Feminisme sebagai suatu gerakan telah dimulai secara formal pada tahun 1966 dengan didirikannya Organisasi Nasional untuk Wanita (National Organization for Woman [NOW]). Pada 1985, NOW telah memiliki anggota dari seluruh negara bagian Amerika Serikat dengan jumlah anggota sebesar 185.000 yang terdiri dari laki-laki dan wanita. NOW aktif dalam mengorganisir dukungan untuk pembuatan undang-undang dan pelaksanaan hukum yang mencegah terjadinya diskriminasi pada wanita di dalam pekerjaan, pendidikan, dan yang lainnya. NOW juga telah memimpin banyak kampanye di dalam kongres dan lapangan mengenai berbagai isu; mulai dari soal kepedulian terhadap anak hinga aborsi.
The National Women’s Political Caucus (Anggota Politik Wanita Nasional) adalah organisasi massa kewanitaan lainnya yang beranggotakan 77.000 orang pada tahun 1985. Organisasi ini memiliki komitmen agar para wanita dilibatkan secara utuh dalam bidang politik. “Women! Make policy, not coffee!” begitu motto organisasi ini.
Anggota kongresional untuk permasalahan wanita dibentuk pada tahun 1977 dan dibuka untuk anggota kongres dan senator laki-laki pada tahun 1981, untuk mendukung kebijakan federal yang berinisiatif untuk memajukan status wanita dan keluarga. Mereka adalah kelompok kewanitaan dan organisasi-organisasi baru yang memperhatikan isu-isu spesifik seperti permasalahan pendidikan, aborsi, dan hak-hak pensiun bagi pekerja wanita.
Dalam usaha mempromosikan feminisme, mereka memulai dengan strategi Woman in Development (WID). Strategi ini dikembangkan pada tahun 1970-an dan mengasumsikan bahwa ketimpangan gender yang terjadi adalah disebabkan oleh rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM) perempuan yang selama ini tidak memperoleh perhatian dan kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam program-program pembangunan. Oleh karena itu, harus ada program yang memfokuskan pada usaha pemberdayaan perempuan. Strategi ini menghasilkan usaha-usaha pemberdayaan perempuan dalam pembangunan, di antaranya dalam bentuk program intervensi peningkatan kemampuan perempuan melalui pelatihan keterampilan yang dilaksanakan oleh organisasi kewanitaan semacam PKK, Dharma Wanita, ataupun organisasi lain yang sejenis. Namun karena hasil dari strategi ini dirasa kurang memuaskan, maka semenjak akhir dekade 1980-an, dimunculkan strategi baru, yaitu Gender and Development (GAD). Strategi ini mengasumsikan bahwa ketertinggalan perempuan disebabkan oleh adanya sikap masyarakat yang tidak adil terhadap laki-laki dan perempuan yang kemudian berpengaruh pada bentuk sistem, struktur dan budaya dari masayarakat tersebut sehingga melahirkan pola relasi gender yang tidak adil.
Bagi strategi GAD, akar persoalan ketertinggalan perempuan bukan karena rendahnya kualitas SDM perempuan tetapi lebih karena sistem dan struktur masyarakat yang tidak berkeadilan gender. Oleh karena itu, usaha yang harus dilakukan adalah mengupayakan perubahan dalam sikap dan struktur masayarakat yang tadinya tidak adil gender menjadi sebaliknya. Strategi kedua ini direalisasikan dalam kegiatan-kegiatan pelatihan sensitivitas gender serta usaha pengintegrasian gender dalamproyek pembangunan. Namun karena hasil dari strategi ini dianggap lamban, maka kemudian dibuatlah strategi ketiga, yaitu Gender Mainstreaming (GM) yang dalam bahasa Indonesia biasa disebut pengarusutamaan gender. Sebagaimana strategi GAD, strategi GM juga mengasumsikan bahwa ketimpangan gender disebabkan oleh adanya sistem dan struktur masyarakat yang tidak berkeadilan gender. Namun untuk membangun masyarakat yang adil gender di samping usaha medel strategi GAD, perlu juga dilakukan usaha yang dapat mengintervensi secara cepat terhadap terjadinya perubahan pada sistem dan struktur suatu organisasi di mana masyarakat berada. Perubahan pada sistem dan struktur organisasi itu meliputi, di antaranya pada tataran filosofis, perumusan kebijakan, dan pola pembagian kerja, serta pola interaksi sosialnya.
Adapun pengaruh dari strategi dan usaha-usaha yang mereka lakukan ada banyak yang oleh sebagian kaum Muslimin dipahami secara tidak menyeluruh. Sebagian kaum Muslimin ini hanya memahami bahwa dengan adanya feminisme yang digalakkan semenjak abad 19, kaum wanita Barat secara relatif cepat mengalami kemajuan. Lalu mereka dengan secara ceroboh membuat analogi: jika wanita Muslimah hendak maju, maka mereka harus mengikuti wanita Barat. Padahal, dampak dari feminisme bukanlah kemajuan yang sepenuhnya positif melainkan juga mengandung berbagai efek negatif yang justru kadarnya lebih besar dibandingkan kemanfaatan yang bisa diperoleh oleh wanita Barat. Ibnu Musthafa mengatakan dalam Wanita Islam Menjelang Tahun 2000, “Memang benar, gerakan ini (baca: feminisme) telah banyak membantu, melepaskan wanita dari musibahnya, mengembalikan hak-haknya yang terampas dan membukakan pintu-pintu kebebasan yang selama ini tertutup bagi mereka. Namun sebaliknya, gerakan ini juga menciptakan musibah dan kesengsaraan-kesengasaraan baru bagi para wanita itu dan bagi umat manusia.”
Sebab Kesalahan
Syaikh Muhammad Husain Abdullah mengatakan, “Putra-putri terbaik umat Islam, terutama yang belajar di universitas-universitas di Barat, terpesona dengan peradaban Barat. Akhirnya, mereka menyerukan untuk meniru peradaban Barat dalam rangka menyongsong sebuah kebangkitan.”
Dari ucapan ini, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa sebab utama kesalahan kaum Muslimin adalah terpukaunya mereka dengan peradaban Barat. Orang-orang yang mengusung pemikiran Barat dari kalangan kaum Muslimin bisa dipastikan mereka adalah orang-orang yang kagum dengan segala gemerlap dunia yang dimiliki oleh Barat. Karena mereka berada dalam kondisi tertinggal, maka agar maju, mereka kemudian berpikir harus mengikuti Barat meski dengan konsekuensi meninggalkan cara hidup lama yang beradasarkan Alquran dan sunnah. Agar tak dicerca oleh kaumnya, mereka yang rata-rata dari kalangan terdidik ini kemudian mengolah ilmu-ilmu keislaman, mereka racik sedemikian rupa, dengan tujuan ingin membuktikan kepada umat Islam bahwa tindakan yang mereka lakukan (baca: mengikuti Barat) memiliki dasar dalam agama juga. Orang-orang yang seperti ini meskipun berperilaku ala Barat, tetapi tetap mengklaim memakai Alquran dan sunnah, hanya saja dengan tafsiran yang berbeda (begitulah yang sering mereka katakan).
Kesalahan mereka ada dua, yang masing-masing akan dijelaskan dalam bentuk poin berikut:
1. Tidak Memahami Sejarah
Ketika kaum Muslim tidak memahami sejarah Islam yang begitu gemilang, tentu mereka akan dengan mudahnya mengagumi peradaban Barat saat ini yang penuh dengan kemajuan teknologi dan pembangunan fisik. Padahal, ketika sejarah Islam dimengerti, kaum Muslim tidak akan langsung mengagumi Barat dan memujinya. Melainkan ia akan mencari tahun mengapa umat Islam dulu maju namun saat ini mundur dan mengapa bangsa barat saat ini maju pesat padahal dulu tertinggal amat jauh dengan Islam. Seorang muslim akan mencari tahu ini semua begitu ia memahami fakta bahwa sejarah Islam penuh dengan kegemilangan dalam bidang-bidang yang saat ini dikuasai oleh Barat. Dan, ketika ia mencari tahu dengan sungguh-sungguh, pada akhirnya ia akan menemukan bahwa kemajuan umat Islam adalah disebabkan oleh berpegangteguhnya mereka dengan Islam. Sementara kemajuan Barat disebabkan oleh berlepasnya mereka dari agama mereka.
Mengapa demikian; mengapa Islam ketika ditaati membuat pemeluknya maju dan bangkit sementara ketika agama lain ditaati justru mengakibatkan para pemeluknya mengalami kemunduran? Jawabnya adalah karena Islam agama yang benar dan sesuai fitrah manusia sedangkan agama lain sebaliknya.
Jadi, ketika umat Islam memahami sejarah para penduhulu dan masa lalu Barat, niscaya mereka tidak akan ikut-ikutan Barat, meskipun saat ini Barat secara fisik nampak sangat maju dan bertolak belakang sekali dengan yang dialami umat Islam saat ini.
2. Tidak Bisa Membedakan Antara Hadharah dan Madaniyyah
Apa yang ada dalam peradaban Barat sejatinya terbagi dua: hadharah dan madaniyah. Hadharah didefinisikan sebagai sekumpulan pemahaman mengenai kehidupan sedangkan madaniyah didefinisikan sebagai bentuk-bentuk fisik yang terdiri dari benda-benda yang terindera yang digunakan dalam berbagai aspek kehidupan. Peninggalan Barat yang termasuk hadharah adalah sekulerisme (paham yang memisahkan agama dengan dunia), hedonisme (paham yang meyakini kebahagian terletak pada terpuaskannya keinginan), dan pluralisme (paham yang menyamaratakan semua agama), serta feminisme (paham yang menginginkan terjadinya kesetaraan gender antara pria dan wanita). Kesemua ini tidak boleh diambil karena bertentangan dengan karakteristik Islam yang khas. Sementara peninggalan Barat yang termasuk madaniyyah terbagi lagi menjadi dua jenis: madaniyyah yang bersifat khusus dan madaniyyah yang bersifat umum. Contoh madaniyyah yang bersifat khusus adalah kalung salib, patut yesus, dan kaus bergambar Bunda Maria. Kesemua ini tidak boleh dipakai karena meskipun merupakan produk madaniyyah, tetapi tetap mengandung kekhasan dari hadharah yang bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, ia tidak boleh digunakan sebagaimana orang-orang non muslim menggunakannya. Sedangkan contoh dari madaniyyah umum adalah HP, komputer, laptop, dan internet. Kesemua ini boleh digunakan meskipun datangnya dari Barat. Nah, bila umat Islam menyadari akan hal-hal ini, niscaya mereka akan tidak menjadi para kaki tangan Barat.
Demikian pembahasan mengenai kesalahan-kesalahan sebagian umat Islam sehingga mereka jatuh dalam kekeliruan menyikapi produk-produk Barat termasuk di dalamnya wacana mengenai feminisme. Maka sebagai mahasiswa Islam, kita harus berpikir kritis sehingga tidak terjebak pada kesalahan-kesalahan yang sama, yaitu yang telah dilakukan oleh sebagian para pendahulu kita. Wallâhu a’lam bi al-shawâb.
Catatan Akhir:
1. Maulana Wahiduddin Khan, Women Beween Islam and Western Society (New Delhi: Al-Risala Books, 1995), h. 59-60.
2. Lihat, Susilaningsih dan Agus M. Najib, ed., Kesetaraan Gender di Perguruan Tinggi Islam; Baseline and Institutional Analysis for Gender Mainstreaming in IAIN Sunan Kalijaga (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga dan McGill IISEP, 2004), h. 1-3.
3. Ibnu Musthafa, Wanita Islam Menjelang Tahun 2000 (Bandung: Penerbit Al-Bayan, 1995), h. 16.
4. Muhammad Husain Abdullāh, Studi Dasar-Dasar Pemikiran Islam. Penerjemah Zamroni (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2007), h. 251. Hal senada juga diungkapkan oleh Adian Husaini. Katanya, “Kekaguman yang berlebihan terhadap kemajuan fisik peradaban Barat, menyebabkan hilangnya daya kritis untuk melihat perbedaan dan mutiara terpendam yang tinggi nilainya dalam peradaban Islam sendiri. Kekaguman itu kemudian diaplikasikan dalam berbagai aspek kehidupan, dengan asumsi, bahwa jalan satu-satunya kaum Muslim untuk bangkit dan maju adalah menjiplak Barat.” Lihat, Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat; Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal (Jakarta: Gema Insani Press, 1426 H./2005 M.), h. 271.
5. Lihat, Taqī al-Dīn al-Nabhānī, Nizhâm al-Islâm (T.tp.: Hizb al-Tahrīr, 1422 H./2001 M.), h. 58.
6. Ibid, h. 63.
No comments:
Post a Comment