga hukum untuk bergabung dengan partai politik Islam yang berjuang untuk melanjutkan kembali kehidupan Islam dengan menerapkan seluruh hukum Allah dengan menegakkan khilafah adalah fardhu kifayah juga. Dan perlu dicatat ada kalanya status fardhu kifayah dapat berubah menjadi fardhu a’in, tetapi tidak sebaliknya. Seperti pada kasus perawatan jenazah (mulai memandikan, mengkafani, mesholati dan menguburkan) harus dilakukan oleh sekelompok orang, dan yang ada pada saat itu hanya satu orang saja (dan ia tidak mampu melakukannya sendirian) maka hukumnya berubah menjadi fardhu a’in bagi seluruh orang yang tinggal ditempat itu untuk merawat jenazah itu ,dan status fardhu a’in itu tidak akan gugur kecuali mereka semua dengan sempurna menunaikan pelaksanaan perawatan jenazah itu (mulai memandikan, mengkafani, mesholati dan menguburkan). Berkaitan dengan hal ini Imam Syamsudin Al-Mahalli berkata : “ dapat terjadi status fardhu kifayah dapat berubah menjadi fardhu a’in, yaitu bila hanya da satu orang saja yang dapat melakukan itu, seperti disuatu daerah tdk ada dokter kecuali satu orang, maka menolong orang sakit didaerah itu menjadi wajib baginya” (Kitab Syarah Matan Jam’il Jawami’ jilid 1\hal. 133). Begitu pula Imam Ibn Taimiyah saat mebahas amar ma’ruf dan nahi mungkar menyatakan : “Hukum aktifitas tersebut adalah wajib bagi kaum muslimin yang memiliki kemampuan dan statusnya dalah fardhu kifayah. Namun fardhu kifayah dapat berubah menjadi fardhu a’in atas orang-orang yang mampu (lainnya) jika kewajiban itu belum dilaksanakan oleh orang yang lain (Kitab Majmu’ul Fatawa jilid 28\hal. 65). Jadi jelaslah sekalipun status awal status hukum untuk menegakkan khilafah dan memba’iat seorang Khalifah adalah fardhu kifayah. Jika fakta menunjukkan bahwa gerakan Islam yang berusaha untuk menegakkanya belum memadai, maka statusnya berubah menjadi fardhu a’in. Maka hukumnya menjadi fardhu a’in bagi seluruh kaum muslimin untuk bergabung dengan partai politik Islam tadi sehingga mereka mampu menunaikan menegakkan khilafah dan memba’iat seoorang Khalifah. Walhasil, setiap muslim yang melalaikan kewajiban ini akan berdosa jika partai politik Islam itu belum berhasil menegakkan khilafah.
Tugas dan aktifitas utama dari partai politik Islam adalah berjuang untuk melanjutkan kembali kehidupan Islam dengan menerapkan seluruh hukum Allah dengan menegakkan khilafah dan memerangi seluruh sistem kufur yang diterapkan di sebagian besar negeri-negeri kaum muslimin, sekaligus menasehati dan mengoreksi para pengusanya yang menjadi antek dan agen para penjajah Kafir untuk menajajh neger-negeri kaum muslimin dan menerapkan hukum-hukum ‘kufur’ buatan manusia ditengah-tengah mereka. Sebagaiman dijelaskan oleh Imam Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jurair At-Tabari (W. 310 H) ketika menafsirkan surat Ali Imron – 103 : “…, ini berarti seruan pada Islam dan ajarannya (sistem), yang diturunkan kepada manusia dan perintah-Nya untuk mengikuti agama yang dibawa Muhammad sebagai utusan-Nya dan perintah nahi mungkar, memerangi kekufuran dan penyimpangan atau penolakan pada agama Allah SWT dan Sunnah Nabi SAW ‘’.
Oleh karena itu saya ingin menutup bahasan ini dengan menukil penjelasan itu Syeikhul Islam Ibn Taimiyah rahimahullah menegaskan dalam bukunya Siyasah Asy-Syar’iyah hal. 160-161 dan Majmu Al-Fatawa jilid 28\hal. 320 tentang pentingnya masalah kepemimpinan dalam Islam dan Institusi Khilafah yang merealisasikan penerapan syari’at Islam secara kaffah sbb :
‘’Lianallaha ta’ala aujabal amra bil ma’rufi wan nahya anil mungkar wa la yatimu dzalika ila bi quwwatin wa imaratin. Wa kadzalika sairul ma aujabahu minal jihadi wal adli wa iqamatil hajji wal juma’I wal a’yadi wa nashril madzlumi, wa iqamatil hududi la yatimu ila bil quwwati wal imarati, li hadza ruwiya : “Innas sulthana dzilullahi fil ardhi. Wa yuqalu situna sanatan min imamin jairin ashlahu min lailatin wahidatin bila sulthanin” (Kitab Siyasah Syar’iyah hal. 161 oleh Ibn Taimiyah). Artinya : “Sesungguhnya Allah SWT mewajibkan untuk beramar ma’ruf dan bernahi munkar. Hal ini tidak akan sempurna kecuali dengan kekuatan dan kepemimpinan. Demikianlah seluruh apa yang diwajibkan oleh SWT spt jihad, menegakkan keadilan, menunaikan ibadah haji, al-juma’, ibadah ritul, menolong orang yang teraniaya, tidak akan sempurna kecuali dengan adanya kekuatan dan kepemimpinan, karean itu tdp riwayat : Sesungguhnya pemimpin adalah naungan Allah di muka bumi’’. Dan ada riwayat lain mengatakan : ‘’ 60 tahun dibawah pemimpim yang dzalim jauh lebih baik dari pada 1 hari tanpa pemimpin”.
II. Mengapa individu tidak mampu mendirikan Khilafah tanpa jama’ah ?
Kewajiban ini tak mungkin dapat dipenuhi hanya oleh individu saja karena aktivitas ini berkaitan dengan mengubah hukum dan aturan. Dan Allah SWT telah membuat takhsis atau pengkhususan antara amal jama’i dan amal individu. Amal individu untuk individu, jama’ah untuk jama’ah, karena dengan sendiri apabila tak mungkin mendirikan Khilafah, maka amal ini berubah statusnya menjadi amal jama’i (berdasarkan kaidah Ma la yatimul wajib fahuwa wajib). Dan Rasulullah yang menjadi suri tauladan bagi kita (Qs. 33 : 22), dan beliaupun tidak sendirian dalam mengubah masyarakat. Beliau berda’wah bersama para sahabatnya, sebagai jama’ah. Syaikh Taqiudin An-Nabhani menjelaskan maksud ayat “Maka sampaikanlah dengan terang-terangan apa yang telah sampai padamu…”, Allah memerintahkan jama’ah untuk berda’wah secara terbuka. Setelah ayat ini turun, para sahabat berkumpul di ka’bah secara terorganisasi, inilah saat da’wah terbuka.
2.1. Membantah pendapat kelompok yang mengharamkan berjama’ah
Ada segolongan umat yang berpendapat haramnya adanya jama’ah-jama’ah. Pemahaman ini bertentangan dengan ayat-ayat Al Qur’an yang justru mewajibkan keberadaannya.
Mereka memakai argumentasi bahwa “berkelompok menyebabkan perpecahan”. Padahal Allah telah memerintahkan adanya jama’ah, dan perintah ini berhubungan dengan perintah yang lain agar uamt Islam bersatu. Meski sekarang kondisinya tidak demikian namun hal tersebut tidak dapat digunakan sebagai dalil untuk menghapus perintah Allah untuk mengadakan jama’ah tersebut. Islam tidak dihukumi dengan kondisi umat. Keberadaan partai tidak dapat disalahkan karena kesalahan\penyimpangan anggotanya, tapi dinilai dari pemikiran dan metodenya apakah berasal dari Islam atau bukan ?.
2.2. Mengapa boleh ada lebih dari satu jama’ah ?
Perintah mendirikan jama’ah tidak dibatasi jumlahnya. Pertama, ayat : “Hendaknya ada diantara kamu jama’ah … “ tidak disebut jumlah, kata “umat” berbentuk nakirah atau umum. Jadi boleh ada jama’ah selama dengannya kewajiban terpenuhi. Tapi bila satu jama’ah berhasil memenuhinya maka tak boleh membentuk jama’ah lagi, sebagai contoh sekelompok orang diberi salam, seorang saja yang menyahut maka yang lain gugur kewajibannya. Jika memang ayat ini hanya untuk satu jama’ah ( sebagaimana dituduhkan oleh sebagian orang yang memiliki ghirah ke-Islaman ) tentunya bentuk kalimatnya tunggal atau mufrod seperti berikut : “Hendaknya ada satu umat (al-umat) diantaramu …” tapi faktanya ayat ini berbentuk jamak dan inilah bukti bolehnya keberadaan jama’ah-jama’ah sebagaimana dimaksud.
2.3. Perbedaan Firqah dan Jama’ah
Ø Adanya juga yang berpendapat haramnya haramnya memecah belah umat dengan bergolong-golongan, dalil mereka gunakan adalah firman Allah SWT : “Mereka yang memecah belah agamanya menjadi bergolong-golongan, setiap golongan bangga akan kelompoknya” (Qs. 30:31-32). Hadits Rasulallah SAW : “yahudi akan terpecah menjadi 71 golongan/firqah, Kristen menjadi 72 golongan, dan umat akan terpecah menjai 73 golongan” (Abu Daud, Tirmidzi, Al-Hakim, Ahmad). Imam Tirmidzi menyatakan : “Hadits ini hasan sahih”,.
Ø Hadits diatas juga diriwayatkan imam Abu Daud (2/503), Ahmad ( 4/102) Al-Hakim (1/128) dan lain-lain, sbb “dari ‘Auf bin Malik: Akan berpecah Yahudi kepada 71 firqah, satu firqah ke syurga dan 70 ke neraka. Akan berpecah Nasrani kepada 72 firqah, 71 firqah ke syurga dan satu ke syurga. Demi diri Muhammad yang berada di tanganNya, pasti akan berpecah ummatku kepada 73 firqah hanya satu ke syurga dan 72 ke neraka. Ditanyakan: Siapa mereka wahai Rasulullah? Baginda bersabda: Al-Jamaah.” . Diriwayat yang lain : “Bersabda Rasulullah s.a.w: Sesungguhnya mereka yang sebelum kamu dari kalangan Ahli al-Kitab berpecah kepada 72 pecahan. Sesungguhnya millah (ummat ini) akan berpecah kepada 73 (yang mana) 72 ke neraka dan satu ke syurga iaitu al-Jamaah.” Diriwayat yang lain : “Dari Abdullah bin ‘Am r: Akan berpecah ummatku kepada 73 pecahan semuanya ke neraka kecuali millah yang satu: Iaitu apa yang aku dan para sahabat (sesiapa yang seperti aku dan para sahabatku.” Dan diriawayat yang lain : “(Yang ke syurga) ialah al-Jamaah. tangan Allah atas al-Jamaah.” Dalam riwayat lain dari jalan Anas Bin Malik : “Semuanya dineraka kecuali yang mengikutiku dan sahabatku”..
Ø Akan tetapi ada beberapa ulama seperti Imam Syaukani dan Al-Kausari yang mengkritik hadits ini dengan menyatakannya sebagai hadis dhaif, bahkan Ibnu Hazm berkata hadis ini palsu.
Sedang Menurut ta’rif (istilah) secara ilmiah, maka pengertian jamaah menurut para Ulama berkisar berdasarkan hadis-hadis atas mencakup enam makna (nama) :
1. Golongan yang besar/ramai (السواد الاعظم) dari kalangan umat Islam.
2. Jamaah ulama yang mujtahid.
3. Jamaah yang terdiri dari para Sahabat secara khusus.
4. Jamaah umat Islam yang bersatu atas satu matlamat.
5. Jamaah muslimin yang bersatu di bawah satu amir.
6. Jamaah yang mengikuti kebenaran termasuklah semua para ahlinya.
Termasuk dalam pengertian al-jamaah adalah mereka yang terdiri dari kalangan para sahabat dan siapa sahaja yang mengikuti sunnah Nabi s.a.w dan atsar para sahabat, khususnya sunnah Nabi SAW dalam berdakwah, sebagaimana yang dijelaskan di dalam hadith : “Hendaklah kemu kembali (ittiba’) kepada sunnahku dan sunnah para Khulafa ar-Rasyidin yang mendapat petunjuk.” (HR. Al-Hakim dan At-Tirmidzi)
Ø Penting bagi kita memahami hadis ini sesuai dengan konteksnya. “ Dengan pertolongan Allah” arti atau maksud dari hadits ini ditinjau dari sebab turunnya, sehingga pandangan kita terhadapnya menjadi jelas. Rasulullah menerangkan umat Kristen dan Yahudi terpecah menjadi beberapa sekte, dan umatnya menjadi 73 sekte, seluruhnya dineraka kecuali yang mengikuti jalannya dan para sahabatnya. Penyebutan terpecahnya umat Islam setelah yahudi dan nasrani berarti menunjukkan hukuman atas perbuatan mereka. Pertanyaan dimanakah perbuatan yahudi dan nasrani yang menyebabkan mereka disebut firqah. Al-Qur’an pun memerintahkan kita untuk tidak berpecah belah sebagaimana orang-orang yahudi dan nasrani, yang disebutkan di beberapa tempat dalam Al Qur’an :
”Dan kami memberi Musa kitab dan diikuti para utusan . dan kami memberi Isa, anak Maryam, tanda yang dan Kami kuatkan dia dengan Rahul Qudus. Apakah ketika kami mengutus Rasul dengan syariat yang tidak kau sukai, kau berbalik dengan sombong, mengatakan sebagai pembohong dan membunuh yang lain”. (Qs. 2:87).
“Dan kami beri Isa ,anak Maryam, tanda yang nyata, tapi mereka ingkar, ada yang percaya dan ada yang tidak”.(Qs. 2:253)
“Mereka tetap ingkar sampai datang pengetahuan …”(Qs. 3:19) Þ Mereka ingkar pada pada hari akhir dan hukuman bagi mereka adalah siksa yang pedih di neraka.
Firman Allah SWT : “Dan mereka berkata, kami tidak disiksa dineraka kecuali beberapa hari. Katakan apakah mereka punya perjanjian dengan Allah …”(Qs. 2:80). Mereka berpecah-belah karena saling mengkafirkan.
Firman Allah SWT : “Dan Yahudi mengatakan orang kristen itu tidak punya satu pegangan, dan orang-orang Nasrani berkata : orang-orang tidak mempunyai suatu pegangan, padahal mereka (sama-sama) membaca al-Kitab. Demikian pula orang-orang yagn tidak mengetahui” (Qs. 2:113).
Setelah ini kita tahu bahwa ingkar\kufur pada masalah yang mendasar. Mengingkari Rasul Dan hari kiamat (Al-An’am 29), Malaikat, Keesaan Allah, surga dan neraka, dsb. Karenanya Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kita untuk tidak berpecah belah seperti mereka. Jadi pengingkaran yang dimaksud adalah pada hal-hal yang mendasar atau fundamental dalam agama. Untuk menerangkan hal ini lebih lanjut, tafsir ayat ini akan memperjelas : “Dan berpegang teguhlah pada tali Allah jangan berpecah belah”.
Allah memerintahkan setiap muslim untuk berpegang teguh pada “tali Allah”
Ibnu Mas’ud, Ali bin Abi Thalib, Abu Said Al Khudri mengatakan yang dimaksud adalah Al Qur’an. Ibnu Al Mubarak mengatakannya sebagai jamaah.
Sedang “Jangan berpecah belah”, Imam At Tabari mengatakan : “ Dan jangan mengingkari agama Allah dan harus mematuhi Nya dan utusanNya”.
- Ibnu Katsir : “Dia memerintahkan bereada dalam jama’ah dan tidak berpecah belah”.
- Imam Al Qurtubi mengatakan : “Jangan berpecah belah seperti orang Yahudi dan Nasrani dalam agama mereka”.
Maka beda pendapat yang dilarang bagi orang muslim adalah pada pokok, bukan pada masalah furu’, karena beberapa hal :
1. Muslim tidak boleh berbeda pendapat dalam masalah-masalah pokok seperti yang disebutkan ayat-ayat diatas (yaitu yang ditetapkan oleh dalil-dalil qoth’I seperti dalil dari Al-Qur’an dan hadis mutawatir).
2. Sunnah Rosulullah membolehkan perbedaan dalam furu’iyah/cabang
3. Perbedaan pada masa sahabat juga dalam masalah furu’ dan tak dihukum atas hal ini waktu itu.
4. Para tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan generasi yang mengikutinya menerima perbedaan furu’ tetapi tidak dalam masalah pokok.
5. Kesimpulannya dari bukti-bukti di atas, Hadits itu ditujukan untuk sekte/firqah bukan untuk jama’ah, jama’ah berbeda pendapat pada masalah yang mubah, sedang firqah pada masalah-masalah fundamental yang dilarang.
Kesimpulan :
Ø harus ada jama’ah untuk memenuhi seruan itu/fardu kifayah
Ø kata umah dalam ayat ini berarti jama’ah
Ø al-khair bermakna Al Islam
Ø Jama’ah tersebut puya tugas tugas tertentu :
1. mengajak pada Islam, mengajak pada ma’ruf , mencegah yang mungkar.
2. berusaha mendirikan Khilafah (saat ini)
3. kewajiban mendirikan Khilafah bagi setiap muslim dan merupakan amal jama’i.
4. pengharaman berjama’ah-jama’ah bertentangan dengan Qs 3:104
5. Diijinkan keberadaan lebih dari satu jama’ah.
6. Ada perbedaan mendasar antara firqah dan jama’ah
Partai yang dimaksud Qs. 3:104 mempunyai beberapa ciri :
a. Memiliki amir yang dipatuhi selama sesuai dengan Al Quran dan Sunnah, Nabi SAW bersabda, “Jika kalian bertiga dalam satu safat, tunjuklah amir satu diantaramu” (Muslim).
b. Harus berdasarkan aqidah Islam (Qs. 3:85)
c. Terikat dengan cara-cara Al-Qur’an dalam menghadapi pemikiran-pemikiran kufur yang ada.
d. Jama’ah dakwah harus menetukan tujuan serta hukum syara’ yang berkenaan dengan aktivitas jama’ah secara rinci, dengan memperjelas tujuan dan target partai.
e- Jama’ah harus menentukan pemikiran dan perasaan yang digunakan untuk membangun umat, serta hukum syara’ yang dipakai untuk membangun sebuah negara.
f- Tujuan partai adalah melanjutkan/mewujudkan kehidupan Islam, bukan mengangkat menteri, anggota parlemen, apalagi mecari kesejahteraan moral, atau tujuan spiritual. Kehidupan Islam akan berlangsung jika ada yang bertanggung jawab terhadap penerapan syari’at yaitu Khilafah, seperti kaidah ushul : “Sesuatu yang mengantarkan pada kewajiban hukumnya wajib”. Penerapan syari’ah harus meliputi seluruh bidang kehidupan adalah sesuatu yang wajib, dan Khilafah adalah satu-satunya institusi yang absah (menurut syara’) untuk mewujudkannya dan wajib bagi kita mewujudkan dan mengusahakan berdirinya institusi khilafah.
g- Aktivitas jama’ah adalah membangun umat dan negara yaitu dengan melangsungkan kembali kehidupan Islam, dengan mengikuti metode Rasul SAW di Mekah sebelum beliau membangun negara di Madinah. Aktivitas itu meliputi :
a. Mambangun tubuh jama’ah dengan melakukan pembinaan secara intensif sehingga menyakini ide-ide yang ditabanni oleh partai.
b. Membina umat dengan Islam dan pemikiran, ide serta hukum syara’ yang ditabani oleh partai sehingga tercipta opini tentang syari’at Islam sebagai solusi untuk menyelesaikan masalah umat dan penerapan syariat islam itu harus dalam wadah daulah Islamiyah atau Khilafah.
c. Melakukan perang pemikiran dengan semua ide, pemikiran, aturan yang bertentangan dengan Islam .
d. Melakukan perjuangan politik melawan negara kafir penjajah dan para penguasa yang dzolim.
h. Tujuan utama partai adalah keridlaan Allah (Qs. 59:8)
i. Tidak perlu ijin/aturan tertentu kecuali aturan dari Allah.
i. Ikatan diantara anggota harus ikatan aqidah islam dan ideologi dan bukan nasionalisme, spiritualisme/materialisme. Nabi SAW, bersabda, “Tak ada perbedaan diantara orang arab dan non arab kecuali ketaqwaannya” (Muslim). Dalam Qs. 3 : 104 menekankan bahwa umat disini haruslah berbentuk jama’ah atau partai politik, atau politik dalam Islam berarti mengatur/mengurus urusan umat berasaskan Islam, yang sangat jauh berbeda dengan politik dalam pengertian barat yaitu seni pragmatis, berada dalam situasi berasaskan realitas sehingga harus realistis, hingga mentolelir kebohongan, kecurangan demi kepentingan kelompok yang sesaat, yang kesemuanya bertolak belakang dengan makna politik Islam.
Dalam Qamus Al-Muhit adalah As-Siyasah ( politik ) berasal dari kata : Sasa –Yasusu – Siyasatan bi ma’na ra’iyatan (pengurusan). Qola Al-Jauhari : Sustu Ar-Raiyata Siyasatan ay Amartuhu wa nahaituhu ay ra’atu syaia alaihi bi awamiri wa nawahii (Al-Jauhari berkata : Sustu Ar-Raiyata Siyasatan adalah aku memerintah dan melarang kepadanya atas sesuatu dengan sejumlah perintah dan larangan). Wa as-siayasah : Al-Qiyamu ‘ala syaiin bima yashluhuhu (Siyasah adalah melakukan sesuatu yang memberi mashlahat padanya) (Lisanul Arab – Ibn Mandzur). Walhasil, Politik disini bermakna mengatur urusan umat lokal maupun internasional dengan menggunakan aturan tertentu.
Dalil dari As-Sunnah bahwa politik berarti mengatur urusan umat dan melindungi kepentingannya adalah wajib bagi tiap muslim, termaktub dalam sabda Rasul : “Setiap kamu adalah penjaga, dan kalian akan ditanya tentang yang kamu jaga” (HR-Muslim), sabda beliau lagi : “ Akan ada segolongan umatku yang selalu mengingatkan kebaikan dan mereka pasti akan menang, musuh-musuh mereka takkan dapat mengalahkan mereka” (HR-Ahmad), “Barang siapa yang tidak peduli pada urusan kaum muslimin maka bukan termasuk golongan mereka ”(HR-Muslim), “Jihad terbaik adalah menasehati penguasa yang zolim” (HR Muslim & Ahmad), “ Islam adalah nasehat, kami bertanya : Bagi siapa ? ya, Rasulullah jawabnya : Bagi Allah, AkitabNya, UtusanNya, dan para pemimpin diantaramu” (HR-Muslim, Abu Daud, Tirmizi), “Para Nabi memerintah diantara bani Israil, jika mereka mati, akan di utus penggantinya, tapi tak ada Nabi setelahku tapi akan ada banyak Khalifah” (HR- Bukhori-Muslim).
Ketentuan di atas berlaku untuk setiap muslim dan bukan hanya untuk partai. Dimana ciri dari sebuah partai haruslah melakukan aktifitas politik seperti disebutkan oleh nash-nash diatas. Partai itu tugasnya adalah “mengajak umat melakukan perintah Allah dan menghindari larangan-Nya”. Dalam hal ini tugas sebuah partai politik Islam, adalah bertujuan untuk melanjutkan kehidupan Islam yaitu mengembalikan penerapan seluruh Hukum Allah SWT mulai Aqidah, Ibadah, Akhlaq, Muamalah dll dalam kehidupan Umat Islam dengan tegaknya Daulah Khilafah Islamiyah yang hanya bisa diwujudkan dengan aktifitas politik yang sesuai dengan tuntunan syara’ (yaitu Allah SWT).
Wahai kaum muslimin, Rasulullah mengiformasikan bahwa akan selalu ada jama’ah diantara kita yang demi Islam sebagaimana beliau dan para sahabatnya berjuang menegakkan Khilafah Islam di Madinah, sehingga Khulafa’ur Rasidin, Umayah Abasiah, Utsmani dan Mustafa Kemal A. menghancurkannya ditahun 1924.
Wahai kaum Muslimin, Rasulullah dan para sahabatnya menegakan Khilafah dan diteruskan hingga di hancurkan musuh-musuh Islam. Dan kehormatan bagi kaum muslimin saat ini untuk bersama-sama menegakkan Khilafah untuk memenuhi tugas Allah yang dulu diberikan pada Rasulullah dan para sahabatnya. Allah pasti memberikan kemenangan bagi kita, insya Allah.
[1] – Fardhu kifayah : kewajiban yang dibebankan bagi kaum muslim yang jika sudah dilakukan dengan sempurna sebagaimana yang dituntut oleh syara’ oleh sekelompok orang dari kaum muslimin maka gugur keawajibannya bagi kaum muslimin yang lain , contohnya usaha menegakkan kekhilafahan, dan membentuk jama’ah Islam untuknya, dan lain-lain (Lihat Fikrul Islam Bab Fardhu Kifayah, Al-Ihkam Ushul Al-Ihkam Oleh Imam Al-Amidi, Irsyadul Fuhuul oleh Imam Suyuthi, Mustasyfa’ oleh Imam Ghozali, Syakhsiyah Al-Islamiyah juz 3 oleh Imam An-Nabhani dll).
Subscribe to:
Posts (Atom)